Sepanjang perjalanan Arandra hanya diam, terus bersandar pada Alexander sembari menatap takjub pemandangan dari atas pesawat. Menara tinggi, gedung-gedung yang tampak kecil dari atas, hingga danau indah berbentuk hati."Alex, kenapa kau mencintaiku?" Arandra tiba-tiba menoleh pada Alexander. Pertanyaannya membuat Alexander menampilkan senyum hangat. "Karena kau Arandra."Arandra mencebik. Memangnya ada alasan seperti itu? Tapi Arandra tidak memberikan tanggapan dan lebih memilih bertanya lagi. "Sejak kapan kau mencintaiku?"Tidak ada jawaban dari Alexander. Butuh beberapa detik ketika lelaki itu memberikan jawaban setelah tarikan napasnya. "Jauh sebelum kita menikah."Kernyitan jelas tampak di wajah Arandra mendengar jawaban Alexander. Apa maksudnya?"Kau mau tahu sebuah rahasia?"Arandra mengangguk lambat dengan wajahnya yang lugu. Alexander membuka bibir–yang berakhir hanya dengan menyeringai kecil."Ah tidak jadi. Aku malas memberitahumu. Kau tidak akan mengerti," ucapnya dengan n
Pesta hampir dimulai ketika Alexander dan Arandra turun ke ballroom tempat resepsi diadakan–sementara sumpah pernikahan sudah dilaksanakan sore tadi. Tampak serasi dengan warna pakaian senada. Alexander menarik kursi untuk Arandra duduk, sebelum menarik kursinya sendiri dan duduk di sampingnya.Mata Arandra menjelajah ke sekitar. Mengamati dekorasinya yang tampak mewah. Didominasi warna putih dengan ratusan bucket bunga berwarna-warni menghiasi setiap sudut ruangan dan meja. Sementara group orkestra sudah memainkan alunan musik klasik. Mengiringi pasangan pengantin di depan sana–menyalami para tamu undangan yang hadir. Mereka layaknya raja dan ratu–menjadi pusat perhatian.Arandra tersenyum–menatap Alexander. Alexander menaikkan alis seolah bertanya 'ada apa?' Tapi Arandra menggeleng–hanya teringat saja pada pernikahan mereka dulu.Arandra kembali mengitari sekitar dengan matanya. Melihat Ibu dan Ayahnya yang tampak sibuk,ikut menyalami dan berbincang dengan para tamu, sebelum bebera
"Arandra William!"Arandra yang meringkuk di atas ranjang masih dengan long dress merahnya terlonjak kaget begitu suara menggelegar Alexander terdengar bertepat dengan pintu kamar yang terbuka. Wanita itu langsung menegakkan punggung. "Kenapa...?" tanya Arandra takut-takut.Alexander menghela napas. Melangkah masuk, dia melepas jas yang membalut tubuhnya dan melemparnya ke sofa, sebelum menghampiri Arandra yang menatapnya dengan khawatir. Khawatir Alexander akan memarahinya mungkin.Alexander mengambil duduk di tepi ranjang. Tepat di depan Arandra. "Aku menunggumu lama sekali. Aku juga mencarimu ke kamar mandi dan tempat lain, tapi kau tidak ada. Ternyata kau di sini. Meninggalkanku begitu saja," ucap Alexander dengan nada bicara yang sudah diturunkan. Meski cukup merasa kesal dengan istrinya yang pergi begitu saja tanpa mengajaknya, Alexander berusaha menghilangkan kekesalannya. "Maaf. Tadi aku lupa tidak memberitahumu," ucap Arandra merasa bersalah.Alexander menyentuh pipinya. "K
"Ayah?" Alexander dan Arandra baru kembali ke hotel tepat tengah malam ketika mereka melihat Arthur dari kejauhan. Berdiri di depan kamar mereka yang terkunci. Arandra melepaskan genggaman tangan Alexander. Berlari kecil menghampiri ayahnya lebih dulu. Sementara Alexander berjalan santai. Membiarkan Arandra menghampiri ayahnya, sembari mengamati senyum di wajah Arthur begitu putrinya berhenti di depannya. "Kalian dari mana?" tanya Arthur dengan telapak tangan dia letakkan di kepala Arandra. Alexander sudah berada di samping wanita itu."Jalan-jalan di pantai," jawab Arandra pelan. "Ayah...kenapa ada di sini?" Sekarang sudah sangat malam. Kenapa ayahnya berdiri di sini sendirian, seperti sedang menunggu seseorang. "Ayah tadi ingin bertemu denganmu. Tapi kau ternyata sedang pergi dengan Alex. Jadi Ayah menunggu di sini," ucap Arthur. "Ini sudah malam. Kenapa kau jalan-jalan di jam seperti ini? Di luar juga cuacanya sedang dingin. Kau tidak merasa kedinginan?"Arandra tidak bersuara.
Alexander membukakan pintu mobil untuk Arandra. Seperti yang biasa dia lakukan, lelaki itu selalu turun lebih dulu, membukakan pintu untuk Arandra dan meletakkan tangannya di antara bagian atas pintu mobil dan kepala Arandra–menjaganya agar tidak terbentur. Arandra turun dari mobil. Merentangkan tangan–merasa senang kembali ke mansion mereka sendiri setelah tiga hari berada di luar negeri. Arandra meraih uluran tangan Alexander. Alexander menggandengnya memasuki mansion. Mereka sudah sampai di pintu masuk ketika Arthur terlihat berjalan dari arah yang berbeda."Ayah!" Arandra berseru. Melihat keberadaan Arthur, wanita itu langsung berlari ke arahnya. "Ayah di sini? Kapan Ayah datang?" tanya Arandra dengan nada ceria.Arthur tersenyum. Tapi tidak berkata-kata untuk memberikan jawaban. Arandra melanjutkan. "Ibu juga di sini kan? Aku akan menemui Ibu.""Ibumu tidak ikut."Arandra yang berancang-ancang mencari ibunya lantas berhenti. Bibirnya maju, tampak kecewa. "Kenapa Ibu tidak ikut
"Bersikaplah seperti biasa kau bersikap saat Arandra ada di sini."Anggy menatap Arthur dengan kerutan di keningnya. Baru akan menjawab ketika sebuah ketukan di pintu terdengar. Keduanya sama-sama menoleh–kepala Arandra terlihat menyembul dari pintu yang terbuka setengah. Lalu Arandra membuka pintu lebar. Masuk ke dalam sembari berlari kecil. Bibirnya menyunggingkan senyum ceria."Ibu!" Arandra memeluk Anggy. Tertawa kecil–merasa senang bertemu ibunya. "Aku merindukan Ibu," ucapnya setelah melepaskan tangannya dari tubuh Anggy. Anggy membalas dengan senyum kecil, dan entah Arandra menyadari atau tidak, wanita itu bahkan tidak membalas pelukannya. "Aku membawa oleh-oleh dari Korea untuk Ibu." Arandra mengulurkan satu paper bag coklat di tangannya dengan semangat. Dia memang membeli banyak barang dari Korea, untuk diberikan pada orang tuanya. Anggy mengambilnya, dan meletakkannya di atas ranjang tanpa berniat membukanya. Juga tidak ada kata-kata darinya.Arthur berdeham. "Oleh-oleh
Arandra menekan tombol di tape mobil. Menyalakannya dengan volume pelan–mencari lagu yang disukainya, lalu lanjut memakan churros yang dibelinya dalam perjalanan mereka kembali dari mansion Arthur dan Anggy. Perutnya sepertinya masih muat menampung street food itu setelah menghabiskan sepiring chicken wings yang dibuat oleh Alexander. "Sudah kenyang?" tanya Alexander dengan nada geli. Menatap Arandra sekilas ketika wanita itu menyandarkan kepala di pundaknya. Jajanannya ternyata sudah habis. Arandra mengangguk. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih–cengengesan, sebelum sebuah dering terdengar dari ponselnya. Arandra menegakkan kepalanya lagi. Memeriksanya–jemarinya sibuk bergerak di atas layar ponselnya."Dari siapa?" tanya Alexander penasaran. Ponsel Arandra terus berbunyi–menandakan banyaknya pesan yang masuk. "Ara?""Dari seseorang.""Siapa?""Ada.""Siapa?"Arandra menolehkan kepala, menatap Alexander dengan wajah lugunya. "Kekasihku."Alexander melotot. "Jangan macam-ma
"Aku tahu permintaan maaf tidak akan mengubah semuanya. Tapi aku tetap akan meminta maaf padamu. Kau bisa memukulku–" Lucas belum menyelesaikan kalimatnya, ketika Arthur sudah lebih dulu merealisasikan perkataannya.Lucas tersungkur. Arthur memukulnya tepat di wajah setelah mencengkeram kerah bajunya dengan kuat. "Kau memang brengsek, Lucas!" maki Arthur sembari menarik Lucas berdiri, lalu kembali memukulnya.Lucas sama sekali tidak melawan. Sementara Arthur tidak ragu-ragu untuk menghajarnya. Memukul telak wajah Lucas sekali lagi hingga darah keluar dari sudut bibirnya. Lelaki yang sudah tergulung ombak amarah itu tidak mempedulikan apapun selain menghajar Lucas terus-menerus–tiga orang polisi yang sudah berusaha melerai bahkan tidak bisa membuatnya berhenti. Dari semua orang yang ada di sana, hanya Alexander yang tidak melakukan apapun. Dia hanya diam menyaksikan kemarahan ayahnya. Tidak berusaha sama sekali melerai. Lucas pantas mendapatkanny
"Alexander! Pulang sekarang! Arandra akan melahirkan!"Alexander memacu kakinya secepat mungkin. Berlari menyusuri koridor rumah sakit setelah melewati satu jam perjalanan.Jadi ini saatnya...Setelah melalui sembilan bulan yang panjang–mereka yang masih beberapa kali bertengkar perihal masalah yang sama, Arandra yang beberapa kali kesakitan, dan Alexander yang terus diliputi ketakutan–sekarang akan berakhir. Dan semuanya akan baik-baik saja."Bagaimana Arandra?" tanya Alexander cepat begitu sampai di hadapan Anggy dan Arthur yang duduk di depan ruang persalinan. Napasnya tidak beraturan."Arandra di dalam. Cepat temani dia," kata Arthur pelan sembari menepuk bahu putranya. Sementara Anggy masih duduk dengan kepala tertunduk–berdoa untuk keselamatan menantu dan kedua cucunya.Alexander menarik napas dalam. Dia berjalan memasuki ruangan tempat Arandra akan melahirkan. Degup jantungnya berpacu dengan keras, serta tangannya yang men
Arandra menunduk dengan kedua tangan tertaut. Punggungnya menempel di kepala ranjang, selimut menutupinya kakinya yang diposisikan lurus. "Maaf, Ibu. Pesta kejutan untuk ayahnya jadi batal karena aku," katanya merasa bersalah.Sejak Arandra bangun, Anggy sudah ada di sini dengan tatapan kesal pada Arandra Dia tidak mengatakan apapun, hanya diam saja. Jadi tidak salah jika Arandra berpikir wanita itu marah padanya."Kau pikir Ibu kesal karena itu?" balas Anggy dengan nada bicara garang.Arandra lantas mengangkat kepalanya, mendongak menatap Anggy yang berdiri di sebelah ranjang dengan kedua tangan terlipat di dada."Kau hamil. Sampai sudah berapa bulan itu? Tapi Ibu tidak tahu sama sekali," sindir Anggy. Arandra membuka bibirnya, baru tahu kenapa Ibunya kesal seperti itu. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum merasa bersalah. "Aku ingin memberitahu Ibu dan Ayah. Tapi belum ada waktu," berinya alasan."Belum ada waktu?" Anggy berd
Kelopak mata Arandra bergerak-gerak karena terusik oleh kecupan-kecupan yang mendarat di wajahnya. Perlahan dia membuka mata, lalu mendapati Alexander di depannya dengan sebuah senyuman tipisnya."Kau sudah pulang?!" Arandra langsung bangun, menerjang Alexander dan langsung memeluknya sambil tertawa riang. Alexander terkekeh kecil. "Rapatnya tadi lebih lama dari biasanya. Jadi aku pulang telat," beritahunya. "Aku menghubungimu beberapa kali. Tapi kau tidak mengangkatnya."Arandra menyengir. "Aku tidur.""Sepanjang hari?"Arandra mengangguk. "Aku bermain sebentar dengan Zzar tadi. Setelah itu kembali tidur."Alexander mengusap puncak kepala Arandra sambil mengamati wajahnya. "Wajahmu kenapa pucat?" Lelaki itu memperhatikan wajah Arandra dengan teliti, baru menyadarinya.Kening Arandra berkerut. "Memangnya iya?" Dia menyentuh wajahnya sendiri–memeriksa tanpa melihat wajahnya. "Tapi aku baik-baik saja. Mungkin karena terlalu banyak tidur," jawabnya asal. Alexander berdecak, dia akan me
