“Please,” mohon Rena dengan wajah yang sudah ketakutan. “Ini hanya sementara.” Bara mendengus kasar lalu meneliti bagian lengan kanannya yang masih dibalut perban. Ada rasa nyeri yang menjalar hingga ke bagian bahu mantan tampan Rena itu.“Sebentar, aku akan panggilkan suster,” gumam Rena kemudian. Satu tangannya bergerak melepas cengkaraman pada tangan kiri Bara yang tadi bergerak tak karuan. Lantas dia pun berpindah ke bagian belakang sang pria untuk menekan bel dengan perlahan. Tak sampai satu menit petugas medis sudah menyembul di ambang pintu.“Pasien sudah sadar,” kata Rena.“Baiklah. Saya akan ambilkan obat untuk pasien sebentar,” pamit sang perawat undur diri. Kembali dengan sebuah nampan berisi sarapan dan obat-obatan, kini petugas medis tadi menjelaskan pada Rena selaku keluarga pasien.“Terimakasih, Sus.” Rena pun mengambil inisiatif untuk menyuapkan sang mantan. Bagaimana tidak, tangan kanannya belum bisa berfungsi seperti se
“Auh!” ringis Bara ketika mendapat cubitan di bagian lutut kanannya. Rena lantas mencebikkan bibir lalu mendaratkan tubuhnya di atas sofa. Duduk dengan kaki bersilang sembari memposisikan tangan bersidekap.“Ayolah. Kenapa kau tega begitu sih? Aku butuh bantuan,” goda Bara sembari menaik-turunkan kedua alisnya.Sang gadis berdecak kesal. Seolah tak peduli dengan ucapan barusan. Detik selanjutnya dia bangkit dari duduknya.“Hei, mau ke mana?” Sayangnya seruan Bara tak ditanggapi. Pria itu mendengus pelan sembari kembali berbaring seperti semula. Hingga lima menit kemudian Rena muncul bersama dengan seorang perawat lelaki di sampingnya.“Bersihkan dirimu. Jangan merepotkan orang lain,” gumam Rena kemudian. Tak pelak gadis cantik itu bergerak untuk menyiapkan pakaian ganti sang mantan. Lengkap dengan peralatan mandi yang memang sudah diantarkan oleh sopir beberapa saat yang lalu.“Aku akan tunggu di luar selagi dirimu berbenah diri.”“Hah. Padahal aku
Pagi-pagi sekali Rena sudah meninggalkan rumah sakit. Tak lupa mengirimkan pesan pada Tora untuk menggantikannya berjaga.“Nona Rena sudah pergi, Bos,” lapor seorang pengawal pada Bara.“Shit. Kenapa kalian tidak bangunkan aku hah??” sentak Bara yang sudah tersulut emosi. Pria itu menggeram lantas menyugar rambutnya ke arah belakang dengan kasar. Pembicaraan dari hati ke hati malam tadi masih juga tak mampu meluluhkan Rena. Sungguh dia menjadi frustasi akibatnya. Malah lebih sakit daripada fraktur klavikula yang dialaminya saat ini.“Apa Bos butuh sesuatu?”“Tidak,” ketus Bara. “Keluarlah!” Sementara di sisi yang lain. Jason yang tengah berolah raga di atas balkon menyipitkan mata usai melihat kedatangan Rena. Langkah sang gadis yang berlari kecil seolah menjadi pertanda bahwa ia tak baik-baik saja. Buru-buru dia menyeka peluh. Lantas menuruni anak tangga untuk menyambut Adik angkatnya itu.“Morning!” sapa Jason seraya melebarkan senyumn
Sudah lima belas menit Jason menyudahi penjelasannya tentang Rena. Baik dia maupun sang Mami masih saling diam. Keduanya sibuk dengan pikiran masing-masing. Bahkan keramaian di seisi cafe sama sekali tak mengganggu mereka.“Mi,” ucap Jason yang akhirnya memulai memecah keheningan tersebut.Nyonya Adhisty mengerjapkan mata sembari menoleh cepat ke arah Putra angkatnya itu.“Maaf kalau aku baru bisa cerita sekarang ke Mami ya.” Senyuman tipis yang dipaksakan terbit dari wajah cantik sang Mami. Lantas dia menggeleng sembari menyeka air mata yang mulai membasahi Pipi. Pun Jason yang turut serta mendekat kemudian memeluknya.“Mami hiks hiks,” isak Nyonya Adhisty yang kini malah menangis sesenggukan. Tempat duduk mereka yang sengaja dipilih memang tak mudah dilihat banyak orang. Ada sekat yang menjadi pembatas meskipun masih bisa dilalui oleh staf tertentu saja. Jelas untuk publik figur seperti Mami Rena itu haruslah pandai melihat keadaan sebelum memutus
Jawaban barusan membuat dahi Rena berkerut. “Apa, Mi? Suara Mami terlalu pelan. Aku enggak dengar.” Gadis cantik itu menoleh sembari menegakkan tubuhnya.Buru-buru Nyonya Adhisty mengusap air mata yang mulai mengalir. “Sini, Sayang. Dengarkan Mami ya.” Rena mengangguk. Lantas mendaratkan kepala ke pangkuan sang Mami. Menerima elusan lembut di puncak kepalanya yang diperlakukan dengan penuh kasih sayang.“Jason pasti marah ke Mami,” ucap wanita paruh baya itu memulai kalimatnya lagi.“Kenapa? Dia tak pernah begitus setahuku. Mami bilang apa?”“Hemm Mami udah maksa dia.”Sang Putri justru terkekeh mendengarnya. “Maksain apa emangnya? Nikah?”“Enggak. Mami yang paksa dia bicara ...”“... Tentang kamu yang sebenar-benarnya,” lanjut sang Mami kemudian. Hening. Rena masih berusaha mencerna perkataan tadi. Tak ingin menebak apa yang telah dijelaskan Jason hingga akhirnya dia bangkit untuk duduk dan memeluk erat tubuh sang Mami. Percayalah. Hati ibu mana ya
Bara pun tergelak. “Kau ini tuli atau apa sih? Mau berapa kali kukatakan kalau aku tak tertarik denganmu. Aku hanya menginginkan Rena. Titik. Apa masih tak mengerti juga? Hah??” Sandra langsung menghentakkan kaki lantas menatap kembali Nyonya Adhisty. Seolah ingin mencari pembelaan dari ibu sambungnya itu.“Ma, please. Katakan sesuatu. Aku enggak terima diperlakukan begini sama Bara,” rengek Sandra kemudian.“Sayang. Mama enggak sudi kalau Putri Mama mengemis cinta seperti ini. Kamu berhak dapat yang lebih baik dari Bara.”“Kenapa, Ma? Apa karena wanita itu Rena hah??” sentak Sandra yang mulai emosi. “Dia hanya anak yang tak diinginkan!”“Jaga bicaramu!!” Bara menatap tajam Sandra. Sementara Nyonya Adhisty menggeleng pelan. Memberikan isyarat pada pria itu untuk tak lagi bersuara.“Baiklah. Kami pergi dulu. Semoga lekas sembuh,” pamitnya yang langsung menarik paksa lengan Sandra untuk ke luar dari sana. Sandra terus meluapkan uneg-uneg di dalam hati sepanjang p
“Papa udah tahu ‘kan sekarang?” gumam Sandra dengan wajah yang sudah ditekuk masam. “Pokoknya aku mau hari ini juga Papa dan Mama udah baikan.”“Sayang, Papa minta maaf. Papa cuma mau tegasin ke Mama kamu kalau dia enggak boleh pilih kasih antara Rena dan kamu. Itu aja.”“Iya, tapi cara Papa tadi udah kelewatan. Mama sedih loh. Jangan sampai gara-gara ini Mama jadi berubah,” kata Sandra. Tuan Jimmy mengangguk sambil melengkungkan sudut bibirnya. Ada perasaan bersalah karena di perdebatan tadi dia seolah menuduh yang tidak-tidak pada sang istri. Hatinya semakin tak tenang karena mengingat janjinya yang selalu mempercayai Nyonya Adhisty kapanpun. Bahkan dia juga yang pernah menawarkan untuk menghubungi Rena.“Gimana, Pa?”“Enggak diangkat,” keluhnya dengan raut wajah cemas.“Kirim pesan aja, Pa. Kasihan Mama. Selama ini Mama enggak pernah bantah Papa ‘kan?”“Iya, Sayang. Jangan terus belain dia dong. Papa jadi semakin tersudutkan begini.”“Biarin,” ketus Sandra. “Papa sih. K
Pagi-pagi sekali Rena sudah melihat sang Mami yang sudah rapi dengan setelan pakaian bewarna putih susu. Kedua matanya mengerjap pelan sembari mengumpulkan nyawa selepas bangun tidur itu.“Morning, Sayang,” sapa Nyonya Adhisty yang kini mendaratkan kecupan ringannya di pipi kanan sang Putri. “Cuci muka dan sikat gigi gih. Mami udah siapin sarapan untuk kita.”“Hemm. Mami mau ke mana jam segini? Masih juga jam enam,” gumam Rena seraya mengusap pelan sebelah matanya.“Mau ketemu calon besan,” jawab sang Mami straight to the point. Jelas jawaban barusan membuat Rena langsung melebarkan indera penglihatannya. Selang beberapa menit kemudian dia pun mengerucutkan bibir.“Mami tunggu di bawah ya, Sayang. Mau lihat Jason dulu ke kamarnya.” Setengah jam sudah berlalu. Rena berjalan menuruni anak tangga dengan pakaian kerja seperti biasa. Membiarkan rambut panjangnya tergerai dengan sebuah jepitan rambut yang mempermanis bagian kiri kepalanya.“Anak Mami mema