"Bersikaplah seperti biasa kau bersikap saat Arandra ada di sini."Anggy menatap Arthur dengan kerutan di keningnya. Baru akan menjawab ketika sebuah ketukan di pintu terdengar. Keduanya sama-sama menoleh–kepala Arandra terlihat menyembul dari pintu yang terbuka setengah. Lalu Arandra membuka pintu lebar. Masuk ke dalam sembari berlari kecil. Bibirnya menyunggingkan senyum ceria."Ibu!" Arandra memeluk Anggy. Tertawa kecil–merasa senang bertemu ibunya. "Aku merindukan Ibu," ucapnya setelah melepaskan tangannya dari tubuh Anggy. Anggy membalas dengan senyum kecil, dan entah Arandra menyadari atau tidak, wanita itu bahkan tidak membalas pelukannya. "Aku membawa oleh-oleh dari Korea untuk Ibu." Arandra mengulurkan satu paper bag coklat di tangannya dengan semangat. Dia memang membeli banyak barang dari Korea, untuk diberikan pada orang tuanya. Anggy mengambilnya, dan meletakkannya di atas ranjang tanpa berniat membukanya. Juga tidak ada kata-kata darinya.Arthur berdeham. "Oleh-oleh
Arandra menekan tombol di tape mobil. Menyalakannya dengan volume pelan–mencari lagu yang disukainya, lalu lanjut memakan churros yang dibelinya dalam perjalanan mereka kembali dari mansion Arthur dan Anggy. Perutnya sepertinya masih muat menampung street food itu setelah menghabiskan sepiring chicken wings yang dibuat oleh Alexander. "Sudah kenyang?" tanya Alexander dengan nada geli. Menatap Arandra sekilas ketika wanita itu menyandarkan kepala di pundaknya. Jajanannya ternyata sudah habis. Arandra mengangguk. Menampilkan deretan giginya yang putih bersih–cengengesan, sebelum sebuah dering terdengar dari ponselnya. Arandra menegakkan kepalanya lagi. Memeriksanya–jemarinya sibuk bergerak di atas layar ponselnya."Dari siapa?" tanya Alexander penasaran. Ponsel Arandra terus berbunyi–menandakan banyaknya pesan yang masuk. "Ara?""Dari seseorang.""Siapa?""Ada.""Siapa?"Arandra menolehkan kepala, menatap Alexander dengan wajah lugunya. "Kekasihku."Alexander melotot. "Jangan macam-ma
"Aku tahu permintaan maaf tidak akan mengubah semuanya. Tapi aku tetap akan meminta maaf padamu. Kau bisa memukulku–" Lucas belum menyelesaikan kalimatnya, ketika Arthur sudah lebih dulu merealisasikan perkataannya.Lucas tersungkur. Arthur memukulnya tepat di wajah setelah mencengkeram kerah bajunya dengan kuat. "Kau memang brengsek, Lucas!" maki Arthur sembari menarik Lucas berdiri, lalu kembali memukulnya.Lucas sama sekali tidak melawan. Sementara Arthur tidak ragu-ragu untuk menghajarnya. Memukul telak wajah Lucas sekali lagi hingga darah keluar dari sudut bibirnya. Lelaki yang sudah tergulung ombak amarah itu tidak mempedulikan apapun selain menghajar Lucas terus-menerus–tiga orang polisi yang sudah berusaha melerai bahkan tidak bisa membuatnya berhenti. Dari semua orang yang ada di sana, hanya Alexander yang tidak melakukan apapun. Dia hanya diam menyaksikan kemarahan ayahnya. Tidak berusaha sama sekali melerai. Lucas pantas mendapatkanny
Saat itu Arandra sedang membaca buku di atas tempat tidur dengan televisi yang menyala. Alexander kembali pergi–katanya ke kantor. Dan Arandra kembali sendirian. Arandra membuka lembar bukunya. Sedang fokus membaca ketika perutnya tiba-tiba terasa bergejolak. Arandra tergesa-gesa bangun dari ranjang sambil menutup mulutnya dengan tangan dan berlari ke kamar mandi. Beberapa detik kemudian, terdengar suara muntahan. Arandra merasa dia tidak salah makan. Kenapa mual-mual lagi? Apa karena makanan pedas yang dia makan sebelumnya?Arandra berpegangan pada wastafel. Wajahnya sudah pucat pasih ketika rasa mualnya mereda. Dia memejamkan matanya sejenak, napasnya terdengar pendek-pendek. Arandra membasuh mulutnya dengan air. Lalu keluar dari kamar mandi, berpegangan pada dinding. Ini benar-benar menyiksa. Arandra merasa lemas. Dan seolah kondisi tubuhnya belum cukup menyiksa, tayangan di televisi membuatnya tidak bisa bahkan hanya untuk sekedar bergerak. Arandra mematung."Lucas Genovan re
Arandra menatap langit-langit kamar berwarna putih dengan tatapan kosong. Bau menyengat dari obat-obatan tidak membuatnya mau beranjak.Arandra sudah siuman–dari beberapa menit yang lalu. Bukan lagi di kantor polisi, wanita itu ada di rumah sakit sekarang. Seseorang pasti membawanya. Siapapun itu, Arandra tidak ingin tahu. Arandra mengedip lambat. Kedua tangannya yang berada di sisi tubuhnya perlahan naik. Menyentuh perutnya yang masih rata. Lalu perlahan bulir bening mulai keluar dari manik matanya yang sayu, diikuti dengan isakan tanpa suara.Arandra hamil. Anaknya dengan Alexander. Sekarang dia sedang tumbuh di rahimnya. Rasa mual dan pusing yang Arandra rasakan, semua itu karena keberadaan makhluk mungil yang ada di perutnya ini.Bukankah seharusnya Arandra merasa bahagia? Kenapa dia malah menangis? Arandra menghapus air matanya dengan cepat–tapi percuma, air matanya tidak mau berhenti keluar.Jika saja kebenaran yang diketahuinya ini tidak pernah terjadi, Arandra pasti akan sang
"Ara, kau ada di mana? Siapa yang mengizinkanmu untuk keluar? Cepat kembali ke mansion!"["Aku ada di taman dekat mansion. Cepat ke sini."]Alexander menghela napas. Panggilan teleponnya sudah dimatikan oleh Arandra sebelum dia sempat berkata-kata lagi. Alexander hanya meninggalkannya sebentar ke halaman belakang ketika wanita itu sedang memakan chicken wings buatannya. Saat dia kembali, Arandra sudah tidak ada di kamar. Bisa-bisanya para penjaga di luar membiarkannya pergi begitu saja.Alexander keluar dari kamar. Berjalan dengan cepat–menyusul Arandra ke tempat wanita itu berada. "Alex!" Wanita dengan dress putih selutut yang sedang duduk di bangku taman melambaikan tangan pada Alexander begitu melihatnya memasuki area taman. Lelaki itu menoleh ke kiri kanan seolah sedang mencarinya. Melihat keberadaan Arandra, Alexander langsung menghampirinya. "Kau ini! Siapa yang menyuruhmu keluar dari mansion? Ck! Lihat, wajahmu pucat!" Lelaki itu mengeluarkan omelannya. Meraih tangan Arandra
Arandra mendongak ke atas. Menatap langit yang berwarna hitam–malam telah tiba. Tapi Arandra tidak tahu akan ke mana. Wanita itu masih berada di jalanan–duduk di kursi beton depan kedai es krim. Arandra tidak memiliki tujuan. Dia tidak bisa lagi tinggal di mansion bersama Alexander. Tapi dia juga tidak mau pulang ke rumah Lucas dan Riana. Arandra masih terlalu terkejut–kecewa, marah, dan terluka. Dia belum bisa mencerna dan menerima apa yang terjadi. "Tidak apa-apa, Arandra. Kau sudah melakukan hal yang benar," ucap Arandra pada dirinya sendiri. Menekankan pada dirinya sendiri–bahwa dia telah melakukan hal yang benar.Alexander tidak perlu tahu tentang kehamilannya. Dia tidak mau Alexander bertahan hanya karena bayi yang ada di perutnya. Arandra bisa menjaga dan merawat anaknya sendiri. Arandra menundukkan kepala. Terisak tanpa suara ketika sebuah tangan memegang pundaknya. Arandra mengangkat kepalanya, langsung memalingkan wajah–mengusap air matanya dengan kasar. "Kenapa Ibu ada d
Aroma bunga bermekaran dan rumput basah merasuk ke dalam hidung Arandra ketika kakinya melangkah memasuki area pemakaman. Langit tampak mendung, dan udara dingin terasa menusuk kulit. Tapi itu tidak membuat Arandra mengurungkan niatnya datang ke tempat ini. Langkahnya melambat ketika makam Axelino sudah tampak di depan matanya. Arandra tiba-tiba merasa berat untuk melanjutkan langkah. Rasa bersalah seolah menahannya. Arandra menarik napas panjang dan menghembuskannya. Berjalan hingga kakinya berhenti tepat di samping makam Axelino. Tidak ada kata, Arandra hanya meletakkan buket bunga krisan putih di atas makam Axelino.Mulut Arandra memang tidak berkata-kata. Tapi tatapan matanya mewakili semuanya. Dia berlutut di tanah yang basah itu dengan air mata mengalir dari kedua matanya.Arandra menunduk dalam. Tangannya terulur, menyentuh permukaan tanah yang dingin dengan gemetar. "Axel, maaf.... Tolong maafkan aku...." Arandra pikir...dia sudah bisa mengikhlaskan Axel. Tapi dengan semua