RYAN tak langsung meninggalkan hotel setelah berpamitan pada Pak Wardoyo, isterinya, juga Tiara. Pemuda itu hanya memindah posisi mobil, agar dapat lebih jelas melihat minibus yang digunakan Keluarga Wardoyo.
Sejak pertama bertemu Tiara di depan kamar, Ryan sudah merasakan sikap Tiara sangat berubah terhadapnya. Benar-benar tidak ada mesra-mesranya lagi. Bahkan membuka pintu pun tidak mau.
Padahal dulu gadis itu akan langsung menggelendot di bahunya jika berhari-hari tak bertemu. Ryan tak habis pikir, apakah ini benar-benar karena perselingkuhannya dengan Anita? Padahal dirinya hanya sedang berpelukan dan berciuman ketika dilihat Tiara.
"Oh, Anita! Dia bisa membantuku kali ini," desis Ryan ketika teringat pada Anita.
Cepat Ryan merogoh kantung celana, di mana smartphone-nya ia letakkan. Hanya sekali pencet tombol redial, panggilan ke nomor telepon Anita sudah dilakukan. Menandakan betapa seringnya Ryan menghubungi Anita.
"Halo, Sa
MINIBUS mewah itu masuk ke halaman luas sebuah rumah besar. Lalu berhenti tepat di samping tangga yang menuju ke teras. Seorang wanita berusia awal tiga puluhan tahun menyambut kedatangan mereka dengan tergopoh-gopoh.Sekilas pandang saja dapat diketahui jika rumah besar tersebut peninggalan jaman penjajahan Belanda. Atapnya yang begitu tinggi lagi curam, khas rumah tropis rancangan arsitek Hindia Belanda. Demikian pula pilar-pilar di teras, serta dindingnya yang tebal.Tiara merentangkan kedua belah tangannya begitu memasuki teras. Kepala gadis itu mendongak. Hidungnya menghirup udara segar di tempat yang dikelilingi aneka pepohonan menghijau."Aku kangen banget rumah ini!" seru Tiara, entah pada siapa.Bu Wardoyo menghampiri puterinya, lalu memeluk pinggang ramping si gadis. Semasa kecil Tiara sering sekali diajak ke rumah tersebut. Masa-masa di mana kakek dan neneknya masih hidup dan tinggal di sana."Sekarang kamu bisa puas-puasin tinggal di si
RUMAH dari jaman kolonial Hindia Belanda itu terletak di antara pepohonan jati muda. Sebuah kebun jati yang luasnya sekitar lima kali lapangan sepak bola. Sisa-sisa perkebunan yang jauh lebih luas milik leluhur Tiara dulu.Ukuran batang jati muda di kebun tersebut tak terlalu besar. Hanya sekitar sepemelukan orang dewasa. Namun pohon jati-jati muda itu tinggi menjulang, serta daun-daunnya yang lebar begitu rimbun. Membuat suasana sekitar rumah menjadi asri dan sejuk.Usai sarapan Bu Wardoyo mengajak Tiara jalan-jalan di kebun tersebut. Alasan sang mama, ingin mengenang masa kecil. Dulu di luasan tanah yang sekarang jadi kebun jati itu Bu Wardoyo biasa bermain-main."Sejuk sekali di sini ya, Ma. Nggak kaya di Jakarta yang sumpek!" ujar Tiara membuka obrolan.Angin bertiup semilir, menggoyang dedaunan jati. Gesekan antara daun-daun menimbulkan suara gemerisik nan syahdu. Tiara tersenyum-senyum sendiri merasakan semua keasrian alam itu."Ya namanya ju
TIARA bergegas mendekati mamanya. Dipandanginya wajah Bu Wardoyo dengan tatapan tak percaya. Di saat ia ingin mengakhiri hubungan dengan Ryan, Papa malah sudah menghitung-hitung tanggal."Maksud Mama, Papa dan Pak Wijaya sudah berniat melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat?" tanya Tiara menegaskan.Bu Wardoyo mengangguk dengan wajah keheranan. Alih-alih senang, dilihatnya Tiara justru bermuka masam mendengar kabar itu. Semakin jelas bagi wanita paruh baya tersebut, hubungan sang puteri dan Ryan tengah bermasalah."Kapan kira-kira, Ma?" tanya Tiara lagi. Ia hanya sekedar ingin tahu rencana kedua orang tuanya."Pak Wijaya maunya sih bulan depan ....""Bulan depan?" ulang Tiara setengah berteriak. Matanya yang sudah mendelik bertambah besar saja. Sedangkan wajahnya berubah merah kelam."Itu maunya Pak Wijaya," sahut Bu Wardoyo, berusaha menenangkan. "Kalau Papa sih pasti akan mengajak bicara kamu dulu nanti. Tunggu saja."Tiara diam.
