Arini“Nanti kalau pulang, langsung kabari biar gue jemput,” kata Brandon setelah Arini turun di depan gerbang masuk gedung.Arini memukul pelan lengannya. “Jemput apaan. Lo hari ini masuk siang kok,” cibirnya menjulurkan lidah.Brandon menarik tangan Arini, sehingga mereka berdekatan. Mata sayu itu menatap bibir mungil yang baru saja menggodanya.“Jangan keluarin lidah lo di tempat umum, kalau nggak mau bikin gue khilaf dan cium lo,” cecar Brandon berusaha menahan diri untuk tidak memagut bibir ranum Arini.Wajah Arini langsung memerah, karena malu telah memancing Brandon di tempat terbuka. Tak lama bola mata cokelatnya berputar malas.“Gue masuk dulu ya,” pamitnya melambaikan tangan kepada Brandon.“Kiss-nya mana?” celetuk Brandon usil.Kelopak mata Arini langsung melebar protes. Wajahnya berkerut-kerut saking kesal dengan perkataan Brandon barusan. Yang dipelototi malah cengengesan, kemudian menurunkan kaca helm sebelum bersiap menarik lagi gas motor.“Cie pagi-pagi dianterin sama
AriniPagi-pagi, Arini sudah sibuk memilih pakaian yang akan dikenakan Brandon yang akan bertemu dengan wanita pilihan Sandy siang ini. Dia mematut lama isi lemari selama beberapa menit, tapi masih belum menemukan yang cocok.“Udahlah, In. Pakai yang biasa aja,” kata Brandon dengan nada lelah.Arini menggeleng pelan. “Lo harus beda, Bran. Pakai kemeja formal kalau bisa.”Pria itu mendesah pelan, kemudian memegang bahu Arini dan memutar balik tubuhnya. “Gue nggak lagi kencan ya. Ingat, gue terpaksa ketemu sama cewek itu,” ujar Brandon menatap serius.“Tapi tetap aja ‘kan, dia jadi calon istri lo.” Tiba-tiba hati Arini terasa sakit saat menyebut kata calon istri. Bayangan akan kehilangan Brandon muncul begitu saja di pikiran.“Calon istri gue hanya lo, In. Nggak ada yang lain.”“Kalian dijodohkan, Bran. Pasti nanti bakalan nikah.”“Lo pengin gue batalin rencana ini kalau ngomong kayak gitu lagi?” Brandon mengancam Arini sungguh-sungguh. “Pertemuan ini nggak ada artinya, In. Perjodohan s
Masih BrandonBrandon dan Sheila saling berbagi tatapan dingin ketika duduk berhadap-hadapan. Dilihat dari atas kepala hingga kaki, tidak ada satu pun dari wanita itu yang menarik perhatiannya. Wajah manis yang terpampang itu hanya karena dihiasi make-up. Brandon bisa memprediksi bagaimana parasnya tanpa make-up.Kulit sawo matang yang terlihat eksotik di tubuh Sheila tidak mampu membuat Brandon menelan ludah, apalagi menghadirkan sengatan listrik. Padahal, wanita itu mengenakan pakaian tanpa lengan yang memperlihatkan kulit mulusnya. Satu hal yang menonjol dari Sheila, yaitu pakaian bermerk yang harganya tidak main-main.“Mau sampai kapan kita dieman kayak gini?” cetus Sheila dengan dagu terangkat ke atas. Gaya gadis kelas atas benar-benar terlihat dari caranya duduk dan bicara.Brandon mengangkat bahu singkat. “Bingung mau bicara apa. Kamu bukan tipeku.”Mata hitam lebar Sheila membesar seketika. “What?”Wanita itu tertawa keras seraya mengibaskan rambut pendek ke belakang. Dia mena
Brandon memandang wajah Arini dengan saksama. Tergambar kecemburuan luar biasa, walau seberapa keras wanita itu menyembunyikannya. Senyum penuh makna terbit di paras tampannya.“Iya, ‘kan? Dugaan gue benar, ‘kan?” Arini menurunkan tangan dengan lesu dari tengkuk Brandon. Dia melangkah gontai menuju sofa, kemudian mengambil sling bag dan tas ransel berisi pakaian.“Mau ke mana?” tanya Brandon bingung.“Balik ke kosan. Udah kelar semua, Bran. Gue nggak dibutuhkan lagi,” ujarnya berusaha menegakkan lagi tubuh yang sempat lemas.Membayangkan Brandon akan menikah dan bercinta dengan perempuan itu, benar-benar membuat Arini gila. Lebih baik dia segera pergi dari sana dan menenangkan diri. Sementara pria itu masih mempelajari gerak-gerik Arini. Ah, lebih tepatnya menikmati kecemburuan yang sangat langka.Selama kenal, Arini cuek dan tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti ini. Entah kenapa Brandon suka melihatnya begini. Tampak lebih menggemaskan, dan membuatnya ingin menarik wanita itu se
Arini uring-uringan setelah Brandon mendapatkan telepon dari Sheila. Bagaimana tidak? Wanita itu ingin bertemu, agar bisa membahas permasalahan yang mereka hadapi. Harus ada jalan keluar dari masalah ini.“Pokoknya kita harus ketemu hari ini juga. Gue nggak mau tunda-tunda lagi!” Begitulah yang diucapkan Sheila ketika menelepon Brandon.Alhasil Arini panik luar biasa, karena tidak memiliki pakaian yang pantas untuk dikenakan bertemu dengan Sheila. Ingin sekali rasanya mangkir dari pertemuan itu, tapi ia diminta turut serta dalam diskusi. Sheila seperti ingin memastikan dengan mata kepala sendiri, apakah benar Brandon punya pacar atau tidak. Dia tidak ingin mengambil risiko jika pria itu hanya berpura-pura memiliki kekasih, padahal masih jomlo.“Gaun gue ada di kosan, Bran.”“Udah pakai baju ini aja. Udah cantik kok.”“Nggak mau ah! Kalah gaya dong. Gue nggak mau malu-maluin lo.”“Ya udah kalau gitu gue temenin lo ke kosan jemput gaunnya sekarang. Masih ada waktu tiga jam untuk siap-si
Arini menarik dan mengembuskan napas perlahan, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak. Dia tidak terima Brandon dihina oleh Sheila seperti itu. Apa haknya berkomentar kalau pria itu tidak cocok dengannya? Sampai mengatakan ia dipelet segala.Wanita berambut panjang itu berusaha mengendalikan diri. Tidak boleh terjadi keributan di sini, apalagi bisa memengaruhi perjodohan. Bahaya jika Sheila mengadu kepada ayahnya dan bercerita tentang Arini.Ketika ingin merespons perkataan Sheila, Arini melongo melihatnya memasuki flat tanpa permisi. Embusan napas keras terdengar jelas dari sela hidung mancung nan ramping miliknya.“Gue bilang juga apa,” bisik Brandon pelan di telinga Arini.Tatapan mata cokelat lebar Arini tampak tajam ke tempat Sheila berdiri. Dia mengamati wanita itu sedang memantau kondisi bagian dalam flat dengan gaya angkuh. Dagu selalu naik ke atas dengan dada dibusungkan ke depan.Brandon yang menyadari Ade masih berdiri di depan pintu langsung memintanya masuk. P
Wajah Brandon menegang ketika melihat ke arah pintu. Tak hanya pria itu, tapi Sheila juga terkejut bukan main. Kenapa orang itu datang di saat yang tidak tepat? Apa yang diinginkannya?“Tante Ayu, Bran!” seru Sheila terlonjak berdiri, “suratnya umpetin!”Brandon malah melongo di sela napas yang terpacu keluar dari sela mulut dan hidung bersamaan. Amarah langsung memuncak saat mengenali wanita yang berdiri di depan Arini. Ah, tidak. Sekarang wanita itu memasuki flat tanpa izin.Sheila yang panik luar biasa langsung merampas kertas yang ada di tangan Brandon, lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam tas.“Sheila? Kamu ngapain di sini?” sapa Ayu setelah melihat Sheila berdiri gugup.Sementara Arini hanya menunjukkan raut bingung mengamati interaksi Sheila dan wanita yang baru saja dilihatnya hari ini. Kening berkerut ketika coba menganalisa siapa dia? Kenapa wanita ini bisa kenal dengan Sheila dan Brandon?“Aku ketemu sama calon suami dong, Tante,” sahut Sheila berbohong dengan menyunggi
Tekad Arini sudah bulat. Dia telah mengambil keputusan resign dari perusahaan outsourcing dan bekerja untuk Lisa di The Harun’s Group. Bukan gaji dan jabatan yang diinginkan, melainkan membantu wanita paruh baya itu dengan ikhlas. Sudah bukan rahasia lagi, jika ia menyayangi Lisa seperti orang tua kandung sendiri.“Lo yakin?” tanya Brandon setelah Arini mengutarakan niat kemarin sore.“Setelah bertemu Ayu tadi, gue semakin yakin.”Arini menyayangi Farzan, tapi tidak dengan Ayu. Sikap pongah yang ditunjukkan istri kedua Sandy, membuat darah di dalam tubuh mendidih. Dia tidak akan membiarkan wanita itu menguasa harta jerih payah Lisa yang seharusnya untuk Brandon.Selang dua jam setelah itu, Lisa juga menelepon dan menanyakan hasil pertemuan Brandon dengan Sheila. Wanita paruh baya itu merasa lega mendengar penjelasan dari putranya.“Kalau begitu kamu tidak perlu khawatir, Rin. Percaya sama Tante dan Brandon. Kasih kami waktu dalam dua tahun untuk selesaikan semuanya.” Lisa mendesah ber