Aroma bunga bermekaran dan rumput basah merasuk ke dalam hidung Arandra ketika kakinya melangkah memasuki area pemakaman. Langit tampak mendung, dan udara dingin terasa menusuk kulit. Tapi itu tidak membuat Arandra mengurungkan niatnya datang ke tempat ini. Langkahnya melambat ketika makam Axelino sudah tampak di depan matanya. Arandra tiba-tiba merasa berat untuk melanjutkan langkah. Rasa bersalah seolah menahannya. Arandra menarik napas panjang dan menghembuskannya. Berjalan hingga kakinya berhenti tepat di samping makam Axelino. Tidak ada kata, Arandra hanya meletakkan buket bunga krisan putih di atas makam Axelino.Mulut Arandra memang tidak berkata-kata. Tapi tatapan matanya mewakili semuanya. Dia berlutut di tanah yang basah itu dengan air mata mengalir dari kedua matanya.Arandra menunduk dalam. Tangannya terulur, menyentuh permukaan tanah yang dingin dengan gemetar. "Axel, maaf.... Tolong maafkan aku...." Arandra pikir...dia sudah bisa mengikhlaskan Axel. Tapi dengan semua
"Saya sudah mengantar Nyonya Arandra sampai ke mansion keluarga Genovan sesuai perintah Anda, Tuan Muda. Tapi saya datang sedikit terlambat dan membuat Nyonya Arandra kehujanan. Saya minta maaf."Alexander berdecak. Wanita itu pasti akan sakit nanti. Dia tidak bisa tetap diam. Sudah cukup, sampai di sini saja dia memberikan Arandra kebebasan yang dia inginkan.Alexander menatap jam di pergelangan tangannya. Masih cukup lama untuknya pulang. Tapi dia tidak peduli. Alexander bangkit dari kursi kerjanya. Berniat keluar ketika dia kembali menatap Adrian yang masih berdiri di tempatnya. "Ada lagi yang ingin kau katakan?" Adrian tampak ragu sebelum mengangguk. Lantas menunjukkan layar tab yang di bawanya. "Tuan Lucas terkena kasus dugaan korupsi, Tuan Muda."Alexander mengambil tab di tangan Adrian. Membacanya beritanya sendiri. Lalu menghela napas panjang. Semua tentang Lucas dan Riana, akan memberikan dampak bagi Arandra. Tidakkah mereka sudah cukup menyakitinya selama ini? "Ketika say
Alexander memiliki syarat ketika dia berkata akan menuruti keinginan Arandra untuk bercerai. Sampai sembilan bulan ke depan, lelaki itu ingin mereka menjalani hari bersama–seolah tidak ada apapun yang terjadi. Seperti sebelumnya.Bagaimana Arandra bisa melakukannya ketika perasaan bersalah terus bersarang di hatinya? Arandra tidak akan bisa. Jika saja dia bisa melupakan bahwa ayahnya lah yang telah membuat Axel meninggal, itu pasti akan lebih mudah. Tapi tentu tidak akan semudah itu. Tapi... Arandra ingin melakukannya. Untuk saat ini saja. Ketika Alexander mendekap kepalanya untuk menutupi pandangannya dari dokter yang kembali memasang infus di tangannya, Arandra merasa tenang. Ketakutannya menghilang.Arandra selalu merasa baik-baik saja jika ada Alexander bersamanya. Tapi dia sadar tidak akan bisa selalu seperti itu.Arandra memegangi ujung kemeja Alexander dengan cepat ketika lelaki itu menarik diri. Dokter sudah pergi setelah memasang infus dan memeriksa kondisi Arandra. Alexand
"Selamat kembali ke rumah, Nyonya."Arandra menatap bingung. Para pelayan sudah berjejer di kiri dan kanan pintu masuk. ketika Alexander mendorong kursi rodanya memasuki mansion. Sapaan mereka terdengar bersamaan dan salah satunya memberikan sebuket bunga mawar putih. Bunga kesukaannya.Arandra menolehkan kepalanya ke belakang. Mendongak menatap Alexander di saat Alexander sendiri hanya menaikkan alis. Pasti dia yang menyuruhnya.Arandra kemudian mengambil bunga yang diulurkan pelayan itu. "Terima kasih," katanya dengan senyum simpul.Alexander mendorong kursi rodanya lagi. Membawanya ke kamar mereka. Pada akhirnya, Arandra kembali ke rumah ini setelah memutuskan untuk pergi. Tapi ini hanya untuk sementara. Karena dia tidak bisa tinggal ketika rasa bersalah memenuhi hatinya."Mau langsung istirahat atau mandi dulu?"Bola mata Arandra yang mengamati sekeliling ruangan–kamar yang dia tinggalkan beberapa hari–dialihkan ke Alexander. Wanita itu sudah berpindah duduk di ranjang–Alexander m
"Beberapa menit setelah Anda pulang, para media datang dan memadati lobi perusahaan untuk mendapatkan informasi terkait masalah yang terjadi. Para penjaga berhasil mengusir mereka untuk pergi. Tapi mereka mungkin akan datang kembali selama belum mendapatkan informasi yang mereka inginkan."Alexander menghela napas. Kenapa semua orang merasa tertarik pada kehidupan pribadinya? Alexander merasa jengah. "Jadwalkan wawancara dengan mereka dua hari lagi," ucap Alexander pada Adrian. Lalu menyesap tehnya sembari menatap hamparan rumput hijau di depannya dari teras halaman belakang. "Baik, Tuan Muda." Adrian mengangguk patuh."Lalu bagaimana dengan informasi yang ingin aku ketahui? Kau sudah mendapatkannya?"Adrian mengangguk. "Saya sudah melacak lokasi Mrs. Genovan berada. Beliau ada di Milan sekarang.""Milan?" Alexander bergumam. Jika tidak salah ingat, kota itu adalah kota tempat tinggal Riana sebelum menikah dengan Lucas. Arandra pernah bercerita padanya."Bagaimana kabarnya?""Mrs. G
Arandra mungkin tidak tahu, Alexander memasang gps di kalung yang pernah dia berikan padanya. Membuat Alexander selalu bisa mengetahui di mana keberadaannya. Dari yang Alexander lihat, titik merah di layar ponselnya berhenti di pusat perbelanjaan yang ada seberang jalan tepat di depan restoran. Alexander meraih ponsel Arandra yang wanita itu tinggalkan di meja, berjalan keluar dari restoran dan menuju pusat perbelanjaan itu dengan langkah cepat.Tidakkah wanita itu tahu jika Alexander akan merasa panik ketika matanya tidak bisa melihatnya meski hanya sedetik? Dia selalu takut Arandra mencoba untuk pergi lagi, seperti sebelumnya.Alexander berdecak ketika menyadari seberapa besar tempat di depannya dan banyaknya orang di sana. Akan sulit untuk mencari Arandra. Karena itu dia langsung pergi ke pusat kendali mall itu. Mencari Arandra melalui cctv yang merekam semua sudut mall. Butuh beberapa waktu hingga Alexander menemukannya. Arandra terlihat tengah berada di di sebuah toko sepatu di
Alexander turun dari ranjang dengan perlahan setelah memberikan kecupan-kecupan kecilnya di wajah Arandra. Lalu bergegas ke kamar mandi– membersihkan diri. Ketika Alexander keluar dari kamar mandi, Arandra sudah tidak ada di ranjang. Dia terlihat keluar dari walk in closet beberapa saat setelah Alexander mengedarkan pandangan ke sekitar–mencarinya. "Kenapa sudah bangun? Ini masih sangat pagi," ucap Alexander sembari berjalan menghampiri Arandra. Lelaki itu sudah tampak segar dengan rambut yang masih agak basah. Arandra tidak menjawab, hanya tersenyum kecil ketika dia lebih memilih mengeringkan rambut Alexander dengan handuk. Lalu membantunya memakai pakaiannya."Aku sudah menjadwalkan pemeriksaan pertamamu dengan dokter kandungan. Pukul sepuluh nanti aku akan pulang dan menjemputmu. Kita berangkat bersama-sama," ucap Alexander, matanya tidak berpindah dari Arandra yang tengah memasangkan dasinya. Arandra mendongak, menghentikan gerakan tangannya sebentar. Bibir bawahnya dia gigit,
Arandra berjalan menyusuri lorong menuju ruang kerja Alexander, karena pelayan berkata dia sedang ada di ruang kerjanya. Sesampainya Arandra di depan pintu ruang kerja Alexander, dia berhenti untuk menarik napas dalam-dalam. Menghilangkan kegugupan yang melingkupinya. Setelah pembicaraan mereka sebelumnya, Arandra merasa takut untuk menemui Alexander. Lelaki itu mungkin marah padanya.Memberanikan diri, Arandra memberikan ketukan di pintu dua kali, sebelum membuka pintunya sedikit. Terlihat Alexander sedang duduk di kursi kerjanya. "Alex...," panggilnya pelan.Tahu itu Arandra, Alexander sama sekali tidak menolehkan kepala atau memberikan sahutan. Arandra yang berinisiatif sendiri untuk kemudian melangkah masuk. "Sekarang sudah pukul sepuluh. Tidak jadi ke rumah sakit?" tanyanya. Wanita itu berdiri tepat di depan Alexander. Dibatasi oleh meja kerja lelaki itu.Alexander tidak memberikan jawaban. Lelaki itu hanya menatapnya dengan wajah datar. Arandra meremas kedua tangannya yang ter