MATAHARI sudah tergelincir ke sisi langit sebelah barat ketika Tiara dan Bu Wardoyo memutuskan kembali. Mereka berdua sama-sama merasa haus, tadi lupa membawa air minum. Perut keduanya juga mulai keroncongan minta diisi.Begitu sampai di rumah, rupanya Pak Wardoyo sudah menunggu. Lelaki paruh baya itu sedang duduk bertiga bersama Abdi dan Pardi. Namun langsung meninggalkan bangku tempatnya duduk sewaktu melihat kedatangan Tiara dan Bu Wardoyo.Bu Wardoyo dapat membaca gelagat sang suami. Sebelum lelaki itu mendekat, tangannya menggamit lengan Tiara. Bibirnya lantas didekatkan ke telinga sang puteri."Tuh, papamu sudah tidak sabar ingin mengajak bicara," bisik Bu Wardoyo."Aduh, Tiara belum siap, Ma. Mama saja dulu yang bicara sama Papa," sahut Tiara.Jawaban itu ditanggapi Bu Wardoyo dengan mengangkat bahu. Saat suaminya sudah dekat, wanita tersebut berjalan mendahului Tiara. Segera digaetnya tangan Pak Wardoyo dan diajak masuk ke dalam rumah.
BEGITU Pardi kembali membawakan smartphone baru untuknya, Tiara langsung sibuk menelepon ke Jakarta. Semua nomor kontaknya disimpan di akun email. Sehingga meski nomornya berganti karena hilang, semua kontak penting masih tersimpan.Orang yang pertama kali dihubungi Tiara adalah Sinta, sekretarisnya di kantor. Isak tangis langsung terdengar dari ujung sambungan telepon begitu Sinta tahu yang meneleponnya adalah Tiara."Ya ampun, ini beneran Ibu Tiara?" seru Sinta dengan suara serak.Tiara hanya bisa geleng-geleng kepala. Gadis itu tak bisa membayangkan Sinta yang masih berada di kantor menangis terisak-isak."Iya, ini saya. Sudah, tidak usah pakai menangis segala, saya tidak apa-apa kok," sahut Tiara, setengah kesal karena harus menahan niatnya untuk langsung bertanya mengenai urusan kantor."Habisnya, Ibu menghilang tanpa kabar lebih dari sebulan," kata Sinta, masih dengan terisak. "Kan saya jadi sedih, Bu. Takut Ibu kenapa-kenapa."
SORE harinya Tiara mendapat kejutan tak terduga. Selagi dirinya tengah asyik menyirami aneka tanaman bunga di taman belakang, Pardi datang membawa kabar yang sungguh tak disangka-sangka. "Mbak, ada tamu rombongan yang ingin bertemu," ujar Pardi. Tiara sontak hentikan gerakan tangannya yang tengah menyiram satu pot. Ujung kedua alisnya bertaut. Rasa heran seketika menggelayuti benaknya. "Tamu rombongan?" ulangnya. "Iya, Mbak. Banyak mobil tuh di depan," sahut Pardi. "Siapa sih?" tanya Tiara yang tak dapat menebak siapa tamu-tamu tersebut. Ia bahkan tak menyangka ada yang tahu dirinya tengah berada di tempat itu. Pardi angkat bahu, mengisyaratkan dirinya tidak tahu apa-apa. "Mbak temui saja, karena mereka bilangnya mau bertemu dengan Ibu Tiara," kata Pardi menyarankan. Tiara menurut. Disiramkannya seluruh air dalam gembor (alat penyiram) seng yang ia pegang ke sebuah pot. Lalu buru-buru menuju ke depan setelah meletakkan
KEDATANGAN para partner bisnis, yang kemudian malah membicarakan Ryan, membuat Tiara kehilangan gairah di sisa hari itu. Begitu sore berganti malam si gadis memilih menghabiskan waktu di rumah saja.Padahal mulanya Tiara punya rencana mengajak kedua orangnya dan Abdi makan malam di dekat alun-alun. Namun pada akhirnya selepas Magrib ia hanya duduk-duduk saja di teras. Sendirian.Secangkir wedang jahe menemani Tiara. Smartphone-nya tergeletak begitu saja di atas meja dalam keadaan tidak aktif. Gadis itu sendiri tengah menerawang ke kejauhan, menembus kegelapan malam."Sendirian saja, Bu?"Satu suara tiba-tiba mengagetkan Tiara. Sontak kepalanya berputar ke arah asal suara tersebut. Senyum manisnya seketika merekah lebar begitu mengetahui siapa yang muncul.Tampak Abdi mendekat dan menggeser salah satu kursi, lalu duduk di atasnya. Berhadap-hadapan dengan Tiara. Secangkir minuman yang dibawanya diletakkan di atas meja."Eh, tadi kamu
