Aku nyaris kehilangan fokus saat menyetir mobil saat perjalanan pulang, hubungan Dewa dan Salsa sangat menggangguku. Entah, sampai di mana keakraban mereka, yang jelas aku bisa melihat dari sorot mata gadis yang berprofesi model itu ada rasa kagum pada Dewa. Aku paham betul, bagaimana rona wajahnya ketika jatuh cinta.
"Salsa ngak bakal peduli sama cowok kalau Salsa gak suka." Salsa pernah mengatakannya padaku setahun lalu, saat ia mengacuhkan Mas Doni, seorang fotografer yang berpenampilan necis.
Malam ini, aku melihat kepedulian Salsa terhadap Dewa, ia nampak cemas dan khawatir. Hanya saja rasa itu sedikit tertutup.
Sialan! Kenapa aku terus memikirkan Dewa dan Salsa. Apa aku mulai menuntut kesetiaan Dewa karena akan jadi suamiku nanti? Benarkah begitu? Hahaa. Ini gila!
Aku tergelak, sudah lama aku kehilangan sensasi rasa cemburu. Selama berpacara dengan Hyun Joon, seniman keturunan Korea itu tak pernah berulah sampai membangkitkan kecemburuanku.
Ah, bahkan hingga saat ini aku masih memikirkan Hyun. Sedang apa dia? Diam-diam, air mataku menetes satu-satu, tanpa kuminta, hanya dengan mengingat namanya, kegiatannya aku lemah. Mengapa hati ini terlalu rapuh?
Pandanganku mengabur, air di kelopak mata terus berdesakan, membuat anak sungai di pipi. Bahuku terguncang, sekuat mungkin aku menahan rasa sesak di dalam sini, aku mengingat semua kenang tentangnya.
"Tiiin ...!"
Tiba-tiba suara klakson sepeda motor mengejutkanku dari arah belakang. Cepat-cepat kuseka air mata, lalu fokus pada kaca spion.
Dewa? Dia mengikutiku?
Tangan Dewa melambai, mungkin dia tahu aku terus memperhatikannya. Memang wajahnya tertutup helm, tapi aku mengenali pakaian dan postur tubuhnya meski di atas kendaraan.
Kulajukan mobil lebih kencang, tapi Dewa tetap mengejarku hingga kendaraan kami bersisian.
Makin gila dia!
"Ra, gua tunggu di Night Caffe depan, ya." teriak Dewa di tengah deru angin. Membuat keningku mengerut. Night Caffe? Aku malas ke tempat itu malam ini, tapi kurasa kami memang harus bicara. Sekeras apapun keinginanku tetap tak dapat menolak keinginan Ayah.
Motor Dewa sudah melesat mendahuluiku, sebelum aku sempat menyetujui ucapannya.
Night Caffe tidak terlalu jauh, hanya dalam waktu 10 menit aku sudah sampai di sana, memarkirkan mobil dan turun mencari seseorang.
"Ra!" Seseorang memanggil, "gua di sini, Beib!"
Dewa melambai, ia tengah duduk di kursi caffe yang terletak paling ujung. Pilihan tempat duduk paling pas untuk suasana hatiku saat ini. Bicara di ruang outdoor lebih segar dari pada berbincang dalam ruangan. Lagi pula aku butuh udara segar agar pikiran tetap ternih. Terlebih lawan bicaraku adalah sosok mengerikan yang bernama Dewa.
Kuseret langkah mendekati Dewa, melalui taman dengan rumput hijau yang ditumbuhi banyak bunga warna warni serta lampu-lampu taman hias. Aku menyukai sinar temaram taman caffe ini. Suasananya sangat nyaman.
"Duduklah," suruh Dewa, "gua udah pesenin dua cangkir kopi hitam. Satu buat gua satu buat lo. Tanpa sianida." Ia menyeringai, tampangnya nampak lebih konyol dari biasanya.
"Terima kasih. Tapi aku tak ingin kopi malam ini." Aku mulai duduk di kursi dengan tangan menyilang di dada dan menyandarkan punggung.
Kali ini Dewa mengulum senyum, mulutnya mulai menyentuh bibir cangkir dan meneguk kopi hitam dengan nikmat.
"Aah, mantap! Baru di sini gua minum kopi enak banget."
