Kia memperhatikan wajah Pierre intens. Lantas, "Oh ya. Ayok kita ke rumah sakit." Gugup membuat Kia tidak bisa merespon dengan cepat. Ia jadi memandangi punggung pria yang menggendong sahabatnya itu. Dalam hati, Kia sangat takut Ayla marah. 'Ini keadaan di luar kemauanku. Maafin aku, Mbak.' Rapalnya sambil mengcengkram tangan erat.Di sebelah kantor ada rumah istirahat atau home base. Dilengkapi dengan obat-obatan. Bisa dibilang itu tempat pemulihan jika ada yang terluka saat latihan. Tadinya, Pierre mau membawa Ayla ke rumah sakit. Tapi akhirnya ia memutuskan membawa ke tempat yang lebih dekat.Pierre merasa, bebannya begitu berat saat ia menggendong Ayla. Bukan karena Ayla wanita yang gemuk, tetapi ia merasa tak sanggup berdekatan dengan orang yang mengingatkannya pada Fawaz. Dibandingkan kesedihan mendalam karena ditinggal Fawaz, Pierre lebih takut dirinya sangat dibenci semua orang hingga ia tidak layak menampakkan wajahnya lagi.Ia sampai tidak bisa makan dan tidur. Namun, si
Balqis menoleh ke arah Pierre. Bibirnya tersenyum spontan. "Paman temennya ayah,ya?" Pierre mengangguk dan menghampiri Balqis. "Terus ayah ke mana?" tanya Balqis lagi disertai celingukkan."Ayah... ayah. Masih ada urusan dan belum bisa pulang," ujarnya jadi lancar berbohong. Bukan itu maksudnya, hanya ia gak bisa menyakiti gadis sekecil ini.Balqis makin kecewa tapi ia berusaha meredamnya. "Paman boleh bilangin ayah gak supaya cepet pulang. Aqis kan mau main sama ayah... ." "Iyah. Nanti Paman sampaikan." Satu kebohongan akan mendatangkan kebohongan lain. Tapi ia berjanji demi sebuah senyum manis Balqis. Demi dirinya agar semakin kuat mencari keberadaan Fawaz. Demi keluarga kecil ini jadi bahagia kembali. Pierre terjongkok. Matanya menatap Balqis penuh arti.Tanpa diminta, Balqis memeluk leher kokoh Pierre. Entah mengapa ia ingin melakukan itu. Seolah hati kecilnya mengetahui lelaki dewasa ini butuh pelukkan. Pierre tercengan. Dadanya terasa sakit tapi airmata enggan untuk ke l
"Assalamuaikum!" Pak Majid mengucap salam ke pria kurus itu. Mantri Yanto segera menyambutnya. "Walaikumsalam." Ia mempersilahkan pak Majid duduk. "Begini. Saya datang karena perlu bantuan. Apa bisa pak Mantri ke rumah saya?" Mantri Yanto memasang wajah bingung. Pak Majid hampir tidak pernah memanggilnya. Lantas, ada apa gerangan. Apa Nimas sakit?"Ada apa dengan Nimas?" "Oh. Nimas baik-baik saja," jawab pak Majid. Tetapi makin membingungkan mantri Yanto. "Terus?!" Pak Majid mendekatkan dirinya. "Ada seseorang yang perlu bantuan!" Bahkan jika dia pencuri yang lari dari kejaran polisi, dia harus tetap dibantu. Lebih gila lagi, andai lelaki itu teroris yang sedang menjalankan misinya di hutan, dia masih layak ditolong. Sebab, setiap detik mungkin bisa saja mengantarkan seseorang pada hidayah Allah. "Siapa dia?!" ***"Letda Pierre. Kamu sudah menyadari kesalahan?!" "Siap Kapten. Saya sudah menyalahi amanat negara. Menukar posisi saya dengan sersan mayor, Irsyal!" "Dan sekarang
