Share

Chapter. 7

Author: Vie Zebex
last update Last Updated: 2021-05-18 13:46:38

     Kulaju mobil dengan kecepatan tinggi, melesat menembus angin dan panasnya terik matahari. Setelah pamit pulang pada Om Johan. Aku ingin cepat sampai ke tempat di mana aku bisa seluasa membaca surat dari Hyun Joon. Pantai adalah satu-satunya tujuan. Lama kaki ini tidak menyentuh pasir dan bui ombak.

Kepergian Hyun sudah menyempurnakan rasa sakitku. Mungkin, bisa saja aku mati secara perlahan karena jeratan rindu.

Perjalanan berjam-jam dari kontrakan pinggir kota di mana Hyun pernah tinggal bersama teman-temannya, kini aku sudah sampai di tempat tujuan.

Pantai yang indah.

Tetapi keindahan itu terlihat biasa saat ini. Tak seindah dulu saat aku dan Hyun berlari menerjang ombak, saling melempar pasir di antara embusan angin dan gelak tawa.

Aku bertelanjang kaki menyusuri pantai, meninggalkan jejak kaki di atas pasir yang tersapu omba, bui-buinya mencium kaki, menggelitik geli.

"Aira!"

Seseorang memanggilku. Suara Hyun Joon.

Refleks aku mencari sumber suara, memutar bola mata. Tapi tak ada siapa-siapa. Pantai ini cukup sepi, hanya ada beberapa orang yang datang, itu pun sangat jauh dari tempatku berdiri.

Hyun?

Ah, aku lupa. Bukankah ia sudah pergi? 

Itu hanya suara ombak menghantam karang, gema-gema dari riuh berbagai suara alam. Hyun tak mungkin tiba-tiba muncul di sini.

Dia sudah benar-benar pergi.

Meninggalkanku ....

Air di sudut mata kembali menetes. Beberapa kenangan tentang Hyun terputar kembali. Kami hampir tak pernah bepergian jauh atau menjelajahi beberapa tempat wisata, yang kami sukai hanya memandang laut terhampar luas dari atas batu karang.

"Berteriaklah sekuat-kuatnya di sini, maka bebanmu akan hilang," ucap Hyun saat itu.

"Aku menyukai pantai, laut yang biru, pasir putih, bui-bui ombak, serta anginnya yang kencang." Hyun menatapku, "Dan warna senja yang memukau, seperti pesonamu, Aira."

Mataku terpejam mengingat kembali suara lembut Hyun. Jika aku tahu kebahagiaan itu hanyalah semu, aku tak mungkin terlalu dalam mencintainya. Tapi ketulusan Hyun seakan nyata, dia benar-benar memberi cinta tak biasa.

Tidak, cinta itu salah!

Aku membuka mata, mengambil lipatan surat dalam tas kecil yang menyelempang di bahu. Sebuah surat dari kekasiku, Hyun Joon.

Kurebahkan tubuhku di atas pasir, kedua tanganku terangkat di depan wajah membuka lipatan kertas pelan-pelan. Kedua mata mulai mengeja kata perkata.

Ada melelehan hangat keluar dari sudut mata menyentuh daun telinga. Riuh debur ombak menyamarkan isak. Berkali-kali aku mencoba menahan sesak, namun tetap napasku tersengal.

Dear,

Aira kekasihku ....

Aku tahu, kau akan berlari mengadu pada senja. Di pantai kita. Sebelumnya, aku akan katakan, rinduku selalu untukmu.

Aira ...

Jika saat ini kau melihat rona merah senja, kau harus tahu bahwa keindahannya tidaklah lama. Senja akan kembali keperaduannya meninggalkan gulita dan desau angin pantai yang dingin menusuk kulit hingga ke tulang.

Jika kau melihat sepasang jejak kakimu di atas pasir, kau pun sudah mengerti bahwa ombak akan menyapunya hingga pasir kembali merata.

Begitu pun dengan takdir kita.

Seindah apapun kisah cinta yang pernah tercipta, sekuat bagaimanapun usaha kita, jika Tuhan tidak menggariskan takdir kebersamaan kita untuk menyatu hingga menua, kau paham betul memaksa bukan tindakan mulia.

Lihatlah, kekasihku.

Burung-burung akan kembali pulang jika gelap sudah datang. Ia akan masuk dalam sangkar atau kembali ke sarang. Tak ada bedanya denganku, tak ada lagi cahaya apalagi warna-warna di sana, maka kuputuskan kembali ke Korea. Di tanah kelahiranku.

Aku mengutuk diriku sendiri, mengapa sepayah ini. Aku patut kau katai pengecut, atau orang paling bodoh sedunia, Aira. 

Meninggalkanmu ... adalah keputusan tak adil bagimu. Tapi tindakan yang tepat sebagai pilihanku. Ayahmu benar, aku terlalu bermimpi, seharusnya tak kuucap soal mimpiku di hadapan ayahmu. Itu membuatku tampak lebih bodoh.

Percayalah, aku pun sangat tersiksa. Mungkin juga akan mati bersama waktu yang tersisa.

Terimalah laki-laki yang dijodohkan oleh ayahmu, agar kau bahagia.

Demi aku, Aira.

Kau akan hidup seperti para ratu, memiliki anak-anak yang lucu. Tak perlu bersusah payah menemani kesulitan-kesulitan hidupku.

Kumohon. Jadilah gadis yang dapat membahagiakan hati kedua orang tua. 

Demi hidupmu di masa depan.

Aku,

Hyunmu.

Kau tahu rasanya sakit yang berlebih-lebih itu seperti apa? Bukan lagi berdarah, ngilu, atau pedih sedemikian rupa, tapi rasa yang sudah tidak merasakan apapun lagi. Mati.

    Aku kembali pulang ke rumah, sebelum matahari sore benar-benar tenggelam. Aku tak tahu bagaimana paras dan penampilanku setelah berjam-jam berjemur di pantai dengan cuaca panas membakar, lalu merendam tubuhku dalam air laut sampai mata memerah. Kulit berubah jadi hitam akibat sengatan matahari, pakaian kotor dan bau air laut.

   "Aira," panggil Ibu terlihat cemas saat melihatku masuk ke rumah, "ya, Tuhaaan. Kamu kenapa, Nak?" Tangan ibu memegang kedua pundakku, kedua matanya menatap keheranan.

    "Sudahlah, Bu. Aku baik-baik saja. Sekarang aku butuh istirahat." Kucium kening Ibu, lalu meninggalkannya. Aku belum ingin bercerita apapun dengannya, yang aku butuhkan hanya kasur, aku diserang rasa lelah.

   "Aira, ayah sudah pulang. Jangan lupa turun saat makan malam!" teriak Ibu dari bawah bersamaan saat aku hendak menutup pintu kamar dan menguncinya.

   Ayah sudah pulang, cepat sekali? Tidak seperti biasanya memakan waktu berminggu-minggu kalau ada kegiatan penting di luar kota.

    Kuletakkan tas kecil di atas meja dan segera kuhempas tubuh di atas kasur sambil menggeliat nikmat.

Bola mataku menyapu ruangan, kamar ini sangat berantakan, entah kapan aku sadar ingin membersihkannya. Rasa malas dalam diriku berlipat-lipat semenjak ... ayah mengacaukan semuanya.

   Kuraih ponsel dalam laci dan segera menyalakannya. Sejak pagi benda itu memang semgaja kutinggal. Saat ponsel menyala, suara pesan terdengar saling tindih, begitu cepat dalam jumlah banyak. Yang paling mencolok, ada 30 pesan dari Dewa dan notifikasi banyak panggilan masuk.

   Sinting!

   Semua pesan mengatakan hal sama, bahwa dia ... rindu!

   Perutku jadi mual, bisa-bisanya dia mengirim pesan kurang ajar. 30 pesan berisi sama. Dia pikir aku tidak bisa baca?

   Aku membuka pesan dari Salsa, gadis itu menagih utang padaku. Ya, aku nyaris lupa untuk membayar jasanya karena sudah membantuku menemui Dewa. Sejujurnya, aku rugi banyak karena laki-laki sialan itu.

   Aku benci ayah, lalu Hyun Joon. Hati terluka. Tak ada harapan lagi untuk bisa bahagia, jadi aku memutuskan untuk mengikuti kainginan Ayah apapun yang ia perintahkan untukku nanti.

***

    Ini sudah waktunya makan malam, selesai mandi air hangat dan berpakaian rapi aku turun ke bawah menuju dapur, ayah dan ibu mungkin sudah menungguku di meja makan.

   "Ayo, duduklah, " suruh Ibu sesampainya aku di dekat meja makan. Banyak menu yang ibu sajikan sore ini, menu favorit keluarga. Sementara ayah sudah duduk rapi menatap hidangan.

   "Aira, duduklah. Ada yang ingin ayah sampaikan." Ayah mempersilakanku duduk di hadapannya. Ibu sendiri duduk di samping ayah sambil mengisi piring ayah dengan nasi dan lauk pauk. Lalu mengisi piringku setelah aku duduk.

   "Ayah lihat kamu masih murung, apa kabar laki-laki itu?" tanya Ayah, sendok di tangannya mulai terangkat ke mulut.

   "Hari ini Aira menemuinya, entah apa yang terjadi. Yang jelas Ibu lihat matanya sembab dan pakaiannya sangat kotor." Ibu menjawab lebih dulu, ia menatap ke arahku.

   Ibu?

   "Kenapa?" tanya Ayah entah ditujukan untukku atau Ibu.

   Aku masih diam. Bingung mau jawab apa.

   "Entah, Ibu ndak tau," jawab Ibu, "lebih baik kita makan dulu saja, ya. Baru nanti kasih kesempatan Aira buat ngomong. Ayo, Sayang kita makan." Seperti biasa Ibu selalu mengerti aku.

   Ayah makan sangat lahap, tidak ada yang berubah darinya, tetap bersemangat dan percaya diri. Ibu pasti sangat senang melihat Ayah seperti ini.

   "Dimakan, jangan cuma bengong." Suara Ayah mengejutkanku. Aku baru sadar nasiku masih penuh di piring sedangkan Ayah sudah selesai makan. Begitu juga dengan Ibu. Mereka seperti lomba, sangat cepat. Atau barangkali aku yang lambat.

   "Iya, Yah." Aku mulai menyendokkan nasi ke mulut. Mengunyahnya pelan.

   "Aira, Ayah mau minta maaf." Ayah berucap pelan, "Soal kemarin malam, jujur ... Ayah pulang cepat karena pikiran Ayah tidak tenang. Ayah mengaku salah atas sikap tidak baik Ayah terhadap--."

   "Tidak perlu minta maaf Ayah, Ayah tidak salah. Akulah yang salah karena sudah bersikeras ingin menikah dengannya," potongku cepat. Aku tak ingin Ayah menyebut nama seniman itu saat ini.

   Alis ibu bertaut, ia menatapku seakan meminta penjelasan.

   "Ibu, kumohon jangan pandang aku seperti itu." Aku membalikkan sendok dan garpu di piring pelan-pelan, perutku sudah merasa kenyang.

   "Muka kamu pucat, Nak," tukas Ibu, dan langsung disetujui oleh Ayah.

   "Pelukis itu sudah kembali ke Korea. Apalagi yang aku harapkan, Bu? Seseorang yang hatinya terluka oleh orang lain, ia bisa juga dengan tega menyakiti hati orang lain." Akhirnya aku berani mengatakan perihal kepergian Hyun Joon. Mataku memanas, seharusnya aku tidak menceritakan hal ini di hadapan Ayah.

    Firasatku benar, Ayah menginterogasiku, "Kapan dia pergi?"

    "Belum lama ia pulang dari rumah kita, Ayah. Ia pergi membawa rasa kecewa yang teramat dalam." Sejurus aku menatap wajah Ayah.

    Wajah laki-laki di hadapanku langsung tertunduk. "Seharusnya dia tidak pergi jika benar-benar mencintaimu, Aira. Sangat terlihat pengecut."

   "Ayah," panggil Ibu tertahan.

   Aku tersenyum getir saat Ibu berusaha ingin menegur Ayah.

   "Ayah benar, Bu. Untuk itu ... aku ikhlas jika Ayah ingin segera menikahkanku dengan laki-laki pilihan Ayah," tegasku tanpa ragu. Membuat wajah Ayah sedikit terangkat dan sorot aneh di mata Ibu. Aku tahu keduanya hampir tak mempercayai ucapanku barusan.

   "Aku lelah, Bu. Boleh aku kembali ke kamar?"

    "Aira." Ayah buka suara, "Bersiaplah, Ayah akan segera tentukan tanggal pernikahan kalian."

   Ayah melipat kedua tangan di atas meja. Ia menatapku serius. Kami beradu pandang dalam beberapa detik.

   "Aku sudah siap kapan saja pernikahan itu dilakukan." Pandanganku mengabur, aku sudah membuka pintu penderitaan untukku sendiri.

   Sekuat tenaga kutahan dorongan air mata berdesakan ingin keluar, segera aku beranjak dari kursi dan melangkah keluar dari dapur. Setengah berlari menaiki tangga menuju kamar.

   Tuhan,

   Aku tak tahu bagaimana cara hilangkan benci tanpa dendam, dan menumbuhkan bahagia tanpa paksaan.


Related chapters

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 8

    Beberapa hari setelah perbincangan di meja makan itu, sesuai janji Ayah, tanggal pernikahanku dengan Dewa sudah ia diskusikan dengan keluarga calon besan. Aku hanya pasrah, kukatakan berulangkali pada Ayah jangan lagi bertanya soal tanggal dan sebagainya, aku tak ingin direpotkan hal semacam itu. Hari ini, besok, lusa, atau kapanpun aku siap. Asal Ayah bahagia aku menikah dengan Dewa. Tidak hanya Ayah, Dewa pun terdengar ceria saat ia meneleponku. "Gua nggak nyangka lo akhirnya mau nikah sama gua." Suara Dewa penuh percaya diri yang tinggi. Orang stress! "Gua masih inget waktu lo ngancam gua soal perjodohan kita. Gampang banget lo nyerahnya. Hahaa." Lagi lagi dia membangkitkan emosiku. Aku sudah tak tahan untuk terus diam mendengar ocehannya. "Ter-se-rah!" Tanpa menunggu respon, sambungan sudah kumat

    Last Updated : 2021-05-18
  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 9

    Aku nyaris kehilangan fokus saat menyetir mobil saat perjalanan pulang, hubungan Dewa dan Salsa sangat menggangguku. Entah, sampai di mana keakraban mereka, yang jelas aku bisa melihat dari sorot mata gadis yang berprofesi model itu ada rasa kagum pada Dewa. Aku paham betul, bagaimana rona wajahnya ketika jatuh cinta."Salsa ngak bakal peduli sama cowok kalau Salsa gak suka." Salsa pernah mengatakannya padaku setahun lalu, saat ia mengacuhkan Mas Doni, seorang fotografer yang berpenampilan necis.Malam ini, aku melihat kepedulian Salsa terhadap Dewa, ia nampak cemas dan khawatir. Hanya saja rasa itu sedikit tertutup.Sialan! Kenapa aku terus memikirkan Dewa dan Salsa. Apa aku mulai menuntut kesetiaan Dewa karena akan jadi suamiku nanti? Benarkah begitu? Hahaa. Ini gila!Aku tergelak, sudah lama aku kehilangan sensasi rasa cemburu. Selama berpacara dengan Hyun Joon, seniman k

    Last Updated : 2021-05-18
  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 10

    "Aira." Suara Ibu terdengar cemas dalam telepon, "Kamu di mana, Nak?""Ibu ... aku sedang bersama Dewa sekarang. Kami perlu bicara mengenai pernikahan nanti," jelasku pada Ibu, benar saja kudengar ibu menghela napas lega."Yah, Aira lagi sama Dewa," adu Ibu berbisik pada Ayah. Biasanya Ibu dan Ayah memang sering berbincang sebelum tidur di teras rumah."Baguslah, Bu. Mereka pelan-pelan harus saling mengenal." Suara Ayah membuatku sedikit menahan napas."Bu, sudah dulu, ya. Kecup sayang buat Ibu." Aku mematikan sambungan telepon setelah mendengar Ibu membalas kecup sayang dariku. Sejak kecil hingga saat ini, kebiasaanku sering mengabari Ibu setiap terlambat pulang tak pernah berubah.Tak lama aku melihat Dewa keluar dari pintu caffe dengan membawa napan makanan, bibirnya tersenyum ke arahku.Dasar bucin!Aku melempar pandangan ke lain arah, berpura-pura ti

    Last Updated : 2021-05-18
  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 11

    Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis."Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.&nb

    Last Updated : 2021-05-18
  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 12

    "Selamat ya, Ra. Semoga cepet cerai!" bisik Salsa saat ia menyalamiku. Mata genitnya melirik Dewa di sampingku yang terus memamerkan senyum pasta giginya pada para tamu undangan."Gila!" desisku melototi Salsa. Gadis ini sinting luar biasa, meski tidak suka dengan perjodohan ini tapi tak pernah terbersit sedikitpun untuk bercerai. Aku tidak suka menyakiti hati orang dengan kejam.Salsa mengulum senyum. "Salsa cuma becanda atuh, dih baperan. Hihiii."Aku memutar bola mata, malas menanggapi candaan Salsa. Aku kurang suka bergurau semacam itu. Melihatku cuek, dia akhirnya sadar diri untuk segera menyeret langkah menjauh dan mulai mengincar sesuatu untuk bisa ia kunyah.Beruntung hanya Salsa yang hadir di resepsi pernikahan ini, itu pun Dewa yang mengundangnya secara langsung, seandainya semua teman-temanku dan Dewa ada, entah seperti apa pesta ini. Bisa kacau dengan segala celotehan tak mengenakkan. Jauh dar

    Last Updated : 2021-05-18
  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 13

    Di mana dia? Di mana pelukis itu!"Hyun Joon!" Aku berteriak sekuat tenaga, di depan lukisan dan di depan banyak orang."Hyun Joon!" panggilku kembali, "ini aku ...." Suaraku mulai melemah dan terasa serak.Tak ada tanda-tanda batang hidung laki-laki blasteran itu di sini. Ah, aku benar-benar gila. Bagaimana kalau Dewa melihatku? Aku segera tersadar dengan status baru sebagai istri anak dari sahabat Ayah. Dewa sudah sah menjadi suamiku saat ini.Segera kulap air mata dan berhenti menangisi sesuatu yang mustahil untuk bisa kuulang kembali. Berusaha tegar, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.Huufth! Sudahi kegilaan ini, Aira!Orang-orang itu mulai bubar, satu persatu melangkah pergi meninggalkanku."Kakak cantik, lukisan itu benar-benar mirip Kakak." Seorang anak kecil sekitar umu

    Last Updated : 2021-06-16
  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 14

    "A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah

    Last Updated : 2021-06-16
  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 15

    Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco

    Last Updated : 2021-06-17

Latest chapter

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 22

    Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 21

    “Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 20

    Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 19

    Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 18

    Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 17

    Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 16

    “Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 15

    Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 14

    "A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status