BrandonSenyum merekah di paras tampan Brandon ketika mengenakan pomade. Jari-jarinya terus bergerak menata rambut model layered undercut yang menjadi ciri khas sejak kuliah. Dalam waktu singkat tidak ada lagi rambut yang menutup kening. Helaiannya telah berbaris rapi.Brandon mematut kemeja chambray biru muda yang dikenakan. Setelahnya memastikan kemeja itu masuk dengan rapi di celana chino berwarna navy. Gayanya casual, tapi memancarkan pesona yang dimiliki. Kesan Cassanova masih tampak jelas di sana.Ini adalah kencan pertamanya dengan Arini. Brandon ingin semua berbeda dari hang-out yang pernah mereka lalui sejak bersahabat sebelas tahun lalu. Jika sebelumnya mereka hanya pergi makan-makan, lalu menonton film. Maka malam ini, ia ingin memberikan kesan romantis. Candle light dinner akan menjadi pilihan pertama, setelah itu dilanjutkan dengan menonton film di kelas velvet yang lebih private.“Oke. Waktunya pergi,” serunya senang.Brandon segera meraih jaket kulit yang sering dikenak
Brandon masih terpesona melihat penampilan baru Arini yang benar-benar memukau. Kulit kuning langsat nan mulus terekspos begitu saja, karena gaun itu tanpa lengan. Ingin sekali rasanya menyeret wanita itu pulang dan bercinta sepanjang malam di apartemen. Namun, Lisa sudah memesan tempat di restoran mewah dengan pemandangan yang luar biasa.Arini malah terkesima menyaksikan pemandangan luar restoran. Kerlap-kerlip lampu gedung berbaur dengan kendaraan, ditambah dengan penerangan jalan raya yang memperindah penampakan di luar sana. Lisa penuh kejutan, karena telah mempersiapkan meja yang berada di sudut restoran dengan latar pemandangan sebagian kecil kota Jakarta Pusat.“In,” panggil Brandon meraih jemari Arini yang terkulai di atas meja.“Hmmm?” Arini mengalihkan perhatian kepada Brandon yang tak kalah tampan malam ini.“Cantik,” pujinya meski kata cantik masih belum cukup mewakili paras wanita itu.Perut Arini terasa melilit saat melihat cara pria itu memandangnya. Baru sekarang Bran
BrandonKeesokan pagi, Brandon beringsut perlahan ke posisi duduk saat Arini masih berkelana di alam mimpi. Tangannya bergerak meraih ponsel Arini yang ada di atas nakas. Setelah mendapatkan telepon dari Desta tadi malam, ia langsung menonaktifkan gadget tersebut dan menyuruh wanita itu tidur.Brandon menyalakan handphone tersebut dan mengganti mode menjadi sunyi. Dia membuka layar ponsel, lalu memasukkan nomor pin. Jangan ditanya lagi bagaimana ia tahu pin gadget tersebut. Tidak ada rahasia di antara dirinya dan Arini, termasuk mengetahui pin ponsel dan ATM masing-masing.Sesuai dugaan, Desta mengirimkan pesan melalui aplikasi chat Whatsapp. Mata Brandon berubah tajam ketika membaca isi pesan tersebut.+6281374xxxxx: Abang mau ketemu sama kamu, Rin. Ada yang mau abang bicarakan.Tawa singkat meluncur di sela bibir Brandon. “Abang,” desisnya super pelan. Sesaat kemudian dia merasa heran kenapa Desta bisa berada di Jakarta?Jari-jari panjang milik Brandon langsung menari mengetikkan ba
Arini“Nanti kalau pulang, langsung kabari biar gue jemput,” kata Brandon setelah Arini turun di depan gerbang masuk gedung.Arini memukul pelan lengannya. “Jemput apaan. Lo hari ini masuk siang kok,” cibirnya menjulurkan lidah.Brandon menarik tangan Arini, sehingga mereka berdekatan. Mata sayu itu menatap bibir mungil yang baru saja menggodanya.“Jangan keluarin lidah lo di tempat umum, kalau nggak mau bikin gue khilaf dan cium lo,” cecar Brandon berusaha menahan diri untuk tidak memagut bibir ranum Arini.Wajah Arini langsung memerah, karena malu telah memancing Brandon di tempat terbuka. Tak lama bola mata cokelatnya berputar malas.“Gue masuk dulu ya,” pamitnya melambaikan tangan kepada Brandon.“Kiss-nya mana?” celetuk Brandon usil.Kelopak mata Arini langsung melebar protes. Wajahnya berkerut-kerut saking kesal dengan perkataan Brandon barusan. Yang dipelototi malah cengengesan, kemudian menurunkan kaca helm sebelum bersiap menarik lagi gas motor.“Cie pagi-pagi dianterin sama
AriniPagi-pagi, Arini sudah sibuk memilih pakaian yang akan dikenakan Brandon yang akan bertemu dengan wanita pilihan Sandy siang ini. Dia mematut lama isi lemari selama beberapa menit, tapi masih belum menemukan yang cocok.“Udahlah, In. Pakai yang biasa aja,” kata Brandon dengan nada lelah.Arini menggeleng pelan. “Lo harus beda, Bran. Pakai kemeja formal kalau bisa.”Pria itu mendesah pelan, kemudian memegang bahu Arini dan memutar balik tubuhnya. “Gue nggak lagi kencan ya. Ingat, gue terpaksa ketemu sama cewek itu,” ujar Brandon menatap serius.“Tapi tetap aja ‘kan, dia jadi calon istri lo.” Tiba-tiba hati Arini terasa sakit saat menyebut kata calon istri. Bayangan akan kehilangan Brandon muncul begitu saja di pikiran.“Calon istri gue hanya lo, In. Nggak ada yang lain.”“Kalian dijodohkan, Bran. Pasti nanti bakalan nikah.”“Lo pengin gue batalin rencana ini kalau ngomong kayak gitu lagi?” Brandon mengancam Arini sungguh-sungguh. “Pertemuan ini nggak ada artinya, In. Perjodohan s
Masih BrandonBrandon dan Sheila saling berbagi tatapan dingin ketika duduk berhadap-hadapan. Dilihat dari atas kepala hingga kaki, tidak ada satu pun dari wanita itu yang menarik perhatiannya. Wajah manis yang terpampang itu hanya karena dihiasi make-up. Brandon bisa memprediksi bagaimana parasnya tanpa make-up.Kulit sawo matang yang terlihat eksotik di tubuh Sheila tidak mampu membuat Brandon menelan ludah, apalagi menghadirkan sengatan listrik. Padahal, wanita itu mengenakan pakaian tanpa lengan yang memperlihatkan kulit mulusnya. Satu hal yang menonjol dari Sheila, yaitu pakaian bermerk yang harganya tidak main-main.“Mau sampai kapan kita dieman kayak gini?” cetus Sheila dengan dagu terangkat ke atas. Gaya gadis kelas atas benar-benar terlihat dari caranya duduk dan bicara.Brandon mengangkat bahu singkat. “Bingung mau bicara apa. Kamu bukan tipeku.”Mata hitam lebar Sheila membesar seketika. “What?”Wanita itu tertawa keras seraya mengibaskan rambut pendek ke belakang. Dia mena
Brandon memandang wajah Arini dengan saksama. Tergambar kecemburuan luar biasa, walau seberapa keras wanita itu menyembunyikannya. Senyum penuh makna terbit di paras tampannya.“Iya, ‘kan? Dugaan gue benar, ‘kan?” Arini menurunkan tangan dengan lesu dari tengkuk Brandon. Dia melangkah gontai menuju sofa, kemudian mengambil sling bag dan tas ransel berisi pakaian.“Mau ke mana?” tanya Brandon bingung.“Balik ke kosan. Udah kelar semua, Bran. Gue nggak dibutuhkan lagi,” ujarnya berusaha menegakkan lagi tubuh yang sempat lemas.Membayangkan Brandon akan menikah dan bercinta dengan perempuan itu, benar-benar membuat Arini gila. Lebih baik dia segera pergi dari sana dan menenangkan diri. Sementara pria itu masih mempelajari gerak-gerik Arini. Ah, lebih tepatnya menikmati kecemburuan yang sangat langka.Selama kenal, Arini cuek dan tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti ini. Entah kenapa Brandon suka melihatnya begini. Tampak lebih menggemaskan, dan membuatnya ingin menarik wanita itu se
Arini uring-uringan setelah Brandon mendapatkan telepon dari Sheila. Bagaimana tidak? Wanita itu ingin bertemu, agar bisa membahas permasalahan yang mereka hadapi. Harus ada jalan keluar dari masalah ini.“Pokoknya kita harus ketemu hari ini juga. Gue nggak mau tunda-tunda lagi!” Begitulah yang diucapkan Sheila ketika menelepon Brandon.Alhasil Arini panik luar biasa, karena tidak memiliki pakaian yang pantas untuk dikenakan bertemu dengan Sheila. Ingin sekali rasanya mangkir dari pertemuan itu, tapi ia diminta turut serta dalam diskusi. Sheila seperti ingin memastikan dengan mata kepala sendiri, apakah benar Brandon punya pacar atau tidak. Dia tidak ingin mengambil risiko jika pria itu hanya berpura-pura memiliki kekasih, padahal masih jomlo.“Gaun gue ada di kosan, Bran.”“Udah pakai baju ini aja. Udah cantik kok.”“Nggak mau ah! Kalah gaya dong. Gue nggak mau malu-maluin lo.”“Ya udah kalau gitu gue temenin lo ke kosan jemput gaunnya sekarang. Masih ada waktu tiga jam untuk siap-si
LISAAku menatap nanar sesosok tubuh yang kini terbaring lemah di tempat tidur ruangan ICU. Pria yang menjadi cinta dalam hidup dan ayah dari putraku tak sadarkan diri dua minggu belakangan. Mas Sandy pingsan setelah Bran menyerahkan bukti penggelapan dana yang melibatkan istri mudanya, Ayu.Kalian benar, selama enam tahun belakangan diri ini dimadu olehnya. Aku tak pernah mendunga sebelumnya Mas Sandy akan mengkhianati cinta kami dengan menikahi wanita lain yang usianya jauh lebih muda dariku, apalagi seusia dengan putra kami, Brandon.Jangan ditanya lagi betapa hancur hati ini saat tahu dia menikah lagi, tapi ternyata itu tak mampu membuatku membencinya. Rumah tangga yang kami bina selama dua puluh lima tahun dengan penuh cinta mampu membuatku memaafkannya. Ya, aku sangat mencintai pria itu.“Maafkan Mas, Lis. Mas sungguh tidak ingin mengkhianati cinta kita, tapi kejadian itu membuatnya hamil. Mas harus bertanggung jawab,” ucap Mas Sandy ketika aku tahu pengkhianatannya.Ayu, maduku
Beberapa bulan kemudianEnam pasang mata melihat sesosok bayi yang sedang tertidur pulas di dalam box yang kini berada di ruang tamu. Keenam orang itu mengelilingi dengan tatapan takjub ke arah Elfarehza, putra pertama Arini dan Brandon.“Aku pengin punya anak juga!” seru Siti sambil bertepuk sekali.“Nikah gih. Udah ada calonnya ini. Tunggu apa lagi?” ledek Edo yang berdiri di sebelah Widya.“Kalian jangan pacaran lama-lama. Buruan nikah,” cetus Arini semangat.Mereka berenam melihat ke arah Arini yang sedang bermain dengan Rezky, putra Moza. Batita itu sangat bahagia bisa bertemu lagi dengannya. Ternyata Arini tipe wanita yang dengan mudah mencuri perhatian anak-anak. Buktinya Rezky dan Farzan langsung lengket dengan perempuan itu.Keenam tamu tersebut mengambil duduk di tempat masing-masing, meninggalkan El—panggilan Elfarehza—yang masih tidur pulas di dalam box.“Bang Edo dan Widya kapan mau nikah?” tanya Arini menyipitkan mata ke arah mereka.Betul sekali, Edo dan Widya menjalin
Memasuki usia kandungan delapan bulan, Arini mulai diserang gangguan tidur. Posisi tidur terasa tidak nyaman membuatnya sebentar miring ke kiri dan sebentar ke kanan. Ketika telentang, ia kesulitan bernapas. Alhasil pagi ini ia masih mengantuk.Keinginan untuk tidur lagi setelah salat Subuh, tidak bisa terwujudkan. Empat jam lagi, ia akan berangkat ke pesta pernikahan Keysa. Artinya, ini adalah kesempatan Arini bertemu dengan produser idola. Siapa lagi jika bukan Raline Rahardian yang merupakan sahabat karib mantan atasannya tersebut.Keysa yang tidak tahu tentang kehamilan Arini malah memintanya menjadi pagar ayu dan mengirimkan kebaya lima hari lalu. Jelas saja kebaya tersebut tidak muat di tubuh Arini yang sudah melar. Belum lagi kandungan yang membesar. Alhasil, ia harus meminta bantuan Georgio untuk membuat ulang gaun yang sama.“Konyol nggak sih pagar ayu lagi hamil?” celetuk Arini merasa aneh saat Keysa kekeh memintanya jadi pagar ayu, meski sudah tahu ia sedang hamil.“Sekali-
Pagi harinya, Arini terbangun dengan perasaan masih belum percaya kalau Brandon benar-benar ada di sampingnya. Pria itu tidur dengan rambut gondrong yang tidak diikat. Ternyata apa yang terjadi tadi malam bukanlah mimpi.Arini juga ingat bagaimana mereka melepas kerinduan tadi malam sampai bercinta di kamar mantan pacar Brandon. Jika diingat-ingat malu juga melakukannya di sana. Namun, tiga bulan sepi yang dilalui tidak mengizinkan mereka menunggu sampai tiba di apartemen.Mereka mengisi malam dengan berbagi cerita, termasuk bagaimana Brandon bisa tahu kalau Arini ada di rumah Moza. Barulah Arini tahu, kalau pria itu pernah melihat postingan Moza dan mendengar suaranya ketika menelepon.“Ibu hamil yang gue lihat di Teras Kota, anak kecil usia tiga tahunan, suara Moza waktu gue telepon lo sampai postingan foto hasil USG di IG Moza. Semuanya tuntun gue sampai temukan tempat lo sembunyi, In,” papar Brandon tadi malam.Selesai mandi, Arini dan Brandon langsung pamitan kepada Moza dan Suke
AriniArini tenggelam dalam pikiran sendiri. Dia masih ingat dengan pertemuan yang tidak disengaja tadi siang. Pria itu pasti Brandon, ia tidak mungkin salah mengenali suaminya sendiri. Meski penampilan orang tersebut berbeda dari biasa, tapi Arini yakin kalau sosok yang dilihat tadi adalah Brandon.Hatinya remuk menyaksikan kebahagiaan yang terpampang nyata. Sheila tersenyum lebar, begitu juga Brandon. Mereka tampak seperti pasangan suami istri yang bahagia dan saling mencintai. Apakah itu berarti Brandon sudah benar-benar melupakannya?“Lo harus pastikan dulu, Rin. Jangan berpikiran macam-macam sebelum semuanya jelas.” Begitu kata Moza beberapa jam lalu.“Gimana kalau mereka beneran jatuh cinta, Moz?”“Ya itu risiko. Lo yang biarkan mereka nikah dengan alasan kasihan sama Tante Lisa. Sekarang hadapi, jangan lari,” tegasnya sambil memegang bahu Arini yang rapuh. “Pilihannya ada dua. Tetap berada di samping Brandon apapun yang terjadi atau lo boleh balik lagi ke sini. Gue dengan senan
BrandonBrandon termenung sepanjang perjalanan kembali ke Jakarta. Entah kenapa, ia terus memikirkan ibu hamil yang dilihat bersama dengan anak kecil tadi. Jelas-jelas itu bukan Arini. Jika benar, siapa anak kecil itu?Dia tahu persis Arini tidak memiliki sanak saudara, apalagi kenalan yang tinggal di daerah itu. Dugaan tersebut langsung dienyahkan Brandon. Mungkin karena sangat merindukan istrinya, sehingga berpikir wanita tadi mirip dengan Arini.Mata sayu itu terpejam ketika kepala bersandar nyaman di kursi belakang kendaraan. Otak Brandon dipaksa berpikir keras di mana istrinya berada. Ke mana lagi ia harus mencari wanita itu? Dia bahkan meminta bantuan detektif swasta untuk mencari, tapi masih belum ada kabar sampai sekarang.Terlalu berisiko jika melaporkan kepada polisi, karena bisa menimbulkan kehebohan di media elektronik dan cetak. Yunus dan Asma akan tahu kalau Arini tidak bersama dengannya sekarang. Asma jelas belum tahu perihal kepergian Arini, karena tidak menghubungi Br
AriniTiga bulan kemudian.Pagi ini Arini terbangun dengan kehampaan di dalam diri. Tidak ada Brandon yang memeluk dan mengucapkan selamat pagi, juga memberi kecupan di kening seperti yang kerap dilakukannya. Brandon, barangkali lelaki itu sudah hidup bahagia dengan Sheila sekarang. Itulah yang ada di pikirannya.Sedetik kemudian Arini menepisnya. Dia percaya kalau Brandon tidak akan menjalankan peran sebagai suami sungguhan untuk Sheila. Ah, tiga bulan lamanya ia pergi meninggalkan sang suami. Mustahil jika pria itu tidak menyalurkan hasrat biologis yang kuat.Tubuh Arini tiba-tiba bergetar membayangkan semuanya. Jari-jarinya bergerak membelai perut yang sudah terlihat. Senyum dipaksa terbit di wajah yang sedikit berisi. Apapun yang terjadi, ia harus bertahan demi anak yang ada di dalam kandungan.“Kamu kangen sama Papi ya, Sayang?” bisiknya tadi pagi, “Mami juga kangen banget. Sabar ya. Nanti kalau udah lahir, kamu bisa ketemu sama Papi.”Begitulah Arini menghibur diri setiap pagi k
AriniSepasang kelopak lebar mulai mengerjap. Perlahan dua manik cokelat mulai terlihat memancarkan kesedihan yang mendalam. Tangan ramping dihiasi kulit kuning langsat itu meraba ke sisi kiri tempat tidur yang kosong. Rasa rindu yang membelit beberapa hari ini sungguh sulit untuk diredam.“Gue kangen sama lo, Bran,” bisik Arini dengan mata berkaca-kaca.Dia mulai melow lagi saat ingat dengan suami tercinta. Apalagi hari ini adalah hari pernikahan Brandon dengan Sheila. Pandangan netranya beralih ke jam dinding yang berada di dinding atas meja rias kamar Moza. Pernikahan itu seharusnya diselenggarakan tiga jam lagi, tepat pukul 10.00.Mata Arini terpejam rapat saat terus berusaha menyabarkan hati dan menerima semua dengan lapang dada. Sementara ia tidak bisa kembali ke sisi Brandon sampai bayi yang dikandung lahir.“Rin.” Terdengar suara Moza diselingi ketukan pintu kamar.“Ya?” sahutnya berusaha bangkit.Kepala kembali berdenyut membuat tubuhnya enggan beranjak ke posisi duduk. Setia
BrandonTiga hari ini Brandon tidak henti mencari keberadaan Arini. Dia menghubungi Siti, Widya dan teman-teman yang lain, tapi tetap saja tidak ada yang tahu di mana wanita itu berada sekarang. Ingin menghubungi Asma di Bukittinggi, tapi diurungkan. Mustahil istrinya pulang ke sana setelah dibuang oleh keluarga sendiri.Rindu yang menggebu bercampur rasa takut membuat batin Brandon tidak tenang. Akhirnya, ia kehilangan lagi wanita yang sangat dicintai.“Lo udah janji nggak akan tinggalin gue, In,” desah Brandon di balik meja kerja.Sejak Arini pergi, semangat untuk bekerja menurun drastis. Gairah hidup seakan direnggut pergi bersama dengan wanita tersebut. Setiap malam ia selalu merindukan sang istri. Ah, lebih tepatnya di setiap aliran darahnya, ia rindu Arini. Detak jantung Brandon pun menyerukan namanya.“Pulang, In,” gumamnya penuh harap.Brandon mengambil ponselnya lagi dan mencoba menghubungi Arini, tapi hasilnya tetap nihil. Nomor sang istri masih belum aktif. Dia mengirimkan