Balqis menoleh ke arah Pierre. Bibirnya tersenyum spontan. "Paman temennya ayah,ya?" Pierre mengangguk dan menghampiri Balqis. "Terus ayah ke mana?" tanya Balqis lagi disertai celingukkan."Ayah... ayah. Masih ada urusan dan belum bisa pulang," ujarnya jadi lancar berbohong. Bukan itu maksudnya, hanya ia gak bisa menyakiti gadis sekecil ini.Balqis makin kecewa tapi ia berusaha meredamnya. "Paman boleh bilangin ayah gak supaya cepet pulang. Aqis kan mau main sama ayah... ." "Iyah. Nanti Paman sampaikan." Satu kebohongan akan mendatangkan kebohongan lain. Tapi ia berjanji demi sebuah senyum manis Balqis. Demi dirinya agar semakin kuat mencari keberadaan Fawaz. Demi keluarga kecil ini jadi bahagia kembali. Pierre terjongkok. Matanya menatap Balqis penuh arti.Tanpa diminta, Balqis memeluk leher kokoh Pierre. Entah mengapa ia ingin melakukan itu. Seolah hati kecilnya mengetahui lelaki dewasa ini butuh pelukkan. Pierre tercengan. Dadanya terasa sakit tapi airmata enggan untuk ke l
"Assalamuaikum!" Pak Majid mengucap salam ke pria kurus itu. Mantri Yanto segera menyambutnya. "Walaikumsalam." Ia mempersilahkan pak Majid duduk. "Begini. Saya datang karena perlu bantuan. Apa bisa pak Mantri ke rumah saya?" Mantri Yanto memasang wajah bingung. Pak Majid hampir tidak pernah memanggilnya. Lantas, ada apa gerangan. Apa Nimas sakit?"Ada apa dengan Nimas?" "Oh. Nimas baik-baik saja," jawab pak Majid. Tetapi makin membingungkan mantri Yanto. "Terus?!" Pak Majid mendekatkan dirinya. "Ada seseorang yang perlu bantuan!" Bahkan jika dia pencuri yang lari dari kejaran polisi, dia harus tetap dibantu. Lebih gila lagi, andai lelaki itu teroris yang sedang menjalankan misinya di hutan, dia masih layak ditolong. Sebab, setiap detik mungkin bisa saja mengantarkan seseorang pada hidayah Allah. "Siapa dia?!" ***"Letda Pierre. Kamu sudah menyadari kesalahan?!" "Siap Kapten. Saya sudah menyalahi amanat negara. Menukar posisi saya dengan sersan mayor, Irsyal!" "Dan sekarang
"Juragan. Gakpapa?!" "Apa kamu!" Emosi membuat pak Rudi membentak bawahannya. Ia sejak tadi terlihat gelisah, jadi salah satu ajudan memberanikan diri bertanya. Tapi malah omelan yang didapati. "Kamu tadi juga lihat sendiri,'kan. Pak Majid itu sedang cari gara-gara sama saya. Mana mungkin saya membiarkannya. Dia fikir, sehebat apa dia!" Dengan tangan di letakkan di pinggul pak Rudi semakin meradang. Sang ajudan mengangguk-angguk maksum. "Terus kita mau ngapain Juragan?" Kini tidak ada suara yang ke luar dari bibir, hanya senyum smirk seakan puas dengan misi yang tersusun di otak liciknya. "Sudahlah. Kamu cuma perlu ikuti perintahku!" Pak Rudi mengabaikan sang ajudan.*"Siapa dia?" Mantri Yanto sangat ingin tau siapa orang mesti ditolong sampai pak Majid terlihat begitu gelisah. Pak Majid beralasan lelaki itu warga desa sebelah dan saat ini butuh bantuan karena jatuh di jurang kecil."Kalau gitu kasihkan ini dulu. Ini ada beberapa obat yang bisa bapak kasih ke orang itu. Nanti se
"Itu obat untuk siapa?!" Pak Majid menarik bungkusan obat. Cukup diakui kejelian mata pak Rudi mengenali beberapa bungkus obat. Dengan senyum smirknya ia bertanya lagi."Pak Majid sakit? Atau anak bapak?!" Mendengar itu, Nimas segera ke luar. Entah mengapa ia merasa ia harus ikut campur. Di sini, siapapun yang sakit seakan dijauhkan dan diperlakukan seakan hama."Enggak. Abi sama aku sehat." Pak Majid menoleh ke anaknya. Bukannya malah aneh punya obat --kebetulan bisa dikatakan cukup langka di desa ini--disaat mereka sedang tidak sakit. Pak Majid mendesah kecewa di dalam hati. Nimas memperhatikan reaksi abinya jadi tertunduk. Nimas tau dirinya salah mengatakan hal itu."Oh, jadi pak Majid meminta obat begitu saja?" Bagai memakan buah simalakama. Jika ia mengaku sakit, bisa saja dipelintir sebagai biang wabah. Tapi tidak jujur pun pasti salah. Sementara, pak Majid belum mau mengatakan keberadaan Fawaz di rumahnya.Ia hanya berharap mantri Yanto tidak datang cepat. Pasti kehadiran
Pierre melanjutkan langkah. Memeluk tubuhnya yang merasa hampa, sepi dan sendiri. Di rongga dadanya terasa masih ada yang kurang. Lantas, Pierre pergi ke tempat kenalannya, Harvey. Dia seorang psikolog yang selama ini menangani kasus Pierre. Harvey cukup memahami kondisi Pierre. Mungkin itu juga yang membuat keduanya bisa berteman. Lebih tepatnya, Harvey yang menganggap begitu. Sementara Pierre, begitu sulit mengatakan seseorang adalah temannya. Kelainannya disebut, mutuisme selektif. Atau yang lebih dikenal bisu selektif. Sebuah ketidak mampuan seseorang berbicara secara cermat dalam situasi tertentu, padahal ia tidak memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Bisu selektif, bisa karena tekanan, gangguan kecemasan, bahkan trauma. Pierre memahami dirinya berbeda adalah saat pemakaman ibunya. Ternyata ia punya kesulitan bicara dengan orang lain. Barulah setelah ia terapi rutin. Pierre mulai mendapat kemampuannya lagi untuk menyusun kata menjadi kalimat."Bagaimana Kabarmu, Pierre
Samir tidak kenal menyerah terus mengikuti Nimas. Gadis itu sampai setengah berlari tentunya membuat nafasnya jadi tersenggal. "Eh, tunggu. Aku kan cuma mau kenalan." Tak sabaran, Samir jadi memanggil Nimas.Nimas berhenti. Pria asing ini gak boleh tau di mana tempat tinggalnya. Sebelum pergi, Abi Majid sudah berpesan agar Nimas bisa menjaga diri."Aku gak mau. Sana pergi. Hush!" Nimas mengusir Samir dengan cembetut'an. Bukan pergi, Samir malah tertawa lebar. "Eh, ada apa di sana?" Warga lain yang melihat proses pencarian Fawaz jadi menghampiri Nimas dan Samir. Tentu mereka membela Nimas sebagai warga asli sini. Terutama, semua orang tau, Nimas adalah gadis yang dijaga ketat ayahnya. Jadi tanpa diminta, mereka ikut menjaga Nimas sampai ayahnya kembali."Ayok Nimas kita pulang." Ibu Nartiko merangkul bahu Nimas. "Kamu jangan di sini. Dan jangan coba-coba mengikuti Nimas!" Ancam pak Bowo, tetangga jauh pak Majid. Samir pergi dengan kekesalan tidak berhasil tau nama gadis itu lan
"Hm, kalau begitu kami cuma bisa mengucapkan terima kasih sudah membantu kami." Mantri Yanto tersenyum. "Sudah tugas saya. Kita sama-sama niat bantu orang,kan." Pak Majid mengikuti mantri Yanto sampai depan, lalu ia ingin bicara penting. "Tapi pak Mantri. Apa boleh tolong dirahasikan jika tadi kita membawa seorang laki-laki ke klinik?" Mantri Yanto tidak langsung setuju tapi ia menanyakan alasan pak Majid. Seperti yang pernah ia ungkapkan. Pak Majid hanya takut beberapa orang mengambil kesempatan dengan keadaan lelaki yang ia tolong. Pak Majid ingin mengembalikan lelaki itu kepada keluarga sebenarnya, bukan orang lain.***Saat di jalan. Mantri Yanto dicurigai beberapa bawahan pak Rudi. Mereka menanyakan mengapa mantri Yanto meminjam mobil dan bekas daun pisang itu, untuk apa? "Saya membantu seorang warga menjual sapinya," ucap mantri Yanto. Kebetulan ia juga dianugerahi kebolehan bawa mobil. Dan sering kali warga meminta bantuan membawa hewan ternak untuk dijual di pasar. Said
"Malam jum'at. Oh, berarti nanti malem dong, Ustadzah."Ayla mengangguk maksum. "Iyah, ba'da maghrib ya ibu-ibu.""Dalam rangka apa nih Ustadzah Ayla?" Hanifah menimbrung. Ia yang sudah cerita jika Ayla menerima tamu lelaki malam hari, bahkan saat suaminya sedang dinyatakan menghilang.Para ibu yang tadinya mau simpatik jadi mengira, itulah harapan Ayla. Suaminya menghilang lalu dia bisa menikah lagi. Hati tidak ada yang tau berapa dalam ukurannya.Wajah Ayla berubah sendu. Ia tidak pernah cerita ini ke yang lain, selain Kia. Bukan tidak percaya, tapi Ayla merasa tidak nyaman saja mengeluh. Daripada waktunya dihabiskan mencari simpati orang lain yang belum tentu tulus. Lebih baik ia berdoa siang dan malam agar dipertemukan kembali dengan Fawaz. Ayla buntu. Disaat teman-teman Fawaz memberikan kesaksian jika Fawaz benar menghilang dan kantor Fawaz juga mengkonfirmasi rasa bela sungkawa. Disaat yang sama, hatinya tidak rela.Ayla cemas. Firasat Fawaz masih hidup hanya halusinasi seorang