DENGAN tergesa Tiara membuka pintu kamar. Kali ini benar-benar dibuka lebar, tidak seperti saat membukakan pintu untuk Ryan tadi. Gadis itu seketika terguguk dalam tangis ketika melihat sosok yang paling dikasihinya berdiri di depan kamar.
"Mama?" seru Tiara. Suaranya menjadi serak oleh haru yang kembali merayap.
Sesosok wanita paruh baya langsung menubruk Tiara. Memeluk gadis itu erat-erat, yang dibalas oleh Tiara dengan tak kalah erat. Lalu keduanya larut dalam tangis.
"Tiara, ya ampun, syukurlah kamu masih selamat," ujar wanita paruh baya yang tak lain adalah mama Tiara.
Ryan masih berada di sana. Pemuda tersebut berdiri diam terpaku pada tempatnya. Hanya dapat memandangi dua orang yang tengah berpelukan sembari sama-sama menangis tersebut.
Sementara itu seorang lelaki paruh baya berjalan mendekati kedua perempuan tersebut. Kemudian tanpa berkata apa-apa ia turut bergabung dalam pelukan. Tangannya yang panjang terentang, memeluk kedua ibu dan an
SEMBARI menunggu kedatangan Abdi, Tiara rupanya punya pikiran lain. Ia mengusulkan pada Papa dan Mama untuk sekalian keluar dari hotel. Check out dan pndah ke rumah keluarga di Batang.Keluarga besar Mama punya rumah peninggalan leluhur di batas kota Batang. Rumah kuna dari jaman penjajahan Belanda tersebut telah menjadi milik pribadi Mama. Dan Pardi yang dipercaya untuk menjaga rumah tersebut.Mama tentu saja menurut. Papa pun membebek saja. Maka begitu Abdi dan Pardi muncul di kamar tersebut, Tiara langsung meminta Pardi untuk mengurus check out dan menyiapkan mobil."Hmm, jadi kamu yang namanya Abdi?" tanya Papa kepada Abdi setelah Pardi pamit keluar dari kamar.Abdi mengulum senyum sembari anggukkan kepala penuh hormat. Sebagai seorang karyawan rendahan, seorang sopir perusahaan, pemuda itu berpikiran bahwa papa Tiara adalah juga atasannya. Orang yang harus dihormati sepenuh hati."Ini yang namanya Abdi, Pa. Dia rupanya seoran
RYAN tak langsung meninggalkan hotel setelah berpamitan pada Pak Wardoyo, isterinya, juga Tiara. Pemuda itu hanya memindah posisi mobil, agar dapat lebih jelas melihat minibus yang digunakan Keluarga Wardoyo.Sejak pertama bertemu Tiara di depan kamar, Ryan sudah merasakan sikap Tiara sangat berubah terhadapnya. Benar-benar tidak ada mesra-mesranya lagi. Bahkan membuka pintu pun tidak mau.Padahal dulu gadis itu akan langsung menggelendot di bahunya jika berhari-hari tak bertemu. Ryan tak habis pikir, apakah ini benar-benar karena perselingkuhannya dengan Anita? Padahal dirinya hanya sedang berpelukan dan berciuman ketika dilihat Tiara."Oh, Anita! Dia bisa membantuku kali ini," desis Ryan ketika teringat pada Anita.Cepat Ryan merogoh kantung celana, di mana smartphone-nya ia letakkan. Hanya sekali pencet tombol redial, panggilan ke nomor telepon Anita sudah dilakukan. Menandakan betapa seringnya Ryan menghubungi Anita."Halo, Sa
MINIBUS mewah itu masuk ke halaman luas sebuah rumah besar. Lalu berhenti tepat di samping tangga yang menuju ke teras. Seorang wanita berusia awal tiga puluhan tahun menyambut kedatangan mereka dengan tergopoh-gopoh.Sekilas pandang saja dapat diketahui jika rumah besar tersebut peninggalan jaman penjajahan Belanda. Atapnya yang begitu tinggi lagi curam, khas rumah tropis rancangan arsitek Hindia Belanda. Demikian pula pilar-pilar di teras, serta dindingnya yang tebal.Tiara merentangkan kedua belah tangannya begitu memasuki teras. Kepala gadis itu mendongak. Hidungnya menghirup udara segar di tempat yang dikelilingi aneka pepohonan menghijau."Aku kangen banget rumah ini!" seru Tiara, entah pada siapa.Bu Wardoyo menghampiri puterinya, lalu memeluk pinggang ramping si gadis. Semasa kecil Tiara sering sekali diajak ke rumah tersebut. Masa-masa di mana kakek dan neneknya masih hidup dan tinggal di sana."Sekarang kamu bisa puas-puasin tinggal di si
RUMAH dari jaman kolonial Hindia Belanda itu terletak di antara pepohonan jati muda. Sebuah kebun jati yang luasnya sekitar lima kali lapangan sepak bola. Sisa-sisa perkebunan yang jauh lebih luas milik leluhur Tiara dulu.Ukuran batang jati muda di kebun tersebut tak terlalu besar. Hanya sekitar sepemelukan orang dewasa. Namun pohon jati-jati muda itu tinggi menjulang, serta daun-daunnya yang lebar begitu rimbun. Membuat suasana sekitar rumah menjadi asri dan sejuk.Usai sarapan Bu Wardoyo mengajak Tiara jalan-jalan di kebun tersebut. Alasan sang mama, ingin mengenang masa kecil. Dulu di luasan tanah yang sekarang jadi kebun jati itu Bu Wardoyo biasa bermain-main."Sejuk sekali di sini ya, Ma. Nggak kaya di Jakarta yang sumpek!" ujar Tiara membuka obrolan.Angin bertiup semilir, menggoyang dedaunan jati. Gesekan antara daun-daun menimbulkan suara gemerisik nan syahdu. Tiara tersenyum-senyum sendiri merasakan semua keasrian alam itu."Ya namanya ju
TIARA bergegas mendekati mamanya. Dipandanginya wajah Bu Wardoyo dengan tatapan tak percaya. Di saat ia ingin mengakhiri hubungan dengan Ryan, Papa malah sudah menghitung-hitung tanggal."Maksud Mama, Papa dan Pak Wijaya sudah berniat melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat?" tanya Tiara menegaskan.Bu Wardoyo mengangguk dengan wajah keheranan. Alih-alih senang, dilihatnya Tiara justru bermuka masam mendengar kabar itu. Semakin jelas bagi wanita paruh baya tersebut, hubungan sang puteri dan Ryan tengah bermasalah."Kapan kira-kira, Ma?" tanya Tiara lagi. Ia hanya sekedar ingin tahu rencana kedua orang tuanya."Pak Wijaya maunya sih bulan depan ....""Bulan depan?" ulang Tiara setengah berteriak. Matanya yang sudah mendelik bertambah besar saja. Sedangkan wajahnya berubah merah kelam."Itu maunya Pak Wijaya," sahut Bu Wardoyo, berusaha menenangkan. "Kalau Papa sih pasti akan mengajak bicara kamu dulu nanti. Tunggu saja."Tiara diam.
MATAHARI sudah tergelincir ke sisi langit sebelah barat ketika Tiara dan Bu Wardoyo memutuskan kembali. Mereka berdua sama-sama merasa haus, tadi lupa membawa air minum. Perut keduanya juga mulai keroncongan minta diisi.Begitu sampai di rumah, rupanya Pak Wardoyo sudah menunggu. Lelaki paruh baya itu sedang duduk bertiga bersama Abdi dan Pardi. Namun langsung meninggalkan bangku tempatnya duduk sewaktu melihat kedatangan Tiara dan Bu Wardoyo.Bu Wardoyo dapat membaca gelagat sang suami. Sebelum lelaki itu mendekat, tangannya menggamit lengan Tiara. Bibirnya lantas didekatkan ke telinga sang puteri."Tuh, papamu sudah tidak sabar ingin mengajak bicara," bisik Bu Wardoyo."Aduh, Tiara belum siap, Ma. Mama saja dulu yang bicara sama Papa," sahut Tiara.Jawaban itu ditanggapi Bu Wardoyo dengan mengangkat bahu. Saat suaminya sudah dekat, wanita tersebut berjalan mendahului Tiara. Segera digaetnya tangan Pak Wardoyo dan diajak masuk ke dalam rumah.
BEGITU Pardi kembali membawakan smartphone baru untuknya, Tiara langsung sibuk menelepon ke Jakarta. Semua nomor kontaknya disimpan di akun email. Sehingga meski nomornya berganti karena hilang, semua kontak penting masih tersimpan.Orang yang pertama kali dihubungi Tiara adalah Sinta, sekretarisnya di kantor. Isak tangis langsung terdengar dari ujung sambungan telepon begitu Sinta tahu yang meneleponnya adalah Tiara."Ya ampun, ini beneran Ibu Tiara?" seru Sinta dengan suara serak.Tiara hanya bisa geleng-geleng kepala. Gadis itu tak bisa membayangkan Sinta yang masih berada di kantor menangis terisak-isak."Iya, ini saya. Sudah, tidak usah pakai menangis segala, saya tidak apa-apa kok," sahut Tiara, setengah kesal karena harus menahan niatnya untuk langsung bertanya mengenai urusan kantor."Habisnya, Ibu menghilang tanpa kabar lebih dari sebulan," kata Sinta, masih dengan terisak. "Kan saya jadi sedih, Bu. Takut Ibu kenapa-kenapa."
SORE harinya Tiara mendapat kejutan tak terduga. Selagi dirinya tengah asyik menyirami aneka tanaman bunga di taman belakang, Pardi datang membawa kabar yang sungguh tak disangka-sangka. "Mbak, ada tamu rombongan yang ingin bertemu," ujar Pardi. Tiara sontak hentikan gerakan tangannya yang tengah menyiram satu pot. Ujung kedua alisnya bertaut. Rasa heran seketika menggelayuti benaknya. "Tamu rombongan?" ulangnya. "Iya, Mbak. Banyak mobil tuh di depan," sahut Pardi. "Siapa sih?" tanya Tiara yang tak dapat menebak siapa tamu-tamu tersebut. Ia bahkan tak menyangka ada yang tahu dirinya tengah berada di tempat itu. Pardi angkat bahu, mengisyaratkan dirinya tidak tahu apa-apa. "Mbak temui saja, karena mereka bilangnya mau bertemu dengan Ibu Tiara," kata Pardi menyarankan. Tiara menurut. Disiramkannya seluruh air dalam gembor (alat penyiram) seng yang ia pegang ke sebuah pot. Lalu buru-buru menuju ke depan setelah meletakkan