Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah makan malam, karena aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar aku bisa bangun di pagi hari, karena ada matakuliah penting yang tidak boleh terlambat.
Namun, seingatku semalam, aku mendengar Papa membentak Abang sampai Bubun tersentak, padahal Bubun ada di sana. Aku mendengar Papa mengatakan ketidak sukaannya atas keputusan Abang.
Entah apa yang dibahas semalam, pagi ini, tatap dingin Papa benar-benar menakutkan. Belum lagi, ketika aku datang Papa justru memalingkan wajahnya, berlalu meninggalkan meja makan dengan alasan takut terlambat.
Aku yakin kalau semalam Abang dan Papa berdebat lagi, setelah hampir dua bulan terakhir aku tidak mendengar mereka berdebat.
Papa dan Abang memiliki kadar kegengsian jauh lebih tinggi dari aku dan Kak Adena. Entah bagaimana bisa, kadar itu menurut seratus persen pada Bang Ravi, karena setahuku, Bang Ravi kalau sudah meminta satu hal, pasti akan sulit menggantinya dengan yang lain.
Keras seperti batu!
"Mas, kamu nggak sarapan bareng?"
"Aku sarapan di kantor aja, lagian udah kesiangan."
Sudah tiga kali Bubun menanyakan hal yang sama dengan jawaban yang sama pula, Bubun mendengarnya.
Papa memang keras kepala, dan itu membuat Bubun terus mengusap dada lalu berkata 'sabar' mungkin lelah.
"Bun, tensi Papa naik lagi? Perasaan dari semalam ngomel-ngomel terus," kataku, Bubun menggeleng, kemudian pergi meninggalkan pintu utama setelah keberadaan Papa tak lagi terlihat. Aku tidak memikirkan hal lain kecuali meminta uang untukku pergi ke kampus. Aku menguntit di belakang Bubun, usai sarapan tadi aku mengikutinya juga sampai ke depan pintu, tapi aku lupa apa tujuanku. Setelah mengingatnya, barulah aku buru-buru menyusul, sungguh hari yang menyebalkan.
"Bun, ongkosnya belum," kataku. Bubun menoleh, kemudian menghela napas, aku yakin Bubun juga lupa.
"Dek, ini bukan Bubun nggak kasih, tapi Bubun belum ambil uang, jadi pakai uang sendiri dulu, ya? Ada, kan?"
Aku tidak lagi merengek, lagi pula, Bubun kalau sudah bersuara dengan nada yang begitu lembut, pasti Bubun tidak berbohong. Aku juga lupa kalau ini pertengahan Bulan, tandanya memang Bubun belum menerima transfer dari Papa.
Aku hanya mengangguk, setelahnya bersalaman lalu pergi. Sejak semalam rumahku terasa menegangkan. Apalagi pagi ini aku juga belum melihat Abang keluar dari kamarnya, sarapan bersama juga tidak, lantas apa yang terjadi semalam? Aku penasaran tapi aku takut terlambat.
"Bun, Andra pamit duluan!" Teriakku. Aku sudah memastikan kalau suaraku terdengar sampai ke dapur. Beruntungnya aku tidak benar-benar pergi sendiri, ada Akmal yang selalu stay di sisiku. Kami juga selalu pergi bersama seperti sekarang, dia sudah menungguku di depan gerbang rumah.
"Sori lama. Gue harus menuntaskan ritual dulu ke Bubun," kataku. Akmal tertawa, dia paham tapi dia tidak pernah berkomentar lebih tentang ucapanku.
***
Di sepanjang jalan Akmal terus bertanya tentang ke siapanku untuk ikut seleksi selanjutnya. Padahal, dia tahu kalau aku sangat susah mendapatkan izin terlebih dari Papa.
Gerak bebas saja tidak cukup, karena izin selalu menjadi patokan utama dalam setiap langkah yang ku tempuh.
"Jadi gimana? Abang lo pasti udah minta izin ke Om Akbar, kan?"
Baru sampai yang dibahas tentang perizinan, rasanya kepalaku ingin pecah, jujur aku ingin tapi mustahil kalau caranya tidak resmi.
"Gue nggak tau, karena semalam mereka ngobrol gue udah duluan ke kamar." Akmal mengangguk, setelah ya ia memberiku sebuah kertas oranye yang sudah dilipat rapi. Aku menoleh, lalu menatap ke arahnya.
"Dari Erika, kemarin dia kasih waktu Lo jalan duluan ke parkiran."
"Mantan. Masih aja ngirim surat cinta. Dia pacaran sama Neandro, kan? Terus ini apa? Mau manasin gue? Nggak jaman!"
