Mata Arini terpejam ketika menarik napas besar. Rahangnya terkatup rapat, sehingga mempertegas pinggir wajah hingga dagu. Dia menoleh ke belakang memanggil Brandon.“Bran. Sini!” panggilnya mengeraskan suara, meski tidak perlu. Brandon hanya berdiri dua meter di belakangnya, sehingga masih bisa mendengar jika dipanggil dengan suara pelan.“Ada orang gila ngaku-ngaku lo kasih nomor flat, biar bisa ulang sejarah ranjang kalian. Gimana tanggapan lo?” sambung Arini seraya melipat kedua tangan di depan dada.“Berarti tingkat kegilaannya udah parah, In,” sahut Brandon tahu Arini tidak bisa dikibuli oleh Moza dengan mudah.Sekarang giliran Arini tersenyum miring seraya memegang pinggir daun pintu. Tangan kanan naik ke pinggang, begitu juga dengan sebelah alisnya.“Lo harusnya jadi penghuni RSJ (Rumah Sakit Jiwa) deh, Moz. Lo pikir gue percaya?” tutur Arini masih berusaha menahan darah agar tidak naik ke puncak kepala.Moza memutar bola mata ketika berjinjit. “Jangan bohong, Bran. Kamu yang k
BrandonPagi ini suasana hati Brandon terasa berbeda. Begitu ringan, hangat dan nyaman. Apalagi setelah mengetahui Arini jatuh cinta kepadanya. Semula, ia hampir meledek wanita itu karena terlalu sulit mengatakan cinta. Namun, ia sadar kalau ini adalah pertama kali bagi Arini jatuh cinta.Brandon tahu persis berapa pria yang hadir dalam hidup wanita itu. Satu-satunya yang pernah dipacari hanyalah kakak kelas mereka ketika SMA. Itu hanya sebagai pembuktian bahwa Arini adalah gadis normal, tidak seperti yang ditudingkannya. Kemudian, sahabatnya menikah setelah dijodohkan oleh sang ayah tanpa rasa cinta.Tentu saja Brandon merasa pria yang paling beruntung di dunia. Bagaimana tidak? Dia menjadi cinta pertama dan mungkin cinta terakhir Arini. Dan, dia juga yang telah merenggut keperawanan wanita itu. Dia berjanji tidak akan pernah membuatnya menangis dan akan menjaganya sepenuh hati.“Hidup sekali, jatuh cinta sekali walau menikah tidak sekali, Bran,” ucap Arini suatu waktu menirukan kali
Arini duduk persis di samping Brandon. Tubuhnya berdekatan, sehingga bisa merasakan kehangatan pria itu. Perhatian mereka tertuju kepada layar gadget pipih yang ada di tangan Brandon. Tampilan layar berganti dari pencarian tiket pesawat terbang, kemudian hotel. Tentu saja mereka membeli tiket dan voucher hotel di aplikasi TravelAnda.“Mau yang mana?” Brandon menoleh sedikit sambil menggeser ponsel ke depan Arini.Wanita itu meletakkan dagu di bahu Brandon, kemudian menggerakkan ujung jari telunjuk di layarnya. Dia bergumam sebentar dengan pandangan masih fokus melihat pilihan hotel mewah.“Perlu banget ya kita nginap di hotel dekat Twins Tower?” tanya Arini masih menggerakkan jari naik dan turun di layar handphone.Brandon mengangguk. “Biar lebih romantis. Coba lo bayangin deh Twins Tower pas malam. Trus kita lihat dari kaca jendela hotel sambil berpelukan,” jawabnya semangat.Decakan pelan keluar dari sela bibir mungil Arini. “Kebanyakan nonton film romance nih,” ledeknya.“Habis gue
“Gimana? Bagus nggak?”“Make-up gue nggak menor, ‘kan?”“Rambut gue udah oke nggak?”Berbagai pertanyaan diajukan Arini sebelum berangkat ke acara ulang tahun perusahaan hari itu. Dia pulang dulu ke apartemen Brandon, selesai bekerja agar bisa meminta pendapat pria itu mengenai penampilannya. Jatuh cinta ternyata membuat Arini kerap memperhatikan penampilan.“Udah cantik, Iin sayang. Lo nggak pake make-up udah cantik, apalagi kalau nggak pake apa-apa,” komentar Brandon nakal.Tiba-tiba Brandon menjadi khawatir, jika orang-orang melihat kecantikan Arini yang selama ini bersembunyi di balik penampilan tomboinya. Bagaimana jika agent pria, terutama Fahmi melihat paras cantik wanita itu? Saingannya pasti akan bertambah.Dengan langkah dan tatapan awas, Brandon turun dari taksi online yang ditumpangi ke gedung acara. Dia menyambut Arini turun, memperlakukannya bagaikan seorang putri yang turun dari kereta kencana. Sikap possessive pria itu terlalu jelas sekarang. Apalagi Arini benar-benar
Ruangan menjadi bising ketika direktur datang bersama dengan Moza. Beberapa di antara karyawan terdengar bergunjing mengenai sosok yang berjalan dengan orang nomor satu di perusahaan outsourcing tersebut. Topik pembicaraan semakin memanas sekarang.“Kayaknya dia deh yang jadi OM Preflight,” duga salah satu agent yang duduk di row belakang.Telinga Arini langsung tegak mendengar perkataan orang tersebut. Dia menoleh ke arah Brandon yang tampak tak acuh dengan kehadiran Moza. Pria itu hanya terkejut ketika melihat mantan pacarnya datang, setelah itu memilih tidak ambil pusing.“Emang Moza lulusan apa ya?” bisik Arini super pelan di telinga Brandon.Brandon hanya mengangkat bahu singkat. Dulu Moza mengaku sedang mengambil kuliah malam selama berpacaran dengannya. Namun, setelah fakta pekerjaan wanita itu terungkap, ia tahu kalau apa yang dikatakannya hanyalah dusta.“Udahlah. Biarin aja.” Brandon mendekatkan bibir ke telinga Arini. “Keluar yuk! Cari angin, sekalian mesra-mesra.”Arini be
“Baju tidur, check. Baju jalan-jalan tiga hari, check. Odol, sampo, sikat gigi dan sabun, check.” Arini memperhatikan dan mencentang list keperluan selama tiga hari di Kuala Lumpur. Dia ingin memastikan tidak ada yang terlupakan.“Udah lengkap semuanya, In. Tadi malam lo udah periksa semua loh,” kata Brandon memeluk Arini dari belakang. Dia melingkarkan tangan di depan perut yang ramping itu.Perhatian Arini teralihkan ke arah perut yang dipegang Brandon. Jantung tiba-tiba berdebar mengingat sampai hari ini, ia masih belum datang bulan. Bagaimana jika dugaannya benar? Apakah ia harus pergi lagi dari kehidupan Brandon, agar pria itu tidak membatalkan rencana perjodohan tersebut?Arini sudah bisa memprediksi apa yang akan dilakukan Brandon, andai dirinya benar-benar hamil. Pria itu pasti membatalkan perjodohan dan menikah dengannya. Kepala yang dihiasi rambut panjang itu menggeleng tegas, nyaris menabrak kepala yang ada di sampingnya.Gue nggak boleh hamil! Apa kata Mama, Papa dan Tante
Keinginan untuk membuka kotak misterius yang diberikan Lisa, terpaksa diurungkan. Brandon memutuskan beristirahat, setelah memasukkan kotak itu ke dalam lemari hotel. Sebisa mungkin ia harus menahan diri untuk tidak membukanya, karena rasa penasaran yang masih mendera.Tepat dua puluh menit sebelum waktu makan malam, Brandon sudah tiba di kamar Arini. Wajahnya tampak lesu ketika melihat perempuan itu masih belum mengenakan gaun yang khusus diberikan untuk malam istimewa ini.“Kok nggak pakai gaun yang gue kasih?” tanya Brandon tidak bisa menutupi raut kecewa.Arini mendesah pelan. “Kita cuma makan malam dan pergi ke Petronas Twins Tower, Bran. Buat apa pakai gaun segala?”Sebelumnya, Arini kebingungan ketika membuka dua kotak yang diberikan Brandon beberapa jam lalu. Kenapa pria itu membelikan gaun dan sepatu bermerk kepadanya? Terutama sekali, sudah berapa rupiah yang ia rogoh membeli itu semua?Brandon mendekat, kemudian meraih pinggang Arini ke depan. “Lo nggak lihat gue pakai apa
Bibir Arini perlahan tertarik ke samping. Kepalanya mengangguk cepat seiringan dengan senyum yang melebar.“Gue mau jadi istri lo, Bran. Gue mau nikah sama lo.” Kalimat itu keluar dari sela bibir dengan mata berkaca-kaca.Brandon langsung berdiri, kemudian memasangkan kalung berliontin matahari tersebut di leher Arini. Tampak begitu cantik dan indah di leher jenjangnya. Kelegaan jelas terpancar di paras pria itu mendengar jawaban Arini.“I love you, In. Makasih udah mau jadi istri gue,” ucapnya menarik tubuh ramping itu dan menghujani wajah tirus tersebut dengan kecupan.Waktu makan malam sebentar lagi. Mereka harus turun ke restoran sekarang. Kedua sejoli itu saling bergandengan tangan melewati tahap demi tahap menuju tempat makan malam dengan wajah dihiasi senyum.Brandon menutup mata Arini ketika memasuki restoran hotel. Langkah kaki melangkah pelan menuju meja yang telah dipesan khusus untuk makan malam. Perlahan tangannya turun, sehingga netra cokelat lebar itu mengerjap.“Bran?”
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan