"Selamat kembali ke rumah, Nyonya."Arandra menatap bingung. Para pelayan sudah berjejer di kiri dan kanan pintu masuk. ketika Alexander mendorong kursi rodanya memasuki mansion. Sapaan mereka terdengar bersamaan dan salah satunya memberikan sebuket bunga mawar putih. Bunga kesukaannya.Arandra menolehkan kepalanya ke belakang. Mendongak menatap Alexander di saat Alexander sendiri hanya menaikkan alis. Pasti dia yang menyuruhnya.Arandra kemudian mengambil bunga yang diulurkan pelayan itu. "Terima kasih," katanya dengan senyum simpul.Alexander mendorong kursi rodanya lagi. Membawanya ke kamar mereka. Pada akhirnya, Arandra kembali ke rumah ini setelah memutuskan untuk pergi. Tapi ini hanya untuk sementara. Karena dia tidak bisa tinggal ketika rasa bersalah memenuhi hatinya."Mau langsung istirahat atau mandi dulu?"Bola mata Arandra yang mengamati sekeliling ruangan–kamar yang dia tinggalkan beberapa hari–dialihkan ke Alexander. Wanita itu sudah berpindah duduk di ranjang–Alexander m
"Beberapa menit setelah Anda pulang, para media datang dan memadati lobi perusahaan untuk mendapatkan informasi terkait masalah yang terjadi. Para penjaga berhasil mengusir mereka untuk pergi. Tapi mereka mungkin akan datang kembali selama belum mendapatkan informasi yang mereka inginkan."Alexander menghela napas. Kenapa semua orang merasa tertarik pada kehidupan pribadinya? Alexander merasa jengah. "Jadwalkan wawancara dengan mereka dua hari lagi," ucap Alexander pada Adrian. Lalu menyesap tehnya sembari menatap hamparan rumput hijau di depannya dari teras halaman belakang. "Baik, Tuan Muda." Adrian mengangguk patuh."Lalu bagaimana dengan informasi yang ingin aku ketahui? Kau sudah mendapatkannya?"Adrian mengangguk. "Saya sudah melacak lokasi Mrs. Genovan berada. Beliau ada di Milan sekarang.""Milan?" Alexander bergumam. Jika tidak salah ingat, kota itu adalah kota tempat tinggal Riana sebelum menikah dengan Lucas. Arandra pernah bercerita padanya."Bagaimana kabarnya?""Mrs. G
Arandra mungkin tidak tahu, Alexander memasang gps di kalung yang pernah dia berikan padanya. Membuat Alexander selalu bisa mengetahui di mana keberadaannya. Dari yang Alexander lihat, titik merah di layar ponselnya berhenti di pusat perbelanjaan yang ada seberang jalan tepat di depan restoran. Alexander meraih ponsel Arandra yang wanita itu tinggalkan di meja, berjalan keluar dari restoran dan menuju pusat perbelanjaan itu dengan langkah cepat.Tidakkah wanita itu tahu jika Alexander akan merasa panik ketika matanya tidak bisa melihatnya meski hanya sedetik? Dia selalu takut Arandra mencoba untuk pergi lagi, seperti sebelumnya.Alexander berdecak ketika menyadari seberapa besar tempat di depannya dan banyaknya orang di sana. Akan sulit untuk mencari Arandra. Karena itu dia langsung pergi ke pusat kendali mall itu. Mencari Arandra melalui cctv yang merekam semua sudut mall. Butuh beberapa waktu hingga Alexander menemukannya. Arandra terlihat tengah berada di di sebuah toko sepatu di
Alexander turun dari ranjang dengan perlahan setelah memberikan kecupan-kecupan kecilnya di wajah Arandra. Lalu bergegas ke kamar mandi– membersihkan diri. Ketika Alexander keluar dari kamar mandi, Arandra sudah tidak ada di ranjang. Dia terlihat keluar dari walk in closet beberapa saat setelah Alexander mengedarkan pandangan ke sekitar–mencarinya. "Kenapa sudah bangun? Ini masih sangat pagi," ucap Alexander sembari berjalan menghampiri Arandra. Lelaki itu sudah tampak segar dengan rambut yang masih agak basah. Arandra tidak menjawab, hanya tersenyum kecil ketika dia lebih memilih mengeringkan rambut Alexander dengan handuk. Lalu membantunya memakai pakaiannya."Aku sudah menjadwalkan pemeriksaan pertamamu dengan dokter kandungan. Pukul sepuluh nanti aku akan pulang dan menjemputmu. Kita berangkat bersama-sama," ucap Alexander, matanya tidak berpindah dari Arandra yang tengah memasangkan dasinya. Arandra mendongak, menghentikan gerakan tangannya sebentar. Bibir bawahnya dia gigit,
Arandra berjalan menyusuri lorong menuju ruang kerja Alexander, karena pelayan berkata dia sedang ada di ruang kerjanya. Sesampainya Arandra di depan pintu ruang kerja Alexander, dia berhenti untuk menarik napas dalam-dalam. Menghilangkan kegugupan yang melingkupinya. Setelah pembicaraan mereka sebelumnya, Arandra merasa takut untuk menemui Alexander. Lelaki itu mungkin marah padanya.Memberanikan diri, Arandra memberikan ketukan di pintu dua kali, sebelum membuka pintunya sedikit. Terlihat Alexander sedang duduk di kursi kerjanya. "Alex...," panggilnya pelan.Tahu itu Arandra, Alexander sama sekali tidak menolehkan kepala atau memberikan sahutan. Arandra yang berinisiatif sendiri untuk kemudian melangkah masuk. "Sekarang sudah pukul sepuluh. Tidak jadi ke rumah sakit?" tanyanya. Wanita itu berdiri tepat di depan Alexander. Dibatasi oleh meja kerja lelaki itu.Alexander tidak memberikan jawaban. Lelaki itu hanya menatapnya dengan wajah datar. Arandra meremas kedua tangannya yang ter
Alexander membawa Arandra ke Abisko. Salah satu tempat terbaik di dunia untuk melihat aurora–fenomena alam yang menghasilkan pancaran cahaya yang menyala-nyala dan menari-nari di langit malam.Arandra terpana begitu kakinya menginjakkan tempat ini. Ketika Alexander membawanya ke sebuah bangunan indah yang didominasi oleh kaca. "Kapan kau membuat ini?" tanya Arandra sembari melangkahkan kakinya memasuki rumah itu dengan tatapan terpana.Sebuah rumah yang jauh dari keramaian dan hiruk-pikuk dengan hanya ada pemandangan pegunungan, danau, dan hutan di setiap mata memandang. Dirancang menggunakan beton, besi, kaca, dan kayu sebagai bahan bangunannya–dipadu dengan berbagai karya seni patung dan tekstur bebatuan yang memberikan keunikan tersendiri. Sementara pintu kaca dari lantai hingga langit-langit di beberapa titik ruangan menangkap esensi pemandangan alam di sekitarnya–menjulang tinggi dengan cantik dan elegan."Kau suka?"Arandra mengang
Aroma sedap dari dapur tercium semakin kuat ketika Alexander menapakkan kakinya satu per satu menuruni undakan tangga. Dengan celana pendek dan bagian atas tubuhnya yang telah mengenakan kaos putih, lelaki itu berjalan ke arah dapur. Terlihat Arandra berada di sana. Sedang sibuk di balik meja pantry. Alexander berdeham, dan suaranya membuat Arandra menolehkan kepala–menemukan Alexander yang tengah bersandar di bingkai pintu dengan anggun. Mata Alexander memicing, tampak kesal. Sementara Arandra malah tersenyum dengan lugunya mendapatkan tatapan seperti itu."Apa yang kau lakukan di sana?" geram Alexander sembari berjalan mendekat. "Kau berkata padaku hanya ingin mengambil air?" katanya lagi ketika dia memeluk wanita itu dari belakang. "Aku baru ingat kita tidak memiliki makanan untuk makan malam. Jadi aku memasak."Alexander berdecak. "Memangnya siapa yang menyuruhmu memasak? Aku baru akan memanggil pelayan," ucapnya kesal, bertepatan
Alexander menurunkan Arandra dari gendongan punggungnya dengan hati-hati. Dia mengeluh kakinya pegal dalam perjalanan kembali ke rumah dan Alexander menggendongnya. Dan dengan cepat dia tertidur dalam gendongannya. Arandra sempat bergerak, mencari posisi yang nyaman begitu ditidurkan di ranjang. Tapi dia kembali pulas ketika Alexander melepas sepatunya, menggantikan sweater dan rok selutut yang dipakainya dengan gaun tidur yang nyaman, hingga menyelimutinya.Alexander mengusap sisi wajah Arandra. Menyingkirkan rambut Arandra yang menutupi wajahnya dengan tatapan tidak lepas darinya–selalu mengagumi kecantikan yang dimilikinya.Alexander bangkit setelah mengecup kening Arandra. Berniat ke kamar mandi ketika ponselnya di atas nakas berdering setelah dia hampir mencapai pintu kamar mandi. Alexander berbalik dan segera mengambilnya. Takut suara deringnya membangunkan Arandra."Ada apa, Yah?" tanya Alexander langsung setelah menggeser tombol hijau di layar ponselnya. Yang menelepon adalah
"Alexander! Pulang sekarang! Arandra akan melahirkan!"Alexander memacu kakinya secepat mungkin. Berlari menyusuri koridor rumah sakit setelah melewati satu jam perjalanan.Jadi ini saatnya...Setelah melalui sembilan bulan yang panjang–mereka yang masih beberapa kali bertengkar perihal masalah yang sama, Arandra yang beberapa kali kesakitan, dan Alexander yang terus diliputi ketakutan–sekarang akan berakhir. Dan semuanya akan baik-baik saja."Bagaimana Arandra?" tanya Alexander cepat begitu sampai di hadapan Anggy dan Arthur yang duduk di depan ruang persalinan. Napasnya tidak beraturan."Arandra di dalam. Cepat temani dia," kata Arthur pelan sembari menepuk bahu putranya. Sementara Anggy masih duduk dengan kepala tertunduk–berdoa untuk keselamatan menantu dan kedua cucunya.Alexander menarik napas dalam. Dia berjalan memasuki ruangan tempat Arandra akan melahirkan. Degup jantungnya berpacu dengan keras, serta tangannya yang men
Arandra menunduk dengan kedua tangan tertaut. Punggungnya menempel di kepala ranjang, selimut menutupinya kakinya yang diposisikan lurus. "Maaf, Ibu. Pesta kejutan untuk ayahnya jadi batal karena aku," katanya merasa bersalah.Sejak Arandra bangun, Anggy sudah ada di sini dengan tatapan kesal pada Arandra Dia tidak mengatakan apapun, hanya diam saja. Jadi tidak salah jika Arandra berpikir wanita itu marah padanya."Kau pikir Ibu kesal karena itu?" balas Anggy dengan nada bicara garang.Arandra lantas mengangkat kepalanya, mendongak menatap Anggy yang berdiri di sebelah ranjang dengan kedua tangan terlipat di dada."Kau hamil. Sampai sudah berapa bulan itu? Tapi Ibu tidak tahu sama sekali," sindir Anggy. Arandra membuka bibirnya, baru tahu kenapa Ibunya kesal seperti itu. Dia menarik sudut bibirnya, tersenyum merasa bersalah. "Aku ingin memberitahu Ibu dan Ayah. Tapi belum ada waktu," berinya alasan."Belum ada waktu?" Anggy berd
Kelopak mata Arandra bergerak-gerak karena terusik oleh kecupan-kecupan yang mendarat di wajahnya. Perlahan dia membuka mata, lalu mendapati Alexander di depannya dengan sebuah senyuman tipisnya."Kau sudah pulang?!" Arandra langsung bangun, menerjang Alexander dan langsung memeluknya sambil tertawa riang. Alexander terkekeh kecil. "Rapatnya tadi lebih lama dari biasanya. Jadi aku pulang telat," beritahunya. "Aku menghubungimu beberapa kali. Tapi kau tidak mengangkatnya."Arandra menyengir. "Aku tidur.""Sepanjang hari?"Arandra mengangguk. "Aku bermain sebentar dengan Zzar tadi. Setelah itu kembali tidur."Alexander mengusap puncak kepala Arandra sambil mengamati wajahnya. "Wajahmu kenapa pucat?" Lelaki itu memperhatikan wajah Arandra dengan teliti, baru menyadarinya.Kening Arandra berkerut. "Memangnya iya?" Dia menyentuh wajahnya sendiri–memeriksa tanpa melihat wajahnya. "Tapi aku baik-baik saja. Mungkin karena terlalu banyak tidur," jawabnya asal. Alexander berdecak, dia akan me
Arandra sedikit mendongakkan kepala untuk menatap wajah Alexander. Lelaki itu berbaring di sebelahnya–menyangga kepalanya dengan satu tangan di saat tangannya yang lain mengusap kepala Arandra."Tidur," kata Alexander dengan raut tenangnya sembari terus mengusap kepala Arandra. Sudah cukup dia marah pada wanita ini. Alexander tidak bisa terus melakukannya. Arandra selalu memiliki cara untuk menghentikan amarahnya.Arandra memperlihatkan deretan giginya yang tersusun dengan rapi–tersenyum cerah. Lalu dia menempelkan wajahnya di dada Alexander, memejamkan matanya."Aku sangat menyayangimu, Ara."Arandra membuka lagi matanya, menatap Alexander. Lalu sebelah tangannya terangkat, menyentuh rahang Alexander."Alex..." Arandra menatap serius Alexander. "Aku berjanji akan melahirkan mereka dengan selamat. Mereka berdua akan baik-baik saja sampai dilahirkan nanti."Alexander mengangguk dengan senyum kecil. "Dan kau juga harus baik-baik saja," ucapnya menambahkan.Arandra tidak memberikan tangg
"Sebuah teori menyebutkan bahwa Ayah akan lebih cenderung merawat anaknya dengan lembut dan penuh kasih sayang jika anak tersebut mirip dengannya." Kening Arandra berkerut membaca sebuah kalimat dalam buku yang sedang dibacanya. Arandra merebahkan tubuhnya dengan posisi telungkup–mencari posisi yang lebih nyaman untuk membaca. Namun menyadari apa yang dia lakukan, wanita itu langsung beranjak bangun lagi.Arandra mengusap perutnya dengan gumaman permintaan maaf. Kemudian dia melirik Alexander yang berada di sofa dengan posisi setengah berbaring. Matanya terpaku pada ponsel di tangannya. Arandra tersenyum. "Kalian harus mirip dengan Alex ya ketika sudah lahir nanti," gumam Arandra, berbicara pada kedua anaknya. Alexander yang sempurna. Mereka harus mirip dengannya. "Kenapa?" tanya Arandra ketika kemudian Alexander menolehkan kepala ke arahnya. Di saat wanita itu yang sejak tadi memandangi Alexander, dia malah yang bertanya dengan santainya.Alexander mengarahkan kembali matanya pada
Alexander menampilkan wajah datar di saat matanya menatap tanpa berkedip layar monitor yang memperlihatkan dua janin seukuran buah stroberi. Mereka kembar. Karena itu Arandra menyebut kata 'mereka' dalam kalimatnya sebelumnya.Apakah Alexander merasa senang? Dia tidak tahu. Setelah kehilangan anaknya yang pertama, sekarang Tuhan menggantinya dengan memberikannya dua sekaligus. Tapi apakah harus dengan taruhan nyawa Arandra? Lebih baik tidak perlu. Alexander hanya membutuhkan Arandra. "Apakah jenis kelamin bayinya sudah bisa diketahui?!"Bola mata Alexander melirik Arandra yang berbaring di ranjang–tampak antusias dengan pertanyaan yang diajukannya pada dokter. "Belum ya, Mrs. Alexander. Jenis kelamin bayinya baru bisa diketahui setelah sekitar 16 minggu kehamilan."Lalu tampak Arandra mengerucutkan bibirnya sebagai tanda kecewa atas jawaban yang diberikan dokter perempuan itu. Hanya sebentar ketika kemudian wanita itu mendongak–menatap Alexander yang berdiri di samping kepalanya den
Alexander tidak kembali ke kamar mereka hingga malam tiba. Dia tidak mau berbicara dengan Arandra. Ketika memiliki masalah, mereka hanya perlu saling membicarakannya–lalu masalah mereka selesai begitu saja. Tapi jangankan untuk berbicara, Alexander bahkan sepertinya tidak mau melihat wajahnya. Arandra menunduk dalam. Dia tahu dia salah. Alexander pasti sangat kecewa padanya. Arandra tidak berniat terus menyembunyikan kehamilannya darinya. Dia hanya ingin menunggu waktu yang tepat untuk mengatakannya. Arandra ingin meyakinkannya terlebih dahulu bahwa dia akan baik-baik saja dengan kehamilan ini. Tapi Alexander ternyata mengetahuinya lebih dulu. Dan sekarang lelaki itu sangat marah."Jangan didengarkan perkataan Alex tadi, ya. Dia hanya sedang marah," ucap Arandra sambil mengelus perutnya dengan sayang. Bagaimanapun anak ini adalah anaknya. Alexander pasti akan menerimanya. Arandra menghapus air matanya, kemudian menyingkap selimut–menurunkan kakinya dari ranjang. Berniat keluar untuk
Arandra memberikan gelasnya kembali ke pelayan setelah meminum sedikit airnya. Kemudian meletakkan kepalanya lagi di kepala ranjang–masih merasa pusing."Nyonya Arandra pingsan karena terlalu kelelahan." Rosaline bersuara. Lalu dia menatap Arandra dengan wajah garang–seperti seorang ibu yang siap memarahi anaknya. "Saya kan sudah bilang agar Nyonya istirahat saja. Tapi Nyonya tidak mendengarkan dan ngotot berkebun. Karena itu berakhir pingsan seperti ini."Arandra meletakkan jemarinya di pelipis–memijatnya sambil memejamkan mata. Tidak menanggapi kalimat Rosaline yang terdengar seperti omelan untuknya. Arandra hanya memajukan bibirnya sesaat. Tapi kemudian dia membuka mata cepat ketika menyadari sesuatu. Jas biru Alexander–yang lelaki itu pakai saat ke kantor tadi pagi–sudah tersampir di sandaran sofa sejak Arandra membuka matanya beberapa saat lalu."Alex sudah pulang?" tanya Arandra cepat. "Sudah, Nyonya. Saya tadi menghubungi Tuan dan memberitahukan jika Nyonya Arandra pingsan. Tu
Alexander menusuk potongan roti tawar dengan selai blueberry di dalamnya menggunakan garpu, kemudian memasukkannya ke dalam mulut di saat satu tangannya lagi sibuk bergerak di atas layar ponselnya. "Rosaline!" "Iya, Tuan?" Wanita paruh baya yang namanya terpanggil itu bergegas menghampiri Alexander–berdiri di samping Alexander yang duduk dengan tenang di meja makan. "Kemungkinan aku akan pulang malam nanti. Kau awasi Arandra. Pastikan dia makan, tidur siang, dan meminum vitaminnya," pesan Alexander pada pelayan pribadi Arandra itu. "Baik, Tuan." Rosaline mengangguk patuh. "Apakah Nyonya Arandra masih tidur?" "Hm. Bangunkan dia saat sudah waktunya sarapan. Sekarang biarkan saja dulu. Dia–" "Alex..." Ucapan Alexander terpotong karena suara lembut seseorang yang sudah sangat dia kenali. Arandra muncul dari balik pintu ruang makan dengan gaun tidurnya yang berwarna biru–terlihat jelas baru bangun tidur dan belum mencuci wajahnya, rambutnya pun masih berantakan. "Kemari." Alexande