Mungkin kalian akan mengatakan kalau aku adalah orang yang menyebalkan. Kalian tidak salah, aku memang menyebalkan, itu tuding yang selalu dilontarkan oleh Bang Ravi, laki-laki tertua kedua setelah Papa. Kalian tidak perlu mengatakan kalau aku hanya seorang anak bungsu yang suka menghamburkan uang. Aku hanya ingin menjelaskan pada kalian sedikit tentang bagaimana hidup sederhana meski aku terlahir dalam keluarga berada.
Banyak hal yang aku lakukan untuk merencanakan semuanya. Aku ingin ini dan itu, tapi sekali lagi, ada sebuah batasan yang tidak seharusnya aku lakukan, termasuk beberapa larangan yang dulu pernah membuat keluargaku cemas, terlebih pada Bubun yang begitu murung saat melihatku berbaring di rumah sakit.
Itu dulu... saat ini aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku memang sempat mengalami cidera cukup serius untuk memulihkannya juga butuh waktu yang lama. Cukup lama, sampai akhirnya aku dinyatakan pulih walau tidak sepenuhnya. Tapi itu suatu keajaiban yang menurutku mustahil.
Seperti yang kalian lihat, aku tidak mendapat izin untuk datang mengendarai apapun, bahkan Papa memilih menelpon Akmal, untung saja Akmal belum berangkat, jadi aku menang padanya atas dasar kehendak dari Papa. Papa terlalu protektif, tapi Papa tahu cara menjaga keluarganya dengan baik.
Kini, aku berada di lobi kampus karena ulah Akmal dengan segala kecerobohannya meninggalkan barang penting di parkiran. Ada banyak pasang mata yang menatapku dengan tatapan heran, terlebih dari semua orang hanya ada dua gadis yang melihatku seolah terpesona, itu sangat menyebalkan!
"Lama banget, gue kayak orang ilang, dilirik sana-sini sama makhluk-makhluk." Aku protes pun Akmal hanya menertawakannya saja, jadi percuma. Punya sahabat satu, tapi tingkahnya tak jauh beda denganku.
"Sori Kal, gue tadi sekalian ketemu sama Reni, anak FH," balasnya. Aku hanya mengangguk, lagipula siapa yang peduli, Akmal kan memang pemalu. Suka tapi tidak mau terus terang. Sementara aku ... Aku hanya menjelma sebagai seorang singel berkualitas. Apa kalian percaya?
Aku hanya menyarankan untuk tidak percaya saja. Untung saja aku ingat, hari ini aku merencanakan semua hal tentang bagaimana kami bertemu dulu, rasanya itu pun masih sulit untuk dipercaya begitu saja. Karena saat aku bertemu Akmal, dia sangat pemalu, hingga aku memutuskan untuk mengulur tangan dan berkenalan dengannya.
Sejak dulu hingga sekarang, Akmal selalu menjadi sandaran ketika keluhku pada Bang Ravi mulai meresahkan kepalku. Dia selalu tahu kalau aku sangat kesal, atau bahkan tak suka dengan orang yang hanya baik di depan tapi justru mengatakan banyak hal di belakangku.
Sama seperti kemarin sore saat aku melintas di area fakultas teknik. Ada banyak pasang mata yang membuatku tak nyaman. Bahkan saat aku berhenti di ruang Dekan, ada salah seorang mahasiswa yang menegurku dengan tidak sopan. Awalnya aku hanya menanggapi apa yang ditanya olehnya, mengurangi tenaga untuk tidak melawan itu rasanya sulit, tapi faktanya, pukulanku justru mendapat teguran langsung dari petinggi kampus.
Dan hari ini, bukan lagi Bubun yang datang, melainkan Papa dan Abang yang sejatinya paling suka mengomel, jika aku mendapat masalah di sekolah atau di kampus. Aku masih bisa menerima apapun yang Papa katakan, tapi kalau sudah Abang yang berbicara, aku tidak lagi bisa menahan kesal apalagi emosi.
"Kal, Abang Lo," bisik Akmal. Aku tahu, tapi aku tidak bisa berkata apa-apa saat ini. Terlebih kami masih dalam area kampus. Bukan waktunya berkelahi. "Gue bisa pastiin dia bakal ngomel lebih parah dari Papa sekarang," balasku. Akmal mengangguk, ia memang sudah tahu siapa Bang Ravi saat kami di rumah.Menurut penilaian Kak Adena, Abang terlalu sibuk dengan urusannya dan dunianya. Dia selalu bercita-cita ingin menjadi seorang prajurit. Tapi, Kakek Ibram ingin Abang meneruskan perusahaan yang saat ini dipimpin oleh Papa. Garis keturunan seorang Malik begitu melekat. Jika bicara soal keturunan, Papaku termasuk salah satu CEO yang begitu tegas bahkan terkesan begitu kejam. Padahal, jika kalian ingin tahu, Papa sangat baik terlebih pada para karyawannya.
