"Itu obat untuk siapa?!" Pak Majid menarik bungkusan obat. Cukup diakui kejelian mata pak Rudi mengenali beberapa bungkus obat. Dengan senyum smirknya ia bertanya lagi."Pak Majid sakit? Atau anak bapak?!" Mendengar itu, Nimas segera ke luar. Entah mengapa ia merasa ia harus ikut campur. Di sini, siapapun yang sakit seakan dijauhkan dan diperlakukan seakan hama."Enggak. Abi sama aku sehat." Pak Majid menoleh ke anaknya. Bukannya malah aneh punya obat --kebetulan bisa dikatakan cukup langka di desa ini--disaat mereka sedang tidak sakit. Pak Majid mendesah kecewa di dalam hati. Nimas memperhatikan reaksi abinya jadi tertunduk. Nimas tau dirinya salah mengatakan hal itu."Oh, jadi pak Majid meminta obat begitu saja?" Bagai memakan buah simalakama. Jika ia mengaku sakit, bisa saja dipelintir sebagai biang wabah. Tapi tidak jujur pun pasti salah. Sementara, pak Majid belum mau mengatakan keberadaan Fawaz di rumahnya.Ia hanya berharap mantri Yanto tidak datang cepat. Pasti kehadiran
Pierre melanjutkan langkah. Memeluk tubuhnya yang merasa hampa, sepi dan sendiri. Di rongga dadanya terasa masih ada yang kurang. Lantas, Pierre pergi ke tempat kenalannya, Harvey. Dia seorang psikolog yang selama ini menangani kasus Pierre. Harvey cukup memahami kondisi Pierre. Mungkin itu juga yang membuat keduanya bisa berteman. Lebih tepatnya, Harvey yang menganggap begitu. Sementara Pierre, begitu sulit mengatakan seseorang adalah temannya. Kelainannya disebut, mutuisme selektif. Atau yang lebih dikenal bisu selektif. Sebuah ketidak mampuan seseorang berbicara secara cermat dalam situasi tertentu, padahal ia tidak memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Bisu selektif, bisa karena tekanan, gangguan kecemasan, bahkan trauma. Pierre memahami dirinya berbeda adalah saat pemakaman ibunya. Ternyata ia punya kesulitan bicara dengan orang lain. Barulah setelah ia terapi rutin. Pierre mulai mendapat kemampuannya lagi untuk menyusun kata menjadi kalimat."Bagaimana Kabarmu, Pierre
Samir tidak kenal menyerah terus mengikuti Nimas. Gadis itu sampai setengah berlari tentunya membuat nafasnya jadi tersenggal. "Eh, tunggu. Aku kan cuma mau kenalan." Tak sabaran, Samir jadi memanggil Nimas.Nimas berhenti. Pria asing ini gak boleh tau di mana tempat tinggalnya. Sebelum pergi, Abi Majid sudah berpesan agar Nimas bisa menjaga diri."Aku gak mau. Sana pergi. Hush!" Nimas mengusir Samir dengan cembetut'an. Bukan pergi, Samir malah tertawa lebar. "Eh, ada apa di sana?" Warga lain yang melihat proses pencarian Fawaz jadi menghampiri Nimas dan Samir. Tentu mereka membela Nimas sebagai warga asli sini. Terutama, semua orang tau, Nimas adalah gadis yang dijaga ketat ayahnya. Jadi tanpa diminta, mereka ikut menjaga Nimas sampai ayahnya kembali."Ayok Nimas kita pulang." Ibu Nartiko merangkul bahu Nimas. "Kamu jangan di sini. Dan jangan coba-coba mengikuti Nimas!" Ancam pak Bowo, tetangga jauh pak Majid. Samir pergi dengan kekesalan tidak berhasil tau nama gadis itu lan
"Hm, kalau begitu kami cuma bisa mengucapkan terima kasih sudah membantu kami." Mantri Yanto tersenyum. "Sudah tugas saya. Kita sama-sama niat bantu orang,kan." Pak Majid mengikuti mantri Yanto sampai depan, lalu ia ingin bicara penting. "Tapi pak Mantri. Apa boleh tolong dirahasikan jika tadi kita membawa seorang laki-laki ke klinik?" Mantri Yanto tidak langsung setuju tapi ia menanyakan alasan pak Majid. Seperti yang pernah ia ungkapkan. Pak Majid hanya takut beberapa orang mengambil kesempatan dengan keadaan lelaki yang ia tolong. Pak Majid ingin mengembalikan lelaki itu kepada keluarga sebenarnya, bukan orang lain.***Saat di jalan. Mantri Yanto dicurigai beberapa bawahan pak Rudi. Mereka menanyakan mengapa mantri Yanto meminjam mobil dan bekas daun pisang itu, untuk apa? "Saya membantu seorang warga menjual sapinya," ucap mantri Yanto. Kebetulan ia juga dianugerahi kebolehan bawa mobil. Dan sering kali warga meminta bantuan membawa hewan ternak untuk dijual di pasar. Said
"Malam jum'at. Oh, berarti nanti malem dong, Ustadzah."Ayla mengangguk maksum. "Iyah, ba'da maghrib ya ibu-ibu.""Dalam rangka apa nih Ustadzah Ayla?" Hanifah menimbrung. Ia yang sudah cerita jika Ayla menerima tamu lelaki malam hari, bahkan saat suaminya sedang dinyatakan menghilang.Para ibu yang tadinya mau simpatik jadi mengira, itulah harapan Ayla. Suaminya menghilang lalu dia bisa menikah lagi. Hati tidak ada yang tau berapa dalam ukurannya.Wajah Ayla berubah sendu. Ia tidak pernah cerita ini ke yang lain, selain Kia. Bukan tidak percaya, tapi Ayla merasa tidak nyaman saja mengeluh. Daripada waktunya dihabiskan mencari simpati orang lain yang belum tentu tulus. Lebih baik ia berdoa siang dan malam agar dipertemukan kembali dengan Fawaz. Ayla buntu. Disaat teman-teman Fawaz memberikan kesaksian jika Fawaz benar menghilang dan kantor Fawaz juga mengkonfirmasi rasa bela sungkawa. Disaat yang sama, hatinya tidak rela.Ayla cemas. Firasat Fawaz masih hidup hanya halusinasi seorang
Ayla memendam kekecewaannya pada keluarga Fawaz seorang diri. Ia berdehem, berusaha setegar mungkin"Ya, saya mengerti. Untuk yang lain, saya minta maaf pengajian malam ini dibatalkan." "Jadi bener, Ustadzah kalo pak Fawaz meninggal?!" Tetangga mendesaknya untuk bilang. Hanya Ayla tetap diam, ini urusan pribadinya. Ia tidak akan mengatakan apapun sebelum ia bicara dengan keluarga Fawaz."Maaf sekali ibu-ibu!" Ayla menangkup tangan dan pergi dari sana. Jika melihat reaksinya, ibu-ibu percaya Ayla juga baru tau ini. Buktinya dia sangat kaget sampai pingsan."Hah! Kasihan banget,ya Ustadzah Ayla." "Iyah. Eh, tapi katanya, beberapa hari yang lalu ada anak cowok masih muda main ke sini. Apa jangan-jangan pengganti pak Fawaz?" "Hussh! Jangan ngomong gitu. Mana mungkin sih. Ustadzah kan orang cerdas dan paham agama. Mana mungkin sudah mencari pengganti, tau suaminya meninggal saja baru sekarang." Ada pihak yang masih membela Ayla dan percaya pada wanita itu tapi ada juga yang meragukan.
Dua orang ibu dan anak ini punya pikiran yang sama. Bedanya hanya cara mereka menyampaikan. Ayla tidak bisa berkata apapun. Ayla ditinggal sendiri di ruang tamu. Sementara Zulaekah dan Amena pergi begitu saja. Ayla pulang. Sayangnya ini bukan akhir, mungkin ia tidak punya kekuatan. Tapi Ayla percaya Fawaz belum meninggal. "Lebih baik aku cepat pulang!" Ayla menarik nafas dalam. Ia merasa tidak boleh terpancing emosi. Di tengah tekanan ia harus berpikir jernih.Ayla sangat ingin mencari Fawaz. Berlari ke dalam pelukkan sang suami dan tersedu di sana.Tapi daerah Kalimantan yang jauh dari ibukota juga rawan tersebut tidak memungkinkan ia membawa anak-anaknya ikut serta.Sedang saat ini, Ayla hanya bisa menjaga Balqis juga Yusuf. *Ayla sampai di rumah. Balqis sudah tidur sementara Yusuf belajar di kamarnya. "Gimana, Mbak?" Kia buru-buru menghampiri Ayla. Ia bisa melihat wajah Ayla pias. Pasti ada yang tidak beres. "Ki. Adik dan ibunya mas Fawaz mau aku menerima berita kematian mas
Pun Pierre terkesima saat beberapa orang mengusap wajah begitu bahagia. Dadanya plong. Terbesit rasa gembira yang sulit ia gambarkan.Pierre kontan tersedu. Tidak pernah menyangka dua kalimat syahadat membuatnya menangis seperti bayi. Seluruh tubuhnya gemetar. Perasaannya meluap, ia bisa berjingkrak saat ini juga akan tetapi, terbayang semua dosa yang sudah ia lakukan sampai sekarang. Dan katanya, itu akan terhapuskan seiring dengan pelafalannya tadi. Ah, bagaimana mungkin Tuhan semudah itu menghapus. Tapi begitulah adanya, tidak ada yang tidak mungkin bagi Allah. Apa yang menurut manusia sulit sangat mudah bagi-Nya.Mengingat semua ucapan Ustadz Hasan, Pierre semakin menangis sejadinya. Pierre merasa jadi orang yang sangat kaya. Meskipun terlihat dari luar ia yang sekarang dan kemarin sama saja. Tapi tidak, kali ini ia berbeda. Ia punya iman di lubuk hati dan itu akan ia jaga sampai mati. Kepuasaan batin. Mungkin lebih dari itu. "Bagaimana, Pier?" Ustadz Hasan menghapus lelehan