Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.
Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.
Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis.
"Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.
Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.
Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.
"Nak, Ibu tinggal ke dapur dulu, ya." Ibu menepuk pelan pundak Dewa, dan menatapku lembut.
"Bu, aku lapar. Aku ikut ke dapur, ya." Tanpa menghiraukan Dewa aku menggandeng lengan ibu, mengajaknya ke dapur bersama.
"Lho, Nak Dewa ini kan dari tadi nungguin kamu, mbok ya disapa dulu dong. Masa sama calon suami cuek begitu," cerocos Ibu, "kayak musuhan." Ibu melirikku tak suka. Sementara Dewa seakan menjadi orang paling tabah.
"Gak papa kok, Buk. Udah biasa dicuekin cewek jutek." Dewa memamerkan gigi putihnya. Sementara Ibu melirik ke arahku sekilas lalu kembali menatap Dewa.
"Sabar ya, Nak. Aira memang galak, tapi percayalah, dia sosok gadis yang baik dan perhatian." Ibu mencoba memberi kesan baik tentangku pada Dewa, harusnya aku berterima kasih pada Ibu, tapi sayang ada sedikit penolakan tentang apa yang Ibu ucapkan barusan.
"Percuma, Bu. Orang kalau sudah tak suka, akan terus dinilai buruk tanpa melihat sisi baik orang tersebut."
"Nggak juga, gua suka kok sama lo meski sering nyebelin," timpal Dewa membuat sudut bibir Ibu tertarik ke atas.
"Masa bodoh." Bibirku maju beberapa senti.
"Dih, liat tuh, Bu. Aira kumat."
"Kamu yang kumat!"
"Lo, lah."
"Ish, cowok nyebelin."
"Cowok keren, dong." Alis Dewa naik turun.
"Childish!" Aku mulai kesal dan melangkah meninggalkannya menuju dapur, sementara Ibu geleng-geleng kepala menatap aku dan Dewa bergantian.
Aku merasa menang saat aku berhasil meninggalkannya sendirian.
“Ayo, ikut ke dapur, temenin Aira makan,” ajak ibu, membuatku menaikkan alis tanda protes.
“Gak, Bu. Bisa-bisa nanti Aira grogi diliatin calon suami.”
Ya, ampun, Dewasa! Hiii.
***
Baru kusadari ternyata persiapan untuk pernikahan besok sudah hampir selesai. Mulai dari ruang tamu yang didekor sedemikian rupa. Meja, kursi dan karpet semua sudah tertata rapi.
Kulihat Ayah dan Ibu sedang berbincang dengan orangtua Dewa, mereka terlihat sangat akrab menampakkan rona bahagia dari wajah dan cara mereka berbicara. Di sana, aku tak melihat Dewa. Di mana dia?
Dari balik tirai yang menutupi perbatasan ruang belakang menuju dapur dengan ruang tamu, pelan-pelan aku menyelinap keluar rumah melalui pintu samping dapur yang menghubungkan pekarangan belakang.
Wow, luar biasa. Di taman ini ternyata juga sudah didekor sangat cantik. Aku suka dengan warna putih berpadu biru dan merah muda yang lembut. Meja-meja, kursi, tirai, bunga-bunga dan stand-stand menu makanan yang didesain tidak umum, unik dengan sticker full colour.
"Nggak usah melongo gitu kale, ini semua ide gua."
Dewa muncul secara tiba-tiba, menyilangkan tangan di dada dan senyum sebelah.
Aku buru-buru menutup mulut dan bersikap biasa. "Oh, keren juga," pujiku tulus. Tapi aku penasaran dari mana Dewa mendapatkan inspirasi dekorasi ruang pernikahan seperti ini.
"Pasti lagi mikir kenapa ide gua sehebat ini, iya kan?"
Dih, mulai kumat!
Aku mengibas rambut ke belakang, meliriknya jengkel. "Paling juga nyontek di buku-buku desain, atau ... searching di gugel." Aku menyeringai. Apalagi? Aku tahu dia tipe laki-laki kaku dan tak paham seni.
Dewa mendekat dan berucap pelan, "Lo nggak tahu, kan, kalo gua ini seniman. Gua bisa desain apa aja, dekor ruang apa aja, nulis, juga melukis." Dewa bicara semakin pelan, "Sssttt, jangan kaget gadis jutek, gua memang nggak pernah pamer keahlian seni gua."
Bola mataku membesar tak percaya, seakan yang barusan kudengar hanya bualannya saja. Pikiranku kembali mengingat pesan Salsa waktu itu, dia mengatakan kalau Dewa seorang penulis. Ah, benarkah Dewa seorang seniman? Tapi ...
"Nggak usah dipikirin, ntar setelah kita nikah, lo pasti tau semuanya," tambah Dewa, sekali lagi dia seakan bisa membaca pikiranku.
Aku masih terdiam, mengangguk kecil dan menatapnya lekat. Sekarang aku sadar, kenapa Dewa sangat berbeda dengan pengusaha-pengusaha lainnya, seperti Ayah yang kaku dan ayahnya yang sangat menjaga sikap. Sementara Dewa, liar, semaunya sendiri, dan tampil bergaya meski sering kulihat ia memakai pakaian formal.
Dadaku berdesir, kenapa hari ini Dewa terlihat tampan dan ... berbeda di mataku?
***
Hari yang ditunggu-tunggu oleh kedua orangtuaku dan Dewa akhirnya tiba. Aku hampir tak percaya sudah sah menjadi istri seorang pengusaha muda yang sukses. Laki-laki yang Ayah pilihkan untukku, untuk putrinya yang keras kepala ini.
Dewa menoleh, menatap wajahku penuh haru. Kedua matanya berkaca-kaca membuat keningku mengerut tak mengerti. Ia tersenyum penuh arti. Aneh, kenapa Dewa terlihat sangat bahagia dengan pernikahan ini?
Dasar cengeng!
Kuhindari tatapan Dewa, dan menyapu pandangan ke seluruh ruangan, semua tampak sangat bahagia atas pernikahan kami, terutama wajah orangtuaku pun kedua orangtua Dewa.
Hari ini, sejarah baru bagiku, menyandang status istri dan juga menjadi seorang ibu nantinya. Demi Ayah, demi Ibu demi orang-orang yang kucintai meski cinta itu belum tumbuh secara utuh. Namun besar harapan di lubuk hati, Dewa tetap sabar menerima ketidaksempurnaan kasih yang kumiliki untuknya. Perjalanan cukup berat memang, tapi aku pastikan namanya akan selalu ada dalam setiap doa-doa yang kupanjatkan pada Tuhan.
Momen memasangkan cincin di jari membuatku menahan napas beberapa detik. Harusnya bukan Dewa yang memasangkan cincin itu tapi Hyun Joon! Dewa segera berdiri dan kotak cincin sudah ada di tangannya. Perlahan, aku ikut berdiri, berusaha menarik sudut bibir agar bahagianya terlihat natural. Menjulurkan jari pada Dewa, siap untuk dipasangkan tanda ikatan pernikahan.
"Kamu cantik, Aira," ucap Dewa sepelan mungkin. Tapi tetap cuek walau banyak orang senyum-senyum mendengar rayuannya.
Dasar tukang gombal!
Aku tersenyum, sekali lagi senyum paling manis yang kubuat. Setelah cincin terpasang, kucium punggung tangan laki-laki yang sudah sah jadi suamiku ini. Apa lagi yang kulakukan, bukankah tradisi sebuah pernikahan begitu adanya? Seorang istri harus mencium punggung tangan suami dan suami berkasih sayang mengecup kening istri. Kami harus terlihat bahagia layaknya pasangan pengantin yang saling mencinta.
Oh, Tuhan!
Ah, drama ini terlalu manis bagiku.
Kami kembali duduk dengan khidmat, mendengar nasihat-nasihat pernikahan yang menjelaskan dengan gamblang bagaimana kewajiban dan hak suami-istri dalam menjalankan rumah tangga. Pernikahan adalah bentuk kasih sayang dan cinta Tuhan.
Aku melirik ke arah Dewa, tidak kudapatkan raut konyol yang selama ini sering kulihat. Dia serius, fokus, dan sangat antusias menyimak banyak nasehat rumah tangga. Aku melihat kesungguhannya dalam hal ini.
"Dengerin, jangan ngeliatin mulu. Gua ngeri kalo lo jadi naksir." Ujung matanya melirikku sekilas, dengan nada menyebalkan seperti biasa. Dewa sadar sejak tadi aku memperhatikannya.
Pipiku memanas, jelas aku malu. Bukan karena ucapannya, tapi ... pada diri sendiri. Mencuri pandang dan berpikir liar itu sangat tidak sopan.
***
"Semoga bahagia selalu, Sayang." Ibu menciumiku dan memeluk erat. Air matanya tumpah ruah. Begitu juga Ayah, beberapakali dia mengelus rambutku dan mengecup pipi, matanya berkaca-kaca, haru juga terlihat sangat bahagia.
"Maaf, Ayah sudah egois. Tapi Ayah yakin kamu akan bahagia sama Dewa." Ayah memelukku, setelah Ibu pelan-pelan melepaskan pelukannya dan menyeka air mata.
