TEPAT pada saat itulah Abdi kembali. Langkah si pemuda sontak terhenti di ambang pintu kamar melihat ibunya disuapi Tiara. Sebentuk rasa aneh seketika berdesir di hatinya.
Tiara menyambut kedatangan Abdi dengan senyum manis. Melihat wajah kuyu si pemuda, gadis itu tahu Ati kembali berulah. Sungguh tidak tahu tempat dan waktu, batin Tiara.
Abdi berdiri serba salah untuk beberapa saat. Antara merasa tidak enak hati melihat Tiara, atasannya, menyuapi ibunya. Di sisi lain, ia khawatir dianggap tidak sopan jika menghentikan apa yang dilakukan gadis itu.
"Gimana si Eneng tadi? Kok nggak ikut balik?" Tanpa diduga-duga Tiara bertanya begitu.
Mulut Abdi sudah membuka hendak menjawab. Namun suara ibunya sudah mendahului.
"Sudah atuh, Neng. Soal si Ati mah tidak usah diambil hati," kata ibu Abdi.
Tiara hanya manggut-manggut sebagai tanggapan. Ucapan ibu Abdi tadi terdengar sebagai basa-basi biasa saja. Namun Tiara menangkap sesuatu di sana. Seketika se
TIARA tak tahu harus berkata apa-apa lagi setelahnya. Satu kata dari Abdi barusan langsung membuat suasana hati si gadis berantakan. Perasaannya menjadi kacau tak karuan. Selama beberap saat Tiara hanya diam. Kepala ditundukkan dalam-dalam, menghindari tatapan mata Abdi. Ia tak mau pemuda itu membaca isi hatinya dari raut wajah maupun sorot matanya. Namun hanya sebentar saja Tiara menunduk. Beberapa menit berselang si gadis sudah angkat kepalanya lagi. Matanya mendadak terasa panas. Lalu ada sesuatu yang basah mengembang di sana. "Oh, hatiku. Semoga kau baik-baik saja. Belum terlalu lama laki-laki yang kau percayai berkhianat. Kini, pelabuhan baru yang kau harapkan dapat dijadikan sebagai tempat bersandar, ternyata sudah menjadi milik orang lain." Tiara menghela napas panjang. Mencoba membuang jauh-jauh rasa sesak yang seketika muncul. Sepasang matanya yang mulai berkaca-kaca dipejamkan rapat-rapat. Susah payah Tiara menahan agar air mat
HOTEL tersebut kecil saja. Namun penampakannya sungguh menawan hati. Berupa bangunan dengan arsitektur era kolonial berlantai dua. Halamannya sangat luas, dengan taman indah pada bagian tengah.Tiara langsung terpana sejak pertama kali memandang bangunan tersebut. Mulanya ia mengira itu museum. Tapi segera paham begitu melihat papan nama besar yang memampangkan sebuah nama hotel.Tidak butuh berpikir dua kali bagi Tiara untuk membelokkan kaki. Si gadis memang penggila bangunan bersejarah. Itu sebab ia sering melarikan diri ke Eropa Timur saat masih kuliah di Amerika Serikat."Awaaas!"Sebuah teriakan keras mengagetkan Tiara. Lamunan akan indahnya bangunan-bangunan bersejarah di Eropa Timur mendadak lenyap dari kepala gadis itu.Spontan Tiara menoleh ke arah asal teriakan. Seketika itu pula si gadis menjadi kaget. Wajahnya berubah tegang, dengan sepasang mata membelalak lebar.Ciiiitttt ...!Sebuah SUV hitam menabrak Tiara. Gadis itu m
SETELAH membereskan urusan check ini, Tiara langsung mengendap di dalam kamar. Gadis itu memilih menikmati pemandangan dari balkon kamar selepas mandi dan berganti pakaian.Sembari itu, berulang kali tangannya mengangkat kartu nama dalam genggaman. Diam-diam Tiara mengingat-ingat, Theo yang mana ini. Ia merasa masih agak ragu dengan dugaannya sendiri."Mmm, coba aku hubungi Sinta. Mungkin saja dia ingat," batin Tiara kemudian.Berpikir sampai di sana gadis itu cepat raih ponsel yang tergeletak di atas meja kecil. Di antara piring berisi aneka puff pastry dan cangkir berisi kopi latte yang ia pesan melalui room service tadi."Selamat sore, Ibu," sapa Sinta dari seberang telepon."Kamu kenapa? Kok suaranya seperti bindeng begitu?" tanya Tiara tanpa basa-basi. Suara sekretarisnya itu memang terdengar seperti sedang flu."I-iya, Bu. Saya memang agak pilek ini," jawab Sinta sembari tertawa kecil."Kok nggak istirahat dulu sih? Kan bisa min
MALAM baru saja datang ketika telepon di kamar Tiara berbunyi. Gadis itu tak langsung mengangkatnya Justru kerutkan kening dalam-dalam, bertanya-tanya sendiri."Kok ada yang telepon sih? Siapa?" bisiknya dalam hati.Tiara mengingat-ingat siapa saja yang sekiranya tahu ia sedang menginap di hotel ini.Tapi sepertinya tidak ada, kecuali Theo. Itu pun pemuda tersebut tak tahu di kamar nomor berapa dirinya menginap.Ah, kecuali pemuda itu ....Tiba-tiba saja Tiara terpikir sesuatu. Bergegas ia meloncat dari tempat tidur dan mengangkat telepon."Ya, halo?""Selamat malam, Ibu Tiara.""Iya, kenapa?""Maaf mengganggu, Bu. Tapi ada tamu yang sedang menunggu Ibu di lobi. Bapak Theo."Tiara langsung tersenyum lebar mendengar nama itu. Benar dugaannya, Theo pasti tahu cara untuk menemukan di kamar mana dirinya menginap.Diam-diam Tiara agak menyesal kenapa dirinya tidak menggunakan layanan incognito tadi. Tapi, tidak ap
MESKI merasa sangat nyambung dengan Theo, tapi Tiara tetap berusaha menjaga jarak. Bagaimana pun dirinya masih berstatus tunangan Ryan. Status yang kini sangat ia benci.Gadis itu juga masih menyimpan jati dirinya. Sampai kemudian mereka tiba di restoran tujuan, Theo belum tahu siapa sebenarnya Tiara.Theo berpikir Tiara hanyalah karyawan di PT Tirya Parkindo. Paling tinggi seorang manajer. Dan karena etika yang ia junjung tinggi, pemuda tersebut tidak sekali pun berniat mengorek hal itu lebih jauh."Kamu ada makanan yang jadi pantangan?" tanya Theo ketika mereka mulai memasuki kawasan pantai.Tiara cepat menggeleng."Nggak ada sih. Apa saja suka," sahutnya, sembari memerhatikan ke segala arah.Kawasan pantai yang mereka masuki sangat ramai. Suasana bagaikan siang hari di sana. Terang benderang oleh deretan lampu besar-besar.Warung-warung makan dan beberapa restoran berjejer rapi di kanan-kiri jalan. Masing-masing menawarkan menu and
YANG mengirim pesan ternyata Abdi. Pemuda itu menuliskan satu pertanyaan pendek saja. Jadi menginap di hotel mana?Pertanyaan yang membuat Tiara serba salah. Bukan karena lupa mengabari Abdi ketika ia sudah mendapat penginapan. Tapi karena gadis itu jadi ingat, telah berjanji untuk menjenguk ibunya Abdi malam ini."Ada apa?" tanya Theo dengan kening berkerut.Pertanyaan pendek itu terdengar biasa saja. Namun pemuda perlente tersebut tak dapat menyembunyikan raut muka keberatan. Merasa tidak rela acara makan malamnya dengan si gadis terganggu.Tiara spontan menggeleng. Bibirnya mengembangkan senyum lebar."Nggak! Nggak apa-apa kok," sahutnya cepat.Sambil berkata begitu Tiara masukkan ponselnya kembali ke dalam tas tangan. Sebelum benda itu menghilang dari pandangan, diam-diam mata Tiara melirik jam digital yang tertera di layar."Masih belum terlalu malam. Kalau aku bisa mengusahakan makan malam ini selesai kurang dari satu jam, masih
KAMAR tempat ibu Abdi dirawat tampak lengang. Hanya ada si ibu yang tengah terlelap di pembaringan. Tak seorang pun menemani. Tiara jadi celingak-celinguk sendiri dibuatnya."Ke mana Abdi?" tanya Tiara dalam hati.Perlahan-lahan sekali gadis tersebut masuk ke dalam kamar. Ia tak mau kehadirannya menimbulkan bunyi sedikit pun, yang mungkin dapat membangunkan ibu Abdi dari tidur.Tapi lain rencana lain kenyataan. Tepat saat Tiara menginjakkan telapak kakinya ke lantai kamar tersebut, satu suara perempuan nan cempreng menyambut."Eh, Eneng ini temannya si Abdi ya?" tanya suara tersebut tiba-tiba.Tiara terjingkat kaget. Benar-benar kaget. Napas si gadis sampai naik-turun tak karuan. Sambil memegangi dada, ia pun menolehkan kepala ke arah asal suara.Rupanya yang mengajak bicara keluarga pasien di kamar sebelah. Belum sempat Tiara menjawab, seorang perempuan paruh baya telah mendatanginya."Tadi si Abdi titip pesan, kalau Eneng datang dis
MELIHAT gelagat Tiara, semakin yakinlah ibu Abdi jika yang sedang bersamanya saat itu adalah bos anaknya. Bukan sekedar teman seperti yang tadi siang dikatakan si gadis.Sontak wanita paruh baya tersebut tegakkan posisi duduknya. Wajahnya sedikit menegang. Sebab dari cerita Abdi ia tahu jika bosnya adalah seorang kaya raya lagi terhormat."Aduh, maafkan saya ya, Neng. Eh, maksud saya Bu. Saya benar-benar tidak tahu kalau Ibu ini bosnya Abdi di kantor," ujar ibu Abdi dengan sikap serba salah."Habisnya, Ibu tadi cuma bilang teman Abdi dari Jakarta. Kan saya jadi mengira benar-benar teman kantor," tambah wanita tersebut. Wajahnya menunjukkan ekspresi menyesal.Tiara tersenyum tipis. Inilah yang tidak diinginkan gadis itu sejak tadi. Alasan kenapa ia tak mau berterus terang mengenai siapa dirinya saat memperkenalkan diri."Ibu kenapa? Tidak apa-apa, Bu," sahut Tiara sembari tersenyum tak kalah serba salah.Susah payah gadis itu berusaha mencega