TAK banyak pilihan hotel berbintang di Batang. Karena itu Pardi, sopir yang menjemput Tiara, mengusulkan pada gadis itu agar menginap di Pekalongan. Tiara menurut. Toh, Batang dan Pekalongan hanya berjarak sepelemparan batu.
Minibus mewah itu pun melaju memasuki sebuah hotel bintang empat yang terletak tepat di jantung kota Pekalongan. Di seberang stasiun kereta api terbesar di kota tersebut.
Setibanya di hotel, Pardi memesankan kamar untuk Tiara dan Abdi. Sementara dua orang yang tengah sangat kelelahan itu menunggu di lobi. Mulanya mereka sempat beradu pendapat, antara memesan satu kamar dengan dua tempat tidur atau dua kamar untuk masing-masing.
"Satu kamar saja biar lebih hemat, Abdi. Lagi pula kita pesan kamar twin kok, dua tempat tidur terpisah," ujar Tiara mengutarakan pendapatnya.
Di mulut gadis itu boleh saja beralasan agar lebih hemat. Alasan sebenarnya, sejak kejadian di hutan seharian tadi Tiara tidak mau jauh-jauh dari Abdi. Ia i
TIARA masih merasa sangat mengantuk ketika mendengar pintu kamarnya diketuk-ketuk. Awalnya gadis itu bersikap masa bodoh. Malah membenamkan tubuhnya lebih dalam ke balik selimut putih nan hangat.Lagi pula Tiara merasa tidak ada orang yang mengetahui dirinya berada di hotel itu. Kecuali Abdi dan Pardi tentu saja. Dan kedua orang itu tak akan berani mengganggu tidurnya dengan mengetuk pintu berkali-kali seperti ini.Tok! Tok! Tok!Lama-lama Tiara jadi sebal sendiri. Ketukan tersebut terdengar semakin keras saja. Akhirnya, dengan malas gadis itu menyibakkan selimut yang menutupi tubuhnya dan turun dari atas kasur empuk.Setelah melirik sekilas wajah dan penampilannya melalui kaca besar di lemari, Tiara arahkan kakinya menuju pintu."Siapa?" tanya Tiara dengan suara lemah, setengah bergumam.Pintu tak langsung dibuka. Tiara terlebih dahulu mengintip keluar melalui door viewer. Alangkah kagetnya gadis itu begitu mengetahui siapa y
DENGAN tergesa Tiara membuka pintu kamar. Kali ini benar-benar dibuka lebar, tidak seperti saat membukakan pintu untuk Ryan tadi. Gadis itu seketika terguguk dalam tangis ketika melihat sosok yang paling dikasihinya berdiri di depan kamar."Mama?" seru Tiara. Suaranya menjadi serak oleh haru yang kembali merayap.Sesosok wanita paruh baya langsung menubruk Tiara. Memeluk gadis itu erat-erat, yang dibalas oleh Tiara dengan tak kalah erat. Lalu keduanya larut dalam tangis."Tiara, ya ampun, syukurlah kamu masih selamat," ujar wanita paruh baya yang tak lain adalah mama Tiara.Ryan masih berada di sana. Pemuda tersebut berdiri diam terpaku pada tempatnya. Hanya dapat memandangi dua orang yang tengah berpelukan sembari sama-sama menangis tersebut.Sementara itu seorang lelaki paruh baya berjalan mendekati kedua perempuan tersebut. Kemudian tanpa berkata apa-apa ia turut bergabung dalam pelukan. Tangannya yang panjang terentang, memeluk kedua ibu dan an
SEMBARI menunggu kedatangan Abdi, Tiara rupanya punya pikiran lain. Ia mengusulkan pada Papa dan Mama untuk sekalian keluar dari hotel. Check out dan pndah ke rumah keluarga di Batang.Keluarga besar Mama punya rumah peninggalan leluhur di batas kota Batang. Rumah kuna dari jaman penjajahan Belanda tersebut telah menjadi milik pribadi Mama. Dan Pardi yang dipercaya untuk menjaga rumah tersebut.Mama tentu saja menurut. Papa pun membebek saja. Maka begitu Abdi dan Pardi muncul di kamar tersebut, Tiara langsung meminta Pardi untuk mengurus check out dan menyiapkan mobil."Hmm, jadi kamu yang namanya Abdi?" tanya Papa kepada Abdi setelah Pardi pamit keluar dari kamar.Abdi mengulum senyum sembari anggukkan kepala penuh hormat. Sebagai seorang karyawan rendahan, seorang sopir perusahaan, pemuda itu berpikiran bahwa papa Tiara adalah juga atasannya. Orang yang harus dihormati sepenuh hati."Ini yang namanya Abdi, Pa. Dia rupanya seoran
RYAN tak langsung meninggalkan hotel setelah berpamitan pada Pak Wardoyo, isterinya, juga Tiara. Pemuda itu hanya memindah posisi mobil, agar dapat lebih jelas melihat minibus yang digunakan Keluarga Wardoyo.Sejak pertama bertemu Tiara di depan kamar, Ryan sudah merasakan sikap Tiara sangat berubah terhadapnya. Benar-benar tidak ada mesra-mesranya lagi. Bahkan membuka pintu pun tidak mau.Padahal dulu gadis itu akan langsung menggelendot di bahunya jika berhari-hari tak bertemu. Ryan tak habis pikir, apakah ini benar-benar karena perselingkuhannya dengan Anita? Padahal dirinya hanya sedang berpelukan dan berciuman ketika dilihat Tiara."Oh, Anita! Dia bisa membantuku kali ini," desis Ryan ketika teringat pada Anita.Cepat Ryan merogoh kantung celana, di mana smartphone-nya ia letakkan. Hanya sekali pencet tombol redial, panggilan ke nomor telepon Anita sudah dilakukan. Menandakan betapa seringnya Ryan menghubungi Anita."Halo, Sa
