"Kalandra, kan? Gila dia ganteng banget, berasa kayak lagi turun dari surga."
"Anaknya siapa sih dia? Bapaknya pasti ganteng nih, keturunan yang sempurna emang."
Sedikit lebih dari kata, aku adalah orang yang populer di manapun aku berpijak. Tak heran semua desis histeris yang mereka lontarkan membuatku terkikik sendirian. Mungkin kalian juga pernah, kan? Tak apa, aku tak akan tertawa, paling tidak aku tahu, kalau aku memang setampan itu untuk jadi idola dikalangan remaja.
Jangan tertawa setelah aku mengatakannya. Ini hanya gurau jadi kalian tidak perlu khawatir tentang ucapanku. Aku memang mempermudah jalan menuju kekesalan semua orang. Di balik senyumku yang terlampau manis, aku memiliki sisi tegas, bahkan ketika aku berhasil memutuskan cinta pertamaku dengan alasan yang cukup masuk akal, tapi orang lain akan melihat aku yang paling jahat.
Tunggu, aku pernah mengatakan kalau aku juga suka bermain futsal. Itu benar! Aku memang mencintai beberapa jenis olahraga yang aku rasa sangat cocok dengan pasionku. Kalian tak akan percaya kalau dulu aku menjuarai lomba di tingkat provisi, itu suatu kebanggan. Tahun di mana aku masih bersantai tanpa memikirkan beban hidup dan beban rasanya menjomlo.
Jangan tanya bagaimana perasaanku, aku saja geli mengatakannya, apalagi kalian yang menikmati kisahku nanti sampai akhir. Aku hanya ingin mempermudah perkenalan kita, sebelum aku memberi luka untuk kalian.
Aku bercanda. Aku hanya ingin kalian tahu satu hal tentang bagaimana rasa tumbuh dari sebuah kebencian. Ini bukan masalah, benci jadi cinta, tapi ini realita yang semua orang mungkin pernah mengalaminya. Contoh saja Minggu lalu, Abangku memotong pembicaraan dengan begitu santai sampa membuat Papa naik darah. Apalagi kalau Abang sudah berkelahi denganku, aku yakin kalian akan menjadi wasit di tengah perkelahian kami.
"Andra, hari ini kamu ke kampus, kan?" Sebentar, aku lupa kalau pagi ini aku berniat membantu Bubun membereskan halaman belakang, tapi rasanya aku juga lupa kalau hari ini ada jam matakuliah. Niatku tidak pupus, hanya saja tindakkanku harus tertunda untuk waktu yang lama.
Setidaknya aku punya ladang pahala untuk membantu, kan? Lagipula siapa yang tahu kalau usai shalat subuh tadi aku membuat Papa kesal karena aku merayu Bubun?
"Iya, Bun. Nggak apa-apa, nih Andra tinggal? Nanti Bubun nggak ada yang bantu, gimana?"
Bubun itu super lembut, jadi nggak perlu kasih kode, Bubun akan tahu. Tentu apa yang aku ingin pun Bubun sudah mrngetahuinya. Lihat saja apa yang dilakukan Bubun, beliau justru membuatku semakin malas untuk melangkah, kebetulan Bubun masih berada di dapur, jadi aku memeluknya dengan sepenuh hati.
"Bubun baik banget deh, cantik lagi Andra boleh pinjem motor Bubun,nggak?" Aku yakin Bubun akan mengizinkannya, tapi tidak akan semudah yang akan kalian pikirkan juga. Akan ada sosok pria gagah dengan sesuka hati menarik kerah bajuku.
"Pakai angkutan umum. Nggak usah manja." Sudah kubilang, jangan katakan apapun padaku. Aku hanya menoleh, menatap Papa yang sudah berdiri di belakang kami. Perasaanku dibuat kacau dalam waktu singkat. Padahal hanya ingin membuat Bubun luluh, kan, aku sudah tampan, kurang bagaimana lagi?
Beri aku saran untuk menjadi lebih tampan dan imut. Ah, tidak-tidak. Nanti, semua orang akan berjejer meneriaki namaku, lagi.
"Kamu mau apa? Minta jatah uang jajan? " Aku menggeleng dengan cepat, rasanya Papa seperti monster sangat menyeramkan.
"Mas, kalem dikit, kamu datang tuh ngagetin orang terus, " balas Bubun. Aku akan merasa bangga, selain Bubun bucin padaku, Bubun akan memarahi Papa kalau Papa seenaknya datang tanpa permisi.
"Maaf, lagian anak orang ini mau ngapain? Pakai goda-goda, mau minta tambah uang jajan, kan?"
"Papa nih overthink terus deh, sama Andra. Nggak lah, Andra itu baik hati, jadi nggak akan minta yang macem-macem.
Aku tidak yakin dengan ucapanku sendiri, tapi melihat ekspresi wajah Papa, sudah membuktikan kalau Papa kesal. Aku melihatnya, karena Papa pergi usai mencium kening Bubun di hadapanku. Papa itu romantis, kalau kalian ingin tahu, tapi Papa terlalu gengsi, makanya selalu diejek oleh Kakek Ibram atau Kakek Zee.
Aku hanya menyarankan, untuk tidak senyum-senyum sendiri, karena Papa dan Bubun memang selucu itu. Aku memang anak paling beruntung, hadir di tengah keluarga yang memiliki sifat yang bervariasi, mungkin kalian juga begitu. Tetap syukuri, ya! Apapun itu, karena Papa pernah mengatakan padaku tentang kata 'mudah' tapi sebenarnya sulit. Jadi lakukan semampumu, jangan paksakan apa yang kamu tidak bisa.
Untuk saat ini, aku masih melakukan apa yang aku suka, bukan berarti aku melupakan apa yang membuatku bahagia sebelumnya. Hanya mencoba, setidaknya itu mempermudah untuk tidak jatuh ke dalam lubang yang sama, hanya untuk melawan apa yang seharusnya tidak perlu dilakukan hanya dengan tenaga.
"Andra, lepasin, Bubun kapan selesai masak kalau kamu masih peluk begini." Aku tersentak, hampir saja aku melupakan niatku, aku pun melepaskan tanganku dari pinggang Bubun yang ramping meski sudah memiliki tiga orang anak. Bubun tersenyum, tak lupa wajahku selalu diusapnya karena memang Bubun begitu khawatir setiap kali melihatku.
"Jangan buat Bubun khawatir lagi," lembut suara Bubun terkadang membuatku ingin terus memeluknya. Padahal aku sudah besar, tapi aku tidak bisa jauh dari Bubun.
Aku cukup tahu diri untuk tidak merepotkan semua orang, tapi ragaku seolah tak mengizinkan untuk menjauh terlalu lama. Seperti saat aku bersama dengan Akmal. Sahabat terbaik yang aku punya. Dia selalu meyakinkanku akan banyak hal. Kalau semua orang berhak memilih hidup dan tujuannya. Tergantung bagaimana dia bisa membawa semua itu dengan baik. Pasti akan diberi kemudahan terus menerus.
Aku percaya, karena aku yakin semua hal pasti bisa dilewati dengan baik.
Mungkin kalian akan mengatakan kalau aku adalah orang yang menyebalkan. Kalian tidak salah, aku memang menyebalkan, itu tuding yang selalu dilontarkan oleh Bang Ravi, laki-laki tertua kedua setelah Papa. Kalian tidak perlu mengatakan kalau aku hanya seorang anak bungsu yang suka menghamburkan uang. Aku hanya ingin menjelaskan pada kalian sedikit tentang bagaimana hidup sederhana meski aku terlahir dalam keluarga berada. Banyak hal yang aku lakukan untuk merencanakan semuanya. Aku ingin ini dan itu, tapi sekali lagi, ada sebuah batasan yang tidak seharusnya aku lakukan, termasuk beberapa larangan yang dulu pernah membuat keluargaku cemas, terlebih pada Bubun yang begitu murung saat melihatku berbaring di rumah sakit. Itu dulu... saat ini aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku memang sempat mengalami cidera cukup serius untuk memulihkannya juga butuh waktu yang lama. Cukup lama, sa
Titik di mana aku harus berakhir dengan segala rasa sakit adalah saat aku pernah tergeletak dengan darah yang mengalir bebas keluar dari hidungku. Semua anggota keluargaku ada di sana, seharusnya untuk melihat bagaimana penampilanku, tapi itu sebaliknya. Saat itu aku dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras ada keretakan pada tulang bagian belakangku. Mungkin itu terlihat kecil, tapi percayalah, selama dua bulan lamanya aku duduk di kursi roda hanya untuk pemulihan.Tubuhku terasa begitu kaku, tapi aku tidak bisa menolak dan harus lebih banyak beristirahat. Sejak kejadian yang pernah menimpaku kala itu, Bubun dan Papa melarang keras agar aku tidak ikut dalam pertandingan apapun. Bukankah aku pernah katakan kalau kalian lupa, aku akan mengingatkannya sampai kalian ingat semuanya tentangku, tentang keras kepalaku yang terkadang sulit untuk dikendalikan.Aku tidak akan banyak membahas tentang apa itu seni Taekwon
"Lakukan sekali lagi!""Itu belum benar, lakukan lagi!"Hei, aku sudah katakan setelah ini tubuhku pasti akan pegal-pegal. Tapi pelatih masih saja memintaku untuk melakukannya berulang kali.Jika saja bukan karena seleksi, mungkin aku akan pulang lebih awal, setelah kejadian di kampus membuat kepalaku benar-benar pusing. Belum lagi aku sempat bertemu dengan Erika , mantan pacar yang cantik tapi sayang, jiwanya lemah.Kalian akan menganggap aku lelaki tak tahu diri, dan aku tak peduli akan hal itu. Jika saja dia bisa mengambil keputusan yang tepat, mungkin hari ini yang duduk bersamaku bukan Akmal. Tapi, kenyataannya, Akmal yang memang selalu bisa kuandalkan. Akmal seperti orang suruhan Papa, kapanpun dan di manapun dia selalu ada meski sesekali aku ingin sendiri, tetap saja Akmal akan ada di sana bersamaku.
5. Lompat Tali, Nih?Aku belum selesai untuk memaki Akmal dan Julian padahal. Bahkan, ketika aku akan buka suara, suara Bang Ravi jauh lebih dulu menyapa dan menghancurkan semua rencana manisku. Sungguh menyebalkan sekali rasanya. Dengan begitu santai dia melemparkan handuk kecil yang sudah basah ke arahku. Untung saja aku mahir menangkap benda dengan cepat, kalau tidak, mungkin wajah tampanku akan ternodai dengan keringat busuk yang menempel di kulitku yang cerah.Sini aku beritahu kalian tentang Bang Ravi, yang begitu luar biasa pesonanya tidak main-main. Kalau kalian pikir aku akan marah, itu sudah pasti! Aku akan marah padanya, tapi bukan di sini. Saat ini aku hanya perlu membuatnya jengkel, lagi pula salahnya sendiri yang megibarkan bendera perang padaku. Kalau aku bukan anak Papa, mungkin aku sudah dihajar olehnya saat ini. Tapi keberuntungan masih memihak padaku. Karena aku terlahir sebagai keturuan Papa, Abang mana mungkin berani menganiaya anak sem
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah makan malam, karena aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar aku bisa bangun di pagi hari, karena ada matakuliah penting yang tidak boleh terlambat.Namun, seingatku semalam, aku mendengar Papa membentak Abang sampai Bubun tersentak, padahal Bubun ada di sana. Aku mendengar Papa mengatakan ketidak sukaannya atas keputusan Abang.Entah apa yang dibahas semalam, pagi ini, tatap dingin Papa benar-benar menakutkan. Belum lagi, ketika aku datang Papa justru memalingkan wajahnya, berlalu meninggalkan meja makan dengan alasan takut terlambat.Aku yakin kalau semalam Abang dan Papa berdebat lagi, setelah hampir dua bulan terakhir aku tidak mendengar mereka berdebat.Papa dan Abang memiliki kadar kegengsian jauh lebih tinggi dari aku dan Kak Adena. Entah bagaimana bisa, kadar itu menurut seratus persen pada Bang Ravi, karena setahuku, Bang Ravi kalau sudah meminta satu hal, pasti akan sulit
loved you, I loved you, I loved youBut that was thenBut that was then"Maria bukan Meri, jangan salah ya, kamu yang mulai bukan aku Kala.""Lo yang bodoh, lo nyalahin semuanya ke Gue? Gila lo ya!""Hei, gurun pasir yang tandus juga tahu, kalau kamu emang bersalah, gak usah bela diri gitu.""Hah?! Cewek kayak LO ITU CUMA SAMPAH! BUAT APA DI PERTAHANIN?". . .Hai, selamat datang di dalam jamuan makan malam hari ini, sepenggal yang kalian baca di atas adalah rumah di mana nanti akan aku sampaikan sedikit. Tidak, aku orang yang baik hati kok. Bahkan kita belum kenalan. Bagaimana jika kita berkenalan terlebih dulu? Baiklah, mari berkenalan sebentar, kalau begitu.Kalandra? Ya. Orang memanggilku dengan nama itu. Nama yang begitu sempurna yang orang tuaku berikan ketika aku baru saja lahir ke muka bumi. Aku Kalandra Rezvan Akbar Putra terlalu panja
Aku tidak tahu apa yang terjadi setelah makan malam, karena aku memutuskan untuk tidur lebih awal agar aku bisa bangun di pagi hari, karena ada matakuliah penting yang tidak boleh terlambat.Namun, seingatku semalam, aku mendengar Papa membentak Abang sampai Bubun tersentak, padahal Bubun ada di sana. Aku mendengar Papa mengatakan ketidak sukaannya atas keputusan Abang.Entah apa yang dibahas semalam, pagi ini, tatap dingin Papa benar-benar menakutkan. Belum lagi, ketika aku datang Papa justru memalingkan wajahnya, berlalu meninggalkan meja makan dengan alasan takut terlambat.Aku yakin kalau semalam Abang dan Papa berdebat lagi, setelah hampir dua bulan terakhir aku tidak mendengar mereka berdebat.Papa dan Abang memiliki kadar kegengsian jauh lebih tinggi dari aku dan Kak Adena. Entah bagaimana bisa, kadar itu menurut seratus persen pada Bang Ravi, karena setahuku, Bang Ravi kalau sudah meminta satu hal, pasti akan sulit
5. Lompat Tali, Nih?Aku belum selesai untuk memaki Akmal dan Julian padahal. Bahkan, ketika aku akan buka suara, suara Bang Ravi jauh lebih dulu menyapa dan menghancurkan semua rencana manisku. Sungguh menyebalkan sekali rasanya. Dengan begitu santai dia melemparkan handuk kecil yang sudah basah ke arahku. Untung saja aku mahir menangkap benda dengan cepat, kalau tidak, mungkin wajah tampanku akan ternodai dengan keringat busuk yang menempel di kulitku yang cerah.Sini aku beritahu kalian tentang Bang Ravi, yang begitu luar biasa pesonanya tidak main-main. Kalau kalian pikir aku akan marah, itu sudah pasti! Aku akan marah padanya, tapi bukan di sini. Saat ini aku hanya perlu membuatnya jengkel, lagi pula salahnya sendiri yang megibarkan bendera perang padaku. Kalau aku bukan anak Papa, mungkin aku sudah dihajar olehnya saat ini. Tapi keberuntungan masih memihak padaku. Karena aku terlahir sebagai keturuan Papa, Abang mana mungkin berani menganiaya anak sem
"Lakukan sekali lagi!""Itu belum benar, lakukan lagi!"Hei, aku sudah katakan setelah ini tubuhku pasti akan pegal-pegal. Tapi pelatih masih saja memintaku untuk melakukannya berulang kali.Jika saja bukan karena seleksi, mungkin aku akan pulang lebih awal, setelah kejadian di kampus membuat kepalaku benar-benar pusing. Belum lagi aku sempat bertemu dengan Erika , mantan pacar yang cantik tapi sayang, jiwanya lemah.Kalian akan menganggap aku lelaki tak tahu diri, dan aku tak peduli akan hal itu. Jika saja dia bisa mengambil keputusan yang tepat, mungkin hari ini yang duduk bersamaku bukan Akmal. Tapi, kenyataannya, Akmal yang memang selalu bisa kuandalkan. Akmal seperti orang suruhan Papa, kapanpun dan di manapun dia selalu ada meski sesekali aku ingin sendiri, tetap saja Akmal akan ada di sana bersamaku.
Titik di mana aku harus berakhir dengan segala rasa sakit adalah saat aku pernah tergeletak dengan darah yang mengalir bebas keluar dari hidungku. Semua anggota keluargaku ada di sana, seharusnya untuk melihat bagaimana penampilanku, tapi itu sebaliknya. Saat itu aku dilarikan ke rumah sakit akibat benturan keras ada keretakan pada tulang bagian belakangku. Mungkin itu terlihat kecil, tapi percayalah, selama dua bulan lamanya aku duduk di kursi roda hanya untuk pemulihan.Tubuhku terasa begitu kaku, tapi aku tidak bisa menolak dan harus lebih banyak beristirahat. Sejak kejadian yang pernah menimpaku kala itu, Bubun dan Papa melarang keras agar aku tidak ikut dalam pertandingan apapun. Bukankah aku pernah katakan kalau kalian lupa, aku akan mengingatkannya sampai kalian ingat semuanya tentangku, tentang keras kepalaku yang terkadang sulit untuk dikendalikan.Aku tidak akan banyak membahas tentang apa itu seni Taekwon
Mungkin kalian akan mengatakan kalau aku adalah orang yang menyebalkan. Kalian tidak salah, aku memang menyebalkan, itu tuding yang selalu dilontarkan oleh Bang Ravi, laki-laki tertua kedua setelah Papa. Kalian tidak perlu mengatakan kalau aku hanya seorang anak bungsu yang suka menghamburkan uang. Aku hanya ingin menjelaskan pada kalian sedikit tentang bagaimana hidup sederhana meski aku terlahir dalam keluarga berada. Banyak hal yang aku lakukan untuk merencanakan semuanya. Aku ingin ini dan itu, tapi sekali lagi, ada sebuah batasan yang tidak seharusnya aku lakukan, termasuk beberapa larangan yang dulu pernah membuat keluargaku cemas, terlebih pada Bubun yang begitu murung saat melihatku berbaring di rumah sakit. Itu dulu... saat ini aku jauh lebih baik dari sebelumnya. Aku memang sempat mengalami cidera cukup serius untuk memulihkannya juga butuh waktu yang lama. Cukup lama, sa
Kalian tahu apa yang indah dari sebuah kunci? Bukan karena bentuknya, tapi ada sebuah rahasia yang sulit kalian temukan di dalamnya. Katanya, kalau kunci itu memiliki makna tersembunyi, kalian sudah tahu itu? Aku rasa kalian belum tahu. Tentu, karena di sini aku yang akan mengajaknya untuk menyelam ke rumahku. Rumah di mana tempat semua orang kembali, tempat semua orang berlindung, dan tempat semua orang melepas lelah di saat semua tak lagi ada.Katanya kita memiliki banyak jalan sebelum memilih jalan yang tepat untuk tempat yang tepat. Kamu akan melakukan apa yang kamu mau untuk memilih jalan itu. Sama seperti aku, ketika aku memilih seni bela diri Taekwondo sebagai rumah untukku bertahan, berlindung, dan kembali pada kenyataan untuk tidak berhenti sebelum meraih. Mencoba untuk tidak menyerah meski lawannya berat.Aku tidak akan sendirian untuk melakukan apa yang aku mau hanya karena aku seorang yang bertindak sesuka hati, katanya seperti
loved you, I loved you, I loved youBut that was thenBut that was then"Maria bukan Meri, jangan salah ya, kamu yang mulai bukan aku Kala.""Lo yang bodoh, lo nyalahin semuanya ke Gue? Gila lo ya!""Hei, gurun pasir yang tandus juga tahu, kalau kamu emang bersalah, gak usah bela diri gitu.""Hah?! Cewek kayak LO ITU CUMA SAMPAH! BUAT APA DI PERTAHANIN?". . .Hai, selamat datang di dalam jamuan makan malam hari ini, sepenggal yang kalian baca di atas adalah rumah di mana nanti akan aku sampaikan sedikit. Tidak, aku orang yang baik hati kok. Bahkan kita belum kenalan. Bagaimana jika kita berkenalan terlebih dulu? Baiklah, mari berkenalan sebentar, kalau begitu.Kalandra? Ya. Orang memanggilku dengan nama itu. Nama yang begitu sempurna yang orang tuaku berikan ketika aku baru saja lahir ke muka bumi. Aku Kalandra Rezvan Akbar Putra terlalu panja