Arandra menatap langit-langit kamar berwarna putih dengan tatapan kosong. Bau menyengat dari obat-obatan tidak membuatnya mau beranjak.Arandra sudah siuman–dari beberapa menit yang lalu. Bukan lagi di kantor polisi, wanita itu ada di rumah sakit sekarang. Seseorang pasti membawanya. Siapapun itu, Arandra tidak ingin tahu. Arandra mengedip lambat. Kedua tangannya yang berada di sisi tubuhnya perlahan naik. Menyentuh perutnya yang masih rata. Lalu perlahan bulir bening mulai keluar dari manik matanya yang sayu, diikuti dengan isakan tanpa suara.Arandra hamil. Anaknya dengan Alexander. Sekarang dia sedang tumbuh di rahimnya. Rasa mual dan pusing yang Arandra rasakan, semua itu karena keberadaan makhluk mungil yang ada di perutnya ini.Bukankah seharusnya Arandra merasa bahagia? Kenapa dia malah menangis? Arandra menghapus air matanya dengan cepat–tapi percuma, air matanya tidak mau berhenti keluar.Jika saja kebenaran yang diketahuinya ini tidak pernah terjadi, Arandra pasti akan sang
"Ara, kau ada di mana? Siapa yang mengizinkanmu untuk keluar? Cepat kembali ke mansion!"["Aku ada di taman dekat mansion. Cepat ke sini."]Alexander menghela napas. Panggilan teleponnya sudah dimatikan oleh Arandra sebelum dia sempat berkata-kata lagi. Alexander hanya meninggalkannya sebentar ke halaman belakang ketika wanita itu sedang memakan chicken wings buatannya. Saat dia kembali, Arandra sudah tidak ada di kamar. Bisa-bisanya para penjaga di luar membiarkannya pergi begitu saja.Alexander keluar dari kamar. Berjalan dengan cepat–menyusul Arandra ke tempat wanita itu berada. "Alex!" Wanita dengan dress putih selutut yang sedang duduk di bangku taman melambaikan tangan pada Alexander begitu melihatnya memasuki area taman. Lelaki itu menoleh ke kiri kanan seolah sedang mencarinya. Melihat keberadaan Arandra, Alexander langsung menghampirinya. "Kau ini! Siapa yang menyuruhmu keluar dari mansion? Ck! Lihat, wajahmu pucat!" Lelaki itu mengeluarkan omelannya. Meraih tangan Arandra
Arandra mendongak ke atas. Menatap langit yang berwarna hitam–malam telah tiba. Tapi Arandra tidak tahu akan ke mana. Wanita itu masih berada di jalanan–duduk di kursi beton depan kedai es krim. Arandra tidak memiliki tujuan. Dia tidak bisa lagi tinggal di mansion bersama Alexander. Tapi dia juga tidak mau pulang ke rumah Lucas dan Riana. Arandra masih terlalu terkejut–kecewa, marah, dan terluka. Dia belum bisa mencerna dan menerima apa yang terjadi. "Tidak apa-apa, Arandra. Kau sudah melakukan hal yang benar," ucap Arandra pada dirinya sendiri. Menekankan pada dirinya sendiri–bahwa dia telah melakukan hal yang benar.Alexander tidak perlu tahu tentang kehamilannya. Dia tidak mau Alexander bertahan hanya karena bayi yang ada di perutnya. Arandra bisa menjaga dan merawat anaknya sendiri. Arandra menundukkan kepala. Terisak tanpa suara ketika sebuah tangan memegang pundaknya. Arandra mengangkat kepalanya, langsung memalingkan wajah–mengusap air matanya dengan kasar. "Kenapa Ibu ada d
Aroma bunga bermekaran dan rumput basah merasuk ke dalam hidung Arandra ketika kakinya melangkah memasuki area pemakaman. Langit tampak mendung, dan udara dingin terasa menusuk kulit. Tapi itu tidak membuat Arandra mengurungkan niatnya datang ke tempat ini. Langkahnya melambat ketika makam Axelino sudah tampak di depan matanya. Arandra tiba-tiba merasa berat untuk melanjutkan langkah. Rasa bersalah seolah menahannya. Arandra menarik napas panjang dan menghembuskannya. Berjalan hingga kakinya berhenti tepat di samping makam Axelino. Tidak ada kata, Arandra hanya meletakkan buket bunga krisan putih di atas makam Axelino.Mulut Arandra memang tidak berkata-kata. Tapi tatapan matanya mewakili semuanya. Dia berlutut di tanah yang basah itu dengan air mata mengalir dari kedua matanya.Arandra menunduk dalam. Tangannya terulur, menyentuh permukaan tanah yang dingin dengan gemetar. "Axel, maaf.... Tolong maafkan aku...." Arandra pikir...dia sudah bisa mengikhlaskan Axel. Tapi dengan semua
"Saya sudah mengantar Nyonya Arandra sampai ke mansion keluarga Genovan sesuai perintah Anda, Tuan Muda. Tapi saya datang sedikit terlambat dan membuat Nyonya Arandra kehujanan. Saya minta maaf."Alexander berdecak. Wanita itu pasti akan sakit nanti. Dia tidak bisa tetap diam. Sudah cukup, sampai di sini saja dia memberikan Arandra kebebasan yang dia inginkan.Alexander menatap jam di pergelangan tangannya. Masih cukup lama untuknya pulang. Tapi dia tidak peduli. Alexander bangkit dari kursi kerjanya. Berniat keluar ketika dia kembali menatap Adrian yang masih berdiri di tempatnya. "Ada lagi yang ingin kau katakan?" Adrian tampak ragu sebelum mengangguk. Lantas menunjukkan layar tab yang di bawanya. "Tuan Lucas terkena kasus dugaan korupsi, Tuan Muda."Alexander mengambil tab di tangan Adrian. Membacanya beritanya sendiri. Lalu menghela napas panjang. Semua tentang Lucas dan Riana, akan memberikan dampak bagi Arandra. Tidakkah mereka sudah cukup menyakitinya selama ini? "Ketika say
Alexander memiliki syarat ketika dia berkata akan menuruti keinginan Arandra untuk bercerai. Sampai sembilan bulan ke depan, lelaki itu ingin mereka menjalani hari bersama–seolah tidak ada apapun yang terjadi. Seperti sebelumnya.Bagaimana Arandra bisa melakukannya ketika perasaan bersalah terus bersarang di hatinya? Arandra tidak akan bisa. Jika saja dia bisa melupakan bahwa ayahnya lah yang telah membuat Axel meninggal, itu pasti akan lebih mudah. Tapi tentu tidak akan semudah itu. Tapi... Arandra ingin melakukannya. Untuk saat ini saja. Ketika Alexander mendekap kepalanya untuk menutupi pandangannya dari dokter yang kembali memasang infus di tangannya, Arandra merasa tenang. Ketakutannya menghilang.Arandra selalu merasa baik-baik saja jika ada Alexander bersamanya. Tapi dia sadar tidak akan bisa selalu seperti itu.Arandra memegangi ujung kemeja Alexander dengan cepat ketika lelaki itu menarik diri. Dokter sudah pergi setelah memasang infus dan memeriksa kondisi Arandra. Alexand
"Selamat kembali ke rumah, Nyonya."Arandra menatap bingung. Para pelayan sudah berjejer di kiri dan kanan pintu masuk. ketika Alexander mendorong kursi rodanya memasuki mansion. Sapaan mereka terdengar bersamaan dan salah satunya memberikan sebuket bunga mawar putih. Bunga kesukaannya.Arandra menolehkan kepalanya ke belakang. Mendongak menatap Alexander di saat Alexander sendiri hanya menaikkan alis. Pasti dia yang menyuruhnya.Arandra kemudian mengambil bunga yang diulurkan pelayan itu. "Terima kasih," katanya dengan senyum simpul.Alexander mendorong kursi rodanya lagi. Membawanya ke kamar mereka. Pada akhirnya, Arandra kembali ke rumah ini setelah memutuskan untuk pergi. Tapi ini hanya untuk sementara. Karena dia tidak bisa tinggal ketika rasa bersalah memenuhi hatinya."Mau langsung istirahat atau mandi dulu?"Bola mata Arandra yang mengamati sekeliling ruangan–kamar yang dia tinggalkan beberapa hari–dialihkan ke Alexander. Wanita itu sudah berpindah duduk di ranjang–Alexander m
"Beberapa menit setelah Anda pulang, para media datang dan memadati lobi perusahaan untuk mendapatkan informasi terkait masalah yang terjadi. Para penjaga berhasil mengusir mereka untuk pergi. Tapi mereka mungkin akan datang kembali selama belum mendapatkan informasi yang mereka inginkan."Alexander menghela napas. Kenapa semua orang merasa tertarik pada kehidupan pribadinya? Alexander merasa jengah. "Jadwalkan wawancara dengan mereka dua hari lagi," ucap Alexander pada Adrian. Lalu menyesap tehnya sembari menatap hamparan rumput hijau di depannya dari teras halaman belakang. "Baik, Tuan Muda." Adrian mengangguk patuh."Lalu bagaimana dengan informasi yang ingin aku ketahui? Kau sudah mendapatkannya?"Adrian mengangguk. "Saya sudah melacak lokasi Mrs. Genovan berada. Beliau ada di Milan sekarang.""Milan?" Alexander bergumam. Jika tidak salah ingat, kota itu adalah kota tempat tinggal Riana sebelum menikah dengan Lucas. Arandra pernah bercerita padanya."Bagaimana kabarnya?""Mrs. G