Arandra sedikit mendongakkan kepala untuk menatap wajah Alexander. Lelaki itu berbaring di sebelahnya–menyangga kepalanya dengan satu tangan di saat tangannya yang lain mengusap kepala Arandra."Tidur," kata Alexander dengan raut tenangnya sembari terus mengusap kepala Arandra. Sudah cukup dia marah pada wanita ini. Alexander tidak bisa terus melakukannya. Arandra selalu memiliki cara untuk menghentikan amarahnya.Arandra memperlihatkan deretan giginya yang tersusun dengan rapi–tersenyum cerah. Lalu dia menempelkan wajahnya di dada Alexander, memejamkan matanya."Aku sangat menyayangimu, Ara."Arandra membuka lagi matanya, menatap Alexander. Lalu sebelah tangannya terangkat, menyentuh rahang Alexander."Alex..." Arandra menatap serius Alexander. "Aku berjanji akan melahirkan mereka dengan selamat. Mereka berdua akan baik-baik saja sampai dilahirkan nanti."Alexander mengangguk dengan senyum kecil. "Dan kau juga harus baik-baik saja," ucapnya menambahkan.Arandra tidak memberikan tangg
"Sebuah teori menyebutkan bahwa Ayah akan lebih cenderung merawat anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang jika anak tersebut mirip dengannya." Kening Arandra berkerut membaca sebuah kalimat dalam buku yang sedang dibacanya. Arandra merebahkan tubuhnya dengan posisi telungkup–mencari posisi yang lebih nyaman untuk membaca. Namun menyadari apa yang dia lakukan, wanita itu langsung beranjak bangun lagi.Arandra mengusap perutnya dengan gumaman permintaan maaf. Kemudian dia melirik Alexander yang berada di sofa dengan posisi setengah berbaring. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya. Arandra tersenyum. "Kalian harus mirip dengan Alex ya ketika sudah lahir nanti," gumam Arandra, berbicara pada kedua anaknya. Alexander yang sempurna. Mereka harus mirip dengannya. "Kenapa?" tanya Arandra ketika kemudian Alexander menolehkan kepala ke arahnya. Di saat wanita itu yang sejak tadi memandangi Alexander, dia malah yang bertanya dengan santainya.Alexander mengarahkan kembali matanya pada
Alexander menampilkan wajah datar di saat matanya menatap tanpa berkedip layar monitor yang memperlihatkan dua janin seukuran buah stroberi. Mereka kembar. Karena itu Arandra menyebut kata 'mereka' dalam kalimatnya sebelumnya.Apakah Alexander merasa senang? Dia tidak tahu. Setelah kehilangan anaknya yang pertama, sekarang Tuhan menggantinya dengan memberikannya dua sekaligus. Tapi apakah harus dengan taruhan nyawa Arandra? Lebih baik tidak perlu. Alexander hanya membutuhkan Arandra. "Apakah jenis kelamin bayinya sudah bisa diketahui?!"Bola mata Alexander melirik Arandra yang berbaring di ranjang–tampak antusias dengan pertanyaan yang diajukannya pada dokter. "Belum ya, Mrs. Alexander. Jenis kelamin bayinya baru bisa diketahui setelah sekitar 16 minggu kehamilan."Lalu tampak Arandra mengerucutkan bibirnya sebagai tanda kecewa atas jawaban yang diberikan dokter perempuan itu. Hanya sebentar ketika kemudian wanita itu mendongak–menatap Alexander yang berdiri di samping kepalanya den
Alexander tidak kembali ke kamar mereka hingga malam tiba. Dia tidak mau berbicara dengan Arandra. Ketika memiliki masalah, mereka hanya perlu saling membicarakannya–lalu masalah mereka selesai begitu saja. Tapi jangankan untuk berbicara, Alexander bahkan sepertinya tidak mau melihat wajahnya. Arandra menunduk dalam. Dia tahu dia salah. Alexander pasti sangat kecewa padanya. Arandra tidak berniat terus menyembunyikan kehamilannya darinya. Dia hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Arandra ingin meyakinkannya terlebih dahulu bahwa dia akan baik-baik saja dengan kehamilan ini. Tapi Alexander ternyata mengetahuinya lebih dulu. Dan sekarang lelaki itu sangat marah."Jangan didengarkan perkataan Alex tadi, ya. Dia hanya sedang marah," ucap Arandra sambil mengelus perutnya dengan sayang. Bagaimanapun anak ini adalah anaknya. Alexander pasti akan menerimanya. Arandra menghapus air matanya, kemudian menyingkap selimut–menurunkan kakinya dari ranjang. Berniat keluar untuk
Arandra memberikan gelasnya kembali ke pelayan setelah meminum sedikit airnya. Kemudian meletakkan kepalanya lagi di kepala ranjang–masih merasa pusing."Nyonya Arandra pingsan karena terlalu kelelahan." Rosaline bersuara. Lalu dia menatap Arandra dengan wajah garang–seperti seorang ibu yang siap memarahi anaknya. "Saya kan sudah bilang agar Nyonya istirahat saja. Tapi Nyonya tidak mendengarkan dan ngotot berkebun. Karena itu berakhir pingsan seperti ini."Arandra meletakkan jemarinya di pelipis–memijatnya sambil memejamkan mata. Tidak menanggapi kalimat Rosaline yang terdengar seperti omelan untuknya. Arandra hanya memajukan bibirnya sesaat. Tapi kemudian dia membuka mata cepat ketika menyadari sesuatu. Jas biru Alexander–yang lelaki itu pakai saat ke kantor tadi pagi–sudah tersampir di sandaran sofa sejak Arandra membuka matanya beberapa saat lalu."Alex sudah pulang?" tanya Arandra cepat. "Sudah, Nyonya. Saya tadi menghubungi Tuan dan memberitahukan jika Nyonya Arandra pingsan. Tu
Alexander menusuk potongan roti tawar dengan selai blueberry di dalamnya menggunakan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulut di saat satu tangannya lagi sibuk bergerak di atas layar ponselnya. "Rosaline!" "Iya, Tuan?" Wanita paruh baya yang namanya terpanggil itu bergegas menghampiri Alexander–berdiri di samping Alexander yang duduk dengan tenang di meja makan. "Kemungkinan aku akan pulang malam nanti. Kau awasi Arandra. Pastikan dia makan, tidur siang, dan meminum vitaminnya," pesan Alexander pada pelayan pribadi Arandra itu. "Baik, Tuan." Rosaline mengangguk patuh. "Apakah Nyonya Arandra masih tidur?" "Hm. Bangunkan dia saat sudah waktunya sarapan. Sekarang biarkan saja dulu. Dia–" "Alex..." Ucapan Alexander terpotong karena suara lembut seseorang yang sudah sangat dia kenali. Arandra muncul dari balik pintu ruang makan dengan gaun tidurnya yang berwarna biru–terlihat jelas baru bangun tidur dan belum mencuci wajahnya, rambutnya pun masih berantakan. "Kemari." Alexande