Mataku mendelik, mulai penasaran dengan yang ia ucapkan. Entah dia tahu dari siapa kalau aku pecinta kopi. Khususnya kopi hitam yang dibuat secara tradisional, seperti para petani kopi daerah Sumatera, misalnya. Cita rasa kopi yang mereka olah dari menjemur, menyangrai, sampai ditumbuk dengan lesung dan dihaluskan. Itu rasanya ... luar biasa nikmat!
"Aku tahu kopi ini nikmat, hanya dengan mencium aromanya saja," timpalku dengan sudut bibir terangkat sebelah.
"Gua tau kok." Dewa memegangi batang hidungnya, kurasa ia masih menahan rasa sakit di bagian sana.
Aku malas meresponnya lagi. Sudah tentu dia tahu karena Ayah sering me mengumbar sesuatu tentangku. Angin malam ini berembus lembut, sayup kudengar alunan musik dari arah dalam caffe, meski sepi pengunjung tapi tempat ini tetap terasa hangat. Sepasang kekasih baru saja memasuki area taman dan langsung mendapatkan meja yang diinginkan tepat di bawah sinar lampu taman. Cahayanya pias menerpa wajah mereka.
"Ra, gua pengen lo ikhlas nerima gua sebagai suami lo nanti." Suara Dewa mengisi keheningan di antara kami. Sontak aku melepas tatapan dari sepasang kekasih itu, dan menoleh pada Dewa.
"Gua janji, gak bakal maksa ataupun nuntut apapun setelah kita nikah. Terserah lo mau ngapain." Dewa menyilangkan jari-jari tangannya di atas meja. Menarik napas panjang dan mengembuskan dengan berat.
Aku sendiri tak tahu harus bicara apa, jadi kuputuskan untuk tetap diam. Menyesap kopi dan menikmati rasanya yang nikmat.
"Kamu benar soal kopi ini." Aku mengalihkan pembicaraan, "Rasanya nikmat." Kembali kusesap kopi dengan mata terpejam.
"Kalo lo nggak respon, gua anggap nggak ada masalah dengan pernikahan kita nanti. Gua cuma nggak mau lo manyunin sepanjang hidup."
Mataku terbuka perlahan, dan langsung fokus pada Dewa. "Tak ada yang harus dicemaskan, Dewa. Kita ikuti keputusan orang tua kita, aku sudah tak ada pilihan lain. Hanya saja ... aku jangan paksa aku untuk melupakan masa lalu dan dengan cepat mencintaimu. Semua butuh proses, butuh waktu, butuh banyak hal agar rasa itu dapat tumbuh."
"Gua paham," timpal Dewa cepat, "gua pun sama. Mungkin lo nggak tau, kalau gua juga harus berkorban ninggalin cewek gua karena perjodohan ini."
"Apa?!" Aku tak percaya apa yang Dewa katakan. Jadi ...
Kepala Dewa tertunduk, seperti ada beban dalam hatinya yang ingin ia paksa keluar. Aku pikir selama ini hanya aku yang tersiksa, tanpa ingin tahu bagaimana perasaan orang lain.
"Ke-kenapa kamu mau dijodohkan denganku, Wa?" Aku meminta penjelasan. Sesekali ujung mataku memperhatikan sepasang kekasih yang tadi dudui tak jauh dari kami.
Sial, kenapa aku harus liat mereka ciuman, sih?
"Cewek gua marah setelah tau gua mau dijodohin. Setelah mutusin gua, dia balikan sama mantannya." Dewa berusaha bersikap tegar di depanku, sikapnya membuatku ingin tertawa. Ternyata hidup Dewa lebih menyakitkan.
"Ada yang lucu?" tanyanya saat melihatku menutup mulut, hampir meledak.
"A-aku baru tahu kalau ada gadis sebodoh pacarmu. Putus lalu kembali merajut kisah asmara dengan mantan kekasih itu bukan sesuatu yang patut dibanggakan. Geli aku dengarnya!" Akhirnya aku tergelak, tak tahan rasanya membully Dewa.
"Prinsip orang kan beda-beda, Ra. Kalo mantan pacarnya lebih baik kenapa harus mempetahankan gua, kan? Bener ngga? Hahaa." Dewa ikut tergelak. Mengikuti kekonyolanku menertawakan nasib kami masing-masing.
Sesuatu terlihat, ternyata ... Dewa tampan juga, ya kalau lagi tertawa. Dia nampak lebih fresh dan gagah.
Aku tertawa sekaligus menitikkan air mata, antara sedih, haru, senang dan kecewa berkecamuk dalam dada dan menghasilkan kolaborasi yang menarik.
Dewa beranjak dari tempat duduk, ia mengatakan ingin memesan makanan. Selain kopi Night Caffe juga menyajikan beberapa menu spesial untuk para pengunjung. Untuk tamu yang memilih duduk di outdoor, harus memesan dan membawa makanan sendiri dari dalam.
"Terserah kamu mau bawain aku makan apa," pesanku pada Dewa sambil menyeka titik air disudut mata.
Dewa mengacungkan dua jempol padaku. "Siap ratu!"
Tawaku kembali pecah, sintingnya kambuh lagi dia. Tapi aku suka, apa yang Hyun Joon tidak pernah lakukan, aku bisa merasakannya pada Dewa.
Sembari menunggu Dewa, aku memikirkan Ibu. Aku takut dia khawatir, setahu Ibu aku mungkin masih di rumah Salsa, wanita yang sudah mengandungku itu paham betul bagaimana kehidupan Salsa dan teman-temannya. Ditambah lagi kondisiku kurang baik belakangan ini. Aku harus menghubunginya.
"Aira." Suara Ibu terdengar cemas dalam telepon, "Kamu di mana, Nak?""Ibu ... aku sedang bersama Dewa sekarang. Kami perlu bicara mengenai pernikahan nanti," jelasku pada Ibu, benar saja kudengar ibu menghela napas lega."Yah, Aira lagi sama Dewa," adu Ibu berbisik pada Ayah. Biasanya Ibu dan Ayah memang sering berbincang sebelum tidur di teras rumah."Baguslah, Bu. Mereka pelan-pelan harus saling mengenal." Suara Ayah membuatku sedikit menahan napas."Bu, sudah dulu, ya. Kecup sayang buat Ibu." Aku mematikan sambungan telepon setelah mendengar Ibu membalas kecup sayang dariku. Sejak kecil hingga saat ini, kebiasaanku sering mengabari Ibu setiap terlambat pulang tak pernah berubah.Tak lama aku melihat Dewa keluar dari pintu caffe dengan membawa napan makanan, bibirnya tersenyum ke arahku.Dasar bucin!Aku melempar pandangan ke lain arah, berpura-pura ti
Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis."Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.&nb
"Selamat ya, Ra. Semoga cepet cerai!" bisik Salsa saat ia menyalamiku. Mata genitnya melirik Dewa di sampingku yang terus memamerkan senyum pasta giginya pada para tamu undangan."Gila!" desisku melototi Salsa. Gadis ini sinting luar biasa, meski tidak suka dengan perjodohan ini tapi tak pernah terbersit sedikitpun untuk bercerai. Aku tidak suka menyakiti hati orang dengan kejam.Salsa mengulum senyum. "Salsa cuma becanda atuh, dih baperan. Hihiii."Aku memutar bola mata, malas menanggapi candaan Salsa. Aku kurang suka bergurau semacam itu. Melihatku cuek, dia akhirnya sadar diri untuk segera menyeret langkah menjauh dan mulai mengincar sesuatu untuk bisa ia kunyah.Beruntung hanya Salsa yang hadir di resepsi pernikahan ini, itu pun Dewa yang mengundangnya secara langsung, seandainya semua teman-temanku dan Dewa ada, entah seperti apa pesta ini. Bisa kacau dengan segala celotehan tak mengenakkan. Jauh dar
Di mana dia? Di mana pelukis itu!"Hyun Joon!" Aku berteriak sekuat tenaga, di depan lukisan dan di depan banyak orang."Hyun Joon!" panggilku kembali, "ini aku ...." Suaraku mulai melemah dan terasa serak.Tak ada tanda-tanda batang hidung laki-laki blasteran itu di sini. Ah, aku benar-benar gila. Bagaimana kalau Dewa melihatku? Aku segera tersadar dengan status baru sebagai istri anak dari sahabat Ayah. Dewa sudah sah menjadi suamiku saat ini.Segera kulap air mata dan berhenti menangisi sesuatu yang mustahil untuk bisa kuulang kembali. Berusaha tegar, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.Huufth! Sudahi kegilaan ini, Aira!Orang-orang itu mulai bubar, satu persatu melangkah pergi meninggalkanku."Kakak cantik, lukisan itu benar-benar mirip Kakak." Seorang anak kecil sekitar umu
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah
Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco
“Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah
Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan
“Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan
Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”
Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku
Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah
“Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang
Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah