Beberapa hari setelah perbincangan di meja makan itu, sesuai janji Ayah, tanggal pernikahanku dengan Dewa sudah ia diskusikan dengan keluarga calon besan. Aku hanya pasrah, kukatakan berulangkali pada Ayah jangan lagi bertanya soal tanggal dan sebagainya, aku tak ingin direpotkan hal semacam itu. Hari ini, besok, lusa, atau kapanpun aku siap. Asal Ayah bahagia aku menikah dengan Dewa.
Tidak hanya Ayah, Dewa pun terdengar ceria saat ia meneleponku.
"Gua nggak nyangka lo akhirnya mau nikah sama gua." Suara Dewa penuh percaya diri yang tinggi.
Orang stress!
"Gua masih inget waktu lo ngancam gua soal perjodohan kita. Gampang banget lo nyerahnya. Hahaa." Lagi lagi dia membangkitkan emosiku.
Aku sudah tak tahan untuk terus diam mendengar ocehannya. "Ter-se-rah!"
Tanpa menunggu respon, sambungan sudah kumatikan. Tak ada faedahnya bicara sama orang tak tahu malu itu.
Lebih baik, aku keluar rumah menemui Salsa untuk membayar janji. Aku pikir, ia akan senang melihat kedatanganku.
***
Aku cukup terkejut mendengar suara musik berdentum-dentum, banyak pasangan muda mudi tengah berpesta, mereka joget dengan napas tersengal sambil meliukkan badan. Sebagian orang hanya duduk-duduk asik menikmati segelas jus atau wine yang tersedia. Sesekali saling mencumbu mesrah.
"Hai, Ra!" sapa Salsa melambai ke arahku, "sorry, Salsa nggak tahu kamu bakal dateng." Gadis itu menarik tanganku masuk ke rumah besarnya.
"Yang ngadain pesta kamu, Sa?" Aku penasaran. Aku tahu Salsa tak mungkin membuat pesta seperti ini, yang kutaksir bisa menghabiskan dana ratusan juta.
"Salsa cuma nyediain tempat aja, Ra. Bos yang punya acara, lagian kan lumayan aku sewain rumah buat pesta. Hihii, " Salsa tampak sangat beruntung dengan adanya pesta ini.
"Kenapa tidak sewa gedung, atau apartemennya sendiri, kan bisa dibuat club." Aku masih penasaran. Seorang bos tak mungin tanpa perhitungan.
Salsa mendekatkan bibir ke telingaku, dia berbisik, "Ra, bos itu punya selingkuhan. Jadi dia adakan acara di sini itu tanpa sepengetahuan istrinya. Biar bebas."
Benar dugaanku. Kalau tidak, mana ia mengadakan pesta di sini. Aku cermati, pesta ini memang banyak menghabiskan biaya tapi tidak elegan. Terlihat layaknya pesta orang-orang biasa.
"Mendukung orang selingkuh, sama aja mendukung orang berbuat jahat." Aku berkata sesantai mungkin setelah duduk di kursi bermeja bulat yang sudah tersedia. Salsa duduk menyilangkan kaki, memperlihatkan paha mulusnya.
"Kalau nggak dibayar, Salsa sudah pasti nggak mau atuh. Tapi ... Salsa juga butuh hiburan setelah hampir sebulan padat pemotretan. Nah, kata Bos, pesta ini diadakan karena ingin nyenengin kami juga," jelas Salsa, tangannya mengibaskan rambut panjangnya ke belakang.
Seseorang membawa nampan minuman dan menawarkan beberapa pilihan.
"Aku mau jus lemon hangat saja," pintaku pada pelayan.
"Ra, bawa kan uangnya?" tanya Salsa selepas pelayan itu pergi.
Aku mengangguk, segera kuambil amplop dalam tas dan memberikannya pasa Salsa.
"Thanks ya, Ra." Raut wajah Salsa tampak lebih ceria berapa kali lipat.
Aku hanya membalasnya dengan senyum. Uang itu memang luar biasa efeknya. Bisa buat orang bahagia, menderita, senang, sedih, kecewa, sampai gila. Jadi, wajar saja jika Salsa bersemangat melakukan apapun demi uang. Uanglah sumber kebahagiaan Salsa saat ini.
Hampir 30 menit aku dan Salsa menikmati suara musik yang terus menyentak-nyentak, terkadang kaki dan tangan ikut bergerak mengikuti iramanya. Cukup asik dan menghibur di saat sedang penat seperti ini. Pikiran benar-benar butuh hiburan.
"Ra, tunggu bentar, ya. Salsa mau nemuin seseorang dulu." Dia pamit ke luar sebentar, mungkin saja pacar atau temannya yang datang.
Aku mengangguk, dan kembali menikmati suasana. Sejujurnya, pesta seperti ini bukan seleraku, aku lebih senang mendengar musik bermelodi lembut menenangkan, rasanya sampai ke hati. Tapi kali ini, sedikit menikmati.
"Mau joget denganku?" Seorang laki-laki berkulit putih menawarkan.
"Tidak, terima kasih," tolakku.
"Ayolah, cuma sebentar, kok." Setengah memaksa ia menarik tanganku.
Darahku mendidih, aku paling tak suka dipaksa, apalagi untuk berjoget dengan laki-laki yang tidak kukenal. Terlebih dia bukan seleraku.
"Lepaskan tanganku atau aku buat babak belur!" Aku mengancam, berani menyepelekan satu gerakan saja laki-laki itu bisa patah tulang.
Dia mendengkus kesal sambil melepas pergelangan tanganku lalu pergi.
Dasar banci! Kalau dia memang laki aku yakin tak akan sepayah itu ditantang seorang perempuan. Namun ada untungnya juga laki-laki itu mengalah, kalau tidak aku akan membuat keributan di sini, dan Salsa seumur hidup membenciku.
***
"Lama," rutukku dalam hati. Salsa masih belum muncul juga semenjak pamit menemui temannya. Rasa bosan mulai mendera. Seandainya ada seseorang datang padaku menawarkan sesuatu yang bisa membuat mood-ku naik, aku sangat senang. Sayangnya tak ada satupun yang berani mendekat. Barangkali tanpa sepengetahuanku mereka diam-diam menyaksikanku menggertak si banci berkulit putih tadi.
Jus lemon hangat sudah habis, aku beranjak ingin pulang, tak perlu lagi pamit pada Salsa, biar kutelepon atau aku kirim pesan chatt saja nanti.
Di luar masih terlihat ramai, beberapa asik berbincang di bawah lampu temaram. Ada juga yang berkumpul sesama laki-laki sambil menggoda gadis-gadis tak sengaja melintas. Aku menyapu pandangan berharap Salsa dapat kutemukan.
Hingga aku menemukan gadis berambut panjang lurus sepinggang dengan dress berwarna merah marun selutut membelah sampai ke paha, ia sedang berbicara dengan seseorang sesekali tergelak. Tapi wajah laki-laki itu tak jelas kulihat karena terhalang kepala Salsa.
Aku mendekat, dengan langkah panjang-panjang. Hanya untuk pamit padanya dan segera pulang. Ibu sering mengkhawatirkanku akhir-akhir ini, jangan sampai wanita berwajah lembut itu cemas.
"Sal--." Suaraku tercekat baru saja aku ingin memanggil Salsa, tapi laki-laki di dekat model itu mengejutkanku.
"Aira?"
Dewa dan Salsa menoleh padaku bersamaan.
"Bagus! rupanya kalian sudah semakin akrab. Lanjutkan," ucapku dibuat sesantai mungkin, "Sa, aku pulang, ya. Sudah malam, maaf aku telat membayar utangku." Kakiku kembali bergerak berjalan cepat menuju parkiran mobil. Tak kuhiraukan lagi seperti apa wajah Salsa dan Dewa setelah kepergok olehku.
Kurang ajar!
"Aira!"
Dewa berlari menyusulku.
"Ra, tunggu!"
Aku tetap pura-pura tuli. Buat apa dia mengejar, aku tak butuh penjelasan. Sekiranya dia memang ingin menemui Salsa, itu bukan urusanku bahkan aku sama sekali tak peduli. Justru aku senang kalau Dewa benar-benar menyukai Salsa, itu berarti ada harapan aku terbebas dari perjodohan konyol itu!
"Aira, dengerin gua!" Tangan Dewa berhasil menggamit lengan tanganku.
"Lepaskan! Mau kamu apa, sih? Setelah ngobrol dengan Salsa, kamu kasih penjelasan apa, hah?!" Mataku melotot ke arah Dewa, wajah orang paling menyebalkan sedunia.
"Gua nggak tau kalo lo dateng ke sini, Salsa nggak bilang. Kalo tau, gua bakal jemput lo dan kita pergi bareng, Ra. Lo jangan salah paham, plis!"
"Terserah. Aku tak peduli!" Aku berusaha melepaskan tangan dari cengkraman Dewa. Tenaganya kuat juga rupanya.
"Lo harus peduli, tanggal pernikahan kita sudah deket, Ra. Gua ketemu Salsa cuma mau kasih tau ke dia, kalo kita sebentar lagi akan nikah." Dewa masih meyakinkanku agar alasannya dianggap masuk akal.
"Aku percaya. Sekarang lepaskan tangaku atau kamu aku hajar!" sengitku pada Dewa.
"Hajar aja, tapi pakai bibir," goda Dewa mengerlingkan mata.
Buk!
Satu pukulan tanganku meluncur tepat di hidung Dewa.
Dewa mengerang kesakitan, untung hidungnya tidak keluar darah, hanya lebam kemerahan. Lenganku akhirnya berhasil lepas dari cengkraman tangan laki-laki menyebalkan itu.
"Dewa!" Salsa berlari ke arah Dewa yang sibuk memegangi batang hidungnya. "Kok kamu tega sih, Ra, mukul Dewa sampe bengkak gitu. Kan sakit tau!" sungut Salsa menatapku galak.
Kekhawatiran Salsa beralasan memang tapi aku tak peduli, kalau bukan di sini, Dewa bisa babak belur olehku.
"Gak usah ikut campur, Sa. Aku tau apa yang harus aku lakukan terhadap Dewa." Aku mengeratkan jaket, mengibas rambut panjang gelombangku yang tergerai berantakan karena embusan angin cuku kencang malam ini. Dinginnya membuatku sedikit gigil.
"Gua gak papa, kok. Santai aja." Tangan Dewa menepis sentuhan lembut tangan Salsa yang berusaha menenangkannya.
"Tapi ... "
"Udah, gak apa. Mending lo balik ke dalam ikut tamu-tamu lagi pesta. Biar gua nyelesain urusan gua sendiri sama Aira," tegas Dewa pada Salsa. Model seksi itu terlihat kesal, bibir merahnya mengerucut. Meski berat meninggalkan Dewa, akhirnya ia terpaksa nurut, berbalik badan dan pergi meninggalkan kami.
"Gua anter pulang, ya. Tenang, gua nggak bakal bales nyakitin. Lagian ada yang harus gua omongin ke lo." Dewa menekan hidungnya dengan ibu jari dari arah samping, aku tahu ia berusaha menahan nyeri akibat pukulanku.
"Ngomong apa lagi?" tanyaku tanpa menoleh pada Dewa, aku membuka pintu mobil.
"Tentang pernikahan kita." Dewa memelankan suaranya, "Waktunya mepet, kita harus keliatan mesrah."
Tawaku hampir meledak. "Mesrah?" ejekku sinis. Menatapnya seakan kata-katanya barusan adalah hal terbodoh yang pernah kudengar.
Blam!
Kututup pintu mobil dan segera menyalakan mesin. Mobil bergerak pelan keluar dari parkiran. Sementara Dewa terlihat gusar, kedua tangannya menjambak rambut sendiri, dan sesekali melayangkan tinju ke udara.
"Dasar cewek keras kepala! Belagu!" makinya sebelum kaca jendela mobil benar-benar tertutup rapat. Aku tak peduli lagi apa yang keluar dari mulut laki-laki itu.
Aku nyaris kehilangan fokus saat menyetir mobil saat perjalanan pulang, hubungan Dewa dan Salsa sangat menggangguku. Entah, sampai di mana keakraban mereka, yang jelas aku bisa melihat dari sorot mata gadis yang berprofesi model itu ada rasa kagum pada Dewa. Aku paham betul, bagaimana rona wajahnya ketika jatuh cinta."Salsa ngak bakal peduli sama cowok kalau Salsa gak suka." Salsa pernah mengatakannya padaku setahun lalu, saat ia mengacuhkan Mas Doni, seorang fotografer yang berpenampilan necis.Malam ini, aku melihat kepedulian Salsa terhadap Dewa, ia nampak cemas dan khawatir. Hanya saja rasa itu sedikit tertutup.Sialan! Kenapa aku terus memikirkan Dewa dan Salsa. Apa aku mulai menuntut kesetiaan Dewa karena akan jadi suamiku nanti? Benarkah begitu? Hahaa. Ini gila!Aku tergelak, sudah lama aku kehilangan sensasi rasa cemburu. Selama berpacara dengan Hyun Joon, seniman k
"Aira." Suara Ibu terdengar cemas dalam telepon, "Kamu di mana, Nak?""Ibu ... aku sedang bersama Dewa sekarang. Kami perlu bicara mengenai pernikahan nanti," jelasku pada Ibu, benar saja kudengar ibu menghela napas lega."Yah, Aira lagi sama Dewa," adu Ibu berbisik pada Ayah. Biasanya Ibu dan Ayah memang sering berbincang sebelum tidur di teras rumah."Baguslah, Bu. Mereka pelan-pelan harus saling mengenal." Suara Ayah membuatku sedikit menahan napas."Bu, sudah dulu, ya. Kecup sayang buat Ibu." Aku mematikan sambungan telepon setelah mendengar Ibu membalas kecup sayang dariku. Sejak kecil hingga saat ini, kebiasaanku sering mengabari Ibu setiap terlambat pulang tak pernah berubah.Tak lama aku melihat Dewa keluar dari pintu caffe dengan membawa napan makanan, bibirnya tersenyum ke arahku.Dasar bucin!Aku melempar pandangan ke lain arah, berpura-pura ti
Aku terbangun dengan air mata sudah mengering di pipi, rupanya cukup lama aku tertidur setelah jarum jam menunjuk di angka lima sore.Perutku mulai keroncongan, wajar saja jam segini sudah terasa lapar, sejak siang aku belum makan. Badan rasanya sangat lemas.Aku mengenakan baju kaos dan rok selutut dengan rambut panjangku yang sengaja tergerai selesai keramas, aroma shampoo dan conditioner semerbak harum. Sedikit polesan bedak di wajah dan memerahkan bibir dengan lipstik tipis-tipis."Nah, itu dia!” Ibu menunjuk ke arahku saat melihat aku menuruni tangga.Aku baru sadar, orang-orang di rumah ini sangat ramai. Mereka terlihat sibuk menyusun dan mengangkat barang-barang.Di sana, di samping Ibu berdiri sosok laki-laki bertampang sok keren dengan senyuman khasnya. Kulihat, Ayah sudah di duduk di ruang tamu menemani calon besannya.&nb
"Selamat ya, Ra. Semoga cepet cerai!" bisik Salsa saat ia menyalamiku. Mata genitnya melirik Dewa di sampingku yang terus memamerkan senyum pasta giginya pada para tamu undangan."Gila!" desisku melototi Salsa. Gadis ini sinting luar biasa, meski tidak suka dengan perjodohan ini tapi tak pernah terbersit sedikitpun untuk bercerai. Aku tidak suka menyakiti hati orang dengan kejam.Salsa mengulum senyum. "Salsa cuma becanda atuh, dih baperan. Hihiii."Aku memutar bola mata, malas menanggapi candaan Salsa. Aku kurang suka bergurau semacam itu. Melihatku cuek, dia akhirnya sadar diri untuk segera menyeret langkah menjauh dan mulai mengincar sesuatu untuk bisa ia kunyah.Beruntung hanya Salsa yang hadir di resepsi pernikahan ini, itu pun Dewa yang mengundangnya secara langsung, seandainya semua teman-temanku dan Dewa ada, entah seperti apa pesta ini. Bisa kacau dengan segala celotehan tak mengenakkan. Jauh dar
Di mana dia? Di mana pelukis itu!"Hyun Joon!" Aku berteriak sekuat tenaga, di depan lukisan dan di depan banyak orang."Hyun Joon!" panggilku kembali, "ini aku ...." Suaraku mulai melemah dan terasa serak.Tak ada tanda-tanda batang hidung laki-laki blasteran itu di sini. Ah, aku benar-benar gila. Bagaimana kalau Dewa melihatku? Aku segera tersadar dengan status baru sebagai istri anak dari sahabat Ayah. Dewa sudah sah menjadi suamiku saat ini.Segera kulap air mata dan berhenti menangisi sesuatu yang mustahil untuk bisa kuulang kembali. Berusaha tegar, dan bersikap seolah tak terjadi apa-apa. Kutarik napas dalam-dalam dan mengeluarkannya perlahan.Huufth! Sudahi kegilaan ini, Aira!Orang-orang itu mulai bubar, satu persatu melangkah pergi meninggalkanku."Kakak cantik, lukisan itu benar-benar mirip Kakak." Seorang anak kecil sekitar umu
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah
Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco
“Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang
Pagi-pagi sekali aku dan Dewa bermaksud untuk mencari kontrakan lagi. Aku pikir, menyewa rumah itu mudah, ternyata cukup sulit. Tak semudah yang dibayangkan. Aku jadk tahu bagaimana perasaan mereka yang masih belum memiliki hunian, dan harus terus berpindah-pindah tempat tinggal.Kami memasuki sebuah perkampungan yang tak jauh dari pasar tradisional. Aku berpikir, betapa menyenangkannya bila aku berbelanja di pasar itu, mengubah pola hidup yang tadinya senang belanja ke supermarket, berpindah ke pasar tradisional.“Semoga kali ini kita berhasil,” kataku pada Dewa, Dewa hanya bergumam sebagai respon.Motor kami memasuki gang-gang perkampungan. Mataku terus melihat kanan-kiri melihat barangkali ada rumah kosong yang bertuliskan 'dikontrakkan'.“Coba ke sini.” Aku menunjukk ke sebuah gang yang cukup lebar. Dewa tak banyak bicara seperti biasa. Dan aku senang dengan sikapnya kali ini.Dewa membelokkan
“Tak masalah. Pastikan ia baik-baik saja. Aku pikir ia memang sengaja menjebakmu untuk kenikmatan dirinya sendiri.”“Mungkin lo bener, Ra. Tapi gua nggak berpikir begitu. Tiara adalah anak orang nggak mampu. Sejak kecil ia tinggal di panti asuhan. Seandainya ia norak, matre, ya memang karena hidupnya begitu, serba kekurangan. Beda kayak lo yang memang terlahir dari keluarga berada. Bedanya, lo belum ngerasain yang namanya hidup melarat. Gua sendiri, pernah diposisi Tiara di masa kecil gua. Hidup serba kekurangan.” Dewa memasukkan kedua tangannya ke saku celana.Aku merasa tertohok. Kata-kata Dewa benar adanya. Mungkin aku tidak pernah merasakan kekurangan seperti itu. Tapi bukan itu maksudku, aku hanya tak ingin Dewa dimanfaatkan oleh Tiara.Aku tak menimpalinya lagi, tanganku mulai memerik beberapa tangkai mawar merah. Kucium wangi bunga itu, sambil memejamkan mata. Aku teringat banyak kata mutiara yang sering kudengar, bahwa seorang wan
Aku mengerutkan dahi. Duduk di samping Ayah. Pikiranku mulai ke mana-mana, apa mungkin Dewa menceritakan keributan kecil beberapa jam lalu? Tapi rasanya tak mungkin.“Aira, apa benar kamu mau tinggal di rumah kontrakan di perkampungan?” tanya Ayah dengan suara beratnya.Syukurlah, bukan soal Dewa yang ia bicarakan.“Benar, Yah. Aku ingin hidup mandiri. Lagipula, tak ada salahnya kan tinggal di rumah sewaan?”Ayah terkekeh. “Ya, jelas tidak salah. Tapi lucu. Nak Dewa itu kan sudah punya rumah sendiri. Besar, mewah, kok kamu malah milih rumah di perkampungan? Memangnya tidak senang diboyong ke sana?” Ayah mencari manik mataku, ia seperti mencari jawaban di sana. Aku menggigit bibir.“Aku ... aku hanya ingin suasana baru saja, Yah. Berbaur dengan masyarakat. Sepertinya akan lebih menyenangkan dibanding harus tinggal di kompleks, di balik tembok tinggi di dalam rumah mewah yang serba ada.”
Sudah pukul sepuluh lewat sepuluh menit, Dewa belum juga pulang. Sedangkan ia sudah berjanji hanya menemani Tiara sebentar. Huh!Aku sudah mulai bosan menunggu. Dua jam lalu aku sudah mandi dan sarapan. Menonton acara Televisi sendirian membuatku kembali menguap. Tidak ada pilihan lain selain tidur. Melanjutkan perjalanan ke alam mimpi. Kurebahkan tubuh di atas sofa dan memejamkan mata. Berharap saat terjaga nanti Dewa sudah di rumah.Sialnya, aku sama sekali tidak bisa tidur!Aku mengecek ponsel, tidak ada pesan apa pun dari Dewa. Seketika aku 'iseng' melihat nomor kontak Hyun, rindu untuk mengiriminya pesan. Tapi aku takut Dewa berpikir buruk jika mengetahui aku mencoba kembali menjalin komunikasi. Memangnya apa salah kalau aku hanya bertanya kabar?“Hai, apa kabar?” tanyaku melaui pesan singkat. Terkirim. Dadaku berdebar menunggu jawaban.Tidak ada balasan dalam beberapa menit, hingga lebih dari lima belas menit aku menunggu ponselku
Dewa meninggalkanku untuk menemui Tiara. Aku memandang Televisi yang menampilkan acara lawak. Tapi kali ini aku sama sekali tidak merasa terhibur. Pandanganku lekat pada layar Televisi, namun pikiranku terus tertuju pada pertemuan Dewa dan Tiara.Rupanya cukup lama Dewa menemui wanita hamil itu, aku sudah menunggu selama tiga puluh menit. Dudukku sudah mulai gelisah, apa yang mereka bicarakan?“Ra, kita nginep di sini dulu ya, malam ini.” Tiba-tiba Dewa muncul dan mengatakan itu.Aku bergeming. Menginap? Bisa-bisa aku tak bisa tidur dengan nyenyak kalau menginap di sini.“Gimana? Besok sore sepulang dari cari kontrakan pulang deh ke rumahmu.”“Rumah orangtuaku, oke?” ralatku cepat, dan Dewa terkikik mendengarnya.Dewa menghempaskan badan di sofa, sangat dekat denganku. Ia melihat ke arahku dengan tatapan ... entah, aku malas beradu pandang dengannya.“Ra, b
Aku pikir, kami akan pulang ke rumah, tapi ternyata ia mengajakku ke rumahnya di kompleks Tubagus.Satpam rumahnya cekatan membuka gerbang mempersilakan motor kami masuk, kemudia gerbang tertutup kembali. Aku segera turun, melepas helm dengan kasar.“Jangan harap aku mau bonceng kamu lagi, kalau kamu ngebut.” Aku membenahi rambutku yang sudah awut-awutan. Dewa sudah mirip ketua geng motor saat di jalanan. Bukannya sadar diri Dewa malah tersenyum geli.“Cewek segalak lo takut ngebut? Baru tau gua,” ledek Dewa menyebalkan. Ia memasukkan kunci motor di saku jaket. Lalu melenggang masuk ke rumahnya meninggalkanku.“Kenapa harus ke sini?” Aku menggumam sendiri, melangkah cepat menyusul Dewa.Untuk pertama kalinya aku ke sini. Menginjakkan kaki di rumah suamiku. Suami? Ah, rasanya masih terasa aneh menyebutnya sebagai suami dan aku istrinya. Pernikahan ini seperti lelucon atau drama yang dibuat-buat.Rumah mewah
“Dewa, bangun!” Aku menepuk pundak Dewa yang tertidur dengan posisi menelungkup. Ia masih pulas, mungkin karena begadang main ponsel semalaman. Entah berbalas pesan atau bermain 'games' aku tak peduli. Hari ini aku ingin mengajaknya mencari kontrakan tempat kami tinggal.“Ya, ampun. Tidur kebo!” Kutepuk-tepuk lagi pundaknya, sampai ia menggeliat dan membuka matanya.“Berisik amat, sih?” Ia menepiskan tanganku. “Masih ngantuk juga,” desisnya dan kembali memejamkan mata.Aku memutar bola mata, jengah. Apa setiap pagi Dewa selalu susah bangun pagi? Astaga. Ya, aku tahu dia masih ada libur cuti nikah, tapi aku tak ingin setiap pagi melihatnya masih bergelung di atas kasur entah sampai kapan.“Mau ke mana udah rapi gitu?” tanya Dewa, suaranya serak khas orang bangun tidur.“Kita sudah sepakat akan tinggal di perkampungan. Cepat bangun dan bersiap-siap!”“Duh, males bang
Bab. 15 Aku hanya menunggu selama 30 menit, seakan mereka tak ingin membiarkanku sendiri di sini meski ramai pengunjung. Waktu yang cukup singkat menurutku, tidakkah mereka terlalu terburu-buru dalam perbincangan serius?"Ra, aku senang Dewa bisa sama kamu, semoga bahagia, ya. Aku sampai lupa mengucapkan selamat atas kebersamaan kalian," ucap Hyun seakan dia adalah seorang teman biasa yang sedang mengucapkan kata kebahagiaan atas pernikahanku dengan Dewa. Padahal aku tahu untuk melepasku itu takkan mudah. Aku tahu cinta kami sangat kuat ikatannya."Aku tidak akan melupakanmu, Hyun. Kamu laki-laki terbaik yang pernah kukenal." Aku mengatakannya dengan sungguh-sungguh, walau Dewa menatapku dengan sorot yang entah. Aku tak peduli."Hei, berakhir gitu aja kisah cinta kalian? Receh. Nangis dong, Ra. Hahahaa," ceroco
"A-aku minta maaf atas kekacauan ini. Aku mengaku salah, Ayah. Seharusnya ini tidak terjadi." Aku menarik napas dalam. "Dewa, maafkan aku. Kamu boleh menghukumku jika mau, bukankah aku istrimu? Aku datang ke tempat itu hanya ingin meminta penjelasan kenapa ia pergi meninggalkanku. Kamu tahu aku mencintainya, Ayah dan Ibu tahu aku mengharapkannya, hanya Ayah dan Ibu mertua yang kurasa belum mengerti, bahwa Hyun Joon pernah datang melamarku dan Ayah menghinanya.""Aira!" seru Ayah, napasnya naik turun begitu cepat."Lanjutkan," perintah Ayah mertua, "saya ingin mendengar."Aku tersenyum getir, "Ayah mertua, inilah yang terjadi. Meski aku sebelumnya telah memiliki kekasih, dan berharap laki-laki itulah yang menjadi suamiku, tapi aku tak berdaya. Ayah lebih penting bagiku, Ayah segalanya ...." Tenggorokanku terasa ada yang menghalangi, "Hyun pergi tanpa kabar setelah luka yang ia terima, Aku sudah