"Aku bahagia, Ayah. Percayalah," lirihku. Ayah merenggangkan pelukannya, ia menatap dalam kedua mataku dan mengangkat tangannya menghapus satu titik air di sudut mataku.
"Ayaaah!" Kembali kupeluk laki-laki terhebat dalam hidupku, Ayah yang luar biasa bagiku dan suami paling tangguh yang Ibu miliki.
Tak ada alasan untuk dendam, atau benci dengan apa yang terjadi. Aku tak yakin dapat membahagiakannya secara materi, karena aku sendiri bukanlah wanita hebat yang banyak pekerjaan hingga dapat mengumpulkan pundi-pundi kekayaan, hanya pernikahan ini barangkali dapat membahagiakan batinnya. Kukira, sekiranya aku mampu, Ayah tak butuh materi dariku. Tapi cinta.
Selesai sungkem pada orangtuaku, kini aku diberi banyak cinta dan doa dari kedua orang tua baru, Ayah dan Ibu mertua. Dua pasang mata di hadapanku berbinar bahagia.
"Doa kami selalu untukmu dan Dewa, Nak. Kebahagiaan ini sangat luar biasa bagi kami. Mimpi itu terwujud untuk menyatukan kalian. Mimpiku dan mimpi Ayahmu." Ayah mertua berucap lembut, matanya sama seperti mata Ayah. Mata yang memiliki banyak cinta dan harapan besar pada kami.
"Ibu mencintai kalian," ucap Ibu mertua. Mengecup kening dan memelukku hangat.
Ah, kenapa dadaku sesak. Seandainya aku menolak kasar pernikahan ini, sudah pasti aku melukai hati orang tuaku dan orang tua Dewa.
"Terima kasih, Bu, Pak. Aira akan belajar menjadi istri yang baik untuk Dewa."
Ya, istri yang baik. Aku sendiri saja agak asing mendengarnya.
Selanjutnya tiba acara resepsi. Kegiatan paling melelahkan, bagaimana tidak, bibir wajib melengkung memamerkan senyum ramah pada setiap tamu undangan. Kebanyakan tamu Ayah dan Pak Mertua, orang-orang penting dalam bisnis mereka. Sengaja Ayah memilih resepsi di rumah, agar lebih private dan hangat dengan orang-orang terdekat.
Entah kenapa pikiran konyol itu tiba-tiba datang, aku berharap Hyun Joon datang walau rasanya itu tak mungkin terjadi.
"Selamat ya, Ra. Semoga cepet cerai!" bisik Salsa saat ia menyalamiku. Mata genitnya melirik Dewa di sampingku yang terus memamerkan senyum pasta giginya pada para tamu undangan."Gila!" desisku melototi Salsa. Gadis ini sinting luar biasa, meski tidak suka dengan perjodohan ini tapi tak pernah terbersit sedikitpun untuk bercerai. Aku tidak suka menyakiti hati orang dengan kejam.Salsa mengulum senyum. "Salsa cuma becanda atuh, dih baperan. Hihiii."Aku memutar bola mata, malas menanggapi candaan Salsa. Aku kurang suka bergurau semacam itu. Melihatku cuek, dia akhirnya sadar diri untuk segera menyeret langkah menjauh dan mulai mengincar sesuatu untuk bisa ia kunyah.Beruntung hanya Salsa yang hadir di resepsi pernikahan ini, itu pun Dewa yang mengundangnya secara langsung, seandainya semua teman-temanku dan Dewa ada, entah seperti apa pesta ini. Bisa kacau dengan segala celotehan tak mengenakkan. Jauh dar
Di mana dia? Di mana pelukis itu!"Hyun Joon!" Aku berteriak sekuat tenaga, di depan lukisan dan di depan banyak orang."Hyun Joon!" panggilku kembali, "ini aku ...." Suaraku mulai melemah dan terasa serak.Tak ada tanda-tanda batang hidung laki-laki blasteran itu di sini. Ah, aku benar-benar gila. Bagaimana kalau Dewa melihatku? Aku segera tersadar dengan status baru sebagai istri anak dari sahabat Ayah. Dewa sudah sah menjadi suamiku saat ini.Segera kulap air mata dan berhenti menangisi sesuatu yang mustahil untuk bisa kuulang kembali. Berusaha tegar, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.Huufth! Sudahi kegilaan ini, Aira!Orang-orang itu mulai bubar, satu persatu melangkah pergi meninggalkanku."Kakak cantik, lukisan itu benar-benar mirip Kakak." Seorang anak kecil sekitar umu
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah
Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco
“Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah
Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b
Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku
Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan
“Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan
Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”
Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku
Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah
“Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang
Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah