TAK seperti yang dibayangkan Tiara maupun Abdi, bukan pembicaraan serius yang ingin dilakukan Bu Wardoyo. Wanita paruh baya itu ingin menyampaikan rasa terima kasih secara pribadi kepada Abdi.
Meski sebelumnya Pak Wardoyo sudah menyampaikan terima kasih, namun itu dirasa belum cukup. Ucapan tersebut hanya sambil lalu saja. Dan lagi, rupanya Bu Wardoyo ingin memberikan sesuatu pada Abdi sebagai wujud terima kasih.
"Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak padamu, Abdi. Dari apa yang diceritakan Tiara pada saya, selama berada di hutan anak itu selalu merepotkan kamu terus," ujar Bu Wardoyo dengan tulus.
Abdi menanggapi dengan senyum serba salah. Pemuda itu sama sekali tidak merasa direpotkan oleh Tiara. Tapi, memang harus diakui sikap keras kepala gadis tersebut terkadang membuatnya jengkel.
"Ibu tidak perlu mengucapkan terima kasih begini. Saya hanya melakukan apa yang seharuskan dilakukan," sahut Abdi, sama seperti jawaban yang ia berikan pada Pak
PAGI masih bertabur embun. Namun mesin minibus berlogo huruf T di bempernya itu sudah dipanaskan oleh Pardi. Pintu bagasi di bagian belakang kendaraan terbuka lebar. Menampakkan tumpukan barang-barang.Di teras, Mbak Minah tengah menyiapkan berbagai hidangan ringan untuk sarapan. Jejeran gelas-gelas berisi teh panas bersanding dengan sebuah ceret kaca besar. Lalu ada pula piring-piring dengan aneka jajanan pasar di atasnya."Sarapan dulu, Pak, Bu," ujar Mbak Minah mempersilakan.Pak Wardoyo dan isterinya yang diajak bicara tak menyahut. Mereka sibuk sendiri mondar-mandir keluar-masuk rumah. Tiara yang kemudian menanggapi, mengucapkan terima kasih pada Mbak Minah.Gadis itu lantas menyeret lengan Abdi, mengajaknya duduk di meja teras. Sigap tangan Tiara memindahkan satu gelas teh panas ke hadapan pemuda tersebut."Eh, nggak usah repot-repot," cegah Abdi dengan perasaan tidak enak.Tangan pemuda tersebut spontan terulur, menahan tangan Tiara y
SESUAI keinginan Pak Wardoyo, minibus mewah yang dikemudikan Pardi sudah memasuki tol dalam kota Jakarta sebelum tengah hari. Dengan sigap Pardi mengambil jalan menuju ke arah utara. Tujuan mereka sebuah perumahan elite di kawasan Ancol. "Nggak lupa jalannya kan, Di?" tanya Pak Wardoyo. Sejak dari Indramayu, lelaki paruh baya itu pindah tempat duduk di sebelah sopir. Ditanyai begitu Pardi tertawa lebar. "Kalau belum pindah sih nggak lupa saya, Pak," jawabnya ringan, tahu kalau Pak Wardoyo hanya bercanda. Setelah menyusuri jalanan ibukota selama sekitar setengah jam, mereka pun tiba di tujuan. Sebuah rumah besar nan megah di tepi laut Teluk Jakarta menyambut dengan ramah. Begitu Pardi menghentikan mobil di halaman, Tiara tak memedulikan apa-apa lagi. Gadis itu langsung turun dan masuk ke dalam. Terus ke kamar dan merebahkan tubuhnya yang tiba-tiba saja terasa sangat lesu ke atas kasur empuk. Entahlah, Tiara merasakan pikirannya kosong.
ASYIK melamunkan Abdi lama-lama membuat Tiara mengantuk. Sempat ditahan-tahannya rasa kantuk, karena teringat belum mandi sedari tiba tadi. Namun gadis itu rupanya tak kuasa melawan. Terbuai ke alam impian.Nyenyak sekali tidur gadis itu. Belum pernah ia tidak selelap ini sebelumnya. Mungkin karena ada perasaan nyaman di dalam hati kecilnya. Sebab ini kali pertama Tiara berada di kamarnya sendiri.Bu Wardoyo sempat masuk untuk mengajak Tiara makan malam. Namun niat tersebut diurungkan ketika melihat sang puteri begitu lelap. Wanita paruh baya itu hanya mematikan lampu besar, lalu menghidupkan lampu tidur dan keluar lagi.Tiara baru terjaga pada pagi-pagi buta keesokan harinya. Agak kaget, untuk beberapa saat gadis itu berulang kali mengerjapkan kelopak mata yang masih terasa lengket."Ooh, jam berapa ini?" tanya Tiara pada diri sendiri.Masih digelayuti rasa kantuk, gadis itu bangkit dari tidurnya. Duduk di tepian kasur sembari memandangi sei
BUKAN Tiara namanya kalau tidak ngotot meraih apa yang ia inginkan. Demikian pula keinginannya untuk segera bertemu kembali dengan Abdi.Pesan yang dikirimkan Abdi tadi memunculkan satu gagasan di benak Tiara. Ibu pemuda itu tengah sakit, dirawat di rumah sakit. Ini kesempatan, atau sebut saja alasan, bagus baginya untuk datang ke Indramayu.Setelah puas menguras air mata, Tiara bergegas mandi. Suasana sudah terang ketika gadis itu keluar dari kamar. Di dapur Bu Wardoyo sudah sibuk bersama Mbak Yem."Eh, akhirnya bangun juga kamu," sambut Bu Wardoyo, lalu mencium pipi anak gadisnya kiri-kanan."Selamat pagi, Mbak. Nyenyak banget ya tidurnya," timpal Mbak Yem dengan senyum khasnya.Tiara hanya menanggapi semua itu dengan senyum kecil. Tangan rampingnya menarik sebuah kursi di meja makan yang berada di area dapur. Lalu pantatnya dihempaskan perlahan."Ma, Pardi belum balik ke Jawa kan?" tanya Tiara, sembari mengambil garpu untuk menusuk potong
