Selagi mengajari Bee matematika, Aluna sedikit salah tingkah karena Bima yang makan sore, sesekali melihat ke arahnya.
Okay, Aluna memang berpikir dia aneh karena memakai riasan. Mungkin karena itu, Bima memandanginya terus-menerus.Hal serupa juga dilakukan Aluna. Membayangkan hidup pedih lelaki itu membuat Aluna terus menerus memandang lelaki itu.Aluna sedang menggelontorkan rasa bencinya dengan memandang iba. Rasa benci seperti kentang yang dia peluk, semakin lama akan membusuk di tangannya.Harus Aluna lepaskan agar dia bisa lekas hamil dan benar-benar meninggalkan Bima dengan lukanya.Aluna bukan Wonder Woman yang bisa menaklukan Abimanyu Basudewa. Bima telah terpuruk selama 5 tahun, disadarkan oleh orang tuanya saja tidak bisa, Aluna yang hanya 'orang baru' bisa apa?Nyatanya, sepasang suami istri yang sudah lama tak bermesraan itu telah salah dengan melirik satu sama lain. Ada yang terbangun dari dalam diri mereka d"Kamu buat sarapan Al?"Sebuah tanya mengentikan gerakan Aluna membalik omelet. Mendongak, Aluna yang lagi ini terlihat 'fresh' dengan kaos oversize berwarna biru tua menyengir. Bima tak kuasa mengerjap melihat wajah Aluna begitu cerah. Dia tentu tak mau kehilangan moment ini sekalipun hanya sedetik. "Hooh," jawab Aluna. "Tapi buat diriku sendiri." Hal itu Aluna utarakan sembari mengangkat teflon dan menjatuhkan omeletnya yang tergulung ke atas piring. Ya, hanya satu piring. Bima pikir semalam sangat spesial sampai Aluna melupakan komitmennya tuk masing-masing di luar urusan ranjang. Namun ternyata, Aluna tetap konsisten. Jujur, Bima agak kecewa, kendati dia juga memahami sikap Aluna sangat logis. Dengan piring dikedua tangan, Aluna melewati tubuh Bima yang masih terpaku di lantai dapur. "Enggak disini makannya?" tanya Bima menyadari sang Istri melewati pintu dapur. "Di ruanganku aja," teriak Aluna sebab
Bima baru saja meminta maaf atas nama Aluna dan pergi ke dalam mobil saat seorang lelaki yang memakai kemeja hitam membungkuk di jendela. Tatapannya serta merta menajam sebab kepalanya mengenali lelaki ini. Prasasti. Teman Aluna yang dia ketahui masih berstatus sebagai mahasiswa di salah satu universitas swasta Kuningan. Pertemuan mereka singkat tetapi Bima tidak lupa bahwa Pras adalah lelaki yang menggendong Aluna di camp Palutungan Ciremai ketika Aluna terkilir. Lelaki ini benar-benar mengganggu Bima oleh karena kejadian itu sehingga Bima tentu hapal di luar kepala bagaimana perawakan Pras. Prasasti berpostur tinggi, sedikit berotot, punya rambut gondrong dan wajah tengil khas anak remaja yang belum mengenal susahnya hidup. "Ini kenapa?" tanya Bima meminta perhatian. Pras menoleh mendengar pernyataan itu. Lelaki itu serta merta menatap Bima tepat di muka. Tatapannya tidak mencerminkan anak muda yang belasan tahu
Damai sekali rasanya terbangun dari ranjang masa kecilnya dengan guling sebagai teman. Aluna menggeliat dan membuka jendela sehingga angin subuh yang segar memanjakan paru-parunya. Aluna tersenyum tipis, sekarang dia tidak perlu berpura-pura lagi. Apa yang dia tampilkan di wajahnya adalah realita yang dia rasakan di hatinya. Keabsent-an Bima di hidupnya pagi ini, membuat Aluna punya banyak energi untuk bahagia. Energi yang sebelumnya dia pakai untuk membuat topeng juga benteng, sekarang utuh banyak sekali.Alhasil, ya seperti ini, Aluna merasa tenang. Namun paginya yang damai, terusik oleh teriakan bayi yang digendong ayahnya. "Ini siapa? Subuh-subuh kok udah culik bayi?" tanya Aluna menghampiri ayahnya. Satria tidak lekas menjawab. Lelaki yang sudah beruban itu menimang bocah perempuan yang sepertinya baru belajar merangkak itu agar teriakan mengantuknya lekas hilang. "Ini Gigi," jawab Satria mengecupi pipi bayi i
Aluna mengatupkan bibirnya rapat-rapat ketika suara tamparan keras mengalun kencang. Wajah Bima sampai tersentak ke sisi saking kuatnya Mitha mengumpulkan tenaga tuk memberi tamparan.Genderang di kepala Aluna berdetak keras. Dia harus mengambil keputusan sebelum ada pihak lain yang menyadari pertengkaran ini. Aluna takut semuanya kacau dan dia akan kesulitan menghandle sebab di rumah ini memang hanya ada mereka bertiga. "Udah ya mah," bujuk Aluna memeluk bahu Mitha yang bergetar hebat. "Dia udah menutup diri selama 5 tahun Al, bagi Mamah itu bodoh!" hardik Mitha meloloskan isak tangis. "Bim, coba lihat Mamah! Apa kamu enggak kasihan sama Mamah? Kamu boleh berduka, Mamah sama sekali enggak larang, tapi ada batas waktunya."Sungguh, Aluna bingung harus menengahi dengan cara apa. Mitha yang emosional bukan hanya akan merusak suasana tetapi juga merusak kesehatan tubuh Mitha sendiri. Akhirnya Mitha bisa dibujuk agar duduk. Itupu
Sikap Aluna yang tiba-tiba condong ke arahnya, ibarat pisau tajam yang mengiris tipis perasaan Bima.Lelaki itu sadar begitu banyak rasa sakit yang dia torehkan di hidup Aluna. Dan perempuan itu bisa-bisanya masih membela dirinya?Di ujung rasa frustasi karena harus membakar semua barang-barang yang telah menemaninya selama 5 tahun terakhir, Bima menunjukan tatapan penuh permohonan kepada Aluna. Please ....Bima tidak mungkin membakar hangus satu-satunya kenangan dirinya dan Cassandra. Perempuan itu adalah titik balik dirinya bisa hidup senormal sekarang, Bima tidak mungkin melupakan Cassandra. Tanpa Bima duga, Aluna mengabulkan permintaannya. Perempuan itu menolak permintaan Mitha dan menjelaskan bahwa benda-benda itu tidak bisa mendefinisikan apapun soal pernikahan dirinya dan Aluna.Bima pikir dia akan lega. Dia pikir hatinya akan meluas seperti samudera mendengar izin dari Aluna, bahwa dia bebas menyimpa
Kelihatan berat, Abimanyu Basudewa mengangguki ucapan sang Ayah. Sungguh di luar dugaan lelaki itu mau berkompromi dengan dua hal sulit dalam waktu singkat. Haruskah Aluna bertepuk tangan dan melakukan selebrasi?Aluna tidak menampik dia sedikit bahagia karena Bima mau sedikit 'berusaha' agar hubungan mereka 'tak retak'. Namun tentu, ini bukan tentang perasaan, melainkan hanya semata demi punya anak. Sebut Aluna gila, tetapi obsesinya untuk punya anak benar-benar membuatnya seperti bukan manusia. Dia sudah kehilangan perasannya di pernikahan ini, setidaknya izinkan dia punya keinginan maniak untuk punya anak. "Untuk sementara ini, karena cari tempat yang bagus itu susah, kalian bisa tinggal disini," cetus Mitha memberi opsi ketika Bima diam saja ditanya soal tempat tinggal. "Sekalian Mamah awasi Bima biar enggak macam-macam."Bima menghela nafas. Pasti berat jadi Bima, gumam Aluna. Dalam satu hari, lelaki itu diminta meruba
"Ini bagus, tapi nanti disimpan dimana?" Aluna menunjuk kamar Bima yang sudah disesaki dengan rak buku. "Rak-nya dikeluarin satu," jawab Bima.Aluna mengangguk. "Ini mau dibuang?" tanya Mitha menunjuk tumpukan buku di depan pintu. Sangat menumpuk dan berdebu. "Ditaruh gudang aja, nanti aku yang turunin," jawab Bima. "Enggak sekalian sewa tukang aja kalau mau dicat ulang?""Enggak usah, bisa dicat sendiri.""Aku juga suka ngecat, nanti berdua lebih cepat Mah," timpal Aluna membuat Bima menatapnya.Aluna merealisasikan ucapannya dengan mengambil alih bagian mengecat. Bima memilih putih sebagai warna dasar. Baguslah, Aluna jadi tidak perlu mendebat hal itu. "Emang enggak ada kerjaan?" Aluna mencelupkan kuas ke ember yang berisi cat. Perempuan itu mengusap peluh di dahi dengan lengan bagian dalam. "Fleksibel. Nanti malam juga bisa.""Ini karena nanti bau cat, paling malam i
Selama masa konsultasi ke psikolog, Aluna menutup diri dari semua informasi tentang apa, siapa, dimana, dan bagaimana. Dia membiarkan Mitha menjadi 'pengawas' Bima ke psikolog. Menurut Mitha, Bima sudah sedikit terbuka sekarang. Aluna sendiri tidak tahu spesifiknya seperti apa. Dia lebih banyak menghabiskan waktu bersama Bee alih-alih Bima. Dia hanya bertemu dengan Bima di meja makan untuk sarapan dan makan malam lalu di ranjang ketika tidur. Itupun jarang mengobrol karena Aluna tidur cukup larut sebab jadwal bekerjanya dari sore sampai malam. Namun yang pasti, Aluna merasa psikolog itu ada 'efeknya' ketika hari Jumat Bima tidak pergi ziarah. Entah Bima benar-benar tulus untuk 'menyembuhkan diri' atau bukan. Lelaki itu malah meminta Aluna menemaninya ke toko buku. Kata Bu Novita, membuat jurnal bisa membuat Bima mengenali perasaannya. Ini akan membuat proses penyembuhan 'jiwa' Bima lebih mudah, sebab tahu apa yang menjadi penyebab Bi