Share

Chapter. 6

Author: Vie Zebex
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

   Air mataku sudah mengering, aku tersadar saat mendengar dering ponselku berbunyi. Mataku mengerjap-ngerjap, kulihat jam dinding menunjukkan pukul 02:20 dini hari. 

    Rupanya aku tertidur setelah menumpahkan semua sesak dan sesal dalam rongga dada.

    Aku meraih ponsel di atas meja rias, dan kembali membaringkan tubuh di atas kasur. Penasaran, siapa yang menelepon sepagi ini.

   "Salsa?" Aku membekap mulut.

    "Ra, dari mana aja, atuh?? Baru angkat telepon Salsa." Suara manja Salsa terdengar merajuk.

    Oh, ya Tuhan! Aku baru ingat kalau Salsa kusuruh menemui Dewa jam 7 malam di Avec Moi. Bagaimana dengan kencan kejutan mereka?

   "So-sorry, Sa," ucapku serak.

    "Kamu kenapa, Ra? Sakit, yah?" tanya Salsa khawatir. Ah, paling dia cuma basa-basi.

    Aku menjawab pelan, "Aku baik-baik aja, Sa." Aku berbohong. Mana mungkin kuceritakan perihal kejadian tadi malam pada Salsa. 

    "Syukurlah, deh. Eh, Ra, ternyata Dewa itu romantis juga, yah. Awalnya dia itu cuek pisan, sok judes gitu, tampang songong ... tapi lama-lama dia asik juga, hihii," cerocos Salsa panjang lebar. Aku tak peduli, bahkan tak ingin mendengar tentang laki-laki itu. Tapi aku cukup terkejut saat model seksi itu meneruskan ceritanya.

    "Kamu kok nggak mau sama cowok seromantis Dewa. Dia itu kan penulis, kata orang ... penulis itu romantis!"

    Dewa seorang penulis? Haks! Aku tak percaya, mana ada cowok sekaku dia pandai nulis.

    "Dia janji katanya mau bikinin puisi buat Salsa. Duuuh, gemes euy! baru ini Salsa nemuin cowok sekeren Dewa." Salsa memekik manja. Gadis itu tak banyak berubah, selalu heboh dengan hal-hal kecil yang menurutku biasa.

    Tapi mendengar Dewa itu laki-laki romantis, rasanya menjanggal di hati.

   Dasar pujangga sialan!

Aku mematikan ponsel setelah mengatakan pada Salsa tubuhku lelah dan ingin kembali melanjutkan mimpi yang tertunda. Padahal yang sebenarnya aku benci membahas sosok Dewa dan semua tentang dia.

 ***

    Sebelum hangat matahari pagi menerobos cela-cela jendela kamar, aku sudah bersiap-siap untuk bertemu Hyun Joon hari ini. Aku yakin hatinya terluka lebih parah dibanding dengan hatiku. Semoga pertemuan ini sedikit dapat menyembuhkan rasa nyeri yang tertanam.

Sedikit tergesa aku keluar kamar, menuruni anak tangga lalu memanggil ibu yang sedang sibuk di dapur bersama Bik Sarah.

"Ibu, aku harus pergi pagi ini," pamitku pada ibu, kulihat ratu di rumah ini sedang menggoreng sesuatu. Sementara Bik Sarah sibuk membuat kue kering favorit keluarga kami. Kue Nastar yang enak.

Ibu menoleh ke arahku sebentar. "Baiklah,  jangan pulang terlambat, ya."

"Iya, Bu," jawabku cepat, "aku hanya ingin bertemu Hyun Joon." 

Ibu mematikan kompor, sepertinya kegiatan menggoreng sudah selesai. Pelan kaki ibu melangkah mendekat ke arahku.

"Nak, maafin ayah, ya. Ibu tahu perasaanmu, memang sulit rasanya menerima hinaan di depan mata. Tapi kita tidak bisa membencinya, ayahmu mungkin sedang khilaf mengingat akhir-akhir ini dia sibuk dengan usahanya yang sedang bermasalah." Ibu menghela napas, "Sekuat apapun usahamu, ayah tetap dengan pilihannya." Ibu nampak sulit bernapas saat mengucapkan kalimat terakhirnya.