"Juragan. Gakpapa?!" "Apa kamu!" Emosi membuat pak Rudi membentak bawahannya. Ia sejak tadi terlihat gelisah, jadi salah satu ajudan memberanikan diri bertanya. Tapi malah omelan yang didapati. "Kamu tadi juga lihat sendiri,'kan. Pak Majid itu sedang cari gara-gara sama saya. Mana mungkin saya membiarkannya. Dia fikir, sehebat apa dia!" Dengan tangan di letakkan di pinggul pak Rudi semakin meradang. Sang ajudan mengangguk-angguk maksum. "Terus kita mau ngapain Juragan?" Kini tidak ada suara yang ke luar dari bibir, hanya senyum smirk seakan puas dengan misi yang tersusun di otak liciknya. "Sudahlah. Kamu cuma perlu ikuti perintahku!" Pak Rudi mengabaikan sang ajudan.*"Siapa dia?" Mantri Yanto sangat ingin tau siapa orang mesti ditolong sampai pak Majid terlihat begitu gelisah. Pak Majid beralasan lelaki itu warga desa sebelah dan saat ini butuh bantuan karena jatuh di jurang kecil."Kalau gitu kasihkan ini dulu. Ini ada beberapa obat yang bisa bapak kasih ke orang itu. Nanti se
"Itu obat untuk siapa?!" Pak Majid menarik bungkusan obat. Cukup diakui kejelian mata pak Rudi mengenali beberapa bungkus obat. Dengan senyum smirknya ia bertanya lagi."Pak Majid sakit? Atau anak bapak?!" Mendengar itu, Nimas segera ke luar. Entah mengapa ia merasa ia harus ikut campur. Di sini, siapapun yang sakit seakan dijauhkan dan diperlakukan seakan hama."Enggak. Abi sama aku sehat." Pak Majid menoleh ke anaknya. Bukannya malah aneh punya obat --kebetulan bisa dikatakan cukup langka di desa ini--disaat mereka sedang tidak sakit. Pak Majid mendesah kecewa di dalam hati. Nimas memperhatikan reaksi abinya jadi tertunduk. Nimas tau dirinya salah mengatakan hal itu."Oh, jadi pak Majid meminta obat begitu saja?" Bagai memakan buah simalakama. Jika ia mengaku sakit, bisa saja dipelintir sebagai biang wabah. Tapi tidak jujur pun pasti salah. Sementara, pak Majid belum mau mengatakan keberadaan Fawaz di rumahnya.Ia hanya berharap mantri Yanto tidak datang cepat. Pasti kehadiran
Pierre melanjutkan langkah. Memeluk tubuhnya yang merasa hampa, sepi dan sendiri. Di rongga dadanya terasa masih ada yang kurang. Lantas, Pierre pergi ke tempat kenalannya, Harvey. Dia seorang psikolog yang selama ini menangani kasus Pierre. Harvey cukup memahami kondisi Pierre. Mungkin itu juga yang membuat keduanya bisa berteman. Lebih tepatnya, Harvey yang menganggap begitu. Sementara Pierre, begitu sulit mengatakan seseorang adalah temannya. Kelainannya disebut, mutuisme selektif. Atau yang lebih dikenal bisu selektif. Sebuah ketidak mampuan seseorang berbicara secara cermat dalam situasi tertentu, padahal ia tidak memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Bisu selektif, bisa karena tekanan, gangguan kecemasan, bahkan trauma. Pierre memahami dirinya berbeda adalah saat pemakaman ibunya. Ternyata ia punya kesulitan bicara dengan orang lain. Barulah setelah ia terapi rutin. Pierre mulai mendapat kemampuannya lagi untuk menyusun kata menjadi kalimat."Bagaimana Kabarmu, Pierre
Samir tidak kenal menyerah terus mengikuti Nimas. Gadis itu sampai setengah berlari tentunya membuat nafasnya jadi tersenggal. "Eh, tunggu. Aku kan cuma mau kenalan." Tak sabaran, Samir jadi memanggil Nimas.Nimas berhenti. Pria asing ini gak boleh tau di mana tempat tinggalnya. Sebelum pergi, Abi Majid sudah berpesan agar Nimas bisa menjaga diri."Aku gak mau. Sana pergi. Hush!" Nimas mengusir Samir dengan cembetut'an. Bukan pergi, Samir malah tertawa lebar. "Eh, ada apa di sana?" Warga lain yang melihat proses pencarian Fawaz jadi menghampiri Nimas dan Samir. Tentu mereka membela Nimas sebagai warga asli sini. Terutama, semua orang tau, Nimas adalah gadis yang dijaga ketat ayahnya. Jadi tanpa diminta, mereka ikut menjaga Nimas sampai ayahnya kembali."Ayok Nimas kita pulang." Ibu Nartiko merangkul bahu Nimas. "Kamu jangan di sini. Dan jangan coba-coba mengikuti Nimas!" Ancam pak Bowo, tetangga jauh pak Majid. Samir pergi dengan kekesalan tidak berhasil tau nama gadis itu lan
"Hm, kalau begitu kami cuma bisa mengucapkan terima kasih sudah membantu kami." Mantri Yanto tersenyum. "Sudah tugas saya. Kita sama-sama niat bantu orang,kan." Pak Majid mengikuti mantri Yanto sampai depan, lalu ia ingin bicara penting. "Tapi pak Mantri. Apa boleh tolong dirahasikan jika tadi kita membawa seorang laki-laki ke klinik?" Mantri Yanto tidak langsung setuju tapi ia menanyakan alasan pak Majid. Seperti yang pernah ia ungkapkan. Pak Majid hanya takut beberapa orang mengambil kesempatan dengan keadaan lelaki yang ia tolong. Pak Majid ingin mengembalikan lelaki itu kepada keluarga sebenarnya, bukan orang lain.***Saat di jalan. Mantri Yanto dicurigai beberapa bawahan pak Rudi. Mereka menanyakan mengapa mantri Yanto meminjam mobil dan bekas daun pisang itu, untuk apa? "Saya membantu seorang warga menjual sapinya," ucap mantri Yanto. Kebetulan ia juga dianugerahi kebolehan bawa mobil. Dan sering kali warga meminta bantuan membawa hewan ternak untuk dijual di pasar. Said
Nimas sudah keluar hutan. Beruntung ia tidak mengalami banyak hambatan kecuali wajahnya lesu terlalu kelelahan. Karena dirinya mengitari jalan berbeda dari biasanya, ia tidak langsung bertemu jalan raya tetapi sungai kecil dengan air yang cukup deras itu menantinya dan mesti ia seberangi. Nimas berpegangan pada setiap batu besar, jemari kaki mencengkram kerikil sampai rasanya telapak kakinya linu.Semua itu tidak Nimas pedulikan. Ia sudah sampai di sini. Pantang untuknya kembali. Setelah melalui sungai, Nimas memanjat ke atas tepi jalan dan menunggu mobil yang lewat. "Sebentar lagi subuh." Ia merasa ada kemungkinan bertemu dengan mobil pengangkut hewan ternak yang biasa akan ke pasar dan bisa ia mintai tolong. Nimas menunggu tanpa memperdulikan penampilannya yang kucal. Tapi itu bagus, orang-orang tidak akan bisa mengenalinya apa lagi ini masih sangat gelap. Nimas hanya berharap bukan para penjahat yang ditemuinya.Setengah jam menunggu, terlihat lampu mobil dari ujung berlawanan
Nimas menutup mata lekat. Tangannya ia letakkan di dada seraya merapal doa. Nimas tau, saat dirinya kabur. Artinya ia tidak bisa lagi bebas kembali ke makam ayahnya. Hal itu membuat air matanya jatuh tapi ia berusaha menahan sesenggukkan sampai rasanya dadanya sangat sesak. Sangat sakit bukan, tidak bisa mengunjungi makam orangtua saat rindu melanda. Tapi Nimas juga gak ingin menjadi istri kedua lelaki tua bangka. Tepat seperti dugaannya, beberapa orang terlihat mencarinya dengan tampang panik. Nimas yakin, mereka semua dimarahi oleh pak Rudi. Cepat ia memepet batang pohon. Berharap rindangnya dedauan dapat menutupi bayangannya. 'Apa aku naik saja ke atas?' Nimas ingin nekat panjat pohon. Tapi ia juga tidak begitu lihai, yang ada malah memancing keributan. Nimas mulai merapal doa. Ia sangat percaya, hanya doa yang bisa menyelamatkannya saat ini. Hasbunallah wa ni'mal wakiil(Cukuplah Allah menjadi penolong kami. Dan Allah adalah sebaik-baiknya pelindung)Doa yang terus ia lantun
Kesedihan masih membayanginya, dan kini Nimas kembali ditimpa masalah.Ditinggal sebatang kara di dunia yang belum puas ia kenali. Kekejaman ditunjukkan para warga, yang selama ini Nimas anggap sebagai saudara membuat ia putus asa. Namun, di tengah kegamangan yang Nimas rasakan. Pak Rudi memawarkan secercah sinar. Kabarnya lelaki itu punya sebidang tanah khusus makam keluarga. Di sana, Nimas diperbolehkan mensemayamkan jasad ayahnya."Alhamdulilah Ya Allah. Terima kasih, Pak." "Saya hanya membantu sebagai keluarga." Tanpa bertanya lebih lanjut, Nimas mengikuti setiap prosesi. Butuh satu jam untuk menyelesaikannya. Kini, ia terjongkok di samping papan nisan yang berdiri tegak seraya mengelusnya. "Abi gak perlu khawatirin aku. Aku pasti bisa mengurus diri aku sendiri." Gadis itu tersenyum, mencoba untuk kuat. Setelahnya, Nimas menghampiri pak Rudi demi menyampaikan rasa terima kasihnya sekali lagi. Habis itu Nimas berencana pulang lalu esoknya kembali menemani Ikhsan di rumah sakit
Dengan berat hati Nimas memberi kabar ke para pemangku wilayah di daerah kampungnya tentang kepergiaan abi Majid.Sementara di rumah sakit, ia telah mengurus ijin kepulangan jenazah. "Terima kasih pak Said. Mohon dibantu mencarikan tanah kuburan buat abi." Nimas menelpon dari telepon rumah sakit. Menurut pak Said, ia akan menyiarkan berita duka ini ke semua warga dan mungkin tidak lama akan ada mobil yang menjemput mereka. "Kamu yang sabar, Nimas." Nimas tersenyum tipis. Kata-kata pak Said cukup menghiburnya, tapi ada yang ia pikirkan. Yaitu nasib pria yang ia tolong, salah satu kenangan perbuatan baik abinya semasa hidup.Bila Nimas kembali ke desa untuk waktu lama, lalu pria itu dengan siapa?!Akhirnya Nimas menitipkan Fawaz pada seorang suster tua. "... saya minta tolong Suster. Saya harus kembali secepatnya. Tapi saya juga kesulitan meninggalkannya." Nimas melirik ke arah Fawaz. Suster bernama Jihan itu ikut merasakan kegelisahan yang Nimas rasakan. Bisa dilihat, Nimas sangat
"Hah! Mbak, benaran deh. Mbak gak bisa kayak gini. Mbak tau kan, seorang ayah bertanggung jawab menafkahi anak-anaknya. Meski mas Fawaz sudah gak ada, tapi dia punya harta peninggalan yang bisa diberikan ke Yusuf juga Balqis." Ayla yang menjalani musibah, Kia yang merasa tidak tahan. Melihat anak-anak Fawaz hidup hemat. Pun, Ayla yang mulai mencari pekerjaan sebagai penjaga toko.Katanya, selama menjaga toko roti itu Ayla boleh membawa Balqis. Gaji yang ditawarkan tidak besar. Tetapi Ayla begitu bersyukur masih bisa kerja.Kia menyentuh punggung tangan Ayla. "Mbak gak mau kan mas Fawaz gak tenang di sana karena mengabaikan anak dan istrinya." "Ki!" Ayla jadi tegas. Baginya, Fawaz tidak begitu. Ia tidak pernah mengabaikan keluarga. Malah, Fawaz selalu mengutamakan keluarga di atas segalanya. Tapi saat ini lelaki itu sudah habis kewajibannya. Giliran Ayla merawat kedua hatinya agar menjadi anak yang soleh dan soleha.Baru berharap demikian, ia mendengar keributan di luar."Mbak. Itu
Hari ini giliran Pierre mengajar di taman bersama anak-anak, ia sama sekali tidak terlihat risih. Pierre sampai berpikir apa 'kelainan' yang ia idap perlahan menghilang? Atau hanya faktor cuaca cerah dan berkumpul di taman yang lega membuat perasaannya lebih tentram.Semua pertanyaan anak-anak itu Pierre jawab dengan suka cita."Om udah punya anak belom?" "Belum, Shafea," jawab Pierre tersenyum pada anak usia enam tahun itu. "Kok belom sih?" Shafea tidak sepenuhnya percaya. Gaya anak itu untuk mengintrograsi dirinya membuat Pierre terkekeh geli."Yah Om nikah aja belum... ." Sedetik ia bilang begitu, beberapa gadis remaja melirik ke Pierre. Spontan Wishaka tertawa keras.Apa yang Pierre katakan ibaratnya seperti memberi umpan untuk ikan kelaparan. Sebab kini mereka belajar di tengah kerumunan banyak orang. 'Aduh gawat nih!' Pierre menutup muka cepat. Rasa groginya timbul lagi.Ide belajar di luar kelas darurat sepertinya tidak berjalan dengan baik.Malam harinya, setelah ia seles
Hari berganti hari, keadaan abi Majid masuk ke tahap kritis. Bukannya membaik, pak Majid malah semakin memprihatinkan. Sisi lain, Fawaz juga tidak lagi membuka mata semenjak hari itu. Dokter bilang, itu karena pasien masuk ke fase penyembuhan secara emosional setelah mengalami kecelakaan mendadak. "... sebaiknya kita tunggu pasien kembali siuman. Saat itu, barulah pemeriksaan selanjutnya bisa dilakukan," ucap dokter.Padahal mimpi Nimas sangat sederhana. Melihat kedua pria itu sadar, tapi jika sudah begini, rasanya sangat jauh dari khayalan. Hatinya bernas seiring dengan semangat yang semakin pupus. 'Bi. Tolong jangan tinggalkan aku sendiri.' Ia memohon, merengek agar abinya bisa membuka mata.Posisi yang tidak pernah Nimas harapkan terjadi. Namun mengapa ia malah terjebak di dalamnya. Ia merenung di depan kamar ICU. Seandainya ia tidak memaksa sang ayah membawa lelaki itu ke sini, kira-kira apa yang terjadi. Apa mungkin kejadian ini tidak pernah ada."Astagfirullah!" Nimas tidak
Ayla hanya ingin berpikir logis, alih-alih tidak terima Ayla menguatkan hati."Kita beresin aja dulu,ya. Yusuf sudah siapin apa saja yang mesti dibawa kan?" Yusuf mengangguk. Ia pergi ke kamarnya, sementara Ayla membantu Balqis membereskan barang-barang. Ayla membuka lemari pink dan menarik koper milik Balqis yang sudah disiapkannya."Kita bakal jauh,ya pindahnya, Bun. Ayah udah dikasih tau belum?" tanya Balqis sambil memakai tas ranselnya. Ayla berpura tidak dengar. Orang yang mengusir mereka berteriak dari luar. "Cepat. Kalian gak punya waktu buat berlama-lama.""Tuh Balqis. Kita diminta cepat. Ayok!" Ayla menuntun tangan Balqis. Diikuti Yusuf menarik koper kecil susah payah. Baru saja Kia berniat main ke rumah Ayla. Tapi ia melihat beberapa orang ramai di depan."Lho ada apa ini?" Kia memperhatikan pria-pria berotot itu secara intens."Ada apa,ya, Pak?" "Rumah ini harus segera dikosongkan!" Dengan angkuh salah satunya mengatakan hal tersebut. Ayla ke luar, "Mbak?!" Kia merasa
Zulaekah bersikukuh, mencoba mengeyampingkan logika.Soal itu, biar ia pikirkan nanti. Baginya menikah dengan Samir bertujuan menaiki nilai diri. Bukan cuma membina keluarga yang harmonis seperti harapan orang saat menikah.Samir menatap Zulaekah yang sibuk dengan pikirannya. "Kamu... tapi kamu mau ngbebasin aku kan?!" "Ya, Mas akan aku bebaskan kamu dengan jaminan." Bagi Zulaekah tidak perlu berunding dengan pelapor yang tak lain Adnan. Ia punya pengacara yang bisa mengurus hal ini.Zulaekah memaksakan senyum sembari menggenggam tangan Samir. "Mas tenang aja,ya!" Ia meyakini diri jika Samir adalah korban dan pastinya lelaki itu bisa berubah setelah mereka menikah.Pada kenyataannya, pernikahan bukan tempat seseorang untuk berubah. Sifat dan prilaku tidak semudah itu berganti kecuali ada niatan dalam diri. Melanjutkan pernikahan saat tau orang tersebut tidak layak lalu berharap pasangan bisa menjadi sosok yang diinginkan sama saja membohongi diri sendiri. ***Zulaekah mengetuk pin