MINIBUS mewah itu masuk ke halaman luas sebuah rumah besar. Lalu berhenti tepat di samping tangga yang menuju ke teras. Seorang wanita berusia awal tiga puluhan tahun menyambut kedatangan mereka dengan tergopoh-gopoh.Sekilas pandang saja dapat diketahui jika rumah besar tersebut peninggalan jaman penjajahan Belanda. Atapnya yang begitu tinggi lagi curam, khas rumah tropis rancangan arsitek Hindia Belanda. Demikian pula pilar-pilar di teras, serta dindingnya yang tebal.Tiara merentangkan kedua belah tangannya begitu memasuki teras. Kepala gadis itu mendongak. Hidungnya menghirup udara segar di tempat yang dikelilingi aneka pepohonan menghijau."Aku kangen banget rumah ini!" seru Tiara, entah pada siapa.Bu Wardoyo menghampiri puterinya, lalu memeluk pinggang ramping si gadis. Semasa kecil Tiara sering sekali diajak ke rumah tersebut. Masa-masa di mana kakek dan neneknya masih hidup dan tinggal di sana."Sekarang kamu bisa puas-puasin tinggal di si
RUMAH dari jaman kolonial Hindia Belanda itu terletak di antara pepohonan jati muda. Sebuah kebun jati yang luasnya sekitar lima kali lapangan sepak bola. Sisa-sisa perkebunan yang jauh lebih luas milik leluhur Tiara dulu.Ukuran batang jati muda di kebun tersebut tak terlalu besar. Hanya sekitar sepemelukan orang dewasa. Namun pohon jati-jati muda itu tinggi menjulang, serta daun-daunnya yang lebar begitu rimbun. Membuat suasana sekitar rumah menjadi asri dan sejuk.Usai sarapan Bu Wardoyo mengajak Tiara jalan-jalan di kebun tersebut. Alasan sang mama, ingin mengenang masa kecil. Dulu di luasan tanah yang sekarang jadi kebun jati itu Bu Wardoyo biasa bermain-main."Sejuk sekali di sini ya, Ma. Nggak kaya di Jakarta yang sumpek!" ujar Tiara membuka obrolan.Angin bertiup semilir, menggoyang dedaunan jati. Gesekan antara daun-daun menimbulkan suara gemerisik nan syahdu. Tiara tersenyum-senyum sendiri merasakan semua keasrian alam itu."Ya namanya ju
TIARA bergegas mendekati mamanya. Dipandanginya wajah Bu Wardoyo dengan tatapan tak percaya. Di saat ia ingin mengakhiri hubungan dengan Ryan, Papa malah sudah menghitung-hitung tanggal."Maksud Mama, Papa dan Pak Wijaya sudah berniat melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat?" tanya Tiara menegaskan.Bu Wardoyo mengangguk dengan wajah keheranan. Alih-alih senang, dilihatnya Tiara justru bermuka masam mendengar kabar itu. Semakin jelas bagi wanita paruh baya tersebut, hubungan sang puteri dan Ryan tengah bermasalah."Kapan kira-kira, Ma?" tanya Tiara lagi. Ia hanya sekedar ingin tahu rencana kedua orang tuanya."Pak Wijaya maunya sih bulan depan ....""Bulan depan?" ulang Tiara setengah berteriak. Matanya yang sudah mendelik bertambah besar saja. Sedangkan wajahnya berubah merah kelam."Itu maunya Pak Wijaya," sahut Bu Wardoyo, berusaha menenangkan. "Kalau Papa sih pasti akan mengajak bicara kamu dulu nanti. Tunggu saja."Tiara diam.
MATAHARI sudah tergelincir ke sisi langit sebelah barat ketika Tiara dan Bu Wardoyo memutuskan kembali. Mereka berdua sama-sama merasa haus, tadi lupa membawa air minum. Perut keduanya juga mulai keroncongan minta diisi.Begitu sampai di rumah, rupanya Pak Wardoyo sudah menunggu. Lelaki paruh baya itu sedang duduk bertiga bersama Abdi dan Pardi. Namun langsung meninggalkan bangku tempatnya duduk sewaktu melihat kedatangan Tiara dan Bu Wardoyo.Bu Wardoyo dapat membaca gelagat sang suami. Sebelum lelaki itu mendekat, tangannya menggamit lengan Tiara. Bibirnya lantas didekatkan ke telinga sang puteri."Tuh, papamu sudah tidak sabar ingin mengajak bicara," bisik Bu Wardoyo."Aduh, Tiara belum siap, Ma. Mama saja dulu yang bicara sama Papa," sahut Tiara.Jawaban itu ditanggapi Bu Wardoyo dengan mengangkat bahu. Saat suaminya sudah dekat, wanita tersebut berjalan mendahului Tiara. Segera digaetnya tangan Pak Wardoyo dan diajak masuk ke dalam rumah.