ASYIK melamunkan Abdi lama-lama membuat Tiara mengantuk. Sempat ditahan-tahannya rasa kantuk, karena teringat belum mandi sedari tiba tadi. Namun gadis itu rupanya tak kuasa melawan. Terbuai ke alam impian.
Nyenyak sekali tidur gadis itu. Belum pernah ia tidak selelap ini sebelumnya. Mungkin karena ada perasaan nyaman di dalam hati kecilnya. Sebab ini kali pertama Tiara berada di kamarnya sendiri.
Bu Wardoyo sempat masuk untuk mengajak Tiara makan malam. Namun niat tersebut diurungkan ketika melihat sang puteri begitu lelap. Wanita paruh baya itu hanya mematikan lampu besar, lalu menghidupkan lampu tidur dan keluar lagi.
Tiara baru terjaga pada pagi-pagi buta keesokan harinya. Agak kaget, untuk beberapa saat gadis itu berulang kali mengerjapkan kelopak mata yang masih terasa lengket.
"Ooh, jam berapa ini?" tanya Tiara pada diri sendiri.
Masih digelayuti rasa kantuk, gadis itu bangkit dari tidurnya. Duduk di tepian kasur sembari memandangi sei
BUKAN Tiara namanya kalau tidak ngotot meraih apa yang ia inginkan. Demikian pula keinginannya untuk segera bertemu kembali dengan Abdi.Pesan yang dikirimkan Abdi tadi memunculkan satu gagasan di benak Tiara. Ibu pemuda itu tengah sakit, dirawat di rumah sakit. Ini kesempatan, atau sebut saja alasan, bagus baginya untuk datang ke Indramayu.Setelah puas menguras air mata, Tiara bergegas mandi. Suasana sudah terang ketika gadis itu keluar dari kamar. Di dapur Bu Wardoyo sudah sibuk bersama Mbak Yem."Eh, akhirnya bangun juga kamu," sambut Bu Wardoyo, lalu mencium pipi anak gadisnya kiri-kanan."Selamat pagi, Mbak. Nyenyak banget ya tidurnya," timpal Mbak Yem dengan senyum khasnya.Tiara hanya menanggapi semua itu dengan senyum kecil. Tangan rampingnya menarik sebuah kursi di meja makan yang berada di area dapur. Lalu pantatnya dihempaskan perlahan."Ma, Pardi belum balik ke Jawa kan?" tanya Tiara, sembari mengambil garpu untuk menusuk potong
BEGITU mobil yang ditumpanginya meninggalkan halaman rumah, cepat Tiara mengambil ponselnya. Gadis itu harus segera menghubungi Sinta. Ada beberapa perubahan rencana yang harus ia sampaikan pada sekretarisnya itu. Sebenarnya waktu itu masih belum jam kerja. Tapi Tiara sudah sangat biasa merepotkan Sinta kapan pun, di mana pun. Benar-benar tak kenal waktu dan tempat. Sewaktu-waktu butuh, maka saat itu pula ia kan menelepon Sinta. "Iya, Bu?" ujar Sinta dari ujung sambungan telepon. "Saya nggak jadi masuk kantor hari ini. Dan sepertinya bakal nggak ke kantor dulu sampai seminggu ke depan," ujar Tiara tanpa basa-basi. "Oh, iya, Bu," sahut Sinta cepat. "Nanti saya sampaikan ke Pak Seno dan Pak Ryan." Kening Tiara berkerut dalam mendengar nama tunangan brengseknya disebutkan. "Kenapa harus Ryan?" tanyanya penasaran. Selama ini Ryan memang lebih senang mengurusi bisnisnya yang lain. Alasannya selalu sama, tidak paham dunia perparkiran
APA yang disampaikan Pardi membuat mood Tiara berantakan. Perasaannya seketika menjadi kacau balau. Setelah pertanyaan terakhir yang ia ajukan tadi, gadis itu langsung diam seribu bahasa.Untuk menyembunyikan perubahan sikapnya dari Pardi, Tiara sandarkan punggung ke sandaran jok. Direndahkannya sedikit sandaran tersebut, lalu menerawang ke luar melalui kaca jendela.Sempat terpikir untuk mengajak Pardi balik arah, membatalkan rencana ke Indramayu. Tiara merasa tidak sanggup bertemu Abdi. Tidak setelah ia tahu jika pemuda itu sudah bertunangan.Akan tetapi setelah dipikir-pikir lagi, gadis itu memutuskan untuk tetap datang ke sana. Setidaknya ia harus menunaikan janji pada Abdi. Meski entah nanti bagaimana ia harus berhadapan dengan pemuda tersebut."Berarti ini sebabnya dia bersikap dingin selama di hutan. Sekalipun aku sudah memberinya sinyal untuk lebih dekat lewat sentuhan, pelukan. Juga sikap anehnya setelah kami keluar dari hutan," desah Tiara di da
ABDI gelagapan dipeluk begitu rupa. Antara kaget dan juga merasa tidak, sebab ada Pardi di sana. Tapi pemuda itu tidak bisa apa-apa. Tubuhnya terdorong ke jok mobil akibat tubrukan Tiara.Pardi yang sejak awal berangkat sudah memahami gelagat Tiara, menjauh dari mobil. Lelaki berusia paruh tiga puluhan tahun tersebut menutup pintu mobil bagian depan, lalu pergi entah ke mana.Tinggallah Tiara dan Abdi berdua saja di dalam mobil, masih berpelukan. Tiara seolah tidak ingin melepaskan pemuda di dalam rangkulan tangannya. Didekapnya si pemuda erat-erat. Tangisnya pecah."Lho, kenapa menangis?" tanya Abdi kebingungan.Tangan si pemuda mulanya hanya diam, tak membalas pelukan Tiara. Tapi begitu mendengar gadis itu terisak, buru-buru dilingkarkannya kedua tangan ke tubuh si gadis.Tiara tak menjawab pertanyaan Abdi. Justru isaknya yang semakin menjadi. Gadis itu juga bingung, mengapa dirinya menangis. Sedih mendengar kabar Abdi sudah bertunangan?A
UNTUK beberapa saat Abdi tidak menjawab pertanyaan Tiara. Tapi kemudian pemuda itu berpikir lagi. Memangnya gadis itu butuh jawaban? Lagi pula, ucapannya tadi tidak memberi ruang pada jawaban tidak."Selain Ibu, yang tinggal di rumah siapa saja?" tanya Tiara lagi, mengagetkan Abdi."Mmm ..." Abdi bingung sesaat, tapi segera menjawab, "Sekarang ya sama saya. Kalau pas saya kerja di Jakarta seperti kemarin, Ibu tinggal sendiri. Hanya sesekali kakak datang menemani di akhir pekan."Tiara manggut-manggut. Ada rasa iba di dalam hati si gadis mengetahui hal tersebut. Tinggal sendirian di usia senja tentunya bukan keadaan yang diinginkan siapa pun. Tapi agaknya ibu Abdi tidak punya pilihan."Oya, tadi katanya mau cari buah?"Pertanyaan Abdi menyadarkan Tiara dari lamunan. Gadis itu buru-buru mengangguk. Entah berapa lama mereka berhenti di tempat itu gara-gara pertanyaan boleh menginap atau tidak."Ayo, di mana toko buahnya?" kata Tiara kemudian.
INSIDEN kecil di toko buah rupanya membuat posisi Tiara menjadi sulit. Perempuan yang dipanggil Eneng oleh Abdi tadi ternyata benar tunangan pemuda itu.Nama asli perempuan tersebut Atisaya. Sebuah kata dalam bahasa Sunda Kuna yang berarti 'sosok yang sangat cantik'. Ia biasa dipanggil Ati. Namun khusus Abdi dan kedua orang tuanya memanggil Eneng."Kamu nggak kejar dia sih? Dia marah tuh," kata Tiara setelah Abdi menceritakan dengan singkat.Meski terdengar sebagai ucapan penuh kepedulian, namun Tiara menyampaikannya dengan nada tidak enak. Diam-diam memang ada rasa kesal dalam dada si gadis mengingat sikap Ati tadi."Tidak usah, tidak apa-apa," jawab Abdi. Boleh saja ia terlihat tenang. Tapi pemuda itu tak dapat menyembunyikan raut cemas di wajahnya."Lagi pula kalau saya kejar dia, nanti Ibu sama siapa? Kan nggak tahu musti ke mana," lanjut Abdi, yang kontan disambut dengan pelototan mata Tiara."Ibu lagi, ibu lagi," sahut si gadis sembari
TEPAT pada saat itulah Abdi kembali. Langkah si pemuda sontak terhenti di ambang pintu kamar melihat ibunya disuapi Tiara. Sebentuk rasa aneh seketika berdesir di hatinya.Tiara menyambut kedatangan Abdi dengan senyum manis. Melihat wajah kuyu si pemuda, gadis itu tahu Ati kembali berulah. Sungguh tidak tahu tempat dan waktu, batin Tiara.Abdi berdiri serba salah untuk beberapa saat. Antara merasa tidak enak hati melihat Tiara, atasannya, menyuapi ibunya. Di sisi lain, ia khawatir dianggap tidak sopan jika menghentikan apa yang dilakukan gadis itu."Gimana si Eneng tadi? Kok nggak ikut balik?" Tanpa diduga-duga Tiara bertanya begitu.Mulut Abdi sudah membuka hendak menjawab. Namun suara ibunya sudah mendahului."Sudah atuh, Neng. Soal si Ati mah tidak usah diambil hati," kata ibu Abdi.Tiara hanya manggut-manggut sebagai tanggapan. Ucapan ibu Abdi tadi terdengar sebagai basa-basi biasa saja. Namun Tiara menangkap sesuatu di sana. Seketika se
TIARA tak tahu harus berkata apa-apa lagi setelahnya. Satu kata dari Abdi barusan langsung membuat suasana hati si gadis berantakan. Perasaannya menjadi kacau tak karuan. Selama beberap saat Tiara hanya diam. Kepala ditundukkan dalam-dalam, menghindari tatapan mata Abdi. Ia tak mau pemuda itu membaca isi hatinya dari raut wajah maupun sorot matanya. Namun hanya sebentar saja Tiara menunduk. Beberapa menit berselang si gadis sudah angkat kepalanya lagi. Matanya mendadak terasa panas. Lalu ada sesuatu yang basah mengembang di sana. "Oh, hatiku. Semoga kau baik-baik saja. Belum terlalu lama laki-laki yang kau percayai berkhianat. Kini, pelabuhan baru yang kau harapkan dapat dijadikan sebagai tempat bersandar, ternyata sudah menjadi milik orang lain." Tiara menghela napas panjang. Mencoba membuang jauh-jauh rasa sesak yang seketika muncul. Sepasang matanya yang mulai berkaca-kaca dipejamkan rapat-rapat. Susah payah Tiara menahan agar air mat