MATAHARI sudah tergelincir ke sisi langit sebelah barat ketika Tiara dan Bu Wardoyo memutuskan kembali. Mereka berdua sama-sama merasa haus, tadi lupa membawa air minum. Perut keduanya juga mulai keroncongan minta diisi.
Begitu sampai di rumah, rupanya Pak Wardoyo sudah menunggu. Lelaki paruh baya itu sedang duduk bertiga bersama Abdi dan Pardi. Namun langsung meninggalkan bangku tempatnya duduk sewaktu melihat kedatangan Tiara dan Bu Wardoyo.
Bu Wardoyo dapat membaca gelagat sang suami. Sebelum lelaki itu mendekat, tangannya menggamit lengan Tiara. Bibirnya lantas didekatkan ke telinga sang puteri.
"Tuh, papamu sudah tidak sabar ingin mengajak bicara," bisik Bu Wardoyo.
"Aduh, Tiara belum siap, Ma. Mama saja dulu yang bicara sama Papa," sahut Tiara.
Jawaban itu ditanggapi Bu Wardoyo dengan mengangkat bahu. Saat suaminya sudah dekat, wanita tersebut berjalan mendahului Tiara. Segera digaetnya tangan Pak Wardoyo dan diajak masuk ke dalam rumah.
BEGITU Pardi kembali membawakan smartphone baru untuknya, Tiara langsung sibuk menelepon ke Jakarta. Semua nomor kontaknya disimpan di akun email. Sehingga meski nomornya berganti karena hilang, semua kontak penting masih tersimpan.Orang yang pertama kali dihubungi Tiara adalah Sinta, sekretarisnya di kantor. Isak tangis langsung terdengar dari ujung sambungan telepon begitu Sinta tahu yang meneleponnya adalah Tiara."Ya ampun, ini beneran Ibu Tiara?" seru Sinta dengan suara serak.Tiara hanya bisa geleng-geleng kepala. Gadis itu tak bisa membayangkan Sinta yang masih berada di kantor menangis terisak-isak."Iya, ini saya. Sudah, tidak usah pakai menangis segala, saya tidak apa-apa kok," sahut Tiara, setengah kesal karena harus menahan niatnya untuk langsung bertanya mengenai urusan kantor."Habisnya, Ibu menghilang tanpa kabar lebih dari sebulan," kata Sinta, masih dengan terisak. "Kan saya jadi sedih, Bu. Takut Ibu kenapa-kenapa."
SORE harinya Tiara mendapat kejutan tak terduga. Selagi dirinya tengah asyik menyirami aneka tanaman bunga di taman belakang, Pardi datang membawa kabar yang sungguh tak disangka-sangka. "Mbak, ada tamu rombongan yang ingin bertemu," ujar Pardi. Tiara sontak hentikan gerakan tangannya yang tengah menyiram satu pot. Ujung kedua alisnya bertaut. Rasa heran seketika menggelayuti benaknya. "Tamu rombongan?" ulangnya. "Iya, Mbak. Banyak mobil tuh di depan," sahut Pardi. "Siapa sih?" tanya Tiara yang tak dapat menebak siapa tamu-tamu tersebut. Ia bahkan tak menyangka ada yang tahu dirinya tengah berada di tempat itu. Pardi angkat bahu, mengisyaratkan dirinya tidak tahu apa-apa. "Mbak temui saja, karena mereka bilangnya mau bertemu dengan Ibu Tiara," kata Pardi menyarankan. Tiara menurut. Disiramkannya seluruh air dalam gembor (alat penyiram) seng yang ia pegang ke sebuah pot. Lalu buru-buru menuju ke depan setelah meletakkan
KEDATANGAN para partner bisnis, yang kemudian malah membicarakan Ryan, membuat Tiara kehilangan gairah di sisa hari itu. Begitu sore berganti malam si gadis memilih menghabiskan waktu di rumah saja.Padahal mulanya Tiara punya rencana mengajak kedua orangnya dan Abdi makan malam di dekat alun-alun. Namun pada akhirnya selepas Magrib ia hanya duduk-duduk saja di teras. Sendirian.Secangkir wedang jahe menemani Tiara. Smartphone-nya tergeletak begitu saja di atas meja dalam keadaan tidak aktif. Gadis itu sendiri tengah menerawang ke kejauhan, menembus kegelapan malam."Sendirian saja, Bu?"Satu suara tiba-tiba mengagetkan Tiara. Sontak kepalanya berputar ke arah asal suara tersebut. Senyum manisnya seketika merekah lebar begitu mengetahui siapa yang muncul.Tampak Abdi mendekat dan menggeser salah satu kursi, lalu duduk di atasnya. Berhadap-hadapan dengan Tiara. Secangkir minuman yang dibawanya diletakkan di atas meja."Eh, tadi kamu
TAK seperti yang dibayangkan Tiara maupun Abdi, bukan pembicaraan serius yang ingin dilakukan Bu Wardoyo. Wanita paruh baya itu ingin menyampaikan rasa terima kasih secara pribadi kepada Abdi.Meski sebelumnya Pak Wardoyo sudah menyampaikan terima kasih, namun itu dirasa belum cukup. Ucapan tersebut hanya sambil lalu saja. Dan lagi, rupanya Bu Wardoyo ingin memberikan sesuatu pada Abdi sebagai wujud terima kasih."Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak padamu, Abdi. Dari apa yang diceritakan Tiara pada saya, selama berada di hutan anak itu selalu merepotkan kamu terus," ujar Bu Wardoyo dengan tulus.Abdi menanggapi dengan senyum serba salah. Pemuda itu sama sekali tidak merasa direpotkan oleh Tiara. Tapi, memang harus diakui sikap keras kepala gadis tersebut terkadang membuatnya jengkel."Ibu tidak perlu mengucapkan terima kasih begini. Saya hanya melakukan apa yang seharuskan dilakukan," sahut Abdi, sama seperti jawaban yang ia berikan pada Pak