"Buka dulu, siapa tahu itu penting, lo berburuk sangka terus deh, biar mantan, dia juga manusia, harus dihargai, apapun isinya."
Aku tak lagi bisa berkomentar kalau Akmal sudah bersabda. Dia seperti kakak yang terkadang mampu menyadarkan pikiranku yang sempit. Tapi, dia juga bisa menjadi musuh jika aku sedang tak ingin diganggu.
"Nanti gue baca. Sekarang udah ada Pak Johan," kataku. Aku pun menyelipkan kertas itu dalam buku catatan ku.
***
"Motor Lo kayaknya belum pernah jajan deh, Mal. Masa dua kali mogok sih?" Protesku membuat Akmal terkekeh. Sebal, dia malah memamerkan deretan gigi putih bersihnya padaku. Padahal aku sudah terlambat untuk menonton bersama Kak Adena di rumah.
"Mal! Bisa nggak? Gue naik bus aja deh," kataku. Akmal berbalik untuk membuatku tenang.
"Sabar, ini masih ada bensinnya, cuma mogok aja. Sabar-sabar. Mending duduk dulu," tenang ucapan Akmal membuatku semakin panas. Aku tidak bisa bersabar jika aku telat menonton bersama Kak Adena yang baru saja kembali dari dinasnya.
"Udah bisa! Ayo buruan!"
Aku merelakan waktu dua puluh menitku karena sebuah motor yang lama belum diservis.
Omong-omong tentang motor, tadi saat kami diperjalanan menuju kampus, aku sempat melihat seseorang, meski tidak begitu jelas, tapi di sana aku bisa mengenali jaket yang dikenakannya sama seperti jaket yang pernah pelatih Farda kenakan.
Apa aku salah lihat? Rasanya tidak, tapi aku takut alasanku kembali justru membawa sesuatu yang lebih perih dari sebelumnya.
Dua tahun silam telah memberi luka, kali ini aku harus memikirkannya dengan sangat matang. Gerak bebasku saat ini bukan sekadar maju lalu menang, tapi memikirkan apa yang harus aku ambil sebelum bahaya menyerang.
"Lusa, Julian tes fisik, kayaknya jadwalnya bareng sama gue, terus lo gimana?"
Aku tersentak, aku mendekatkan diri agar aku bisa mendengar kembali apa yang Akmal ucapkan. Tapi sayang, Akmal justru tidak menjawabku.
"Mal, gue mundur aja kali, ya?"
Tiba-tiba Akmal memberhentikan motornya sampai membuatku hampir terjatuh.
"Ada apa?" tanyaku.
"Gue harus ke mini market, Mama nitip belanjaan, gue lupa," ucap Akmal.
Aku mendengkus, kesal tapi aku tidak punya pilihan selain ikut dengan Akmal ke mini market. Aku sangat jengkel sebenarnya, tapi tak ada pilihan lain untuk menghemat uang.
Hari ini aku hanya ada dua matakuliah, tapi hanya satu dosen yang masuk, daripada aku menunggu lama di kampus, aku memilih pulang. Itulah sebabnya kami bisa pulang lebih awal. Padahal siang nanti kami akan latihan futsal.
Sesampainya di mini market, aku memilih untuk menunggu di luar selagi Akmal berbelanja, aku kembali membuka amplop yang sengaja aku taruh di dalam tas, bukan lagi diselip buku. Aku tahu, aku termasuk ceroboh, jadi sebelum kejadian ada oknum nakal yang menemukannya, aku segera menaruhnya di dalam tas.
Aku sempat ragu untuk membuka dan membacanya, karena aku tahu bagaimana sifat Erika. Dan kali ini aku memilih mengikuti apa yang Akmal katakan.
Dear, Kala.
Kalau kamu baca surat ini, aku harap kamu nggak lupa buat lunasi janji kamu dulu, kita kita ketemu di caffe biasa, ya. Di tunggu besok jam tiga sore.
Jujur, aku malas, tapi aku bukan orang yang ingkar janji, setelah membacanya aku pun merobek kertas itu sampai tak tersisa.
Sekali lagi, gerak bebas bukan sekadar memberi ruang untuk mengikuti apa yang diinginkan. Hanya saja, terlalu berat untuk dijalani tanpa sesuatu yang mewakili perasaan lega.
loved you, I loved you, I loved youBut that was thenBut that was then"Maria bukan Meri, jangan salah ya, kamu yang mulai bukan aku Kala.""Lo yang bodoh, lo nyalahin semuanya ke Gue? Gila lo ya!""Hei, gurun pasir yang tandus juga tahu, kalau kamu emang bersalah, gak usah bela diri gitu.""Hah?! Cewek kayak LO ITU CUMA SAMPAH! BUAT APA DI PERTAHANIN?". . .Hai, selamat datang di dalam jamuan makan malam hari ini, sepenggal yang kalian baca di atas adalah rumah di mana nanti akan aku sampaikan sedikit. Tidak, aku orang yang baik hati kok. Bahkan kita belum kenalan. Bagaimana jika kita berkenalan terlebih dulu? Baiklah, mari berkenalan sebentar, kalau begitu.Kalandra? Ya. Orang memanggilku dengan nama itu. Nama yang begitu sempurna yang orang tuaku berikan ketika aku baru saja lahir ke muka bumi. Aku Kalandra Rezvan Akbar Putra terlalu panja
Kalian tahu apa yang indah dari sebuah kunci? Bukan karena bentuknya, tapi ada sebuah rahasia yang sulit kalian temukan di dalamnya. Katanya, kalau kunci itu memiliki makna tersembunyi, kalian sudah tahu itu? Aku rasa kalian belum tahu. Tentu, karena di sini aku yang akan mengajaknya untuk menyelam ke rumahku. Rumah di mana tempat semua orang kembali, tempat semua orang berlindung, dan tempat semua orang melepas lelah di saat semua tak lagi ada.Katanya kita memiliki banyak jalan sebelum memilih jalan yang tepat untuk tempat yang tepat. Kamu akan melakukan apa yang kamu mau untuk memilih jalan itu. Sama seperti aku, ketika aku memilih seni bela diri Taekwondo sebagai rumah untukku bertahan, berlindung, dan kembali pada kenyataan untuk tidak berhenti sebelum meraih. Mencoba untuk tidak menyerah meski lawannya berat.Aku tidak akan sendirian untuk melakukan apa yang aku mau hanya karena aku seorang yang bertindak sesuka hati, katanya seperti
Mungkin kalian akan mengatakan kalau aku adalah orang yang menyebalkan. Kalian tidak salah, aku memang menyebalkan, itu tuding yang selalu dilontarkan oleh Bang Ravi, laki-laki tertua kedua setelah Papa. Kalian tidak perlu mengatakan kalau aku hanya seorang anak bungsu yang suka menghamburkan uang. Aku hanya ingin menjelaskan pada kalian sedikit tentang bagaimana hidup sederhana meski aku terlahir dalam keluarga berada. Banyak hal yang aku lakukan untuk merencanakan semuanya. Aku ingin ini dan itu, tapi sekali lagi, ada sebuah batasan yang tidak seharusnya aku lakukan, termasuk beberapa larangan yang dulu pernah membuat keluargaku cemas, terlebih pada Bubun yang begitu murung saat melihatku berbaring di rumah sakit. Itu dulu... saat ini aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku memang sempat mengalami cidera cukup serius untuk memulihkannya juga butuh waktu yang lama. Cukup lama, sa
Titik di mana aku harus berakhir dengan segala rasa sakit adalah saat aku pernah tergeletak dengan darah yang mengalir bebas keluar dari hidungku. Semua anggota keluargaku ada di sana, seharusnya untuk melihat bagaimana penampilanku, tapi itu sebaliknya. Saat itu aku dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras ada keretakan pada tulang bagian belakangku. Mungkin itu terlihat kecil, tapi percayalah, selama dua bulan lamanya aku duduk di kursi roda hanya untuk pemulihan.Tubuhku terasa begitu kaku, tapi aku tidak bisa menolak dan harus lebih banyak beristirahat. Sejak kejadian yang pernah menimpaku kala itu, Bubun dan Papa melarang keras agar aku tidak ikut dalam pertandingan apapun. Bukankah aku pernah katakan kalau kalian lupa, aku akan mengingatkannya sampai kalian ingat semuanya tentangku, tentang keras kepalaku yang terkadang sulit untuk dikendalikan.Aku tidak akan banyak membahas tentang apa itu seni Taekwon
"Lakukan sekali lagi!""Itu belum benar, lakukan lagi!"Hei, aku sudah katakan setelah ini tubuhku pasti akan pegal-pegal. Tapi pelatih masih saja memintaku untuk melakukannya berulang kali.Jika saja bukan karena seleksi, mungkin aku akan pulang lebih awal, setelah kejadian di kampus membuat kepalaku benar-benar pusing. Belum lagi aku sempat bertemu dengan Erika , mantan pacar yang cantik tapi sayang, jiwanya lemah.Kalian akan menganggap aku lelaki tak tahu diri, dan aku tak peduli akan hal itu. Jika saja dia bisa mengambil keputusan yang tepat, mungkin hari ini yang duduk bersamaku bukan Akmal. Tapi, kenyataannya, Akmal yang memang selalu bisa kuandalkan. Akmal seperti orang suruhan Papa, kapanpun dan di manapun dia selalu ada meski sesekali aku ingin sendiri, tetap saja Akmal akan ada di sana bersamaku.
