Arandra mungkin tidak tahu, Alexander memasang gps di kalung yang pernah dia berikan padanya. Membuat Alexander selalu bisa mengetahui di mana keberadaannya. Dari yang Alexander lihat, titik merah di layar ponselnya berhenti di pusat perbelanjaan yang ada seberang jalan tepat di depan restoran. Alexander meraih ponsel Arandra yang wanita itu tinggalkan di meja, berjalan keluar dari restoran dan menuju pusat perbelanjaan itu dengan langkah cepat.Tidakkah wanita itu tahu jika Alexander akan merasa panik ketika matanya tidak bisa melihatnya meski hanya sedetik? Dia selalu takut Arandra mencoba untuk pergi lagi, seperti sebelumnya.Alexander berdecak ketika menyadari seberapa besar tempat di depannya dan banyaknya orang di sana. Akan sulit untuk mencari Arandra. Karena itu dia langsung pergi ke pusat kendali mall itu. Mencari Arandra melalui cctv yang merekam semua sudut mall. Butuh beberapa waktu hingga Alexander menemukannya. Arandra terlihat tengah berada di di sebuah toko sepatu di
Alexander turun dari ranjang dengan perlahan setelah memberikan kecupan-kecupan kecilnya di wajah Arandra. Lalu bergegas ke kamar mandi– membersihkan diri. Ketika Alexander keluar dari kamar mandi, Arandra sudah tidak ada di ranjang. Dia terlihat keluar dari walk in closet beberapa saat setelah Alexander mengedarkan pandangan ke sekitar–mencarinya. "Kenapa sudah bangun? Ini masih sangat pagi," ucap Alexander sembari berjalan menghampiri Arandra. Lelaki itu sudah tampak segar dengan rambut yang masih agak basah. Arandra tidak menjawab, hanya tersenyum kecil ketika dia lebih memilih mengeringkan rambut Alexander dengan handuk. Lalu membantunya memakai pakaiannya."Aku sudah menjadwalkan pemeriksaan pertamamu dengan dokter kandungan. Pukul sepuluh nanti aku akan pulang dan menjemputmu. Kita berangkat bersama-sama," ucap Alexander, matanya tidak berpindah dari Arandra yang tengah memasangkan dasinya. Arandra mendongak, menghentikan gerakan tangannya sebentar. Bibir bawahnya dia gigit,
Arandra berjalan menyusuri lorong menuju ruang kerja Alexander, karena pelayan berkata dia sedang ada di ruang kerjanya. Sesampainya Arandra di depan pintu ruang kerja Alexander, dia berhenti untuk menarik napas dalam-dalam. Menghilangkan kegugupan yang melingkupinya. Setelah pembicaraan mereka sebelumnya, Arandra merasa takut untuk menemui Alexander. Lelaki itu mungkin marah padanya.Memberanikan diri, Arandra memberikan ketukan di pintu dua kali, sebelum membuka pintunya sedikit. Terlihat Alexander sedang duduk di kursi kerjanya. "Alex...," panggilnya pelan.Tahu itu Arandra, Alexander sama sekali tidak menolehkan kepala atau memberikan sahutan. Arandra yang berinisiatif sendiri untuk kemudian melangkah masuk. "Sekarang sudah pukul sepuluh. Tidak jadi ke rumah sakit?" tanyanya. Wanita itu berdiri tepat di depan Alexander. Dibatasi oleh meja kerja lelaki itu.Alexander tidak memberikan jawaban. Lelaki itu hanya menatapnya dengan wajah datar. Arandra meremas kedua tangannya yang ter
Alexander membawa Arandra ke Abisko. Salah satu tempat terbaik di dunia untuk melihat aurora–fenomena alam yang menghasilkan pancaran cahaya yang menyala-nyala dan menari-nari di langit malam.Arandra terpana begitu kakinya menginjakkan tempat ini. Ketika Alexander membawanya ke sebuah bangunan indah yang didominasi oleh kaca. "Kapan kau membuat ini?" tanya Arandra sembari melangkahkan kakinya memasuki rumah itu dengan tatapan terpana.Sebuah rumah yang jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk dengan hanya ada pemandangan pegunungan, danau, dan hutan di setiap mata memandang. Dirancang menggunakan beton, besi, kaca, dan kayu sebagai bahan bangunannya–dipadu dengan berbagai karya seni patung dan tekstur bebatuan yang memberikan keunikan tersendiri. Sementara pintu kaca dari lantai hingga langit-langit di beberapa titik ruangan menangkap esensi pemandangan alam di sekitarnya–menjulang tinggi dengan cantik dan elegan."Kau suka?"Arandra mengang