TAK seperti yang dibayangkan Tiara maupun Abdi, bukan pembicaraan serius yang ingin dilakukan Bu Wardoyo. Wanita paruh baya itu ingin menyampaikan rasa terima kasih secara pribadi kepada Abdi.Meski sebelumnya Pak Wardoyo sudah menyampaikan terima kasih, namun itu dirasa belum cukup. Ucapan tersebut hanya sambil lalu saja. Dan lagi, rupanya Bu Wardoyo ingin memberikan sesuatu pada Abdi sebagai wujud terima kasih."Sekali lagi saya mengucapkan terima kasih banyak padamu, Abdi. Dari apa yang diceritakan Tiara pada saya, selama berada di hutan anak itu selalu merepotkan kamu terus," ujar Bu Wardoyo dengan tulus.Abdi menanggapi dengan senyum serba salah. Pemuda itu sama sekali tidak merasa direpotkan oleh Tiara. Tapi, memang harus diakui sikap keras kepala gadis tersebut terkadang membuatnya jengkel."Ibu tidak perlu mengucapkan terima kasih begini. Saya hanya melakukan apa yang seharuskan dilakukan," sahut Abdi, sama seperti jawaban yang ia berikan pada Pak
TANPA terasa tiga tahun sudah Tiara menjalani pendidikan di Inggris. Impian lamanya untuk meraih gelar doktor sebentar lagi tercapai. Sudah tercapai sebetulnya, hanya tinggal menunggu upacara pengukuhan beberapa hari ke depan. Karena itulah gadis tersebut jadi lebih sibuk hari-hari belakangan ini. Bukan lagi disibukkan oleh urusan persiapan ujian tesis, karena itu semua sudah berlalu. Tiara memperoleh nilai memuaskan karena berhasil membuat terkesan para pengujinya. Kesibukannya kali ini karena papa dan mamanya akan datang. Terang saja kedua orang tuanya ingin menghadiri upacara pengukuhan sang puteri tercinta. Untuk itu Tiara musti mempersiapkan segala sesuatu yang diperlukan selama papa-mamanya berada di Coventry. Selama ini Tiara memilih tinggal di asrama kampus. Selain demi menghemat anggaran, itu juga menjadi caranya agar lebih fokus pada pendidikan. Namun, pihak kampus melarang selain mahasiswa untuk menginap di asrama. Jadilah Tiara kelimpungan mencari
SEJAK mendengar penjelasan Haji Sobirin, perasaan cinta kasih Abdi terhadap Atisaya semakin bertambah-tambah. Abdi ikut merasa bersalah atas kematian ibu istrinya tersebut, sebab kelalaian ayahnya yang menyebabkan ibu mertuanya terluka parah dan akhirnya menutup usia.Tambahan lagi setelah mendengar uraian panjang lebar dari Haji Sobirin mengenai kanker serviks yang dialami Atisaya. Ketika akhirnya mau memeriksakan diri ke dokter, penyakit yang diderita Atisaya ternyata sudah sangat parah. Pilihan yang diberikan dokter hanyalah mengangkat rahim yang sudah dijangkiti sel-sel kanker.Atisaya sangat terpukul ketika itu. Namun, tak ada pilihan lain. Jika ingin peluang hidupnya bertambah, puteri semata wayang Haji Sobirin tersebut harus mengorbankan rahimnya dibuang. Sekaligus merelakan salah satu fungsi agungnya sebagai seorang wanita lenyap.Operasi besar itu dilakukan empat setengah tahun lalu. Jauh sebelum Haji Sobirin mendatangi ibu Abdi kemudian menawarkan jali
UNTUNG saja Abdi dapat kembali menguasai diri dengan cepat. Mobil yang dikemudikannya hanya oleng sesaat karena mengalami perubahan kecepatan secara tiba-tiba. Berikutnya kendaraan tersebut kembali berada dalam kontrol.Tak urung, Haji Sobirin yang sangat kaget menjadi pucat pasi wajahnya. Lelaki tua itu mengelus dada sembari mengatur napasnya yang seketika tersengal-sengal."Kita berhenti di rest area di depan sana saja dulu, baru lanjut lagi obrolannya," kata Haji Sobirin kemudian.Dipandanginya Abdi yang terlihat memerah kedua pipinya."I-iya, Pak," sahut Abdi cepat. Sedetik berselang ia buru-buru menambahkan, "Maaf, saya tadi kaget banget.""Tidak apa-apa," respon Haji Sobirin.Lelaki tua itu sangat maklum jika Abdi dibuat kaget oleh ucapannya tadi. Kejadian yang melibatkan kematian istrinya dan ayah Abdi telah berlalu selama belasan tahun. Selama itu pula Haji Sobirin menyimpan rapat-rapat rahasia tersebut bersama ibu Abdi.Abdi me
BULAN demi bulan telah berlalu sejak malam pertama yang mengejutkan bagi Abdi. Selama itu pula ia berusaha memendam satu pertanyaan besar di dalam hatinya. Pertanyaan yang sebetulnya sangat mengganggu pikiran, tetapi terus saja ia pendam sendiri. Meski rasa penasarannya setinggi bintang, namun Abdi paham sebaiknya ia tidak bertanya pada Atisaya. Gadis itu berurai air mata ketika mengatakan hal tersebut di malam pertama mereka. Jelas sekali ekspres kesedihan, kecewa, juga cemas pada wajah Atisaya ketika itu. Sejak pengakuan itu Abdi menganggap tak pernah mendengar apa-apa dari istrinya. Ia perlakukan perempuan tersebut sepenuh kasih, sebagaimana layaknya seorang suami memperlakukan istri. Malam-malam mereka juga berlangsung seperti biasa, sekalipun Abdi kian lama memperhatikan jika istrinya sedikit bermasalah dengan libido. Dari referensi yang pernah ia baca kemudian, memang seorang perempuan cenderung mengalami penurunan gairah seksual setelah menjalani opera
PUKUL tujuh lewat lima menit, pesawat yang membawa Tiara ke London lepas landas dari Bandara Internasional Abu Dhabi. Dari kursi kelas bisnisnya, gadis itu duduk termangu mengamati pemandangan yang tersaji dari jendela bulat. Mula-mula yang terlihat di mata Tiara adalah deretan pesawat besar-besar. Ketika pesawat yang ia tumpangi naik semakin tinggi, hamparan lautan luas muncul di horison. Beberapa kapal tampak bagai titik-titik kecil dalam pandangannya. Kedatangan pramugari yang menawarkan makanan dan minuman mengingatkan Tiara kalau dirinya belum sempat sarapan tadi. Karena harus meladeni telepon Theo, gadis itu praktis hanya menghabiskan kopi latte-nya. Aneka kue yang sudah terlanjur diambil sama sekali tak disentuh. Tawaran dari pramugari diiyakan oleh Tiara. Jadilah sekira setengah jam berikutnya gadis itu asyik menyantap aneka menu yang dibawakan secara berurutan satu demi satu oleh pramugari. Setelahnya Tiara memilih merebahkan tubuh. Semalam i
SEKETIKA saja ada setitik rasa bersalah dalam benak Tiara. Sejak terakhir kali mereka makan siang bersama, yang bertepatan dengan hari kedatangan Abdi dan Atisaya ke kantornya, Tiara memang berusaha menghindari Theo.Gadis itu memutus jalur komunikasi secara sepihak. Telepon dari Theo tidak pernah diangkat lagi. Pesan-pesan dari pemuda itu memang tetap ia balas, tapi Tiara sengaja membalas sangat terlambat demi menghindari obrolan lewat aplikasi perpesanan.Lalu ketika rencana berkuliah lagi ke Inggris muncul, tak sekali pun Tiara memberi kabar pada Theo. Pada pikir gadis itu, tak ada gunanya juga memberi tahu Theo. Toh, pemuda itu bukan siapa-siapa baginya. Hanya seorang kenalan yang ia temui sewaktu di Indramayu.Namun, yang Tira tidak tahu, Theo memandang jalinan interaksi di antara mereka selama ini dengan cara berbeda. Ajakan-ajakannya yang selalu dituruti gadis itu, juga keriaan Tiara setiap kali bersamanya, bagi Theo adalah sebuah lampu hijau. Theo ingin
PENERBANGAN yang diambil Tiara mengambil rute Jakarta - Abu Dhabi - London. Sebuah rute yang memakan waktu total selama nyaris 19 jam, termasuk untuk transit di Bandara Abu Dhabi. Sebuah perjalanan panjang yang Tiara harapkan jadi pembuka lembaran baru dalam hidupnya. Pesawat mendarat di Bandara Abu Dhabi tepat pukul empat pagi. Penumpang yang menuju ke London dipersilakan turun karena harus pindah pesawat. Mereka harus menunggu 3 jam sebelum kembali melanjutkan perjalanan. Tiara menuruti aliran penumpang yang menuruni tangga pesawat. Sesampainya di dalam terminal, mereka berpencar. Seorang pramugari darat mengarahkan para penumpang yang hendak transit. "Permisi, saya hendak transit ke London. Di mana saya dapat melapor?" tanya Tiara pada seorang pramugari darat yang tengah bertugas. Diam-diam ia memuji diri sendiri karena kemampuannya dalam berbahasa Inggris masih terjaga dengan baik. "Oh, silakan ikuti jalur ini, Ibu. Nanti setibanya di ujung sana a
KEESOKAN harinya, Tiara berangkat menuju bandara dengan diantar papa dan mamanya. Namun selanjutnya hanya si gadis yang akan terbang ke Inggris, menumpang pesawat milik maskapai kebanggaan sebuah negara kaya di Timur Tengah.Rencana Bu Wardoyo yang ingin ikut puterinya ke Inggris ditunda, sebab Tiara hendak jalan-jalan dulu. Bersama suaminya, wanita paruh baya itu sepakat akan menyusul setelah Tiara mendapat kepastian diterima oleh kampus tujuannya.Bandara tampak lengang malam itu. Maklum saja, sudah cukup larut saat Tiara dan papa-mamanya tiba di sana. Pesawat yang akan membawa gadis itu ke London dijawalkan berangkat pukul sebelas malam dan mereka tiba di bandara hanya satu jam lebih sedikit dari waktu keberangkatan.Begitu tiba, Tiara menyempatkan diri untuk bercakap-cakap sambil berpelukan dengan sang mana. Lalu bergantian dengan papanya. Kedua orang tuanya hanya mengantar sampai di pintu masuk ruang keberangkatan dan akan langsung kembali ke rumah.
TIARA baru saja menyelesaikan salat Subuh ketika mendengar smartphone-nya berdering. Benaknya langsung menduga-duga, siapa kiranya yang menelepon sepagi ini? Sekilas nama Abdi muncul di kepalanya, tetapi Tiara segera mengenyahkannya jauh-jauh.Gadis itu segera beranjak mendekati nakas, tempat di mana gawainya terletak. Dari kejauhan nama si pemanggil sudah terbaca, membuat Tiara kerutkan keningnya dengan ekspresi heran."Mas Pardi? Kok tumben dia menelepon sepagi ini?" gumam Tiara, sembari meraih gawainya. Digesernya tampilan tombol hijau yang ada di layar."Kenapa, Mas? Kok nggak biasa-biasanya telepon jam segini?" sapa Tiara begitu mendengar Pardi mengucap halo.Ditanya begitu, terdengar Pardi tertawa mengekeh. Tawa khas lelaki itu."Maaf, Mbak. Mumpung inget soalnya. Kalau ditunda-tunda, nanti biasanya malah jadi lupa," sahut Pardi beralasan."Iya, nggak apa-apa sih. Toh, aku juga sudah bangun," kata Tiara pula, sembari duduk di tepian ra