Efgan yang sebenarnya hanya berpura-pura tidur, terkejut saat mendengar suara teriakan istrinya itu. Ia pun membuka matanya karena tak tega juga melihat Khania yang menangia histeris."Sayang! Kenapa kamu nangis histeris gitu? Aku tadi cuma tidur, bukan meninggal!" ucap Efgan sambil tersenyum jahil.Khania yang tengah menundukan kepalanya langsung mendongakkan kepalanya menatap sang suami. Ia lalu mengusap air matanya."Jadi! Kamu gak jadi mati, Mas? Terus kenapa kamu tadi tidur kayak orang meninggal, aku kan jadi takut sama panik! Kamu bohongin aku, ya?" oceh Khania sambil memukul-mukul lengan Efgan dengan cukup keras."Aww! Sakit sayang! Kamu kok hobi banget sih mukul suami?" ucap Efgan sambil mencoba menghindari pukulan istrinya.Khania yang masih sebal dengan sang suami terus menghajarnya sampai puas. Setelah cukup lama dan puas. Khania pergi dari kamar mandi itu begitu saja."Sayang! Bantuin aku dong! Kayaknya kaki aku kram!" teriak Efgan dari dalam kamar mandi.Khania yang menden
Khania terbangun di tengah malam. Ia celingukan mencari suaminya yang tak ada di kamar. Ia lalu meraba kasur di sebelahnya."Dingin! Mas Efgan ke mana?" gumam Khania.Netra matanya tanpa sengaja melihat dua piring nasi di atas nakas. Ia lalu bergeser dan membawa nasi yang sudah dingin itu ke pangkuannya."Mas Efgan tadi ke sini? Terus sekarang ke mana? Apa mungkin dia ada di ruang kerjanya?" Khania lalu turun dari ranjang setelah ia menyimpan kembali nasi yang ia bawa. Ia lalu keluar dari kamar untuk mencari sang suami.Ceklek!Khania membuka pintu ruang kerja Efgan. Namun ia mengernyitkan dahinya kala melihat ruangan itu gelap gulita. "Lho! Kok gelap? Apa dia gak ada di sini?" ucap Khania saat ia menyalakan lampu ruangan itu. Ia pun memutuskan untuk kembali ke kamar saat ia tidak menemukan suaminya.Tiba di kamar, Khania tidak langsung tidur. Ia duduk terdiam bersandar di headboard sambil menatap jam di dinding."Mas Efgan ke mana sih? Ini udah jam 2 dini hari! Apa mungkin dia ketem
Khania melempar kado yang ada di tangannya ke depan dan beruntungnya lemparan itu tidak mengenai nenek yang masih diam berdiri di depannya. "Kamu gak apa-apa?" "Sayang! Kamu baik-baik aja kan?"Nenek dan Efgan bertanya hampir bersamaan. Mereka terkejut melihat reaksi Khania yang seolah ketakutan.Efgan lalu melihat kotak yang tadi dilempar oleh istrinya itu. Ia terkejut saat melihat ada kertas dan bertuliskan PEMB*NUH di sana. Dan tulisan itu berwarna merah seperti darah dan masih basah. Ia dengan cepat membawa kotak itu keluar dan bermaksud untuk membuangnya.Nenek membawa Khania masuk ke dalam kamar dan menenangkan cucu menantunya ini. Ia tidak tau jika isi di dalam paper bag itu adalah surat ancaman. Jika ia tau sudah pasti ia tak akan memberikan itu pada Khania. Dan ia menyesal sudah membuat cucu menantunya ini ketakutan."Nia Nenek minta maaf! Nenek gak tau kalau isi dalam kotak itu surat ancaman." ucap nenek sambil menggenggam tangan Khania yang dingi
Keesokan harinya.Khania mengerjapkan matanya dan tersenyum saat melihat Efgan yang kini tengah menatapnya sambil tersenyum cerah."Pagi sayang!" sapa Efgan sambil mencium kening istrinya."Pagi juga, Mas!" balas Khania sambil menenggelamkan wajahnya ke bawah bantal karena ia merasakan malu bila ditatap intens begitu oleh sang suami."Kenapa?" tanya Efgan dengan kening mengkerut saat melihat Khania yang malah menenggelamkan wajahnya ke dalam bantal."Malu!" ucapnya dibalik bantal.Efgan tersenyum lalu membawa wajah Khania agar menghadap dan menatapnya."Kenapa malu, hmm?" "Aku masih muka bantal gini Mas! Pasti aku jelek karena belek!" jawab Khania sambil menundukan kepalanya. Ia tak berani menatap Efgan yang sepertinya sudah mandi, karena ia mencium aroma wangi di tubuh sang suami. Berbeda dengan dirinya yang masih bau jigong. Efgan terkekeh lalu mengecup kedua mata Khania dengan lembut."Kata siapa kamu jelek? Kamu cantik gini kok dibilang
Efgan menghentikan langkahnya kala ia mendengar jawaban Khania. Ia menolehkan kepalanya ke belakang dan mengorek-ngorek kupingnya, karena ia takut salah mendengar."Kamu barusan bilang apa?" tanya Efgan memastikan jika tadi ia tak salah mendengar."I love you too!" sahut Khania lagi sambil tersenyum lebar.Efgan langsung membalikan badannya dan berlari ke arah sang istri, ia lalu memeluk Khania. Ia senang bukan main. Ternyata ia tak salah mendengar."I love you so much, sayang!" ucapnya sambil mencium seluruh wajah Khania."Mas! Udah ih! Mau sampai kapan kamu seperti ini? Ini itu udah siang lho!" ucap Khania memperingati Efgan."Gak apa-apa! Orang Mas bosnya. Jadi bebas mau berangkat kerja jam berapa juga!" jawab Efgan masih dengan memeluk Khania. "Mas! Kalau kamu gak berangkat sekarang! Kita gak jadi makan malam di luar!" ancam Khania pada suaminya.Efgan dengan enggan melepaskan pelukannya, lalu menatap Khania dengan intens. "Baiklah! Aku
Efgan terus menggerutu karena kedatangan seorang klien yang tiba-tiba ingin membuat kesepakatan dengannya. Dan itu membuatnya terlambat untuk makan malam bersama sang istri. Begitu juga dengan Glen yang telat menjemput Khania. Jika saja ia tak membutuhkan klien ini. Sudah pasti ia akan meninggalkan orang itu! Namun ia sadar, jika ia harus profesional dan tak boleh mencampuradukan urusan pribadi dan pekerjaan.Tiba di restoran ia tersenyum saat melihat Khania yang tengah duduk di meja yang sudah ia pesan. Ia bergegas menghampiri istrinya."Sayang, maaf ya aku telat! Tadi ada klien yang tiba-tiba datang pas aku mau pulang! Jadinya aku telat!" ucapnya saat tiba di hadapan Khania lalu ia mencium pumcak kepala istrinya.Khania tak menjawab. Ia hanya diam memandang Efgan dengan sorot mata yang sedih."Kamu kenapa sayang?!" tanya Efgan yang heran melihat Khania hanya diam saja. Khania menggelengkan kepalanya."Kamu marah? Maaf, aku gak tau kalau bakalan ada klien!" ucapnya dengan penuh sesal
Khania pergi dari hadapan Efgan dan menyeret dua koper di tangannya."Sayang ... sayang, kamu mau kemana? Kenapa kamu bawa koper?" tanya Efgan dengan panik. Ia tak bisa membiarkan Khania pergi dari sisinya.Khania tak menjawab dan terus menyeret koper itu keluar.Efgan menahan tangan Khania dan memeluknya dari belakang. Ia benar-benar tak akan membiarkan Khania pergi dari hidupnya. Apalagi sekarang ada anak di antara mereka."Sayang! Aku mohon kamu jangan pergi, aku minta maaf. Benar-benar minta maaf! Kamu boleh hukum aku, kamu mau apa? Mau siksa aku? Kamu mau pukul aku sampai babak belur? Atau kalau kamu mau, kamu sekarang ambil pisau lalu tusuk aku. Aku rela mati asal kamu mau memaafkanku! Lebih baik aku mati daripada harus kehilangan kamu dan anak kita! Bunuh saja aku, Khania! Bunuh aku!" ucap Efgan sambil membawa tangan Khania dan memukul-mukulkan tangan Khania pada wajahnya. Ia menangis saat membayangkan hidupnya tanpa Khania. Ini yang ia takutkan selama ini. Da
Tiga hari kemudian."Efgan! Kamu sarapan dulu! Dari kemarin kamu makan cuma sedikit. Kalau kamu sakit bagaimana?" seru nenek saat melihat Efgan yang akan pergi keluar.Efgan menghentikan langkahnya dan menoleh ke arah nenek."Nanti aja Nek, aku makannya di kantor!" sahutnya sambil melangkahkan kembali kakinya.Nenek hanya menatap sedih pada cucunya itu. Semenjak Khania pergi dari rumah ini. Efgan selalu menyibukan dirinya dengan pekerjaan. Nenek tau hati cucunya itu pasti sedang terluka. Namun cucunya itu tak ingin menunjukannya pada siapapun termasuk padanya.Efgan tiba di kantor. Ia berjalan dengan wajah dingin dan garangnya, ia berubah kembali seperti semula saat ia belum mengenal Khania. "Sstt, itu si Pak Bos kenapa? mukanya nyeremin, jadi merinding disko," tanya Arya pada Glen, saat Glen sudah duduk di mejanya.Glen tak menjawab ia hanya mengedikkan bahunya. Ia tak mungkin membicarakan permasalahan rumah tangga bosnya pada orang lain. Cukup ia saj