Hanya saja, tidak semua orang tahu tentang hal itu. Papa pemilik Malik Contraction. Sebuah perusahaan terkenal di kota kami. Bukan, ada beberapa cabang lainnya di luar daerah. Bahkan proyeksi Papa yang saat ini sedang dibangun, sudah hampir tahap akhir. Tidak heran bagaimana sibuknya Papa.
Kali ini aku tidak sedang bergurau. Tapi melihat situasi yang mulai tidak enak, rasanya aku ingin sekali pulang lebih cepat dan bolos dalam mata kuliah Mr. Karan. Sejujurnya, aku kesal dengan ucapan Bang Ravi. Aku tidak benci, karena Papa tidak pernah mengajari kami untuk membenci saudara sendiri. Kesal boleh, kan? Katakan padaku jika aku memang salah, tapi di sisi lain, aku benar-benar sudah tidak tahan mendengar bisik menyebalkan dari Abangku sendiri. Bahkan kami memutuskan untuk ke kantin walau di sana sangat berisik dan ramai para mahasiswa yang sedang duduk hanya untuk mengobrol atau hanya sekadar makan bersama."Lo gila, Bang! Papa emang udah pergi, bukan berarti Lo seenaknya kayak gini, gue nggak akan melakukan apapun, apalagi buat nyakitin orang lain!" Bentakku. Berulang kali juga Bang Ravi menghela napas sambil mengusap wajahnya kasar.
"Gue kayak gini buat lho, La. Buat Lo doang! Adik kesayangan Kak Adena, anak penurut Bubun, apa gue salah? Coba Lo pikirin sekali lagi, omongan gue Minggu lalu," katanya. Tentu aku sangat jengkel, pembahasan kami tidak akan jauh dari kata turnamen. Padahal aku sudah memutuskan untuk pensiun, tetap saja, Bang Ravi dengan keyakinannya sangat ingin melihatku tampil. "Abang, ini kampus jangan sekarang, Lo juga kayak nggak ada kerjaan aja deh, gue udah gede, bisa selesaikan semuanya sendiri, jangan paksa gue itu yang harus Lo ingat!" Sejatinya memang aku keras kepala, begitu kata Akmal. Cowok yang sedari tadi hanya diam sambil menyeruput es teh manis duduk di sebelahku. "La! Dengar dulu," suara Bang Ravi sudah mengalun, tapi aku abaikan, karena aku harus memasuki kelas tepat waktu sebelum aku kembali di marahi oleh dosen paling menyebalkan. "Gue nggak mau dengar, mending Lo pulang, urus aja kerjaan Lo sendiri." Aku tidak peduli seberapa keras Bang Ravi berteriak, aku ingin terlepas sejenak dari omong kosong yang katanya hanya renaca, tapi suatu saat akan terwujud juga, kan? Terlebih untuk saat ini aku masih belum yakin akan keputusanku untuk kembali berjuang dipanggung pentas."La, Lo beneran nggak ada rencana buat pikirin lagi apa yang Abang Lo omongin barusan?"
Aku menghentikan kakiku yang baru saja pergi beberapa langkah dari tempatku berada. Kemudian aku berbalik dan menemukan wajah cemas Bang Ravi yang begitu mencurigakan untukku.
Aku menoleh ke arah Akmal yang masih berdiri di sebelahku. Cowok dengan tampang yang menyebalkan itu kini menatapku begitu lekat."Rencana yang Lo maksud, apa? Mau ikutan kayak Abang gue? Dengar, ya, Mal, Abang gue cuma merencanakan hal yang gue nggak suka. Mending Lo diem, dan nggak usah ikut-ikutan apalagi maksa kayak Abang gue, paham?"
"La, ini kan cuma rencana, belum tentu beneran kepilih. Lo juga bilang cuma istirahat aja, kan? Dua tahun lho, La. Selama dua tahun terakhir sejak Lo Hiatus perguruan Mahatam belum punya atlit sekeren Lo, sepandai Lo, bahkan teknik yang Lo punya itu, nggak semuanya bisa terapin dipertandingan."Aku tahu maksud Akmal baik, tapi aku juga tidak suka dengan topik yang selalu membuatku teringat terus- menerus tentang kejadian dua tahun lalu. Rasanya sangat menyebalkan.
Titik di mana aku harus berakhir dengan segala rasa sakit adalah saat aku pernah tergeletak dengan darah yang mengalir bebas keluar dari hidungku. Semua anggota keluargaku ada di sana, seharusnya untuk melihat bagaimana penampilanku, tapi itu sebaliknya. Saat itu aku dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras ada keretakan pada tulang bagian belakangku. Mungkin itu terlihat kecil, tapi percayalah, selama dua bulan lamanya aku duduk di kursi roda hanya untuk pemulihan.Tubuhku terasa begitu kaku, tapi aku tidak bisa menolak dan harus lebih banyak beristirahat. Sejak kejadian yang pernah menimpaku kala itu, Bubun dan Papa melarang keras agar aku tidak ikut dalam pertandingan apapun. Bukankah aku pernah katakan kalau kalian lupa, aku akan mengingatkannya sampai kalian ingat semuanya tentangku, tentang keras kepalaku yang terkadang sulit untuk dikendalikan.Aku tidak akan banyak membahas tentang apa itu seni Taekwon
"Lakukan sekali lagi!""Itu belum benar, lakukan lagi!"Hei, aku sudah katakan setelah ini tubuhku pasti akan pegal-pegal. Tapi pelatih masih saja memintaku untuk melakukannya berulang kali.Jika saja bukan karena seleksi, mungkin aku akan pulang lebih awal, setelah kejadian di kampus membuat kepalaku benar-benar pusing. Belum lagi aku sempat bertemu dengan Erika , mantan pacar yang cantik tapi sayang, jiwanya lemah.Kalian akan menganggap aku lelaki tak tahu diri, dan aku tak peduli akan hal itu. Jika saja dia bisa mengambil keputusan yang tepat, mungkin hari ini yang duduk bersamaku bukan Akmal. Tapi, kenyataannya, Akmal yang memang selalu bisa kuandalkan. Akmal seperti orang suruhan Papa, kapanpun dan di manapun dia selalu ada meski sesekali aku ingin sendiri, tetap saja Akmal akan ada di sana bersamaku.
5. Lompat Tali, Nih?Aku belum selesai untuk memaki Akmal dan Julian padahal. Bahkan, ketika aku akan buka suara, suara Bang Ravi jauh lebih dulu menyapa dan menghancurkan semua rencana manisku. Sungguh menyebalkan sekali rasanya. Dengan begitu santai dia melemparkan handuk kecil yang sudah basah ke arahku. Untung saja aku mahir menangkap benda dengan cepat, kalau tidak, mungkin wajah tampanku akan ternodai dengan keringat busuk yang menempel di kulitku yang cerah.Sini aku beritahu kalian tentang Bang Ravi, yang begitu luar biasa pesonanya tidak main-main. Kalau kalian pikir aku akan marah, itu sudah pasti! Aku akan marah padanya, tapi bukan di sini. Saat ini aku hanya perlu membuatnya jengkel, lagi pula salahnya sendiri yang megibarkan bendera perang padaku. Kalau aku bukan anak Papa, mungkin aku sudah dihajar olehnya saat ini. Tapi keberuntungan masih memihak padaku. Karena aku terlahir sebagai keturuan Papa, Abang mana mungkin berani menganiaya anak sem
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah makan malam, karena aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar aku bisa bangun di pagi hari, karena ada matakuliah penting yang tidak boleh terlambat.Namun, seingatku semalam, aku mendengar Papa membentak Abang sampai Bubun tersentak, padahal Bubun ada di sana. Aku mendengar Papa mengatakan ketidak sukaannya atas keputusan Abang.Entah apa yang dibahas semalam, pagi ini, tatap dingin Papa benar-benar menakutkan. Belum lagi, ketika aku datang Papa justru memalingkan wajahnya, berlalu meninggalkan meja makan dengan alasan takut terlambat.Aku yakin kalau semalam Abang dan Papa berdebat lagi, setelah hampir dua bulan terakhir aku tidak mendengar mereka berdebat.Papa dan Abang memiliki kadar kegengsian jauh lebih tinggi dari aku dan Kak Adena. Entah bagaimana bisa, kadar itu menurut seratus persen pada Bang Ravi, karena setahuku, Bang Ravi kalau sudah meminta satu hal, pasti akan sulit
loved you, I loved you, I loved youBut that was thenBut that was then"Maria bukan Meri, jangan salah ya, kamu yang mulai bukan aku Kala.""Lo yang bodoh, lo nyalahin semuanya ke Gue? Gila lo ya!""Hei, gurun pasir yang tandus juga tahu, kalau kamu emang bersalah, gak usah bela diri gitu.""Hah?! Cewek kayak LO ITU CUMA SAMPAH! BUAT APA DI PERTAHANIN?". . .Hai, selamat datang di dalam jamuan makan malam hari ini, sepenggal yang kalian baca di atas adalah rumah di mana nanti akan aku sampaikan sedikit. Tidak, aku orang yang baik hati kok. Bahkan kita belum kenalan. Bagaimana jika kita berkenalan terlebih dulu? Baiklah, mari berkenalan sebentar, kalau begitu.Kalandra? Ya. Orang memanggilku dengan nama itu. Nama yang begitu sempurna yang orang tuaku berikan ketika aku baru saja lahir ke muka bumi. Aku Kalandra Rezvan Akbar Putra terlalu panja
Kalian tahu apa yang indah dari sebuah kunci? Bukan karena bentuknya, tapi ada sebuah rahasia yang sulit kalian temukan di dalamnya. Katanya, kalau kunci itu memiliki makna tersembunyi, kalian sudah tahu itu? Aku rasa kalian belum tahu. Tentu, karena di sini aku yang akan mengajaknya untuk menyelam ke rumahku. Rumah di mana tempat semua orang kembali, tempat semua orang berlindung, dan tempat semua orang melepas lelah di saat semua tak lagi ada.Katanya kita memiliki banyak jalan sebelum memilih jalan yang tepat untuk tempat yang tepat. Kamu akan melakukan apa yang kamu mau untuk memilih jalan itu. Sama seperti aku, ketika aku memilih seni bela diri Taekwondo sebagai rumah untukku bertahan, berlindung, dan kembali pada kenyataan untuk tidak berhenti sebelum meraih. Mencoba untuk tidak menyerah meski lawannya berat.Aku tidak akan sendirian untuk melakukan apa yang aku mau hanya karena aku seorang yang bertindak sesuka hati, katanya seperti
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah makan malam, karena aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar aku bisa bangun di pagi hari, karena ada matakuliah penting yang tidak boleh terlambat.Namun, seingatku semalam, aku mendengar Papa membentak Abang sampai Bubun tersentak, padahal Bubun ada di sana. Aku mendengar Papa mengatakan ketidak sukaannya atas keputusan Abang.Entah apa yang dibahas semalam, pagi ini, tatap dingin Papa benar-benar menakutkan. Belum lagi, ketika aku datang Papa justru memalingkan wajahnya, berlalu meninggalkan meja makan dengan alasan takut terlambat.Aku yakin kalau semalam Abang dan Papa berdebat lagi, setelah hampir dua bulan terakhir aku tidak mendengar mereka berdebat.Papa dan Abang memiliki kadar kegengsian jauh lebih tinggi dari aku dan Kak Adena. Entah bagaimana bisa, kadar itu menurut seratus persen pada Bang Ravi, karena setahuku, Bang Ravi kalau sudah meminta satu hal, pasti akan sulit
5. Lompat Tali, Nih?Aku belum selesai untuk memaki Akmal dan Julian padahal. Bahkan, ketika aku akan buka suara, suara Bang Ravi jauh lebih dulu menyapa dan menghancurkan semua rencana manisku. Sungguh menyebalkan sekali rasanya. Dengan begitu santai dia melemparkan handuk kecil yang sudah basah ke arahku. Untung saja aku mahir menangkap benda dengan cepat, kalau tidak, mungkin wajah tampanku akan ternodai dengan keringat busuk yang menempel di kulitku yang cerah.Sini aku beritahu kalian tentang Bang Ravi, yang begitu luar biasa pesonanya tidak main-main. Kalau kalian pikir aku akan marah, itu sudah pasti! Aku akan marah padanya, tapi bukan di sini. Saat ini aku hanya perlu membuatnya jengkel, lagi pula salahnya sendiri yang megibarkan bendera perang padaku. Kalau aku bukan anak Papa, mungkin aku sudah dihajar olehnya saat ini. Tapi keberuntungan masih memihak padaku. Karena aku terlahir sebagai keturuan Papa, Abang mana mungkin berani menganiaya anak sem
"Lakukan sekali lagi!""Itu belum benar, lakukan lagi!"Hei, aku sudah katakan setelah ini tubuhku pasti akan pegal-pegal. Tapi pelatih masih saja memintaku untuk melakukannya berulang kali.Jika saja bukan karena seleksi, mungkin aku akan pulang lebih awal, setelah kejadian di kampus membuat kepalaku benar-benar pusing. Belum lagi aku sempat bertemu dengan Erika , mantan pacar yang cantik tapi sayang, jiwanya lemah.Kalian akan menganggap aku lelaki tak tahu diri, dan aku tak peduli akan hal itu. Jika saja dia bisa mengambil keputusan yang tepat, mungkin hari ini yang duduk bersamaku bukan Akmal. Tapi, kenyataannya, Akmal yang memang selalu bisa kuandalkan. Akmal seperti orang suruhan Papa, kapanpun dan di manapun dia selalu ada meski sesekali aku ingin sendiri, tetap saja Akmal akan ada di sana bersamaku.
Titik di mana aku harus berakhir dengan segala rasa sakit adalah saat aku pernah tergeletak dengan darah yang mengalir bebas keluar dari hidungku. Semua anggota keluargaku ada di sana, seharusnya untuk melihat bagaimana penampilanku, tapi itu sebaliknya. Saat itu aku dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras ada keretakan pada tulang bagian belakangku. Mungkin itu terlihat kecil, tapi percayalah, selama dua bulan lamanya aku duduk di kursi roda hanya untuk pemulihan.Tubuhku terasa begitu kaku, tapi aku tidak bisa menolak dan harus lebih banyak beristirahat. Sejak kejadian yang pernah menimpaku kala itu, Bubun dan Papa melarang keras agar aku tidak ikut dalam pertandingan apapun. Bukankah aku pernah katakan kalau kalian lupa, aku akan mengingatkannya sampai kalian ingat semuanya tentangku, tentang keras kepalaku yang terkadang sulit untuk dikendalikan.Aku tidak akan banyak membahas tentang apa itu seni Taekwon
Mungkin kalian akan mengatakan kalau aku adalah orang yang menyebalkan. Kalian tidak salah, aku memang menyebalkan, itu tuding yang selalu dilontarkan oleh Bang Ravi, laki-laki tertua kedua setelah Papa. Kalian tidak perlu mengatakan kalau aku hanya seorang anak bungsu yang suka menghamburkan uang. Aku hanya ingin menjelaskan pada kalian sedikit tentang bagaimana hidup sederhana meski aku terlahir dalam keluarga berada. Banyak hal yang aku lakukan untuk merencanakan semuanya. Aku ingin ini dan itu, tapi sekali lagi, ada sebuah batasan yang tidak seharusnya aku lakukan, termasuk beberapa larangan yang dulu pernah membuat keluargaku cemas, terlebih pada Bubun yang begitu murung saat melihatku berbaring di rumah sakit. Itu dulu... saat ini aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku memang sempat mengalami cidera cukup serius untuk memulihkannya juga butuh waktu yang lama. Cukup lama, sa
Kalian tahu apa yang indah dari sebuah kunci? Bukan karena bentuknya, tapi ada sebuah rahasia yang sulit kalian temukan di dalamnya. Katanya, kalau kunci itu memiliki makna tersembunyi, kalian sudah tahu itu? Aku rasa kalian belum tahu. Tentu, karena di sini aku yang akan mengajaknya untuk menyelam ke rumahku. Rumah di mana tempat semua orang kembali, tempat semua orang berlindung, dan tempat semua orang melepas lelah di saat semua tak lagi ada.Katanya kita memiliki banyak jalan sebelum memilih jalan yang tepat untuk tempat yang tepat. Kamu akan melakukan apa yang kamu mau untuk memilih jalan itu. Sama seperti aku, ketika aku memilih seni bela diri Taekwondo sebagai rumah untukku bertahan, berlindung, dan kembali pada kenyataan untuk tidak berhenti sebelum meraih. Mencoba untuk tidak menyerah meski lawannya berat.Aku tidak akan sendirian untuk melakukan apa yang aku mau hanya karena aku seorang yang bertindak sesuka hati, katanya seperti
loved you, I loved you, I loved youBut that was thenBut that was then"Maria bukan Meri, jangan salah ya, kamu yang mulai bukan aku Kala.""Lo yang bodoh, lo nyalahin semuanya ke Gue? Gila lo ya!""Hei, gurun pasir yang tandus juga tahu, kalau kamu emang bersalah, gak usah bela diri gitu.""Hah?! Cewek kayak LO ITU CUMA SAMPAH! BUAT APA DI PERTAHANIN?". . .Hai, selamat datang di dalam jamuan makan malam hari ini, sepenggal yang kalian baca di atas adalah rumah di mana nanti akan aku sampaikan sedikit. Tidak, aku orang yang baik hati kok. Bahkan kita belum kenalan. Bagaimana jika kita berkenalan terlebih dulu? Baiklah, mari berkenalan sebentar, kalau begitu.Kalandra? Ya. Orang memanggilku dengan nama itu. Nama yang begitu sempurna yang orang tuaku berikan ketika aku baru saja lahir ke muka bumi. Aku Kalandra Rezvan Akbar Putra terlalu panja