Aku menggigit bibir bawah kuat-kuat, tak sanggup kubahas tentang ayah dan sikapnya. Itu membuatku sakit. Diamku bukan berarti membenci tapi aku belajar menahan sabar.

Kukecup kening ibu,  "Aku berangkat." Aku membalikkan badan melangkah menuju pintu keluar rumah. Tapi sesaat langkahku terhenti saat ibu mengatakan sesuatu.

"Aira, titip salam untuk Hyun Joon." 

Sudut bibirku terangkat, menciptakan seulas senyum, "Akan aku sampaikan, Bu," jawabku ringan.

 ***

     Sudah berapa bulan terakhir ini, tetes hujan masih belum bersedia menyirami bumi. Aku terburu-buru keluar dari mobil setengah berlari menyusuri gang sempit menuju kontrakan Hyun Joon, menghindari sengatan matahari dan debu-debu tanah yang retak. Sekilas kusapu pandangan, terlihat sepi, barangkali semua orang malas keluar rumah karena panas. Padahal waktu masih pagi, tapi sudah seperti tengah hari.

"Aira?" panggil seseorang dari arah belakang.

Aku menoleh, ternyata Om Johan. Kedua matanya menyipit melihatku, nampak aneh, ditambah mimik muka terlihat kaku.

"Om." Aku memicingkan mata karena silau, "Om Johan, aku ingin bertemu Hyun Joon. Dia ada?" tanyaku ingin tahu.

Kening Om Johan mengerut, lalu pelan dia berucap, "Ayo ikut aku."

Aku mengikuti langkah Om Johan yang berjalan mendahului. Perasaanku tak enak, aku melihat garis kesedihan di wajah Om Johan saat melihatku.

Langkahku tidak secepat Om Johan, dia sudah terbiasa melewati gang sempit berbatu dan berdebu. Mataku terus memperhatikan rumah-rumah di sini, memang cukup memprihatinkan tinggal di pinggiran kota. Wajar saja Hyun tak pernah mengajakku melihat tempat tinggalnya bersama teman sesama pelukis, Hyun bilang, daerah sini bukan hanya kumuh dan kotor, tapi banyak bahayanya karena sebagian yang tinggal para preman jalanan.

"Di sinilah tempat tinggal kami, Aira." Om Johan berhenti di depan sebuah pintu kontrakan berwarna hijau muda. Aku menatap bangunan itu, bukan kontrakan-kontrakan panjang berbaris banyak pintu-pintu seperti pada umumnya, tapi sebuah rumah. Rumah desain gaya lama tapi terlihat cukup rapi dan bersih di banding rumah-rumah lainnya.

Om Johan mengajakku duduk di kursi bambu di teras rumah kontrakanya. Ia menyalakan puntung rokok lalu menghisapnya dalam-dalam.

"Hyun Joon tampak muram sepulang dari rumahmu, Aira. Kami, teman-temannya tak banyak berbuat. Tapi sebagai lelaki, ia memiliki harga diri." Asap rokok mengepul dkeluar dari mulut dan hidung Om Johan. Lalu menghilang disapu angin.

Aku sedikit terbatuk.

"Kau mungkin tak tahu, Aira. Berapa banyak dana yang Hyun habiskan untuk melukis wajahmu yang cantik, dia bekerja keras untuk itu." Wajah Om Johan menatapku lekat. Aku tahu kemana arah pembicaraannya sekarang.

"Aku tak tahu kejadiannya akan sangat menyakitkan bagi Hyun, Om. Aku sendiri pun sangat terpukul." Rasa nyeri menyelusup dalam rongga dada, kejadian malam kemarin membuat hatiku kembali remuk.

"Bagus kau sudah datang ke sini, Aira. Setidaknya nanti kau akan tahu alasan Hyun kembali ke Korea."

"Jangan becanda, Om!" seruku tak percaya, "Hyun tak mungkin pergi." Suaraku tercekat dan pikiranku mulai kacau. Aku benci kata-kata pergi, tapi justru kata itu keluar dari mulutku sendiri.

Om Johan tetap bersikap tenang menyesap asap rokok lalu mengembuskannya tinggi-tinggi. Rahangnya mengeras dengan sorot mata memerah.

"Hyun tidak akan pergi jika posisinya tidak dihina oleh ayahmu. Baru kali ini dadaku ikut panas melihat pemuda sebaik Hyun Joon dirobek harga dirinya. Kau tahu, siapa yang mengantar Hyun Joon saat datang ke rumahmu? Itu aku. Aku sengaja menyewa mobil temanku untuk Hyun. Kau tidak melihatku karena aku tetap diam dalam mobil," tutur Om Johan terdengar sedikit keras, "seandainya posisiku sebagai Hyun, aku akan mengambil keputusan yang sama. Lebih baik meninggalkanmu dari pada dipatahkan sedemikian rupa. Kami memang orang-orang miskin yang terbuang. Mengais rezeki dari jalanan, dari tempat ke tempat menjual buah karya hasil tangan kami sendiri. Makan makanan halal dibeli dari uang yang didapatkan secara halal, hidup kami cukup bahagia menjadi seorang seniman. Lalu, apa masalah ayahmu, Aira? Dia seorang pengusaha sukses yang sombong!"

"Cukup, Om. Jangan katakan lagi. Kumohon ...." Aku sudah sangat sesak mendengar ucapan Om Johan, semua salah ayah. Ia sudah menciptakan luka begitu dalam di hati semua orang.

Berkali-kali kuusap air mata, terisak-isak sampai tenggorokan terasa sakit.

Hyun Joon.

Aku tak menyangka ia tega pergi, meninggalkanku dan membawa rasa pahit itu sendiri.

Hyun Joon.

Laki-laki tangguh yang pernah kukenal. Laki-laki yang sangat aku cintai.

Aku tak sanggup lagi berkata-kata, tubuhku gemetar dan tungkai kaki terasa lemas. 

Om Johan berdiri dari kursi bambu, ia membuka kunci pintu kontrakan, membuka pintunya lebar-lebar.

"Masuklah kalau ingin lihat," suruh Om Johan pelan. Ia sendiri sudah masuk lebih dulu.

Sekali lagi aku mengusap mata, lemas tubuhku beranjak dari tempat duduk berjalan gontai masuk ke kontrakan.

Aroma parfum Hyun Joon tersebar ke seluruh ruangan, aku membekap mulut, menahan kembali derai air mata yang terus luruh tak berjeda. Hyun Joon meninggalkan aroma tubuhnya untukku.

"Hyun memberikan parfum miliknya untukku, aku menyukai wanginya." Om Johan seakan bisa membaca pikiranku, "Lihat semua peralatan melukis Hyun Joon terakhir kali. Masih belum sempat ia rapikan. Dia bilang, semuanya untuk Hendro."

Aku melihat satu gulungan kanvas yang masih tergulung sepanjang dua meter dalam bungkusan plastik, bersandar di dinding paling ujung. Canvas yang sudah di blok hitam sudah dipasang span kayu dan beberapa cat oil, serta tumpukan kuas beragam jenis dan ukuran.

Pandanganku beralih pada sebuah lukisan kecil, lukisan abstrak yang unik. Jemariku tergerak menyentuh permukaannya, meraba pada setiap warna.

"Apa Hyun Joon meninggalkan alamat tinggalnya di Korea?" Aku menoleh pada Om Johan yang berdiri di belakangku.

"Tidak, Aira. Tapi dia menitipkan sebuah surat untukmu."

Sejurus aku menurunkan tangan. Berbalik menghadap Om Johan. "Surat?"

Laki-laki berkumis itu melipat kedua tangannya di dada, ia tersenyum kecil ke arahku.

"Ya, surat perpisahan. Seharusnya pagi ini aku datang ke rumahmu untuk mengantarkan surat dari Hyun, tapi aku malas harus mengetuk pintu rumah orang kaya. Jadi, aku menunggumu saja yang datang," jelas Om Johan tanpa rasa bersalah.

"Mana suratnya?" Aku menjulurkan tangan meminta surat itu. Om Johan seketika berpesan, "Bacalah sesampainya di rumah. Jangan di sini."

