Arini menarik dan mengembuskan napas perlahan, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak. Dia tidak terima Brandon dihina oleh Sheila seperti itu. Apa haknya berkomentar kalau pria itu tidak cocok dengannya? Sampai mengatakan ia dipelet segala.Wanita berambut panjang itu berusaha mengendalikan diri. Tidak boleh terjadi keributan di sini, apalagi bisa memengaruhi perjodohan. Bahaya jika Sheila mengadu kepada ayahnya dan bercerita tentang Arini.Ketika ingin merespons perkataan Sheila, Arini melongo melihatnya memasuki flat tanpa permisi. Embusan napas keras terdengar jelas dari sela hidung mancung nan ramping miliknya.“Gue bilang juga apa,” bisik Brandon pelan di telinga Arini.Tatapan mata cokelat lebar Arini tampak tajam ke tempat Sheila berdiri. Dia mengamati wanita itu sedang memantau kondisi bagian dalam flat dengan gaya angkuh. Dagu selalu naik ke atas dengan dada dibusungkan ke depan.Brandon yang menyadari Ade masih berdiri di depan pintu langsung memintanya masuk. P
Wajah Brandon menegang ketika melihat ke arah pintu. Tak hanya pria itu, tapi Sheila juga terkejut bukan main. Kenapa orang itu datang di saat yang tidak tepat? Apa yang diinginkannya?“Tante Ayu, Bran!” seru Sheila terlonjak berdiri, “suratnya umpetin!”Brandon malah melongo di sela napas yang terpacu keluar dari sela mulut dan hidung bersamaan. Amarah langsung memuncak saat mengenali wanita yang berdiri di depan Arini. Ah, tidak. Sekarang wanita itu memasuki flat tanpa izin.Sheila yang panik luar biasa langsung merampas kertas yang ada di tangan Brandon, lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam tas.“Sheila? Kamu ngapain di sini?” sapa Ayu setelah melihat Sheila berdiri gugup.Sementara Arini hanya menunjukkan raut bingung mengamati interaksi Sheila dan wanita yang baru saja dilihatnya hari ini. Kening berkerut ketika coba menganalisa siapa dia? Kenapa wanita ini bisa kenal dengan Sheila dan Brandon?“Aku ketemu sama calon suami dong, Tante,” sahut Sheila berbohong dengan menyunggi
Tekad Arini sudah bulat. Dia telah mengambil keputusan resign dari perusahaan outsourcing dan bekerja untuk Lisa di The Harun’s Group. Bukan gaji dan jabatan yang diinginkan, melainkan membantu wanita paruh baya itu dengan ikhlas. Sudah bukan rahasia lagi, jika ia menyayangi Lisa seperti orang tua kandung sendiri.“Lo yakin?” tanya Brandon setelah Arini mengutarakan niat kemarin sore.“Setelah bertemu Ayu tadi, gue semakin yakin.”Arini menyayangi Farzan, tapi tidak dengan Ayu. Sikap pongah yang ditunjukkan istri kedua Sandy, membuat darah di dalam tubuh mendidih. Dia tidak akan membiarkan wanita itu menguasa harta jerih payah Lisa yang seharusnya untuk Brandon.Selang dua jam setelah itu, Lisa juga menelepon dan menanyakan hasil pertemuan Brandon dengan Sheila. Wanita paruh baya itu merasa lega mendengar penjelasan dari putranya.“Kalau begitu kamu tidak perlu khawatir, Rin. Percaya sama Tante dan Brandon. Kasih kami waktu dalam dua tahun untuk selesaikan semuanya.” Lisa mendesah ber
Mata Arini terpejam ketika menarik napas besar. Rahangnya terkatup rapat, sehingga mempertegas pinggir wajah hingga dagu. Dia menoleh ke belakang memanggil Brandon.“Bran. Sini!” panggilnya mengeraskan suara, meski tidak perlu. Brandon hanya berdiri dua meter di belakangnya, sehingga masih bisa mendengar jika dipanggil dengan suara pelan.“Ada orang gila ngaku-ngaku lo kasih nomor flat, biar bisa ulang sejarah ranjang kalian. Gimana tanggapan lo?” sambung Arini seraya melipat kedua tangan di depan dada.“Berarti tingkat kegilaannya udah parah, In,” sahut Brandon tahu Arini tidak bisa dikibuli oleh Moza dengan mudah.Sekarang giliran Arini tersenyum miring seraya memegang pinggir daun pintu. Tangan kanan naik ke pinggang, begitu juga dengan sebelah alisnya.“Lo harusnya jadi penghuni RSJ (Rumah Sakit Jiwa) deh, Moz. Lo pikir gue percaya?” tutur Arini masih berusaha menahan darah agar tidak naik ke puncak kepala.Moza memutar bola mata ketika berjinjit. “Jangan bohong, Bran. Kamu yang k
BrandonPagi ini suasana hati Brandon terasa berbeda. Begitu ringan, hangat dan nyaman. Apalagi setelah mengetahui Arini jatuh cinta kepadanya. Semula, ia hampir meledek wanita itu karena terlalu sulit mengatakan cinta. Namun, ia sadar kalau ini adalah pertama kali bagi Arini jatuh cinta.Brandon tahu persis berapa pria yang hadir dalam hidup wanita itu. Satu-satunya yang pernah dipacari hanyalah kakak kelas mereka ketika SMA. Itu hanya sebagai pembuktian bahwa Arini adalah gadis normal, tidak seperti yang ditudingkannya. Kemudian, sahabatnya menikah setelah dijodohkan oleh sang ayah tanpa rasa cinta.Tentu saja Brandon merasa pria yang paling beruntung di dunia. Bagaimana tidak? Dia menjadi cinta pertama dan mungkin cinta terakhir Arini. Dan, dia juga yang telah merenggut keperawanan wanita itu. Dia berjanji tidak akan pernah membuatnya menangis dan akan menjaganya sepenuh hati.“Hidup sekali, jatuh cinta sekali walau menikah tidak sekali, Bran,” ucap Arini suatu waktu menirukan kali
Arini duduk persis di samping Brandon. Tubuhnya berdekatan, sehingga bisa merasakan kehangatan pria itu. Perhatian mereka tertuju kepada layar gadget pipih yang ada di tangan Brandon. Tampilan layar berganti dari pencarian tiket pesawat terbang, kemudian hotel. Tentu saja mereka membeli tiket dan voucher hotel di aplikasi TravelAnda.“Mau yang mana?” Brandon menoleh sedikit sambil menggeser ponsel ke depan Arini.Wanita itu meletakkan dagu di bahu Brandon, kemudian menggerakkan ujung jari telunjuk di layarnya. Dia bergumam sebentar dengan pandangan masih fokus melihat pilihan hotel mewah.“Perlu banget ya kita nginap di hotel dekat Twins Tower?” tanya Arini masih menggerakkan jari naik dan turun di layar handphone.Brandon mengangguk. “Biar lebih romantis. Coba lo bayangin deh Twins Tower pas malam. Trus kita lihat dari kaca jendela hotel sambil berpelukan,” jawabnya semangat.Decakan pelan keluar dari sela bibir mungil Arini. “Kebanyakan nonton film romance nih,” ledeknya.“Habis gue
“Gimana? Bagus nggak?”“Make-up gue nggak menor, ‘kan?”“Rambut gue udah oke nggak?”Berbagai pertanyaan diajukan Arini sebelum berangkat ke acara ulang tahun perusahaan hari itu. Dia pulang dulu ke apartemen Brandon, selesai bekerja agar bisa meminta pendapat pria itu mengenai penampilannya. Jatuh cinta ternyata membuat Arini kerap memperhatikan penampilan.“Udah cantik, Iin sayang. Lo nggak pake make-up udah cantik, apalagi kalau nggak pake apa-apa,” komentar Brandon nakal.Tiba-tiba Brandon menjadi khawatir, jika orang-orang melihat kecantikan Arini yang selama ini bersembunyi di balik penampilan tomboinya. Bagaimana jika agent pria, terutama Fahmi melihat paras cantik wanita itu? Saingannya pasti akan bertambah.Dengan langkah dan tatapan awas, Brandon turun dari taksi online yang ditumpangi ke gedung acara. Dia menyambut Arini turun, memperlakukannya bagaikan seorang putri yang turun dari kereta kencana. Sikap possessive pria itu terlalu jelas sekarang. Apalagi Arini benar-benar
Ruangan menjadi bising ketika direktur datang bersama dengan Moza. Beberapa di antara karyawan terdengar bergunjing mengenai sosok yang berjalan dengan orang nomor satu di perusahaan outsourcing tersebut. Topik pembicaraan semakin memanas sekarang.“Kayaknya dia deh yang jadi OM Preflight,” duga salah satu agent yang duduk di row belakang.Telinga Arini langsung tegak mendengar perkataan orang tersebut. Dia menoleh ke arah Brandon yang tampak tak acuh dengan kehadiran Moza. Pria itu hanya terkejut ketika melihat mantan pacarnya datang, setelah itu memilih tidak ambil pusing.“Emang Moza lulusan apa ya?” bisik Arini super pelan di telinga Brandon.Brandon hanya mengangkat bahu singkat. Dulu Moza mengaku sedang mengambil kuliah malam selama berpacaran dengannya. Namun, setelah fakta pekerjaan wanita itu terungkap, ia tahu kalau apa yang dikatakannya hanyalah dusta.“Udahlah. Biarin aja.” Brandon mendekatkan bibir ke telinga Arini. “Keluar yuk! Cari angin, sekalian mesra-mesra.”Arini be
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan