KEDATANGAN para partner bisnis, yang kemudian malah membicarakan Ryan, membuat Tiara kehilangan gairah di sisa hari itu. Begitu sore berganti malam si gadis memilih menghabiskan waktu di rumah saja.
Padahal mulanya Tiara punya rencana mengajak kedua orangnya dan Abdi makan malam di dekat alun-alun. Namun pada akhirnya selepas Magrib ia hanya duduk-duduk saja di teras. Sendirian.
Secangkir wedang jahe menemani Tiara. Smartphone-nya tergeletak begitu saja di atas meja dalam keadaan tidak aktif. Gadis itu sendiri tengah menerawang ke kejauhan, menembus kegelapan malam.
"Sendirian saja, Bu?"
Satu suara tiba-tiba mengagetkan Tiara. Sontak kepalanya berputar ke arah asal suara tersebut. Senyum manisnya seketika merekah lebar begitu mengetahui siapa yang muncul.
Tampak Abdi mendekat dan menggeser salah satu kursi, lalu duduk di atasnya. Berhadap-hadapan dengan Tiara. Secangkir minuman yang dibawanya diletakkan di atas meja.
"Eh, tadi kamu
TAK seperti yang dibayangkan Tiara maupun Abdi, bukan pembicaraan serius yang ingin dilakukan Bu Wardoyo. Wanita paruh baya itu ingin menyampaikan rasa terima kasih secara pribadi kepada Abdi.Meski sebelumnya Pak Wardoyo sudah menyampaikan terima kasih, namun itu dirasa belum cukup. Ucapan tersebut hanya sambil lalu saja. Dan lagi, rupanya Bu Wardoyo ingin memberikan sesuatu pada Abdi sebagai wujud terima kasih."Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak padamu, Abdi. Dari apa yang diceritakan Tiara pada saya, selama berada di hutan anak itu selalu merepotkan kamu terus," ujar Bu Wardoyo dengan tulus.Abdi menanggapi dengan senyum serba salah. Pemuda itu sama sekali tidak merasa direpotkan oleh Tiara. Tapi, memang harus diakui sikap keras kepala gadis tersebut terkadang membuatnya jengkel."Ibu tidak perlu mengucapkan terima kasih begini. Saya hanya melakukan apa yang seharuskan dilakukan," sahut Abdi, sama seperti jawaban yang ia berikan pada Pak
PAGI masih bertabur embun. Namun mesin minibus berlogo huruf T di bempernya itu sudah dipanaskan oleh Pardi. Pintu bagasi di bagian belakang kendaraan terbuka lebar. Menampakkan tumpukan barang-barang.Di teras, Mbak Minah tengah menyiapkan berbagai hidangan ringan untuk sarapan. Jejeran gelas-gelas berisi teh panas bersanding dengan sebuah ceret kaca besar. Lalu ada pula piring-piring dengan aneka jajanan pasar di atasnya."Sarapan dulu, Pak, Bu," ujar Mbak Minah mempersilakan.Pak Wardoyo dan isterinya yang diajak bicara tak menyahut. Mereka sibuk sendiri mondar-mandir keluar-masuk rumah. Tiara yang kemudian menanggapi, mengucapkan terima kasih pada Mbak Minah.Gadis itu lantas menyeret lengan Abdi, mengajaknya duduk di meja teras. Sigap tangan Tiara memindahkan satu gelas teh panas ke hadapan pemuda tersebut."Eh, nggak usah repot-repot," cegah Abdi dengan perasaan tidak enak.Tangan pemuda tersebut spontan terulur, menahan tangan Tiara y
SESUAI keinginan Pak Wardoyo, minibus mewah yang dikemudikan Pardi sudah memasuki tol dalam kota Jakarta sebelum tengah hari. Dengan sigap Pardi mengambil jalan menuju ke arah utara. Tujuan mereka sebuah perumahan elite di kawasan Ancol. "Nggak lupa jalannya kan, Di?" tanya Pak Wardoyo. Sejak dari Indramayu, lelaki paruh baya itu pindah tempat duduk di sebelah sopir. Ditanyai begitu Pardi tertawa lebar. "Kalau belum pindah sih nggak lupa saya, Pak," jawabnya ringan, tahu kalau Pak Wardoyo hanya bercanda. Setelah menyusuri jalanan ibukota selama sekitar setengah jam, mereka pun tiba di tujuan. Sebuah rumah besar nan megah di tepi laut Teluk Jakarta menyambut dengan ramah. Begitu Pardi menghentikan mobil di halaman, Tiara tak memedulikan apa-apa lagi. Gadis itu langsung turun dan masuk ke dalam. Terus ke kamar dan merebahkan tubuhnya yang tiba-tiba saja terasa sangat lesu ke atas kasur empuk. Entahlah, Tiara merasakan pikirannya kosong.
ASYIK melamunkan Abdi lama-lama membuat Tiara mengantuk. Sempat ditahan-tahannya rasa kantuk, karena teringat belum mandi sedari tiba tadi. Namun gadis itu rupanya tak kuasa melawan. Terbuai ke alam impian.Nyenyak sekali tidur gadis itu. Belum pernah ia tidak selelap ini sebelumnya. Mungkin karena ada perasaan nyaman di dalam hati kecilnya. Sebab ini kali pertama Tiara berada di kamarnya sendiri.Bu Wardoyo sempat masuk untuk mengajak Tiara makan malam. Namun niat tersebut diurungkan ketika melihat sang puteri begitu lelap. Wanita paruh baya itu hanya mematikan lampu besar, lalu menghidupkan lampu tidur dan keluar lagi.Tiara baru terjaga pada pagi-pagi buta keesokan harinya. Agak kaget, untuk beberapa saat gadis itu berulang kali mengerjapkan kelopak mata yang masih terasa lengket."Ooh, jam berapa ini?" tanya Tiara pada diri sendiri.Masih digelayuti rasa kantuk, gadis itu bangkit dari tidurnya. Duduk di tepian kasur sembari memandangi sei
BUKAN Tiara namanya kalau tidak ngotot meraih apa yang ia inginkan. Demikian pula keinginannya untuk segera bertemu kembali dengan Abdi.Pesan yang dikirimkan Abdi tadi memunculkan satu gagasan di benak Tiara. Ibu pemuda itu tengah sakit, dirawat di rumah sakit. Ini kesempatan, atau sebut saja alasan, bagus baginya untuk datang ke Indramayu.Setelah puas menguras air mata, Tiara bergegas mandi. Suasana sudah terang ketika gadis itu keluar dari kamar. Di dapur Bu Wardoyo sudah sibuk bersama Mbak Yem."Eh, akhirnya bangun juga kamu," sambut Bu Wardoyo, lalu mencium pipi anak gadisnya kiri-kanan."Selamat pagi, Mbak. Nyenyak banget ya tidurnya," timpal Mbak Yem dengan senyum khasnya.Tiara hanya menanggapi semua itu dengan senyum kecil. Tangan rampingnya menarik sebuah kursi di meja makan yang berada di area dapur. Lalu pantatnya dihempaskan perlahan."Ma, Pardi belum balik ke Jawa kan?" tanya Tiara, sembari mengambil garpu untuk menusuk potong
BEGITU mobil yang ditumpanginya meninggalkan halaman rumah, cepat Tiara mengambil ponselnya. Gadis itu harus segera menghubungi Sinta. Ada beberapa perubahan rencana yang harus ia sampaikan pada sekretarisnya itu. Sebenarnya waktu itu masih belum jam kerja. Tapi Tiara sudah sangat biasa merepotkan Sinta kapan pun, di mana pun. Benar-benar tak kenal waktu dan tempat. Sewaktu-waktu butuh, maka saat itu pula ia kan menelepon Sinta. "Iya, Bu?" ujar Sinta dari ujung sambungan telepon. "Saya nggak jadi masuk kantor hari ini. Dan sepertinya bakal nggak ke kantor dulu sampai seminggu ke depan," ujar Tiara tanpa basa-basi. "Oh, iya, Bu," sahut Sinta cepat. "Nanti saya sampaikan ke Pak Seno dan Pak Ryan." Kening Tiara berkerut dalam mendengar nama tunangan brengseknya disebutkan. "Kenapa harus Ryan?" tanyanya penasaran. Selama ini Ryan memang lebih senang mengurusi bisnisnya yang lain. Alasannya selalu sama, tidak paham dunia perparkiran
APA yang disampaikan Pardi membuat mood Tiara berantakan. Perasaannya seketika menjadi kacau balau. Setelah pertanyaan terakhir yang ia ajukan tadi, gadis itu langsung diam seribu bahasa.Untuk menyembunyikan perubahan sikapnya dari Pardi, Tiara sandarkan punggung ke sandaran jok. Direndahkannya sedikit sandaran tersebut, lalu menerawang ke luar melalui kaca jendela.Sempat terpikir untuk mengajak Pardi balik arah, membatalkan rencana ke Indramayu. Tiara merasa tidak sanggup bertemu Abdi. Tidak setelah ia tahu jika pemuda itu sudah bertunangan.Akan tetapi setelah dipikir-pikir lagi, gadis itu memutuskan untuk tetap datang ke sana. Setidaknya ia harus menunaikan janji pada Abdi. Meski entah nanti bagaimana ia harus berhadapan dengan pemuda tersebut."Berarti ini sebabnya dia bersikap dingin selama di hutan. Sekalipun aku sudah memberinya sinyal untuk lebih dekat lewat sentuhan, pelukan. Juga sikap anehnya setelah kami keluar dari hutan," desah Tiara di da
ABDI gelagapan dipeluk begitu rupa. Antara kaget dan juga merasa tidak, sebab ada Pardi di sana. Tapi pemuda itu tidak bisa apa-apa. Tubuhnya terdorong ke jok mobil akibat tubrukan Tiara.Pardi yang sejak awal berangkat sudah memahami gelagat Tiara, menjauh dari mobil. Lelaki berusia paruh tiga puluhan tahun tersebut menutup pintu mobil bagian depan, lalu pergi entah ke mana.Tinggallah Tiara dan Abdi berdua saja di dalam mobil, masih berpelukan. Tiara seolah tidak ingin melepaskan pemuda di dalam rangkulan tangannya. Didekapnya si pemuda erat-erat. Tangisnya pecah."Lho, kenapa menangis?" tanya Abdi kebingungan.Tangan si pemuda mulanya hanya diam, tak membalas pelukan Tiara. Tapi begitu mendengar gadis itu terisak, buru-buru dilingkarkannya kedua tangan ke tubuh si gadis.Tiara tak menjawab pertanyaan Abdi. Justru isaknya yang semakin menjadi. Gadis itu juga bingung, mengapa dirinya menangis. Sedih mendengar kabar Abdi sudah bertunangan?A