Alexander menghela napas lelah. Mendengar ocehan bocah di sebelahnya ini, telinganya sampai terasa pengang. Entah bagaimana dia dan Arandra bisa terjebak bersama Karin–nama anak yang menghentikan langkah Alexander tadi. Anak itu yang memperkenalkan dirinya sendiri di saat tidak ada yang bertanya. Dia sangat berisik. "Kau terpisah dengan orang tua mu ya?" tanya Arandra sembari memandang Karin yang tengah memakan es krim. Alexander yang akhirnya harus mengeluarkan uang untuk membelikannya, karena anak itu kembali merengek meminta dibelikan es krim–setelah mendapatkan boneka beruang yang dia inginkan. "Tidak. Ibuku ada di rumah. Aku kemari sendiri," jawab Karin dengan santai. Sementara Arandra membulatkan mata. Sedikit terkejut. Bagaimana bisa anak usia empat tahun pergi ke tempat ramai seperti ini sendiri? Bagaimana caranya dia sampai ke sini? "Sudah aku bilang tinggalkan saja dia disini. Orang-orang akan berpikir kita sedang menculik anak nanti." Alexander menatap Arandra dengan wa
Terdengar suara isakan kecil di kamar bernuansa hangat itu. Tapi hanya ada Arandra di sana. Masih berbaring di ranjang dengan kelopak mata tertutup. Arandra melihat sebuah mobil berputar-putar di jalanan yang lengang–setelah mendapat benturan dari arah belakang. Kekacauan tampak di depan matanya. Lampu menyorot dengan suara klakson yang bersahutan. Mobil itu terbalik. Menutup kemungkinan seseorang yang berada di dalamnya bisa keluar dengan mudah di saat mobil yang menabraknya masih baik-baik saja. Pintu mobil itu terbuka–menampilkan sosok yang familiar.Tubuh Arandra bergetar. Terisak semakin keras dengan mata masih terpejam. Ketika merasa tidak lagi sanggup, kesadarannya membawanya kembali.Mata Arandra terbuka dengan cepat, langsung terduduk. Napasnya memburu, keningnya mengeluarkan keringat dingin–terlampau shock dengan mimpinya yang terasa sangat nyata. Semua itu tidak pernah terjadi. Mobil, tempat, dan semua yang ada dalam mimpin
Alexander masuk ke dalam kamar. Menghampiri Arandra yang tengah berbaring tengkurap di ranjang–sebuah buku bacaan berada di tangannya. "Bangun."Arandra mendongak. Seorang pelayan berdiri di belakang Alexander–membawa nampan berisi segelas air dan botol obat di atasnya. Sementara Alexander sendiri menatapnya dengan tatapan memerintah. "Minum vitamin ini dulu." Arandra menggeleng–tidak merubah posisinya. "Aku tidak sakit."Alexander menggeram. "Mau membantah perkataanku lagi?" ucapnya tajam. Dia mencekal lengan Arandra–membuatnya bangun. "Cepat minum."Arandra menatap lesu Alexander. Menerima vitamin dan segelas air yang diulurkan Alexander dengan raut terpaksa. Meminumnya dalam sekali teguk. "Sudah," ucapnya dengan bibir mengerucut sembari memberikan kembali gelasnya pada Alexander."Gadis pintar." Alexander menepuk puncak kepala Arandra seperti anak kecil, sebelum menggeser tangannya ke kening Arandra–memeriksanya. "Masih pusing?"Arandra menggeleng. Alexander mengambil buku cerit
Ketika Arandra membuka mata, dia mendapati Alexander tengah menatapnya. Berbaring miring dengan lengan menyangga kepala. Sementara cahaya remang-remang mulai menyelinap masuk dari celah gorden di belakangnya."Selamat pagi."Arandra tersenyum kecil. Ikut memiringkan tubuhnya. Memandangi wajah Alexander yang tetap tampan meski baru bangun tidur. "Selamat pagi juga."Arandra memandang Alexander. Sementara Alexander tidak bergerak, seakan memberikan akses agar Arandra bisa memandanginya dengan leluasa. Tatapan mata Alexander terasa hangat. Arandra terenyuh. Terkadang, masih sulit percaya jika pada akhirnya dia berakhir dengan lelaki ini, di saat pada awalnya bukan lelaki ini yang dia inginkan.Jemari Arandra terangkat. Menempelkan telapak tangannya di rahang Alexander dengan berani. Lalu bergerak ke alisnya yang tebal, dan turun ke hidungnya yang mancung. Menyusurkan tangannya di wajah Alexander yang dipahat dengan sempurna. Namun
Mata Arandra terpejam menikmati udara yang berhembus di wajahnya. Wanita dengan blus biru muda itu duduk di atas rerumputan taman. Tangannya memegang bunga dandelion yang dipetiknya.Lalu dia membuka mata, meniup bunga di tangannya dengan malas–membuat bunga-bunga kecil itu beterbangan terbawa angin. Arandra merasa bosan. Alexander belum juga pulang. Dia menunggu. Arandra mendongak ke atas–menatap langit sore yang berwarna jingga. Dia mengangkat tangannya. Menggerak-gerakkannya seolah tengah menyentuh langit. Lalu ketika suara deru mesin mobil terdengar, wanita itu cepat-cepat bangkit. Berlari dengan langkah riang ke halaman depan mansion. Alexander belum keluar dari mobil ketika Arandra sudah lebih dulu berdiri di samping mobilnya. Tersenyum lebar ketika pintu mobil terbuka dan menampakkan wajah Alexander."Menungguku?" tanya Alexander dengan kerlingan matanya. Terkekeh geli ketika mendapat anggukan cepat dari Arandra. "Tidak biasanya.""Aku bosan. Tidak ada teman. Bisanya kan ada
Sepanjang perjalanan Arandra hanya diam, terus bersandar pada Alexander sembari menatap takjub pemandangan dari atas pesawat. Menara tinggi, gedung-gedung yang tampak kecil dari atas, hingga danau indah berbentuk hati."Alex, kenapa kau mencintaiku?" Arandra tiba-tiba menoleh pada Alexander. Pertanyaannya membuat Alexander menampilkan senyum hangat. "Karena kau Arandra."Arandra mencebik. Memangnya ada alasan seperti itu? Tapi Arandra tidak memberikan tanggapan dan lebih memilih bertanya lagi. "Sejak kapan kau mencintaiku?"Tidak ada jawaban dari Alexander. Butuh beberapa detik ketika lelaki itu memberikan jawaban setelah tarikan napasnya. "Jauh sebelum kita menikah."Kernyitan jelas tampak di wajah Arandra mendengar jawaban Alexander. Apa maksudnya?"Kau mau tahu sebuah rahasia?"Arandra mengangguk lambat dengan wajahnya yang lugu. Alexander membuka bibir–yang berakhir hanya dengan menyeringai kecil."Ah tidak jadi. Aku malas memberitahumu. Kau tidak akan mengerti," ucapnya dengan n
Pesta hampir dimulai ketika Alexander dan Arandra turun ke ballroom tempat resepsi diadakan–sementara sumpah pernikahan sudah dilaksanakan sore tadi. Tampak serasi dengan warna pakaian senada. Alexander menarik kursi untuk Arandra duduk, sebelum menarik kursinya sendiri dan duduk di sampingnya.Mata Arandra menjelajah ke sekitar. Mengamati dekorasinya yang tampak mewah. Didominasi warna putih dengan ratusan bucket bunga berwarna-warni menghiasi setiap sudut ruangan dan meja. Sementara group orkestra sudah memainkan alunan musik klasik. Mengiringi pasangan pengantin di depan sana–menyalami para tamu undangan yang hadir. Mereka layaknya raja dan ratu–menjadi pusat perhatian.Arandra tersenyum–menatap Alexander. Alexander menaikkan alis seolah bertanya 'ada apa?' Tapi Arandra menggeleng–hanya teringat saja pada pernikahan mereka dulu.Arandra kembali mengitari sekitar dengan matanya. Melihat Ibu dan Ayahnya yang tampak sibuk,ikut menyalami dan berbincang dengan para tamu, sebelum bebera
"Arandra William!"Arandra yang meringkuk di atas ranjang masih dengan long dress merahnya terlonjak kaget begitu suara menggelegar Alexander terdengar bertepat dengan pintu kamar yang terbuka. Wanita itu langsung menegakkan punggung. "Kenapa...?" tanya Arandra takut-takut.Alexander menghela napas. Melangkah masuk, dia melepas jas yang membalut tubuhnya dan melemparnya ke sofa, sebelum menghampiri Arandra yang menatapnya dengan khawatir. Khawatir Alexander akan memarahinya mungkin.Alexander mengambil duduk di tepi ranjang. Tepat di depan Arandra. "Aku menunggumu lama sekali. Aku juga mencarimu ke kamar mandi dan tempat lain, tapi kau tidak ada. Ternyata kau di sini. Meninggalkanku begitu saja," ucap Alexander dengan nada bicara yang sudah diturunkan. Meski cukup merasa kesal dengan istrinya yang pergi begitu saja tanpa mengajaknya, Alexander berusaha menghilangkan kekesalannya. "Maaf. Tadi aku lupa tidak memberitahumu," ucap Arandra merasa bersalah.Alexander menyentuh pipinya. "K