PAGI masih bertabur embun. Namun mesin minibus berlogo huruf T di bempernya itu sudah dipanaskan oleh Pardi. Pintu bagasi di bagian belakang kendaraan terbuka lebar. Menampakkan tumpukan barang-barang.Di teras, Mbak Minah tengah menyiapkan berbagai hidangan ringan untuk sarapan. Jejeran gelas-gelas berisi teh panas bersanding dengan sebuah ceret kaca besar. Lalu ada pula piring-piring dengan aneka jajanan pasar di atasnya."Sarapan dulu, Pak, Bu," ujar Mbak Minah mempersilakan.Pak Wardoyo dan isterinya yang diajak bicara tak menyahut. Mereka sibuk sendiri mondar-mandir keluar-masuk rumah. Tiara yang kemudian menanggapi, mengucapkan terima kasih pada Mbak Minah.Gadis itu lantas menyeret lengan Abdi, mengajaknya duduk di meja teras. Sigap tangan Tiara memindahkan satu gelas teh panas ke hadapan pemuda tersebut."Eh, nggak usah repot-repot," cegah Abdi dengan perasaan tidak enak.Tangan pemuda tersebut spontan terulur, menahan tangan Tiara y
SESUAI keinginan Pak Wardoyo, minibus mewah yang dikemudikan Pardi sudah memasuki tol dalam kota Jakarta sebelum tengah hari. Dengan sigap Pardi mengambil jalan menuju ke arah utara. Tujuan mereka sebuah perumahan elite di kawasan Ancol. "Nggak lupa jalannya kan, Di?" tanya Pak Wardoyo. Sejak dari Indramayu, lelaki paruh baya itu pindah tempat duduk di sebelah sopir. Ditanyai begitu Pardi tertawa lebar. "Kalau belum pindah sih nggak lupa saya, Pak," jawabnya ringan, tahu kalau Pak Wardoyo hanya bercanda. Setelah menyusuri jalanan ibukota selama sekitar setengah jam, mereka pun tiba di tujuan. Sebuah rumah besar nan megah di tepi laut Teluk Jakarta menyambut dengan ramah. Begitu Pardi menghentikan mobil di halaman, Tiara tak memedulikan apa-apa lagi. Gadis itu langsung turun dan masuk ke dalam. Terus ke kamar dan merebahkan tubuhnya yang tiba-tiba saja terasa sangat lesu ke atas kasur empuk. Entahlah, Tiara merasakan pikirannya kosong.
ASYIK melamunkan Abdi lama-lama membuat Tiara mengantuk. Sempat ditahan-tahannya rasa kantuk, karena teringat belum mandi sedari tiba tadi. Namun gadis itu rupanya tak kuasa melawan. Terbuai ke alam impian.Nyenyak sekali tidur gadis itu. Belum pernah ia tidak selelap ini sebelumnya. Mungkin karena ada perasaan nyaman di dalam hati kecilnya. Sebab ini kali pertama Tiara berada di kamarnya sendiri.Bu Wardoyo sempat masuk untuk mengajak Tiara makan malam. Namun niat tersebut diurungkan ketika melihat sang puteri begitu lelap. Wanita paruh baya itu hanya mematikan lampu besar, lalu menghidupkan lampu tidur dan keluar lagi.Tiara baru terjaga pada pagi-pagi buta keesokan harinya. Agak kaget, untuk beberapa saat gadis itu berulang kali mengerjapkan kelopak mata yang masih terasa lengket."Ooh, jam berapa ini?" tanya Tiara pada diri sendiri.Masih digelayuti rasa kantuk, gadis itu bangkit dari tidurnya. Duduk di tepian kasur sembari memandangi sei
BUKAN Tiara namanya kalau tidak ngotot meraih apa yang ia inginkan. Demikian pula keinginannya untuk segera bertemu kembali dengan Abdi.Pesan yang dikirimkan Abdi tadi memunculkan satu gagasan di benak Tiara. Ibu pemuda itu tengah sakit, dirawat di rumah sakit. Ini kesempatan, atau sebut saja alasan, bagus baginya untuk datang ke Indramayu.Setelah puas menguras air mata, Tiara bergegas mandi. Suasana sudah terang ketika gadis itu keluar dari kamar. Di dapur Bu Wardoyo sudah sibuk bersama Mbak Yem."Eh, akhirnya bangun juga kamu," sambut Bu Wardoyo, lalu mencium pipi anak gadisnya kiri-kanan."Selamat pagi, Mbak. Nyenyak banget ya tidurnya," timpal Mbak Yem dengan senyum khasnya.Tiara hanya menanggapi semua itu dengan senyum kecil. Tangan rampingnya menarik sebuah kursi di meja makan yang berada di area dapur. Lalu pantatnya dihempaskan perlahan."Ma, Pardi belum balik ke Jawa kan?" tanya Tiara, sembari mengambil garpu untuk menusuk potong