"Aira." Suara Ibu terdengar cemas dalam telepon, "Kamu di mana, Nak?"
"Ibu ... aku sedang bersama Dewa sekarang. Kami perlu bicara mengenai pernikahan nanti," jelasku pada Ibu, benar saja kudengar ibu menghela napas lega.
"Yah, Aira lagi sama Dewa," adu Ibu berbisik pada Ayah. Biasanya Ibu dan Ayah memang sering berbincang sebelum tidur di teras rumah.
"Baguslah, Bu. Mereka pelan-pelan harus saling mengenal." Suara Ayah membuatku sedikit menahan napas.
"Bu, sudah dulu, ya. Kecup sayang buat Ibu." Aku mematikan sambungan telepon setelah mendengar Ibu membalas kecup sayang dariku. Sejak kecil hingga saat ini, kebiasaanku sering mengabari Ibu setiap terlambat pulang tak pernah berubah.
Tak lama aku melihat Dewa keluar dari pintu caffe dengan membawa napan makanan, bibirnya tersenyum ke arahku.
Dasar bucin!
Aku melempar pandangan ke lain arah, berpura-pura tidak melihat ke arahnya. Tapi sialnya, aku melihat sesuatu yang tak ingin kulihat.
Mereka masih berpagut ganas di bawah sinar lampu taman, seakan dunia ini milik mereka dan kami cuma numpang singgah. Bahkan saat Dewa sudah meletakkan nampan di atas meja dan kembali duduk sepasang kekasih itu tak peduli, semakin angin berembus kencang semakin panas nafsu birahi.
"Selera makanku hilang." Aku menggigit bibir. Rasa mual dan rasa malu menyergap secara bersamaan.
"Kita pindah ke dalam, yuk!" ajak Dewa, tapi sesekali matanya menatap sepasang kekasih tak tahu malu itu.
Tak ada pilihan. Aku mengangguk. Dewa begegas mengangkut kembali nampan makanan.
"Bawa ke hotel aja, Bang. Di sini banyak setannya!" teriak Dewa pada laki-laki ganas itu sebelum langkah kami menjauh dari meja taman. Diikutin kikikkan tawaku di balik telapak tangan.
Percuma, mereka tidak akan mendengar. Bahkan untuk secangkir kopi saja mereka belum memesan.
Aku dan Dewa sudah pindah tempat, kini kami menikmati makan malam di dalam caffe, tepatnya di pojok ruangan dekat dengan jendela yang terbuka. Entah, aku lebih suka ruang bebas udara daripada ruang tertutup.
"Setelah ini aku harus pulang," tegasku sambil mengunyah sepotong roti keju.
Dewa hanya menjawab singkat, "Oke."
"Ra, setelah nikah lo mau tinggal di mana? Mau ikut atau tetap mau bareng orang tua?" tanya Dewa serius setelah beberapa menit kami saling diam. Dia sudah mengisi perutnya dengan semangkuk mie ramen dan roti bakar telur crispy.
Pertanyaan Dewa mengembalikan ingatanku saat bersama Hyun Joon. Aku pernah mengatakan pada kekasihku itu bahwa aku ingin tinggal di sebuah rumah di perkampungan pinggir kota.
"Kita sewa rumah kontrakan di perkampungan pinggir kota Jakarta. Bagaimana?"
Dua potong roti sudah habis, aku menunggu respon Dewa. Keningnya mengerut heran, mungkin dia pikir aku mengigau.
"Jangan gila deh, Ra. Mana bisa gua tinggal di tempat kayak gitu," tolak Dewa lesu.
"Tapi aku lebih suka kita hidup sederhana, seperti kebanyak orang. Setelah nikah, ya pindah."
"Gua kan udah punya rumah sendiri, Ra. Ngapain kita harus tinggal dikontrakkan?"
"Keberatan artinya gagal nikah!" ancamku kesal, dan mulai sibuk mengikat rambut panjangku yang bergelombang. Membentuknya sanggul kecil seperti rambut Ibu.
Dewa bungkam. Dia pasrah dengan permintaanku tanpa banyak alasan lagi. Aku ingin tahu, seberapa kuat Dewa menjalani hidup seperti Hyun Joon.
Bulan bulat sempurna di atas sana, jadi saksi perbincangan kami malam ini, dan keputusan terakhirku.
***
Aku dan Dewa sudah memutuskan beberapa hal mengenai pernikahan kami saat di Night Caffe, dan itu membuatku cukup lega sebagai calon istri anak dari sahabat Ayah.
Sudah kujelaskan pula pada Ayah soal tempat tinggalku setelah menikah nanti, sudah kutebak Ayah akan keberatan tapi kuyakinkah bahwa aku bisa, aku menginginkan kehidupan seperti itu sejak lama, tepatnya sejak Hyun Joon masuk dalam kehidupanku. Dialah yang banyak mengajarkan arti kesederhanaan, juga kebebasan.
Hari pernikahan tinggal sehari, undangan sudah dicetak dan disebar. Jangan tanya siapa saja dan berapa jumlahnya, aku tak tahu. Ayah, Ibu dan calon mertua lah yang sudah menyiapkan semuanya. Sementara aku dan Dewa sibuk fitting baju pengantin dan pergi ke salon.
"Dewa?" Seorang gadis berbulu mata lebat mendekati Dewa setelah kaki kami baru saja melangkah melewati pintu masuk salon kecantikan.
"Tiara?" Dewa tak kalah terkejut melihat gadis di hadapannya. Dia menoleh ke arahku sebentar, terlihat gugup.
Tangan gadis itu mengulur padaku. "Kenalin, gue mantannya Dewa. Tiara." Bibirnya yang semerah cerry tersenyum tipis, terkesan dibuat-buat. Aku melihatnya agak ngeri dengan penampilannya yang seronok. Selera Dewa benar-benar payah!
"Aku, Aira," balasku menjabat tangan Tiara dan segera melepaskannya, "Wa, aku duluan, ya."
"Ntar, bareng aja!" Dewa menarik pergelangan tanganku.
Beberapa pengunjung salon memerhatikan kami, ada juga yang tak peduli sama sekali. Jujur, aku paling malas berurusan dengan orang-orang seperti Tiara. Selain tak sopan, tingkahnya sangat mengganggu.
"Dewa, gue perlu ngomong bentar sama lo, pliiis!" Tiara langsung menyambar tangan Dewa tanpa ragu, tanpa rasa malu tentunya.
Pelan, Dewa melepaskan pegangan tangan Tiara. Matanya melihat kesekeliling. "Gua nggak bisa. Ngapain lo di sini?"
"Ya nyalon lah, emang kalian doang yang perawatan." Tiara memutar bola mata, bibirnya sedikit mendekat ke telinga Dewa, "ikut gue, yuk!"
"Sorry, gua mau nemenin calon bini nyalon dulu." Dewa segera menggenggam erat tanganku dan meninggalkan Tiara cepat-cepat. Gadis itu menghentakkan kaki kesal, bibirnya manyun sambil berkacak pinggang.
"Dewa! Lo harus tanggung jawab. Gue hamil!" teriak Tiara dari belakang.
Langkah Dewa terhenti saat mendengar teriakan Tiara, sedikit menoleh tanpa membalikkan badan. Rahangnya mengeras dengan sorot mata penuh kebencian.
"Jangan minta pertanggungjawaban dari gua!" Tangan Dewa mengeratkan genggamannya di jemariku. Seakan tak ingin lepas.
Kutatap wajah Tiara, menelisik perasaannya melalui mimik dan cara ia memandang Dewa. Tidak ada yang salah dengan gadis itu. Entah, dengan air mata yang menetes saat kelopak matanya menutup apakah sebuah ungkapan kesungguhan atau sekedar bualan.
"Tapi ini anak lo, Wa," tukas Tiara serak. Punggung tangannya menyeka mata yang basah.
Beberapa pasang mata mengarah pada kami, terutama pada Tiara. Mungkin ada di antara mereka merasa iba dan menganggap Dewa laki-laki tak bertanggung jawab, sementara aku? Barangkali mulai disebut sebagai pelakor.
"Wa, lebih baik kamu ajak Tiara bicara dulu di luar. Jangan buat kesalahpahaman orang-orang di dalam sini," bisikku pada Dewa, mengingat para pelayan salon mulai menatap kami tak suka. Bagaimanapun, baik pegawai salon atau pengunjung wajib menjaga keamanan dan kenyamanan bersama-sama.
Dewa menatapku tak percaya dengan apa yang kuucapkan, tapi aku segera mengangguk pelan untuk meyakinkannya.
Dewa berbalik, dan berdecak kesal, akhirnya pasrah untuk menuntaskan permasalahan dengan mantan kekasihnya, Tiara. Mereka berjalan beriringan menuju pintu keluar salon. Kuharap Dewa bisa menyelesaikan persoalannya dengan Tiara baik-baik.
Aku sendiri, masih mematung memandang langkah kaki mereka hingga menghilang di balik pintu masuk. Tanpa kusadari, sesuatu menelusup dalam ruang hati. Ada sedikit kekecewaan mulai bersarang di dalam sini.
***
"Dewa mana?" tanya Ibu saat melihatku pulang sendirian.
Aku mengigit bibir, harus bagaimana kujelaskan pada Ibu, kalau Dewa ...
"Dewa tidak bisa antar aku pulang. Ada kerjaan mendadak." Aku tidak sepenuhnya berbohong, Dewa memang ada kerjaan mendadak setelah Tiara datang dan mengatakan kalau ia tengah hamil, sialnya bayi dalam kandungan gadis itu adalah benih dari Dewa.
Ibu mengangguk paham, alasanku cukup masuk akal walaupun kening Ibu mengerut. Seperti ada sesuatu yang masih mengganjal dipikirannya.
"Bu, aku istirahat dulu, ya. Hari ini cukup lelah." Aku pamit ke kamar, bergegas menaiki tangga setelah mengecup kening Ibu.
Di dalam kamar, pengakuan Tiara dan air matanya masih terus kuingat, seandainya benar Dewa adalah pelakunya, lalu bagaimana nasibku? Dan ... perasaan Ayah serta kedua orang tuanya? Dia benar-benar sudah sinting!
Ponsel di tasku berdering mengejutkan lamunanku, dengan malas kurogoh isi tas dan duduk di tepian ranjang. Dugaanku benar Dewa yang menelepon.
"Lo di mana?" Suaranya terdengar kesal.
"Sudah pulang." Kujawab santai. Aku merebahkan tubuh di kasur dengan tangan masih memegang ponsel dan memasang Earphone.
Dewa berdecak, "Pantes gua cariin gak ada, kirain gua jadi nyalon. Ntar gua ke rumah lo."
Aku tersenyum getir. "Mau apa?"
"Gua mo ngejelasin soal Tiara."
Kuputar bola mata dan mengembuskan napas cepat-cepat, aku tidak kuat mendengar kalau ...
"Tidak ada yang harus kamu jelasin, Wa. Itu bukan urusanku, kan? Lakukan saja hal terbaik demi hubungan kalian." Aku berharap Dewa membatalkan perjodohan karena Tiara. Segera!
"Lo ngomong apaan? Ngaco!" Aku bisa merasakan napas Dewa di telingaku.
Tak ingin menanggapinya lagi, aku langsung mematikan sambungan telepon, biarlah dia semakin kesal di sana. Aku ingin menenangkan pikiran barang sejenak, akhir-akhir ini hati dan pikiran serasa terkuras untuk hal-hal di luar keinginanku.
Di dunia ini, tidak ada cinta yang sempurna. Pengalamanlah yang mengatakannya. Hyun Joon pernah mengisi kekosongan hati dan mrmberi warna disetiap dindingnya. Membuatku lupa bahwa sesungguhnya ia hadir sekadar singgah. Aku luput dari segala kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi. Besar kesalahanku hingga harus menerima pahit, Hyun Joon terlambat untuk kuperkenalkan dengan Ayah.
Hyun pergi setelah mendengar hinaan dari Ayah dan membuatku rapuh seketika. Kupikir, Hyun tak akan seputus asa itu, aku menginginkan perjuangan yang lebih. Seandainya ia menginginkanku tidak sekedar ingin, aku rela berjuang mempertahankan ikatan kami meskipun harus bertentangan dengan keinginan Ayah.
Nyatanya, keindahan itu perlahan sirna. Seperti tak ada arti, harus diapakan sisa perasaan ini?
Aku lelah.
Lelah menyimpan kenang.
Lelah sendirian.
Lelah mengingatnya.
Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis."Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.&nb
"Selamat ya, Ra. Semoga cepet cerai!" bisik Salsa saat ia menyalamiku. Mata genitnya melirik Dewa di sampingku yang terus memamerkan senyum pasta giginya pada para tamu undangan."Gila!" desisku melototi Salsa. Gadis ini sinting luar biasa, meski tidak suka dengan perjodohan ini tapi tak pernah terbersit sedikitpun untuk bercerai. Aku tidak suka menyakiti hati orang dengan kejam.Salsa mengulum senyum. "Salsa cuma becanda atuh, dih baperan. Hihiii."Aku memutar bola mata, malas menanggapi candaan Salsa. Aku kurang suka bergurau semacam itu. Melihatku cuek, dia akhirnya sadar diri untuk segera menyeret langkah menjauh dan mulai mengincar sesuatu untuk bisa ia kunyah.Beruntung hanya Salsa yang hadir di resepsi pernikahan ini, itu pun Dewa yang mengundangnya secara langsung, seandainya semua teman-temanku dan Dewa ada, entah seperti apa pesta ini. Bisa kacau dengan segala celotehan tak mengenakkan. Jauh dar
Di mana dia? Di mana pelukis itu!"Hyun Joon!" Aku berteriak sekuat tenaga, di depan lukisan dan di depan banyak orang."Hyun Joon!" panggilku kembali, "ini aku ...." Suaraku mulai melemah dan terasa serak.Tak ada tanda-tanda batang hidung laki-laki blasteran itu di sini. Ah, aku benar-benar gila. Bagaimana kalau Dewa melihatku? Aku segera tersadar dengan status baru sebagai istri anak dari sahabat Ayah. Dewa sudah sah menjadi suamiku saat ini.Segera kulap air mata dan berhenti menangisi sesuatu yang mustahil untuk bisa kuulang kembali. Berusaha tegar, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.Huufth! Sudahi kegilaan ini, Aira!Orang-orang itu mulai bubar, satu persatu melangkah pergi meninggalkanku."Kakak cantik, lukisan itu benar-benar mirip Kakak." Seorang anak kecil sekitar umu
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah
Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco
“Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah
Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b
Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan
“Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan
Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”
Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku
Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah
“Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang
Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah