Sampailah mereka di pedalaman hutan Kalimantan. Di sini, di tempat inilah mereka harus saling bahu-membahu menjaga negara ini dari tangan orang orang jahat. Seperti penebang liar atau semacamnya.
Butuh waktu empat jam dari tenda utama sampai tempat ini. Karena itu mereka dibekali HT, sebagai alat komunikasi penghubung mereka dengan yang lainnya.Kali ini Pierre dan Fawaz kedapatan menjadi satu tim yang ditugaskan menjaga daerah utara. Sementara sekitar tiga kilometer dari sini ada tim lainnya yang sudah dipecah ke berbagai bagian.Seraya menghapus buliran peluh Fawaz mulai menaruh barang-barangnya di barak yang dibuat sementara. Karena sebelumnya tempat ini seolah belum terjamah oleh manusia mana pun. Ia melihat sekelilingnya dengan takjub. Daerah yang perhutanan yang begitu asri dan alami, seakan memanjakan matanya. Ia bersyukur diberikan kesempatan menatap keindahan yang alam ciptakan tanpa campur tangan manusia.Bibirnya bergumam, "Masya Allah." Penuh rasa haru. Tangannya menyentuh pepohonan yang entah sudah berapa lama berada di sana tanpa ada satu pun orang yang tahu. Dilihat seberapa besarnya akar yang menjulang dari dalam tanah.“Mas.., Mas Fawaz,” panggil Pierre. Baru saja sampai di sini, ia langsung berinisatif memasak air panas. Sekedar menyeduh kopi hangat. Karena udara yang lembab, menciptakan rasa dingin seakan mampu menusuk sampai tulangnya."Minum kopi dulu yuk, Mas," ucap Pierre seraya memberikan Fawaz gelas kopi plastik. Ia tak akan lupa mendahulukan Fawaz, senior yang juga sudah dianggapnya sebagai abang kandungnya sendiri. Dan dalam adab, menghormati yang lebih tua adalah suatu keharusan.Fawaz menerima kopi yang diberikan Pierre seraya tersenyum. Keduanya terlihat diam sejenak sekadar merasakan indahnya pemandangan alami yang disajikan di depan mata mereka. Lantas Fawaz menyeruput kopi yang mulai hangat sedikit demi sedikit."Heum.., kopi buatanmu enak, Pier," godanya. Membuat Pierre terkekeh."Apa, Sih?" Ia menyenggol lengan Fawaz yang di sebelahnya."Aku bicara sebenarnya. Kopi buatanmu sangat mirip dengan kopi buatan Ayla," gumam Fawaz kembali. Pierre semakin tertawa geli. Yah, pastilah. Ia kan hanya menuangkan kopi sachetan ke dalam gelas plastik. Tentunya takarannya juga sudah sesuai.***Setelah agak siang dan hilang lelahnya. Fawaz terlihat memberikan intruksi untuk Pierre. Lelaki itu hanya memberikan bagian-bagian yang mudah untuk Pierre sementara bagian yang sulit dan terjal akan menjadi daerah penjagaannya.“Mas, gak salah Mas. Tapi di sana,'kan masih banyak babi hutan,” pekik Pierre takut. Rasanya membayangkan hewan besar itu saja sudah mampu membuat buluk kuduknya merinding.Fawaz tersenyum. Ia tahu ketakutan yang dirasakan Pierre dan bukan berarti ia tidak takut, hanya saja ia memilih pasrah. Karena jika memang belum saatnya, walau badai sekali pun ia tidak akan gugur begitu saja."Kau tenang saja, ada Allah yang selalu menjagaku. Lagipula anak-anakku menanti kepulanganku. Jadi aku harus baik-baik saja,'kan?" Fawaz malah menanggapi kekhawatiran Pierre dengan candaan.Sekitar tiga hari mereka sudah terpisah. Daerah penjagaan yang cukup luas yang membuat Fawaz dan Pierre jadi jarang bertemu.Tiba-tiba saja Pierre merasa bosan. Tak ada hiburan serta tak tembusnya jaringan membuat ia serasa mati kutu. Pierre berniat menghampiri Fawaz sekedar mengobrol santai bersama abang angkatnya itu.Saat di jalan Pierre dibuat kaget setengah mati saat seekor babi hutan berada di depan Fawaz. Dan kini lelaki itu terlihat sedang waspada dengan serangan babi itu, Fawaz terlihat memasang kuda-kudanya dengan pisau belati di tangannya. Ia tahu.., dirinya harus siap sedia persenjataan kapan pun itu.Fawaz melirik ke arah Pierre. Ia menyadari keberadaan Pierre yang jadi semakin membeku. Fawaz pun khawatir babi itu merubah mangsanya menjadi Pierre. Sementara Pierre tidak terlihat membawa senjata apapun.Fawaz terus melirik ke arah Pierre yang masih tergugu. Ia seolah terpaku dengan apa yang ia lihat kini. Meski jantungnya terus berpacu begitu cepatnya. Peluh membasahi dahi dan menjalar ke sela pipi. Ia begitu takut terjadi apa-apa dengan sahabatnya itu. Bayangan semua perkataan Fawaz sewaktu mereka di mobil entah mengapa terus teriang, seakan menari dalam memorinya. Semakin banyak ketakutan yang berkecamuk, semakin kerdil hati Pierre. Ia juga merasa tak akan menang seandainya menghadapi babi hutan itu.Fawaz memberikan isyarat agar Pierre pergi dari sana. Berkali-kali laki-laki itu menggeleng agar Pierre tidak mendekat, tetapi rasa takut Pierre seakan mengunci akal sehatnya. Ia justru maju selangkah.Kregkk!Suara daun kering yang terinjak langkah Pierre menjadi sinyal bagi babi hutan itu.Dan saat Pierre menengok kembali sudah ada satu babi lainnya yang ikut mengepung Fawaz seakan membentuk lingkaran penjagaan agar Fawaz tidak pergi."Husshh.., hussh!" Fawaz berusaha sangat keras agar babi-babi itu pergi darinya. Pisau belati kecil yang tak mungkin banyak membantu itu sekarang begitu Fawaz andalkan. Ia masih ingin selamat, berkumpul kembali bersama anak dan istrinya. Bohong kalau ketakutan yang sama juga tidak meliputinya. Malah mungkin, ketakutan Fawaz jauh lebih besar ketimbang Pierre. Hal lumrah, semakin banyak orang-orang terkasih. Maka, perasaan takut mati kadang menjadi jauh lebih besar.“Pierre.., lari!" teriak Fawaz kuat. Spontan kedua babi itu berlari semakin mendekati Fawaz. Sebab merasa terancam. Pierre pun berlari seperti orang kesetanan. Ia tidak tahu apa yang sebaiknya ia lakukan berkali-kali nalurinya mengatakan untuk membantu Fawaz. Tapi kenapa justru ia berlari tunggang langgang. Tiba-tiba ia sangat membenci dirinya sendiri. Pierre merasa bodoh, payah bahkan pengecut.Tangis penyesalan meraung membasahi wajahnya yang bercampur peluh. Kakinya lemas seakan tak bertulang membuat Pierre jatuh terperosok ke dalam jurang kecil yang ada di sana. Punggungnya menghentak tanah yang sudah mengeras berlanjut suara pekik kesakitan ke luar dari bibirnya.Cepat ia bangun. Pierre sadar, dirinya tidak bisa selamanya bersembunyi dari kenyataan. Sebagai seorang pria ia harus berani.Pierre mengenggam akar pohon yang menjuntai, sebagai tali pegangan untuk ia sampai ke atas. Tangannya yang beset dan kemerahan tidak lagi ia hiraukan. Ia menemukan satu caranya untuk menyelamatkan Fawaz, yaitu dengan memanggil bala bantuan dari pusat. Pikiran itu baru saja muncul setelah ia mencoba menarik nafas dalam.‘Mas Fawaz bertahanlah, aku di sini juga sedang berusaha’ batinnya.Rahangnya mengeras mencoba menaiki tubuhnya yang besar. Cuma mengandalkan akar tipis nyatanya bukan perkara mudah. Ia kembali terkenang mata dingin dari kawanan babi itu. Pierre bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana nasib sahabatnya sekarang, tepatnya ia tidak ingin membayangkan satu kejadian buruk pun terjadi pada Fawaz.Pierre kembali terjatuh. Ia mencoba menarik nafas sekali lagi sebelum dirinya berusaha kembali naik. Pierre memilih duduk bersandar sebentar. Tangannya yang kebas bergoyang karena bergetar takut. Ia sangat amat tidak siap ditinggal seperti ini oleh sahabatnya. Terlebih tidak siap menjelaskan semuanya kepada keluarga Fawaz.'Bagaimana kalau sampai Mbak Ayla menyalahkanku?' Cemas Pierre dalam hati.Setelah cukup lama Pierre berusaha mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa. Ia tak berniat selamanya di sini. Idenya masih sama, mencoba mengirim sinyal bantuan untuk pusat.“Yapp!!" Tubuhnya sudah terangkat setengah, dengan bantuan kakinya ia akhirnya bisa memanjat. Sampai di atas, ia langsung berlari dengan nafas memburu. Matanya melirik mencari arah tempat awal mereka. Jujur karena berlari ia jadi tidak tahu di mana posisinya sekarang. Pierre hanya mengandalkan nalurinya supaya sampai di barak sementara mereka.Dalam kepanikan ia berusaha mengingat dengan jelas. Setelah ia yakin. Segera Pierre pergi ke baraknya tanpa pikir panjang."Hahh!! Hah!" Nafas memburu, tangannya yang gelagapan mencari alat komunikasi serta bibirnya bergetar juga pucat, sebuah perpaduan yang bisa membuat seseorang menyerah apabila ia di tempatkan pada posisi yang sama dengannya. Jangan katakan apa yang Pierre lakukan adalah tinda
Pierre kembali ke barak setelah malam begitu larut. Saat ini ia sudah bisa jauh lebih tenang. Berada terus dalam bahaya, membuat Pierre bisa menertralkan perasaan takutnya dan fokus pada tujuan utama. Hal yang mesti ia lakukan, yaitu cepat melaporkan hilangnya Fawaz. Jujur, dalam hatinya terselip harapan besar jika Fawaz masih bisa selamat. Menyakini keajaiban membawa temannya kembali ke hadapannya. Dan mereka bisa pulang bersama-sama.Pierre mengangkat alat komunikasi itu. Digoyangkan sebentar. Setelah yakin tidak rusak, ia mulai memakainya dan berharap kali ini direspon."Halo.., halo. Dengan Letnan dua Pierre. Saya ingin melaporkan, bahwa Letnan satu Fawaz menghilang di titik kordinat 10.3 arah timur."Nafasnya masih tak beraturan. Malah ia juga merapatkan netranya karena rasanya hal itu masih menyesakkan rongga dada juga tidak bisa diterima oleh nalar."Halo, halo.., ada yang mendengar?" ulang Pierre. Suaranya mendapat tanggapan, sepertinya ada seseorang yang mencoba mengangkat pa
"Bunda... Bunda!" teriak Yusuf baru pulang sekolah TK. Karena TK-nya dekat, anak itu sudah bisa pulang-pergi sendiri tanpa dijemput. Ayla langsung menyerahkan tangannya untuk disalimi Yusuf.Bunda, Kenapa. Kok piringnya pecah?" tanya Yusuf. Ayla tersenyum."Tadi Bunda gak sengaja mecahin. Ya udah Abang sekarang ganti baju, kita sebentar lagi mau siap-siap makan," titahnya sambil terus mengelus surai Yusuf, anak pertamanya yang begitu mirip dengan Fawaz.Sebelum itu, Yusuf mencengkram baju Ayla."Bun, tadi di sekolah Bu Guru tanya apa cita-cita aku. Aku jawab, aku mau kayak ayah, Bun. Bisa melindungi negara ini dengan kekuatan dan keberanian."Yusuf berucap bangga seraya menaiki tangannya yang ceking. Tingkahnya membuat Ayla terkekeh dan menutup mulutnya dengan telapak."In syaa Allah, Nak. Abang Yusuf bakalan bisa menjadi seperti ayah," katanya meski sebenarnya dalam hati, Ayla kurang setuju. Ia sendiri tidak mampu membayangkan seandainya Yusuf pergi ke daerah rawan bahaya, bisa semen
"Maksudmu, dengan meninggalkan Mas Fawaz bersama hewan liar itu, apa Pier?!" kutip Ayla semakin histeris. Ia mencoba menahan isakkan tetapi derai air matanya terus turun deras. Wajahnya memang tidak ditatap Pierre secara langsung. Tapi kesedihan Ayla telah memutari palung hati pemuda tersebut."Maaf, Mbak." Pierre berucap lirih masih bisa mendengar suara sesenggukkan Ayla dan setelahnya ponsel itu luruh dari tangannya. Pierre tidak lagi kuat menahan rasa bersalah yang menusuk tepat di jantung.Baik Irsyal, Yunus mau pun Bima melihat Pierre dengan pandangan kasihan. Tidak ada lagi mulut-mulut yang berusaha menyalahkannya. Karena mereka tahu, perasaan bersalah sudah terpatri di dalam dada Pierre.***"Ndok.., Ndok!"Seorang pria tua berlari tergopoh. Ia terlihat keberatan sebab sedang menggendong lelaki bertubuh tinggi besar disertai banyaknya darah yang mengalir dari perutnya.Wajahnya hampir tidak bisa lagi di kenali. Luka dan debu seakan menutupi jati dirinya."Ndok.., siap,'kan temp
"Kamu siapa. Kenapa bisa terluka seperti ini?" desis Nimas. Ia melirik ke handuk kecil yang ada di tangannya. Mungkin ia bisa membasuh debu dan helaian daun yang masih menempel di wajah si pria.Nimas melakukan niatan. Jujur perasaannya berdebar karena pertama kali menyentuh pria-walau sebetulnya handuk itulah yang mengenai kulit pria malang itu.Nimas terpaku dengan wajah pria itu. Sudah pasti ia pria tampan. Nimas mengakuinya. Bulu matanya lentik dengan hidung bangir. Aura maskulin juga terlihat meski kini ia masih terbaring lemah. Bibir pucat tidak mengurangi sisi kelakian Fawaz.Nimas bertanya dalam hati. Siapakah nama lelaki itu. Apa gerangan hajat si pria sampai ia berada di hutan ini. Tidak ada tanda-tanda yang bisa ia dapati di tubuh Fawaz. Karena, Fawaz kebetulan sedang tidak memakai seragamnya.Nimas menggeleng setelahnya. Ia tahu, bukanlah waktunya mengurusi semua itu. Tapi gadis itu tetap terpaku. Menyaksikan dalam diam semua kejadian di luar nalar meski kini ia menatap k
"Lo tuh, ya! Dasar sialan!" Kedua tangan Zulaekah sudah menjenggut hijab syar'i yang Ayla kenakan. Walau sudah memperkirakan di awal, tapi Ayla tetap kaget dengan reaksi Zulaekah. Sempat tatapan mereka beradu dan Ayla sadar jika Zulaekah telah terbakar api kebencian. Pijarnya berkobar. Tak peduli melukai keponakan-keponakan kecilnya yang menangis sambil menarik rok Zulaekah."Eama, Eama. Lepaskan Bunda kami!" pekik Yusuf. Tangannya terkepal dan memukul-mukul paha Zulaekah. Ayla semakin bimbang. Ia tak mau Yusuf bersikap tak baik seperti ini. Kadang-kadang orang dewasa bisa bertengkar. Tetapi anak kecil tak seharusnya terlibat. Ayla tak lagi mencoba melerai jambakkan Zulaekah. Dia malah memegang tangan mungil Yusuf. Meminta anak itu berhenti.Karena tarikkan kuat dari Zulaekah. Hijab syar'i itu terbuka semua. Tanpa sengaja aurat atas Ayla terlihat. Kebetulan di sana banyak sodara-sodara Fawaz yang berkumpul. Melihatnya, Samir--calon suami Zulaekah meneteskan air liur. Sungguh, Zulaeka
"Umi, Kak Ayla dan Aa' Fawaz harus kita pisahkan! Nanti, kalau Aa' Fawaz sampai ketemu, dia mesti menceraikan wanita itu!"Amena lantas mengamini ucapan Zulaekah. Anaknya benar. Sudah lama sekali Amena menyarankan Fawaz mentalak Ayla. Tetapi Fawaz tetap bersikukuh mempertahankan Ayla. Tidak puaskah Ayla, karenanya usaha Fawaz naik jabatan harus gagal. Sebab Ayla yang tak suka suaminya mendapat jabatan tinggi dengan cara instan.Padahal om Syarif--paman kandung Fawaz sudah mengusahakannya. Keluarga yang semestinya memberikan dukungan moral pada jiwa Ayla yang kini rapuh malah semakin menambah beban di pundaknya."Aah, gini. Menurut saya. Lebih baik pertunangan ini ditunda saja." Samir menyela pembicaraan. Dan itu membuat Zulaekah mendelik kaget."Apa-apaan sih, Mas?!" sahutnya tak suka. Dia susah mengatakan pada teman-temannya sebentar lagi akan menikah dengan pria lulusan S2 di salah satu universitas ternama. Lalu sekarang semudah itu Samir membatalkan pertunangan mereka. Zulaekah men
Berkali-kali bibirnya mendesah resah. Jika ia mengirim chat agar Pierre kembali besok pagi. Berarti malam ini ia akan terus dihantui rasa penasaran.Akhirnya Ayla menutup mata. Seperti apa yang dikatakan, bahwa niat adalah level pertama dari perjalanan tujuan. Selama ia yakin niatnya baik. Maka, hasil yang ia dapat juga pasti akan baik.Sedang di luar Pierre berjalan ragu. Ia sudah sampai pekarangan rumah Ayla. Berdiri tepat di tempat Fawaz pamit pada Ayla waktu itu. Dalam beberapa hari semua jadi berubah, padahal Pierre sangat mengingat gimana tawa Fawaz. Semua kejailannya, sampai nasihat-nasihat seolah tersiar lagi di telinga. Andai saja waktu itu ia tahu akan seperti ini, mungkin Pierre bakalan menahan kepergiaan Fawaz. Tetapi manusia mana yang bisa mengetahui kejadian masa depan kecuali dengan kehendak Allah.Dipandangi rumah itu. Hampir separuh lampu sudah Ayla matikan karena memang Balqis dan Yusuf tidak suka tidur dalam terang. Pierre kembali mengambil ponsel Fawaz yang ia bawa