"Kenapa lama sekali sampainya?" Arandra bergumam dengan kepala yang disandarkan ke jendela mobil. Sementara Alexander meresponnya hanya dengan senyum kecil. Lelaki itu tengah menatap jalan dengan fokus.Perjalanan pulang dari makam Axelino memang terasa lama sekali. Arandra merasakannya. Saat pergi tadi sepertinya tidak lebih dari tiga puluh menit. Arandra sampai mengantuk. Lagu yang mengalun lembut dari music player yang diputar Alexander tadi juga membuatnya ingin menutup mata.Arandra tidak memperhatikan jalan. Matanya hanya mengedip-ngedip lambat ketika mobil Alexander memasuki gerbang besar yang terbuka secara otomatis. Lalu berhenti di depan tangga masuk mansion besar berwarna putih gading dengan patung besar yang menyambut mereka di depan mansion. Arandra mulai merasa asing."Sejak kapan ada patung ini di sini?" tanya Arandra begitu Alexander membukakan pintu mobilnya.Alexander tersenyum geli. "Sudah ada sejak lama."Arandra mengernyit. "Saat kita pergi tadi, patung ini belum
Alexander turun ke lantai bawah–menghampiri Arandra yang terlihat duduk di sofa ruang tengah, bermain bersama anjingnya. Arandra tertawa ketika Zzar menjilati wajahnya. Lalu ketika tanpa sengaja melihat Alexander berjalan ke arahnya, hingga duduk di tempat kosong di sebelahnya, Arandra menjauhkan Zzar dari wajahnya. "Zzar, ayo bermain di luar." Arandra menggendong anjingnya itu sebelum bangkit dengan perlahan. Ketika kakinya baru akan melangkah, Alexander menarik tangannya hingga dia kembali duduk di tempatnya."Kau menghindari ku?""Tidak!" Arandra menjawab terlalu cepat, terlihat jelas berusaha menyangkal. Karena nyatanya dia memang menghindari Alexander. Tepat setelah pernyataan cinta dari Alexander, Arandra langsung berlari keluar–menjadikan Zzar yang baru datang bersama Rosaline sebagai alasan menghindar dari Alexander. Sebelum akhirnya dia asyik sendiri bermain dengan Zzar.Arandra tidak tahu apa yang dia rasakan ketika Alexander mengatakan itu. Entah dia harus percaya atau t
Alexander menghela napas lelah. Mendengar ocehan bocah di sebelahnya ini, telinganya sampai terasa pengang. Entah bagaimana dia dan Arandra bisa terjebak bersama Karin–nama anak yang menghentikan langkah Alexander tadi. Anak itu yang memperkenalkan dirinya sendiri di saat tidak ada yang bertanya. Dia sangat berisik. "Kau terpisah dengan orang tua mu ya?" tanya Arandra sembari memandang Karin yang tengah memakan es krim. Alexander yang akhirnya harus mengeluarkan uang untuk membelikannya, karena anak itu kembali merengek meminta dibelikan es krim–setelah mendapatkan boneka beruang yang dia inginkan. "Tidak. Ibuku ada di rumah. Aku kemari sendiri," jawab Karin dengan santai. Sementara Arandra membulatkan mata. Sedikit terkejut. Bagaimana bisa anak usia empat tahun pergi ke tempat ramai seperti ini sendiri? Bagaimana caranya dia sampai ke sini? "Sudah aku bilang tinggalkan saja dia disini. Orang-orang akan berpikir kita sedang menculik anak nanti." Alexander menatap Arandra dengan wa
Terdengar suara isakan kecil di kamar bernuansa hangat itu. Tapi hanya ada Arandra di sana. Masih berbaring di ranjang dengan kelopak mata tertutup. Arandra melihat sebuah mobil berputar-putar di jalanan yang lengang–setelah mendapat benturan dari arah belakang. Kekacauan tampak di depan matanya. Lampu menyorot dengan suara klakson yang bersahutan. Mobil itu terbalik. Menutup kemungkinan seseorang yang berada di dalamnya bisa keluar dengan mudah di saat mobil yang menabraknya masih baik-baik saja. Pintu mobil itu terbuka–menampilkan sosok yang familiar.Tubuh Arandra bergetar. Terisak semakin keras dengan mata masih terpejam. Ketika merasa tidak lagi sanggup, kesadarannya membawanya kembali.Mata Arandra terbuka dengan cepat, langsung terduduk. Napasnya memburu, keningnya mengeluarkan keringat dingin–terlampau shock dengan mimpinya yang terasa sangat nyata. Semua itu tidak pernah terjadi. Mobil, tempat, dan semua yang ada dalam mimpin
Alexander masuk ke dalam kamar. Menghampiri Arandra yang tengah berbaring tengkurap di ranjang–sebuah buku bacaan berada di tangannya. "Bangun."Arandra mendongak. Seorang pelayan berdiri di belakang Alexander–membawa nampan berisi segelas air dan botol obat di atasnya. Sementara Alexander sendiri menatapnya dengan tatapan memerintah. "Minum vitamin ini dulu." Arandra menggeleng–tidak merubah posisinya. "Aku tidak sakit."Alexander menggeram. "Mau membantah perkataanku lagi?" ucapnya tajam. Dia mencekal lengan Arandra–membuatnya bangun. "Cepat minum."Arandra menatap lesu Alexander. Menerima vitamin dan segelas air yang diulurkan Alexander dengan raut terpaksa. Meminumnya dalam sekali teguk. "Sudah," ucapnya dengan bibir mengerucut sembari memberikan kembali gelasnya pada Alexander."Gadis pintar." Alexander menepuk puncak kepala Arandra seperti anak kecil, sebelum menggeser tangannya ke kening Arandra–memeriksanya. "Masih pusing?"Arandra menggeleng. Alexander mengambil buku cerit
Ketika Arandra membuka mata, dia mendapati Alexander tengah menatapnya. Berbaring miring dengan lengan menyangga kepala. Sementara cahaya remang-remang mulai menyelinap masuk dari celah gorden di belakangnya."Selamat pagi."Arandra tersenyum kecil. Ikut memiringkan tubuhnya. Memandangi wajah Alexander yang tetap tampan meski baru bangun tidur. "Selamat pagi juga."Arandra memandang Alexander. Sementara Alexander tidak bergerak, seakan memberikan akses agar Arandra bisa memandanginya dengan leluasa. Tatapan mata Alexander terasa hangat. Arandra terenyuh. Terkadang, masih sulit percaya jika pada akhirnya dia berakhir dengan lelaki ini, di saat pada awalnya bukan lelaki ini yang dia inginkan.Jemari Arandra terangkat. Menempelkan telapak tangannya di rahang Alexander dengan berani. Lalu bergerak ke alisnya yang tebal, dan turun ke hidungnya yang mancung. Menyusurkan tangannya di wajah Alexander yang dipahat dengan sempurna. Namun
Mata Arandra terpejam menikmati udara yang berhembus di wajahnya. Wanita dengan blus biru muda itu duduk di atas rerumputan taman. Tangannya memegang bunga dandelion yang dipetiknya.Lalu dia membuka mata, meniup bunga di tangannya dengan malas–membuat bunga-bunga kecil itu beterbangan terbawa angin. Arandra merasa bosan. Alexander belum juga pulang. Dia menunggu. Arandra mendongak ke atas–menatap langit sore yang berwarna jingga. Dia mengangkat tangannya. Menggerak-gerakkannya seolah tengah menyentuh langit. Lalu ketika suara deru mesin mobil terdengar, wanita itu cepat-cepat bangkit. Berlari dengan langkah riang ke halaman depan mansion. Alexander belum keluar dari mobil ketika Arandra sudah lebih dulu berdiri di samping mobilnya. Tersenyum lebar ketika pintu mobil terbuka dan menampakkan wajah Alexander."Menungguku?" tanya Alexander dengan kerlingan matanya. Terkekeh geli ketika mendapat anggukan cepat dari Arandra. "Tidak biasanya.""Aku bosan. Tidak ada teman. Bisanya kan ada
Sepanjang perjalanan Arandra hanya diam, terus bersandar pada Alexander sembari menatap takjub pemandangan dari atas pesawat. Menara tinggi, gedung-gedung yang tampak kecil dari atas, hingga danau indah berbentuk hati."Alex, kenapa kau mencintaiku?" Arandra tiba-tiba menoleh pada Alexander. Pertanyaannya membuat Alexander menampilkan senyum hangat. "Karena kau Arandra."Arandra mencebik. Memangnya ada alasan seperti itu? Tapi Arandra tidak memberikan tanggapan dan lebih memilih bertanya lagi. "Sejak kapan kau mencintaiku?"Tidak ada jawaban dari Alexander. Butuh beberapa detik ketika lelaki itu memberikan jawaban setelah tarikan napasnya. "Jauh sebelum kita menikah."Kernyitan jelas tampak di wajah Arandra mendengar jawaban Alexander. Apa maksudnya?"Kau mau tahu sebuah rahasia?"Arandra mengangguk lambat dengan wajahnya yang lugu. Alexander membuka bibir–yang berakhir hanya dengan menyeringai kecil."Ah tidak jadi. Aku malas memberitahumu. Kau tidak akan mengerti," ucapnya dengan n