"Kenapa?" Aku mendelik. Meminta penjelasan padanya.

"Jangan tanya kenapa, Aira. Seorang perempuan sering bertindak berlebihan bila dihadapkan yang menurut para pria itu biasa dan tak patut dipermasalahkan. Jadi, aku takut kau pingsan setelah surat itu dibaca." Om Johan mengambil sesuatu dari dalam saku kemejanya. Sebuah kertas terlipat rapi tanpa amplop.

"Om Johan tau isinya?"

"Tentu."

"Tidak sopan!"

"Hyun meminta pendapatku tentang suratnya sebelum ia pergi. Ada yang salah?"

Aku menggeleng, kupikir diam-diam dia membacanya. Kuambil surat yang disodorkan oleh Om Johan dengan tanganku gemetar, kemudian lipat kertas cepat kumasukkan dalam tas kecilku.

"Terima kasih, Om. Untuk semuanya." Aku berucap lirih dalam sisa-sisa isak tangis.

"Tidak perlu berterima kasih, Aira. Semoga kau selalu bahagia."

Aku tak bergeming.

"Aku hanya berpesan, jangan salahkan takdir, jangan membenci keadaan. Yang terjadi biarlah berlalu, kau kuras air mata pun tetap tak akan membalikkan waktu."

Related chapters

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 7

    Kulaju mobil dengan kecepatan tinggi, melesat menembus angin dan panasnya terik matahari. Setelah pamit pulang pada Om Johan. Aku ingin cepat sampai ke tempat di mana aku bisa seluasa membaca surat dari Hyun Joon. Pantai adalah satu-satunya tujuan. Lama kaki ini tidak menyentuh pasir dan bui ombak.Kepergian Hyun sudah menyempurnakan rasa sakitku. Mungkin, bisa saja aku mati secara perlahan karena jeratan rindu.Perjalanan berjam-jam dari kontrakan pinggir kota di mana Hyun pernah tinggal bersama teman-temannya, kini aku sudah sampai di tempat tujuan.Pantai yang indah.Tetapi keindahan itu terlihat biasa saat ini. Tak seindah dulu saat aku dan Hyun berlari menerjang ombak, saling melempar pasir di antara embusan angin dan gelak tawa.Aku bertelanjang kaki menyusuri pantai, meninggalkan jejak kaki di atas pasir yang tersapu omba, bui-buinya mencium kaki, menggelitik geli.

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 8

    Beberapa hari setelah perbincangan di meja makan itu, sesuai janji Ayah, tanggal pernikahanku dengan Dewa sudah ia diskusikan dengan keluarga calon besan. Aku hanya pasrah, kukatakan berulangkali pada Ayah jangan lagi bertanya soal tanggal dan sebagainya, aku tak ingin direpotkan hal semacam itu. Hari ini, besok, lusa, atau kapanpun aku siap. Asal Ayah bahagia aku menikah dengan Dewa. Tidak hanya Ayah, Dewa pun terdengar ceria saat ia meneleponku. "Gua nggak nyangka lo akhirnya mau nikah sama gua." Suara Dewa penuh percaya diri yang tinggi. Orang stress! "Gua masih inget waktu lo ngancam gua soal perjodohan kita. Gampang banget lo nyerahnya. Hahaa." Lagi lagi dia membangkitkan emosiku. Aku sudah tak tahan untuk terus diam mendengar ocehannya. "Ter-se-rah!" Tanpa menunggu respon, sambungan sudah kumat

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 9

    Aku nyaris kehilangan fokus saat menyetir mobil saat perjalanan pulang, hubungan Dewa dan Salsa sangat menggangguku. Entah, sampai di mana keakraban mereka, yang jelas aku bisa melihat dari sorot mata gadis yang berprofesi model itu ada rasa kagum pada Dewa. Aku paham betul, bagaimana rona wajahnya ketika jatuh cinta."Salsa ngak bakal peduli sama cowok kalau Salsa gak suka." Salsa pernah mengatakannya padaku setahun lalu, saat ia mengacuhkan Mas Doni, seorang fotografer yang berpenampilan necis.Malam ini, aku melihat kepedulian Salsa terhadap Dewa, ia nampak cemas dan khawatir. Hanya saja rasa itu sedikit tertutup.Sialan! Kenapa aku terus memikirkan Dewa dan Salsa. Apa aku mulai menuntut kesetiaan Dewa karena akan jadi suamiku nanti? Benarkah begitu? Hahaa. Ini gila!Aku tergelak, sudah lama aku kehilangan sensasi rasa cemburu. Selama berpacara dengan Hyun Joon, seniman k

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 10

    "Aira." Suara Ibu terdengar cemas dalam telepon, "Kamu di mana, Nak?""Ibu ... aku sedang bersama Dewa sekarang. Kami perlu bicara mengenai pernikahan nanti," jelasku pada Ibu, benar saja kudengar ibu menghela napas lega."Yah, Aira lagi sama Dewa," adu Ibu berbisik pada Ayah. Biasanya Ibu dan Ayah memang sering berbincang sebelum tidur di teras rumah."Baguslah, Bu. Mereka pelan-pelan harus saling mengenal." Suara Ayah membuatku sedikit menahan napas."Bu, sudah dulu, ya. Kecup sayang buat Ibu." Aku mematikan sambungan telepon setelah mendengar Ibu membalas kecup sayang dariku. Sejak kecil hingga saat ini, kebiasaanku sering mengabari Ibu setiap terlambat pulang tak pernah berubah.Tak lama aku melihat Dewa keluar dari pintu caffe dengan membawa napan makanan, bibirnya tersenyum ke arahku.Dasar bucin!Aku melempar pandangan ke lain arah, berpura-pura ti

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 11

    Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis."Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.&nb

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 12

    "Selamat ya, Ra. Semoga cepet cerai!" bisik Salsa saat ia menyalamiku. Mata genitnya melirik Dewa di sampingku yang terus memamerkan senyum pasta giginya pada para tamu undangan."Gila!" desisku melototi Salsa. Gadis ini sinting luar biasa, meski tidak suka dengan perjodohan ini tapi tak pernah terbersit sedikitpun untuk bercerai. Aku tidak suka menyakiti hati orang dengan kejam.Salsa mengulum senyum. "Salsa cuma becanda atuh, dih baperan. Hihiii."Aku memutar bola mata, malas menanggapi candaan Salsa. Aku kurang suka bergurau semacam itu. Melihatku cuek, dia akhirnya sadar diri untuk segera menyeret langkah menjauh dan mulai mengincar sesuatu untuk bisa ia kunyah.Beruntung hanya Salsa yang hadir di resepsi pernikahan ini, itu pun Dewa yang mengundangnya secara langsung, seandainya semua teman-temanku dan Dewa ada, entah seperti apa pesta ini. Bisa kacau dengan segala celotehan tak mengenakkan. Jauh dar

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 13

    Di mana dia? Di mana pelukis itu!"Hyun Joon!" Aku berteriak sekuat tenaga, di depan lukisan dan di depan banyak orang."Hyun Joon!" panggilku kembali, "ini aku ...." Suaraku mulai melemah dan terasa serak.Tak ada tanda-tanda batang hidung laki-laki blasteran itu di sini. Ah, aku benar-benar gila. Bagaimana kalau Dewa melihatku? Aku segera tersadar dengan status baru sebagai istri anak dari sahabat Ayah. Dewa sudah sah menjadi suamiku saat ini.Segera kulap air mata dan berhenti menangisi sesuatu yang mustahil untuk bisa kuulang kembali. Berusaha tegar, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.Huufth! Sudahi kegilaan ini, Aira!Orang-orang itu mulai bubar, satu persatu melangkah pergi meninggalkanku."Kakak cantik, lukisan itu benar-benar mirip Kakak." Seorang anak kecil sekitar umu

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 14

    "A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah

Latest chapter

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 22

    Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 21

    “Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 20

    Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 19

    Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 18

    Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 17

    Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 16

    “Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 15

    Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco

  • Jodoh untuk Aira   Chapter. 14

    "A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah

DMCA.com Protection Status