5. Lompat Tali, Nih?Aku belum selesai untuk memaki Akmal dan Julian padahal. Bahkan, ketika aku akan buka suara, suara Bang Ravi jauh lebih dulu menyapa dan menghancurkan semua rencana manisku. Sungguh menyebalkan sekali rasanya. Dengan begitu santai dia melemparkan handuk kecil yang sudah basah ke arahku. Untung saja aku mahir menangkap benda dengan cepat, kalau tidak, mungkin wajah tampanku akan ternodai dengan keringat busuk yang menempel di kulitku yang cerah.Sini aku beritahu kalian tentang Bang Ravi, yang begitu luar biasa pesonanya tidak main-main. Kalau kalian pikir aku akan marah, itu sudah pasti! Aku akan marah padanya, tapi bukan di sini. Saat ini aku hanya perlu membuatnya jengkel, lagi pula salahnya sendiri yang megibarkan bendera perang padaku. Kalau aku bukan anak Papa, mungkin aku sudah dihajar olehnya saat ini. Tapi keberuntungan masih memihak padaku. Karena aku terlahir sebagai keturuan Papa, Abang mana mungkin berani menganiaya anak sem
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah makan malam, karena aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar aku bisa bangun di pagi hari, karena ada matakuliah penting yang tidak boleh terlambat.Namun, seingatku semalam, aku mendengar Papa membentak Abang sampai Bubun tersentak, padahal Bubun ada di sana. Aku mendengar Papa mengatakan ketidak sukaannya atas keputusan Abang.Entah apa yang dibahas semalam, pagi ini, tatap dingin Papa benar-benar menakutkan. Belum lagi, ketika aku datang Papa justru memalingkan wajahnya, berlalu meninggalkan meja makan dengan alasan takut terlambat.Aku yakin kalau semalam Abang dan Papa berdebat lagi, setelah hampir dua bulan terakhir aku tidak mendengar mereka berdebat.Papa dan Abang memiliki kadar kegengsian jauh lebih tinggi dari aku dan Kak Adena. Entah bagaimana bisa, kadar itu menurut seratus persen pada Bang Ravi, karena setahuku, Bang Ravi kalau sudah meminta satu hal, pasti akan sulit
5. Lompat Tali, Nih?Aku belum selesai untuk memaki Akmal dan Julian padahal. Bahkan, ketika aku akan buka suara, suara Bang Ravi jauh lebih dulu menyapa dan menghancurkan semua rencana manisku. Sungguh menyebalkan sekali rasanya. Dengan begitu santai dia melemparkan handuk kecil yang sudah basah ke arahku. Untung saja aku mahir menangkap benda dengan cepat, kalau tidak, mungkin wajah tampanku akan ternodai dengan keringat busuk yang menempel di kulitku yang cerah.Sini aku beritahu kalian tentang Bang Ravi, yang begitu luar biasa pesonanya tidak main-main. Kalau kalian pikir aku akan marah, itu sudah pasti! Aku akan marah padanya, tapi bukan di sini. Saat ini aku hanya perlu membuatnya jengkel, lagi pula salahnya sendiri yang megibarkan bendera perang padaku. Kalau aku bukan anak Papa, mungkin aku sudah dihajar olehnya saat ini. Tapi keberuntungan masih memihak padaku. Karena aku terlahir sebagai keturuan Papa, Abang mana mungkin berani menganiaya anak sem
"Lakukan sekali lagi!""Itu belum benar, lakukan lagi!"Hei, aku sudah katakan setelah ini tubuhku pasti akan pegal-pegal. Tapi pelatih masih saja memintaku untuk melakukannya berulang kali.Jika saja bukan karena seleksi, mungkin aku akan pulang lebih awal, setelah kejadian di kampus membuat kepalaku benar-benar pusing. Belum lagi aku sempat bertemu dengan Erika , mantan pacar yang cantik tapi sayang, jiwanya lemah.Kalian akan menganggap aku lelaki tak tahu diri, dan aku tak peduli akan hal itu. Jika saja dia bisa mengambil keputusan yang tepat, mungkin hari ini yang duduk bersamaku bukan Akmal. Tapi, kenyataannya, Akmal yang memang selalu bisa kuandalkan. Akmal seperti orang suruhan Papa, kapanpun dan di manapun dia selalu ada meski sesekali aku ingin sendiri, tetap saja Akmal akan ada di sana bersamaku.
Titik di mana aku harus berakhir dengan segala rasa sakit adalah saat aku pernah tergeletak dengan darah yang mengalir bebas keluar dari hidungku. Semua anggota keluargaku ada di sana, seharusnya untuk melihat bagaimana penampilanku, tapi itu sebaliknya. Saat itu aku dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras ada keretakan pada tulang bagian belakangku. Mungkin itu terlihat kecil, tapi percayalah, selama dua bulan lamanya aku duduk di kursi roda hanya untuk pemulihan.Tubuhku terasa begitu kaku, tapi aku tidak bisa menolak dan harus lebih banyak beristirahat. Sejak kejadian yang pernah menimpaku kala itu, Bubun dan Papa melarang keras agar aku tidak ikut dalam pertandingan apapun. Bukankah aku pernah katakan kalau kalian lupa, aku akan mengingatkannya sampai kalian ingat semuanya tentangku, tentang keras kepalaku yang terkadang sulit untuk dikendalikan.Aku tidak akan banyak membahas tentang apa itu seni Taekwon
Mungkin kalian akan mengatakan kalau aku adalah orang yang menyebalkan. Kalian tidak salah, aku memang menyebalkan, itu tuding yang selalu dilontarkan oleh Bang Ravi, laki-laki tertua kedua setelah Papa. Kalian tidak perlu mengatakan kalau aku hanya seorang anak bungsu yang suka menghamburkan uang. Aku hanya ingin menjelaskan pada kalian sedikit tentang bagaimana hidup sederhana meski aku terlahir dalam keluarga berada. Banyak hal yang aku lakukan untuk merencanakan semuanya. Aku ingin ini dan itu, tapi sekali lagi, ada sebuah batasan yang tidak seharusnya aku lakukan, termasuk beberapa larangan yang dulu pernah membuat keluargaku cemas, terlebih pada Bubun yang begitu murung saat melihatku berbaring di rumah sakit. Itu dulu... saat ini aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku memang sempat mengalami cidera cukup serius untuk memulihkannya juga butuh waktu yang lama. Cukup lama, sa
Kalian tahu apa yang indah dari sebuah kunci? Bukan karena bentuknya, tapi ada sebuah rahasia yang sulit kalian temukan di dalamnya. Katanya, kalau kunci itu memiliki makna tersembunyi, kalian sudah tahu itu? Aku rasa kalian belum tahu. Tentu, karena di sini aku yang akan mengajaknya untuk menyelam ke rumahku. Rumah di mana tempat semua orang kembali, tempat semua orang berlindung, dan tempat semua orang melepas lelah di saat semua tak lagi ada.Katanya kita memiliki banyak jalan sebelum memilih jalan yang tepat untuk tempat yang tepat. Kamu akan melakukan apa yang kamu mau untuk memilih jalan itu. Sama seperti aku, ketika aku memilih seni bela diri Taekwondo sebagai rumah untukku bertahan, berlindung, dan kembali pada kenyataan untuk tidak berhenti sebelum meraih. Mencoba untuk tidak menyerah meski lawannya berat.Aku tidak akan sendirian untuk melakukan apa yang aku mau hanya karena aku seorang yang bertindak sesuka hati, katanya seperti
loved you, I loved you, I loved youBut that was thenBut that was then"Maria bukan Meri, jangan salah ya, kamu yang mulai bukan aku Kala.""Lo yang bodoh, lo nyalahin semuanya ke Gue? Gila lo ya!""Hei, gurun pasir yang tandus juga tahu, kalau kamu emang bersalah, gak usah bela diri gitu.""Hah?! Cewek kayak LO ITU CUMA SAMPAH! BUAT APA DI PERTAHANIN?". . .Hai, selamat datang di dalam jamuan makan malam hari ini, sepenggal yang kalian baca di atas adalah rumah di mana nanti akan aku sampaikan sedikit. Tidak, aku orang yang baik hati kok. Bahkan kita belum kenalan. Bagaimana jika kita berkenalan terlebih dulu? Baiklah, mari berkenalan sebentar, kalau begitu.Kalandra? Ya. Orang memanggilku dengan nama itu. Nama yang begitu sempurna yang orang tuaku berikan ketika aku baru saja lahir ke muka bumi. Aku Kalandra Rezvan Akbar Putra terlalu panja