BEGITU mobil yang ditumpanginya meninggalkan halaman rumah, cepat Tiara mengambil ponselnya. Gadis itu harus segera menghubungi Sinta. Ada beberapa perubahan rencana yang harus ia sampaikan pada sekretarisnya itu. Sebenarnya waktu itu masih belum jam kerja. Tapi Tiara sudah sangat biasa merepotkan Sinta kapan pun, di mana pun. Benar-benar tak kenal waktu dan tempat. Sewaktu-waktu butuh, maka saat itu pula ia kan menelepon Sinta. "Iya, Bu?" ujar Sinta dari ujung sambungan telepon. "Saya nggak jadi masuk kantor hari ini. Dan sepertinya bakal nggak ke kantor dulu sampai seminggu ke depan," ujar Tiara tanpa basa-basi. "Oh, iya, Bu," sahut Sinta cepat. "Nanti saya sampaikan ke Pak Seno dan Pak Ryan." Kening Tiara berkerut dalam mendengar nama tunangan brengseknya disebutkan. "Kenapa harus Ryan?" tanyanya penasaran. Selama ini Ryan memang lebih senang mengurusi bisnisnya yang lain. Alasannya selalu sama, tidak paham dunia perparkiran
APA yang disampaikan Pardi membuat mood Tiara berantakan. Perasaannya seketika menjadi kacau balau. Setelah pertanyaan terakhir yang ia ajukan tadi, gadis itu langsung diam seribu bahasa.Untuk menyembunyikan perubahan sikapnya dari Pardi, Tiara sandarkan punggung ke sandaran jok. Direndahkannya sedikit sandaran tersebut, lalu menerawang ke luar melalui kaca jendela.Sempat terpikir untuk mengajak Pardi balik arah, membatalkan rencana ke Indramayu. Tiara merasa tidak sanggup bertemu Abdi. Tidak setelah ia tahu jika pemuda itu sudah bertunangan.Akan tetapi setelah dipikir-pikir lagi, gadis itu memutuskan untuk tetap datang ke sana. Setidaknya ia harus menunaikan janji pada Abdi. Meski entah nanti bagaimana ia harus berhadapan dengan pemuda tersebut."Berarti ini sebabnya dia bersikap dingin selama di hutan. Sekalipun aku sudah memberinya sinyal untuk lebih dekat lewat sentuhan, pelukan. Juga sikap anehnya setelah kami keluar dari hutan," desah Tiara di da
ABDI gelagapan dipeluk begitu rupa. Antara kaget dan juga merasa tidak, sebab ada Pardi di sana. Tapi pemuda itu tidak bisa apa-apa. Tubuhnya terdorong ke jok mobil akibat tubrukan Tiara.Pardi yang sejak awal berangkat sudah memahami gelagat Tiara, menjauh dari mobil. Lelaki berusia paruh tiga puluhan tahun tersebut menutup pintu mobil bagian depan, lalu pergi entah ke mana.Tinggallah Tiara dan Abdi berdua saja di dalam mobil, masih berpelukan. Tiara seolah tidak ingin melepaskan pemuda di dalam rangkulan tangannya. Didekapnya si pemuda erat-erat. Tangisnya pecah."Lho, kenapa menangis?" tanya Abdi kebingungan.Tangan si pemuda mulanya hanya diam, tak membalas pelukan Tiara. Tapi begitu mendengar gadis itu terisak, buru-buru dilingkarkannya kedua tangan ke tubuh si gadis.Tiara tak menjawab pertanyaan Abdi. Justru isaknya yang semakin menjadi. Gadis itu juga bingung, mengapa dirinya menangis. Sedih mendengar kabar Abdi sudah bertunangan?A
UNTUK beberapa saat Abdi tidak menjawab pertanyaan Tiara. Tapi kemudian pemuda itu berpikir lagi. Memangnya gadis itu butuh jawaban? Lagi pula, ucapannya tadi tidak memberi ruang pada jawaban tidak."Selain Ibu, yang tinggal di rumah siapa saja?" tanya Tiara lagi, mengagetkan Abdi."Mmm ..." Abdi bingung sesaat, tapi segera menjawab, "Sekarang ya sama saya. Kalau pas saya kerja di Jakarta seperti kemarin, Ibu tinggal sendiri. Hanya sesekali kakak datang menemani di akhir pekan."Tiara manggut-manggut. Ada rasa iba di dalam hati si gadis mengetahui hal tersebut. Tinggal sendirian di usia senja tentunya bukan keadaan yang diinginkan siapa pun. Tapi agaknya ibu Abdi tidak punya pilihan."Oya, tadi katanya mau cari buah?"Pertanyaan Abdi menyadarkan Tiara dari lamunan. Gadis itu buru-buru mengangguk. Entah berapa lama mereka berhenti di tempat itu gara-gara pertanyaan boleh menginap atau tidak."Ayo, di mana toko buahnya?" kata Tiara kemudian.
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra