[Aku sudah ada janji dengan kekasihku. Maaf] Aku mengirim pesan penolakan. Berharap ia bisa mengerti.
Bukankah Dewa tidak suka dengan perjodohan ini? Lalu, kenapa mengajakku bertemu? Aneh.
[Kalo gak mau, gua samperin ke rumah lo, dan bilang ke bokap lo ... kalau gue ditolak]
What??
Gila, kenapa Dewa senekat itu? Benar-benar kekanakan!
[Dengar, Dewa yang terhormat. Kekasihku akan datang kerumah untuk bertemu ayah. Ia akan melamarku!"] Mati dia! Biar tahu bahwa aku tak sudi dijodohkan dengannya. Lihat saja, Dewa akan tersadar saat melihat ayah menerima Hyun Joon.
Rupanya Dewa masih keras kepala. [Ayah lo udah janji ke gua, kalo dia gak bakal nerima cowok lain selain gua. Lagian, belum tentu lamaran cowok lo itu bisa langsung disetujui, kan?]
Jari-jari tanganku mengcengkram ponsel di tangan dengan geram. Bibir ikut komat kamit mengutuknya. Kau lihat? Sikapnya membuatku mual ingin segera muntah.
Aku tak ingin lagi membalas pesan busuknya itu, tapi ia terus menerorku.
[Ntar malem siap-siap gua jemput, ya]
Mataku terpejam, menahan emosi yang hampir meledak-ledak tak terkendali. Bagaimana perasaan Hyun Joon saat melihat Dewa juga ada di rumah untuk menjemputku makan malam, lalu ayah dengan suka cita menyambut kedatangan Dewa kemudian memerintahkanku untuk menerima ajakannya?
Aku bisa gila karena ulah Dewa! Ini masih pagi, bahkan tubuhku masih terbaring di bawah selimut, haruskah kulalui hari ini dengan perasaan kacau?
Sepertinya, aku butuh ide untuk menyingkirkan Dewa.
Aku mengingat Salsa, ia seorang model majalah dewasa yang banyak diidolakan para lelaki tanah air khususnya penikmat majalah seronok tersebut. Salsa tidak hanya memiliki lekuk tubuh seksi berkulit kuning langsat yang keindahannya nyaris sempurna, ia pun terkenal memiliki senyuman yang memikat.Jangan tanya berapa banyak laki-laki yang menggila karenanya, hanya saja Salsa tak pernah peduli soal ketenaran.
Baru ini aku merasa diuntungkan mempunyai seorang sahabat seperti Salsa, sebelumnya aku malas berurusan dengan gadis berambut lurus itu karena sering merayuku untuk terjun di dunia permodelan, tapi sekarang aku akan meminta bantuannya untuk mendekati Dewa.
Awalnya Salsa menolak saat aku menghubunginya dan meminta bantuan soal rencanaku. Namun akhirnya ia menyerah. Tentu saja bukan karena aku bersikap setengah memohon dengan nada kesedihan yang luar biasa, tapi karena sejumlah uang yang kutawarkan. Anggap saja aku memberinya hadiah karena sudah mau membantuku.
Setelah model seksi itu menyetujui, aku segera menghubungi Dewa dengan mengiriminya sebuah pesan.
[Jangan datang ke rumah nanti malam, tunggu aku di Avec Moi, jam 7 malam. Aku akan datang]
Pesan terkirim dan sudah terbaca, tidak menunggu lama Dewa membalas pesanku dengan emoticon tersenyum lebar, dan banyak kecupan.
Menjijikkan!
Tetapi aku merasa lega saat ini, setidaknya pikiran tentang Dewa sudah teratasi, ia akan menungguku di sana dengan perasaan yang aku sama sekali tak peduli. Sengaja kupilih restoran favorit Salsa, restoran yang menyajikan menu salad yang enak. Bagi seorang model, memilih makanan itu penting untuk tetap menjaga penampilan tetap ideal. Avec Moi sebenarnya bukan tempat khusus orang yang ingin diet, di sana banyak menyediakan makanan khas Barat, makanan Prancis misalnya.
"Semoga Salsa tidak dibuat jengkel oleh Dewa," doaku dalam hati. Tak bisa kubayangkan wajah Dewa seperti apa saat yang datang bukan aku, tapi Salsa. Tapi aku yakin, Salsa bisa dengan mulus mengatasi semuanya. Jangankan Dewa, laki-laki berhati sedingin salju pun dapat ia cairkan dengan mudah.
***
Senja akhirnya menyapa setelah kulewati hari yang terasa sangat lambat, jam dinding pun terlihat enggan berputar. Membuatku menghabiskan waktu seharian di kamar, bahkan turun ke dapur untuk sekedar mengisi perut saja aku malas. Beruntung, masih ada stok minuman dan camilan dalam kulkas di kamar, seperti roti, sereal, buah-buahan, cokelat dan yogurt. Itu pun aku hanya menghabiskan sepotong roti dan memilih minum air putih saja.
Ibu sempat mengkhawatirkanku, tapi kujelaskan padanya bahwa mood-ku sedang buruk. Jika sudah begitu, tidak ada keinginan lain selain mengurung diri di kamar.
Sebentar lagi malam datang, aku sudah rapi sejam yang lalu, rambut panjang bergelombang kusanggul kecil dan menyelipkan jepit bunga sakura berwarna merah muda di atasnya, anak-anak rambut kusisir rapi, namun membiarkan sedikit rambut di sela telinga menjutai bergelombang membuat wajah yang kurias natural menjadi terlihat anggun. Aku terus mematung di depan cermin, jari-jariku meraba bahan blus yang kukenakan sangat lembut dan nyaman dipakai, dipadu dengan rok panjang sedikit mengembang di bagian bawah agar penampilanku terlihat lebih sopan.
Berkali-kali mengulum senyum, seakan Hyun Joon ada di hadapanku. Sebelumnya aku hampir tak pernah memoles wajah dengan make up tebal saat berkencan dengan Hyun, berpenampilan casual sering jadi pilihan. Kalaupun sedikit dandan, aku suka riasan natural membuatku nyaman dan tidak mencolok.
"Aku lebih suka melihat gadis berpenampilan sederhana dan sopan, tapi tetap terlihat mempesona di mataku," ucap Hyun Joon saat itu. Ketika aku mencoba menggodanya dengan penampilan bak model kelas atas. Berpakaian mahal dan terbuka hingga menampilkan lekuk tubuh, ide gila itu aku dapatkan dari Salsa. Tentu saja yang kudapatkan hanya rasa malu di hadapan Hyun Joon. Sementara Salsa tertawa keras setelah mendengar cerita memalukan itu. Sial!
***
"Kamu terlihat sangat cantik, Nak," puji Ibu saat melihatku menuruni anak tangga setelah keluar dari kamar. Bulu mata lentik ibu mengerjap pelan, senyumnya mengembang.
"Ibu juga cantik." Kukecup kening dan punggung tangan wanita berdarah ningrat itu setelah sampai di hadapannya. Aku tertawa geli melihat ibu terus menatapku.
Seketika, Ibu berbisik menggoda, "Matamu berbinar bahagia, Nak. Sungguh istimewakah laki-laki itu untukmu?"
"Sangat, Bu. Seperti aku mencintai diriku sendiri. Atau ... seperti Ibu yang tak ingin terpisah dari Ayah," jawaku lembut pada Ibu. Tapi ada ketegasan dan penekanan dalam kalimat itu. Bahwa aku tidak bermain-main dalam sebuah hubungan.
Ibu tersenyum penuh arti, tangan kanannya menyentuh daguku. "Bahagialah selalu, Aira. Apapun yang terjadi. Kedewasaan seseorang bukan dilihat dari seberapa tua usianya, tapi bagaimana ia dapat menyikapi setiap persoalan-persoalan hidup," tutur Ibu.
Aku mengangguk takzim. Sungguh beruntungnya aku memiliki ibu, itu selalu membuat suasana hati menjadi tenang.
Ibu menyentuh tanganku, sejajar kami melangkahkan kaki menuju ruang tamu, di mana ayah sudah ada di sana. Laki-laki berkumis tipis itu terlihat sibuk menelepon asistennya membicarakan perihal keberangkatan ke luar kota malam ini. Ia mengatakan akan segera siap-siap sebelum mengakhiri telepon. Kulihat, ayah cepat memasukkan ponsel dalam kantong celana setelah melihatku dan ibu mendekat.
"Aira, berapa lama lagi orang itu datang. Lima menit lagi jam 7. Waktu Ayah tidak banyak." Ayah terlihat gelisah. Kakinya berjalan mondar-mandir dengan kedua tangan tersilang di dada.
"Namanya Hyun Joon, Ayah." Aku mengingatkan. Semoga ayah tidak tersinggung.
"Apa dia bukan orang Indonesia?" Satu alis Ayah terangkat, gerakan lakinya pun terhenti. Ia menatapku meminta penjelasan.
Sekilas aku melirik ibu, dia pun terlihat sama gugupnya denganku. "Hyun Joon blasteran, Yah. Ibunya asli Indonesia dan ayahnya asal Korea Selatan. Tapi Hyun menyukai Indonesia untuk tinggal." Bibirku sedikit bergetar. Aku tak sanggup menatap wajah ayah.
"Bisa jadi dia anak hasil hubungan gelap. Kebanyakan Orang Asing datang ke Indonesia hanya untuk mempermainkan gadis-gadis Indonesia yang lugu dan polos. Kamu tidak akan paham soal itu, Aira."
"Tidak, Ayah! Tidak dengan orang tuanya Hyun Joon," tukasku cepat. Ayah sudah berlebihan menilai orang yang belum ia kenal, dan itu membuatku sakit.
Ayah mendengkus kesal, "Kamu sudah mulai keras kepala, Aira!" Ayah melangkah ke arahku, kedua manik mantanya membesar. Ia menunjukkan kemarahan di dalam sana, Ayah kembali berkata, "Suatu saat kamu akan mengerti, Aira. Apa yang terlihat terkadang bukanlah yang sebenarnya."
Aku tak menjawab lagi, mengunci mulutku rapat-rapat dan berusaha menenangkan diri. Meski dalan hati aku tetap menolak tuduhan ayah. Kulihat ibu hanya bisa meremas-remas jari, ia takkan mungkin ikut dalam perdebatan kecilku dengan ayah. Ia begitu menghormati suami sedemikian rupa. Padahal ibu tahu, seperti apa perasaanku saat ini. Ayah sudah melontarkan pikiran buruk tentang Hyun sedangkan rupa wajahnya saja ayah belum pernah melihatnya.
Saat ini, aku hanya bisa berdoa agar kekasihku lekas datang. Ia bisa menunjukkan pada ayah yang sebenarnya.
Pucuk dicinta ulam tiba, penantianku berujung bahagia. Aku mendengar sebuah mobil memasuki halaman rumah, tepat pukul 7 malam. Segera aku menghambur keluar, melihat siapa yang datang. Hyun Joon! Aku menarik napas panjang dan terus mengucap syukur. Perdebatan kecil dengan ayah beberapa menit lalu masih sedikit menyisakan sesak. Namun kini terasa sudah lebih baik saat melihat senyum Hyun Joon setelah keluar dari mobil. Ia mendekat ke arahku. "Apa kabarmu, Aira?" sapa laki-laki yang kulihat berpenampilan rapi di hadapanku, ia terlihat berbeda dari biasanya. Hyun Joon nampak lebih keren. "Lebih baik. Bagaimana denganmu, Hyun?" tanyaku pelan, manik mataku terus menatap wajah putih bersih Hyun, mata cokelat kebiruan, hidung mancung dan bibir sensual sungguh terlihat sempurna. "Sangat
Air mataku sudah mengering, aku tersadar saat mendengar dering ponselku berbunyi. Mataku mengerjap-ngerjap, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 02:20 dini hari. Rupanya aku tertidur setelah menumpahkan semua sesak dan sesal dalam rongga dada. Aku meraih ponsel di atas meja rias, dan kembali membaringkan tubuh di atas kasur. Penasaran, siapa yang menelepon sepagi ini. "Salsa?" Aku membekap mulut. "Ra, dari mana aja, atuh?? Baru angkat telepon Salsa." Suara manja Salsa terdengar merajuk. Oh, ya Tuhan! Aku baru ingat kalau Salsa kusuruh menemui Dewa jam 7 malam di Avec Moi. Bagaimana dengan kencan kejutan mereka? "So-sorry, Sa," ucapku serak. "Kamu kenapa, Ra? Sakit, yah?" tanya Salsa khawatir. Ah, paling dia cuma basa-basi.
Kulaju mobil dengan kecepatan tinggi, melesat menembus angin dan panasnya terik matahari. Setelah pamit pulang pada Om Johan. Aku ingin cepat sampai ke tempat di mana aku bisa seluasa membaca surat dari Hyun Joon. Pantai adalah satu-satunya tujuan. Lama kaki ini tidak menyentuh pasir dan bui ombak.Kepergian Hyun sudah menyempurnakan rasa sakitku. Mungkin, bisa saja aku mati secara perlahan karena jeratan rindu.Perjalanan berjam-jam dari kontrakan pinggir kota di mana Hyun pernah tinggal bersama teman-temannya, kini aku sudah sampai di tempat tujuan.Pantai yang indah.Tetapi keindahan itu terlihat biasa saat ini. Tak seindah dulu saat aku dan Hyun berlari menerjang ombak, saling melempar pasir di antara embusan angin dan gelak tawa.Aku bertelanjang kaki menyusuri pantai, meninggalkan jejak kaki di atas pasir yang tersapu omba, bui-buinya mencium kaki, menggelitik geli.
Beberapa hari setelah perbincangan di meja makan itu, sesuai janji Ayah, tanggal pernikahanku dengan Dewa sudah ia diskusikan dengan keluarga calon besan. Aku hanya pasrah, kukatakan berulangkali pada Ayah jangan lagi bertanya soal tanggal dan sebagainya, aku tak ingin direpotkan hal semacam itu. Hari ini, besok, lusa, atau kapanpun aku siap. Asal Ayah bahagia aku menikah dengan Dewa. Tidak hanya Ayah, Dewa pun terdengar ceria saat ia meneleponku. "Gua nggak nyangka lo akhirnya mau nikah sama gua." Suara Dewa penuh percaya diri yang tinggi. Orang stress! "Gua masih inget waktu lo ngancam gua soal perjodohan kita. Gampang banget lo nyerahnya. Hahaa." Lagi lagi dia membangkitkan emosiku. Aku sudah tak tahan untuk terus diam mendengar ocehannya. "Ter-se-rah!" Tanpa menunggu respon, sambungan sudah kumat
Aku nyaris kehilangan fokus saat menyetir mobil saat perjalanan pulang, hubungan Dewa dan Salsa sangat menggangguku. Entah, sampai di mana keakraban mereka, yang jelas aku bisa melihat dari sorot mata gadis yang berprofesi model itu ada rasa kagum pada Dewa. Aku paham betul, bagaimana rona wajahnya ketika jatuh cinta."Salsa ngak bakal peduli sama cowok kalau Salsa gak suka." Salsa pernah mengatakannya padaku setahun lalu, saat ia mengacuhkan Mas Doni, seorang fotografer yang berpenampilan necis.Malam ini, aku melihat kepedulian Salsa terhadap Dewa, ia nampak cemas dan khawatir. Hanya saja rasa itu sedikit tertutup.Sialan! Kenapa aku terus memikirkan Dewa dan Salsa. Apa aku mulai menuntut kesetiaan Dewa karena akan jadi suamiku nanti? Benarkah begitu? Hahaa. Ini gila!Aku tergelak, sudah lama aku kehilangan sensasi rasa cemburu. Selama berpacara dengan Hyun Joon, seniman k
"Aira." Suara Ibu terdengar cemas dalam telepon, "Kamu di mana, Nak?""Ibu ... aku sedang bersama Dewa sekarang. Kami perlu bicara mengenai pernikahan nanti," jelasku pada Ibu, benar saja kudengar ibu menghela napas lega."Yah, Aira lagi sama Dewa," adu Ibu berbisik pada Ayah. Biasanya Ibu dan Ayah memang sering berbincang sebelum tidur di teras rumah."Baguslah, Bu. Mereka pelan-pelan harus saling mengenal." Suara Ayah membuatku sedikit menahan napas."Bu, sudah dulu, ya. Kecup sayang buat Ibu." Aku mematikan sambungan telepon setelah mendengar Ibu membalas kecup sayang dariku. Sejak kecil hingga saat ini, kebiasaanku sering mengabari Ibu setiap terlambat pulang tak pernah berubah.Tak lama aku melihat Dewa keluar dari pintu caffe dengan membawa napan makanan, bibirnya tersenyum ke arahku.Dasar bucin!Aku melempar pandangan ke lain arah, berpura-pura ti
Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis."Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.&nb
"Selamat ya, Ra. Semoga cepet cerai!" bisik Salsa saat ia menyalamiku. Mata genitnya melirik Dewa di sampingku yang terus memamerkan senyum pasta giginya pada para tamu undangan."Gila!" desisku melototi Salsa. Gadis ini sinting luar biasa, meski tidak suka dengan perjodohan ini tapi tak pernah terbersit sedikitpun untuk bercerai. Aku tidak suka menyakiti hati orang dengan kejam.Salsa mengulum senyum. "Salsa cuma becanda atuh, dih baperan. Hihiii."Aku memutar bola mata, malas menanggapi candaan Salsa. Aku kurang suka bergurau semacam itu. Melihatku cuek, dia akhirnya sadar diri untuk segera menyeret langkah menjauh dan mulai mengincar sesuatu untuk bisa ia kunyah.Beruntung hanya Salsa yang hadir di resepsi pernikahan ini, itu pun Dewa yang mengundangnya secara langsung, seandainya semua teman-temanku dan Dewa ada, entah seperti apa pesta ini. Bisa kacau dengan segala celotehan tak mengenakkan. Jauh dar
Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan
“Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan
Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”
Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku
Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah
“Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang
Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah