Brandon memandang wajah Arini dengan saksama. Tergambar kecemburuan luar biasa, walau seberapa keras wanita itu menyembunyikannya. Senyum penuh makna terbit di paras tampannya.“Iya, ‘kan? Dugaan gue benar, ‘kan?” Arini menurunkan tangan dengan lesu dari tengkuk Brandon. Dia melangkah gontai menuju sofa, kemudian mengambil sling bag dan tas ransel berisi pakaian.“Mau ke mana?” tanya Brandon bingung.“Balik ke kosan. Udah kelar semua, Bran. Gue nggak dibutuhkan lagi,” ujarnya berusaha menegakkan lagi tubuh yang sempat lemas.Membayangkan Brandon akan menikah dan bercinta dengan perempuan itu, benar-benar membuat Arini gila. Lebih baik dia segera pergi dari sana dan menenangkan diri. Sementara pria itu masih mempelajari gerak-gerik Arini. Ah, lebih tepatnya menikmati kecemburuan yang sangat langka.Selama kenal, Arini cuek dan tidak pernah menunjukkan ekspresi seperti ini. Entah kenapa Brandon suka melihatnya begini. Tampak lebih menggemaskan, dan membuatnya ingin menarik wanita itu se
Arini uring-uringan setelah Brandon mendapatkan telepon dari Sheila. Bagaimana tidak? Wanita itu ingin bertemu, agar bisa membahas permasalahan yang mereka hadapi. Harus ada jalan keluar dari masalah ini.“Pokoknya kita harus ketemu hari ini juga. Gue nggak mau tunda-tunda lagi!” Begitulah yang diucapkan Sheila ketika menelepon Brandon.Alhasil Arini panik luar biasa, karena tidak memiliki pakaian yang pantas untuk dikenakan bertemu dengan Sheila. Ingin sekali rasanya mangkir dari pertemuan itu, tapi ia diminta turut serta dalam diskusi. Sheila seperti ingin memastikan dengan mata kepala sendiri, apakah benar Brandon punya pacar atau tidak. Dia tidak ingin mengambil risiko jika pria itu hanya berpura-pura memiliki kekasih, padahal masih jomlo.“Gaun gue ada di kosan, Bran.”“Udah pakai baju ini aja. Udah cantik kok.”“Nggak mau ah! Kalah gaya dong. Gue nggak mau malu-maluin lo.”“Ya udah kalau gitu gue temenin lo ke kosan jemput gaunnya sekarang. Masih ada waktu tiga jam untuk siap-si
Arini menarik dan mengembuskan napas perlahan, berusaha mengendalikan emosi yang mulai bergejolak. Dia tidak terima Brandon dihina oleh Sheila seperti itu. Apa haknya berkomentar kalau pria itu tidak cocok dengannya? Sampai mengatakan ia dipelet segala.Wanita berambut panjang itu berusaha mengendalikan diri. Tidak boleh terjadi keributan di sini, apalagi bisa memengaruhi perjodohan. Bahaya jika Sheila mengadu kepada ayahnya dan bercerita tentang Arini.Ketika ingin merespons perkataan Sheila, Arini melongo melihatnya memasuki flat tanpa permisi. Embusan napas keras terdengar jelas dari sela hidung mancung nan ramping miliknya.“Gue bilang juga apa,” bisik Brandon pelan di telinga Arini.Tatapan mata cokelat lebar Arini tampak tajam ke tempat Sheila berdiri. Dia mengamati wanita itu sedang memantau kondisi bagian dalam flat dengan gaya angkuh. Dagu selalu naik ke atas dengan dada dibusungkan ke depan.Brandon yang menyadari Ade masih berdiri di depan pintu langsung memintanya masuk. P
Wajah Brandon menegang ketika melihat ke arah pintu. Tak hanya pria itu, tapi Sheila juga terkejut bukan main. Kenapa orang itu datang di saat yang tidak tepat? Apa yang diinginkannya?“Tante Ayu, Bran!” seru Sheila terlonjak berdiri, “suratnya umpetin!”Brandon malah melongo di sela napas yang terpacu keluar dari sela mulut dan hidung bersamaan. Amarah langsung memuncak saat mengenali wanita yang berdiri di depan Arini. Ah, tidak. Sekarang wanita itu memasuki flat tanpa izin.Sheila yang panik luar biasa langsung merampas kertas yang ada di tangan Brandon, lalu memasukkannya dengan cepat ke dalam tas.“Sheila? Kamu ngapain di sini?” sapa Ayu setelah melihat Sheila berdiri gugup.Sementara Arini hanya menunjukkan raut bingung mengamati interaksi Sheila dan wanita yang baru saja dilihatnya hari ini. Kening berkerut ketika coba menganalisa siapa dia? Kenapa wanita ini bisa kenal dengan Sheila dan Brandon?“Aku ketemu sama calon suami dong, Tante,” sahut Sheila berbohong dengan menyunggi
Tekad Arini sudah bulat. Dia telah mengambil keputusan resign dari perusahaan outsourcing dan bekerja untuk Lisa di The Harun’s Group. Bukan gaji dan jabatan yang diinginkan, melainkan membantu wanita paruh baya itu dengan ikhlas. Sudah bukan rahasia lagi, jika ia menyayangi Lisa seperti orang tua kandung sendiri.“Lo yakin?” tanya Brandon setelah Arini mengutarakan niat kemarin sore.“Setelah bertemu Ayu tadi, gue semakin yakin.”Arini menyayangi Farzan, tapi tidak dengan Ayu. Sikap pongah yang ditunjukkan istri kedua Sandy, membuat darah di dalam tubuh mendidih. Dia tidak akan membiarkan wanita itu menguasa harta jerih payah Lisa yang seharusnya untuk Brandon.Selang dua jam setelah itu, Lisa juga menelepon dan menanyakan hasil pertemuan Brandon dengan Sheila. Wanita paruh baya itu merasa lega mendengar penjelasan dari putranya.“Kalau begitu kamu tidak perlu khawatir, Rin. Percaya sama Tante dan Brandon. Kasih kami waktu dalam dua tahun untuk selesaikan semuanya.” Lisa mendesah ber
Mata Arini terpejam ketika menarik napas besar. Rahangnya terkatup rapat, sehingga mempertegas pinggir wajah hingga dagu. Dia menoleh ke belakang memanggil Brandon.“Bran. Sini!” panggilnya mengeraskan suara, meski tidak perlu. Brandon hanya berdiri dua meter di belakangnya, sehingga masih bisa mendengar jika dipanggil dengan suara pelan.“Ada orang gila ngaku-ngaku lo kasih nomor flat, biar bisa ulang sejarah ranjang kalian. Gimana tanggapan lo?” sambung Arini seraya melipat kedua tangan di depan dada.“Berarti tingkat kegilaannya udah parah, In,” sahut Brandon tahu Arini tidak bisa dikibuli oleh Moza dengan mudah.Sekarang giliran Arini tersenyum miring seraya memegang pinggir daun pintu. Tangan kanan naik ke pinggang, begitu juga dengan sebelah alisnya.“Lo harusnya jadi penghuni RSJ (Rumah Sakit Jiwa) deh, Moz. Lo pikir gue percaya?” tutur Arini masih berusaha menahan darah agar tidak naik ke puncak kepala.Moza memutar bola mata ketika berjinjit. “Jangan bohong, Bran. Kamu yang k
BrandonPagi ini suasana hati Brandon terasa berbeda. Begitu ringan, hangat dan nyaman. Apalagi setelah mengetahui Arini jatuh cinta kepadanya. Semula, ia hampir meledek wanita itu karena terlalu sulit mengatakan cinta. Namun, ia sadar kalau ini adalah pertama kali bagi Arini jatuh cinta.Brandon tahu persis berapa pria yang hadir dalam hidup wanita itu. Satu-satunya yang pernah dipacari hanyalah kakak kelas mereka ketika SMA. Itu hanya sebagai pembuktian bahwa Arini adalah gadis normal, tidak seperti yang ditudingkannya. Kemudian, sahabatnya menikah setelah dijodohkan oleh sang ayah tanpa rasa cinta.Tentu saja Brandon merasa pria yang paling beruntung di dunia. Bagaimana tidak? Dia menjadi cinta pertama dan mungkin cinta terakhir Arini. Dan, dia juga yang telah merenggut keperawanan wanita itu. Dia berjanji tidak akan pernah membuatnya menangis dan akan menjaganya sepenuh hati.“Hidup sekali, jatuh cinta sekali walau menikah tidak sekali, Bran,” ucap Arini suatu waktu menirukan kali
Arini duduk persis di samping Brandon. Tubuhnya berdekatan, sehingga bisa merasakan kehangatan pria itu. Perhatian mereka tertuju kepada layar gadget pipih yang ada di tangan Brandon. Tampilan layar berganti dari pencarian tiket pesawat terbang, kemudian hotel. Tentu saja mereka membeli tiket dan voucher hotel di aplikasi TravelAnda.“Mau yang mana?” Brandon menoleh sedikit sambil menggeser ponsel ke depan Arini.Wanita itu meletakkan dagu di bahu Brandon, kemudian menggerakkan ujung jari telunjuk di layarnya. Dia bergumam sebentar dengan pandangan masih fokus melihat pilihan hotel mewah.“Perlu banget ya kita nginap di hotel dekat Twins Tower?” tanya Arini masih menggerakkan jari naik dan turun di layar handphone.Brandon mengangguk. “Biar lebih romantis. Coba lo bayangin deh Twins Tower pas malam. Trus kita lihat dari kaca jendela hotel sambil berpelukan,” jawabnya semangat.Decakan pelan keluar dari sela bibir mungil Arini. “Kebanyakan nonton film romance nih,” ledeknya.“Habis gue