Aroma sedap dari dapur tercium semakin kuat ketika Alexander menapakkan kakinya satu per satu menuruni undakan tangga. Dengan celana pendek dan bagian atas tubuhnya yang telah mengenakan kaos putih, lelaki itu berjalan ke arah dapur. Terlihat Arandra berada di sana. Sedang sibuk di balik meja pantry. Alexander berdeham, dan suaranya membuat Arandra menolehkan kepala–menemukan Alexander yang tengah bersandar di bingkai pintu dengan anggun. Mata Alexander memicing, tampak kesal. Sementara Arandra malah tersenyum dengan lugunya mendapatkan tatapan seperti itu."Apa yang kau lakukan di sana?" geram Alexander sembari berjalan mendekat. "Kau berkata padaku hanya ingin mengambil air?" katanya lagi ketika dia memeluk wanita itu dari belakang. "Aku baru ingat kita tidak memiliki makanan untuk makan malam. Jadi aku memasak."Alexander berdecak. "Memangnya siapa yang menyuruhmu memasak? Aku baru akan memanggil pelayan," ucapnya kesal, bertepatan
Alexander menurunkan Arandra dari gendongan punggungnya dengan hati-hati. Dia mengeluh kakinya pegal dalam perjalanan kembali ke rumah dan Alexander menggendongnya. Dan dengan cepat dia tertidur dalam gendongannya. Arandra sempat bergerak, mencari posisi yang nyaman begitu ditidurkan di ranjang. Tapi dia kembali pulas ketika Alexander melepas sepatunya, menggantikan sweater dan rok selutut yang dipakainya dengan gaun tidur yang nyaman, hingga menyelimutinya.Alexander mengusap sisi wajah Arandra. Menyingkirkan rambut Arandra yang menutupi wajahnya dengan tatapan tidak lepas darinya–selalu mengagumi kecantikan yang dimilikinya.Alexander bangkit setelah mengecup kening Arandra. Berniat ke kamar mandi ketika ponselnya di atas nakas berdering setelah dia hampir mencapai pintu kamar mandi. Alexander berbalik dan segera mengambilnya. Takut suara deringnya membangunkan Arandra."Ada apa, Yah?" tanya Alexander langsung setelah menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Yang menelepon adalah
Kediaman keluarga Genovan sudah dipenuhi para pelayat ketika Arandra menapakkan kakinya keluar dari mobil. Namun, di antara banyaknya orang berpakaian hitam di sana, Arandra sama sekali tidak melihat kehadiran ibunya. Apakah ibunya tidak pulang? Ayahnya meninggal. Apa ibunya tidak akan pulang? Tidak. Apakah dia bahkan tahu jika suaminya meninggal?Arandra memegangi kepalanya. Tidak bisa memikirkan apapun lagi untuk sekarang. Semuanya terasa menyakitkan. Kakinya bahkan sudah tidak cukup kuat untuk menopang berat badannya sendiri ketika melihat peti berisi jenazah ayahnya yang diletakkan di tengah rumah duka.Alexander memapah tubuhnya, mengambil tempat duduk tidak jauh dari jasad Lucas. Sementara Arandra tidak berhenti mengeluarkan air mata. Wajahnya sudah sangat pucat mengingat dari beberapa jam yang lalu dia terus menangis. Arandra pasti lelah. Sangat lelah sampai wanita itu kembali pingsan saat proses pemakaman Lucas dilangsungkan. Membuat Alexander langsung melarikannya kembali k
"Selamat pagi, cantik." Suara sapaan manis Alexander terdengar begitu Arandra membuka mata. Lelaki itu sudah berada di atasnya, tersenyum dengan jemarinya yang bergerak mengusap pipi Arandra. Tidak ada balasan dari Arandra. Memejamkan matanya lagi ketika Alexander mengusap bagian bawah matanya. Mata Arandra tampak bengkak. Dia menangis lagi tanpa sepengetahuannya. Membuat Alexander mendesah samar.Arandra benar-benar kehilangan senyumannya. Wajahnya yang penuh ekspresi, pipi yang selalu bersemu merah tiap Alexander mengatakan kata-kata manisnya, semua itu menghilang. Sekarang hanya ada wajah datar dengan mata yang menyimpan banyak kesedihan."Aku punya sebuah sulap. Kau mau lihat?"Kening Arandra tampak berkerut dengan pertanyaan Alexander itu. Tapi kemudian kepalanya mengangguk pelan. Alexander tersenyum dengan semangat. Lelaki itu mengambil satu lembar tisu di atas nakas. Lalu menggenggamnya, menyembunyikan di dalam kepalan tangan. "Aku akan menghilangkan tisu ini," ucapnya sambil