'Bagaimana kalau sampai Mbak Ayla menyalahkanku?' Cemas Pierre dalam hati.
Setelah cukup lama Pierre berusaha mengerahkan seluruh kekuatannya yang tersisa. Ia tak berniat selamanya di sini. Idenya masih sama, mencoba mengirim sinyal bantuan untuk pusat.“Yapp!!" Tubuhnya sudah terangkat setengah, dengan bantuan kakinya ia akhirnya bisa memanjat. Sampai di atas, ia langsung berlari dengan nafas memburu. Matanya melirik mencari arah tempat awal mereka. Jujur karena berlari ia jadi tidak tahu di mana posisinya sekarang. Pierre hanya mengandalkan nalurinya supaya sampai di barak sementara mereka.Dalam kepanikan ia berusaha mengingat dengan jelas. Setelah ia yakin. Segera Pierre pergi ke baraknya tanpa pikir panjang."Hahh!! Hah!" Nafas memburu, tangannya yang gelagapan mencari alat komunikasi serta bibirnya bergetar juga pucat, sebuah perpaduan yang bisa membuat seseorang menyerah apabila ia di tempatkan pada posisi yang sama dengannya. Jangan katakan apa yang Pierre lakukan adalah tindakan bodoh. Karena setiap manusia memiliki alasan untuk mengambil tindakan itu.Ia cuma berfikir akan percuma jika ia maju seorang diri menyelamatkan Fawaz. Entah keputusan ini akan ia sesali nantinya atau tidak. Hanya Tuhanlah yang tahuTtuutt! Tttuut!Suara sambungan dari mesin HT yang sangat ia harapkan bisa mendatangkan keajaiban untuk Fawaz mulai mengedar di telinganya.'Tuhan, aku memang belum menyembah-Mu. Aku masih selalu terlena untuk mengingkari semua hidayah-Mu yang KAU tunjukkan padaku. Tapi lelaki yang tengah berjuang itu adalah hamba-Mu yang baik. Dengan segala kerendahan hati aku berharap ia bisa selamat,' rancau Pierre dalam hati begitu tulus."Halo!" suara seseorang berhasil mengangkat HT itu."Halo.., halo.., di sini dengan Letnan dua, Pierre Nasution. Saya ingin melaporkan jika Letnan satu Fawaz Omar hisyam hilang di titik koordinat 10.3 arah timur!" Bunyi pesan Pierre yang ia gaungkan penuh pengharapan."Halo." Pria yang di ujung telepon justru mengulang kalimat sapaannya lagi."Iyah.., halo, tolong kami. Kami dalam bahaya!" ulang Pierre tak lagi memakai cara lapor yang sesuai perintah atasan. Persetan dengan aturan. Nyawa Fawaz jauh lebih penting."Maaf tapi di sini kita tidak bisa mendengar apapun.Kkrriiinngg!HT itu berdengung seakan menulikan rungunya."Tolong, Tolong kami. Fawaz di kejar dua babi hutan," lirihnya memelas. Hatinya hancur, seakan tak ada lagi harapan untuknya menolong Fawaz."Lebih baik anda mencoba menghubungi kami lagi nanti!" Alat penghubung satu-satunya terputus. Itu artinya, putus juga harapannya.Pierre tertunduk. Air matanya jatuh. Sedang tangannya mengepal kuat."Maafin aku, Mas!" Setelah mengatakan itu justru Pierre merasa semakin kuat. Ada sisi hatinya yang menolak untuk menyerah.Ia menatap sebuah senapan. Tak perlu pikir panjang. Pierre keluar lagi dari baraknya membawa senapan itu untuk menembak mati kumpulan babi hutan. Saat ini semua hal sangat ingin ia kerahkan untuk Fawaz, untuk tawa yang begitu menyejukkan hatinya ketika memandang.***Sementara itu,Setelah kawanan babi mengepungnya. Fawaz justru dengan nyali yang besar ikut mendekat dan menaiki tubuh babi yang jauh lebih kecil.Pria itu langsung menancapkan pisaunya. Dan karena kulit babi itu keras, pisau belatinya justru tertancap tidak mau ditarik lagi. Amukan sang babi semakin tidak terkendali.Saat itu Fawaz turun dan berlari sekencang-kencang. Ia belum bisa bernafas lega. Ada satu babi lagi yang mengejarnya dengan tatapan murka. Sepertinya yang Fawaz lukai adalah 'istrinya' dan setiap pejantan memang selalu memiliki insting untuk melindungi betinanya.Fawaz mencoba bersembunyi di pohon besar. Kakinya terasa sakit karena saat ia turun dari badan sang babi ia malah terkena tancapan ranting pohon yang cukup besar.Fawaz menarik ranting itu tanpa bantuan obat bius. Ia mengerang di dalam tenggorokannya karena tidak mungkin jika ia mengeluarkannya langsung.Tetes demi tetes darah mengalir. Tapi Fawaz tidak ingin tubuhnya menjadi santapan si babi hutan itu. Jiwa primitif-nya mengatakan jika manusia selalu berada di rantai makanan teratas.Jadi konyol baginya jika ia berakhir menjadi sajian lezat bagi para babi.Krreekk! kreekkk!Babi itu mendekat dan Fawaz merasa siap bertarung sekali lagi. Ia tidak mungkin melewati kehadiran babi itu.Fawaz tidak mau kalau babi itu menemui kawanan temannya yang lainnya.Fawaz memilih memutari pohon, berjalan sangat hati-hati dengan ranting runcing di tangannya.'Bisa.., aku bisa menancapkan sekali lagi!' suara hatinya penuh keyakinan."Bismillah... Allahu Akbar!" Ranting itu sudah tertancap seiring gaungan kalimat tauhid dari bibirnya.Fawaz melotot. Babi kali ini tidak langsung lemas seperti yang tadi. Ia malah semakin terlihat marah. Seperkian detik Fawaz tidak mampu mencerna saat si babi mengobrak-abrik tubuhnya dengan moncongnya yang berruncing. Ia hanya mampu mencoba memegangi perutnya yang perih, meremas darahnya yang keluar. Ooh, bukan lebih tepatnya ia sedang meremas isi perutnya yang terkoyak.Darah keluar dari mulutnya. Entah luka apa yang Fawaz terima. Seluruh tubuhnya mati rasa. Matanya berkunang, tanpa sadar, ia merasa ingin pingsan.Lima menit berlalu. Saat tidak ada lagi harapan hidup yang tersisa. Remang di saat ajal menjemput, diantara alam bawah sadarnya, Fawaz masih bisa mendengar bunyi seseorang menarik sebuah pelatuk.Ddorr! doorr!Disaat itu pula ia betul-betul tak sadarkan diri.***Selang tiga puluh menit dari tragedi berdarah itu. Pierre akhirnya menemui tempat kejadian. Ia terjongkok seraya meremas sisa kain dari baju yang Fawaz kenakan.Hatinya luruh. Ia betul-betul gagal untuk menyelamatkan Fawaz, mungkin saja jenazahnya telah dibawa binatang liar itu ke habitatnya. Untuk bersama menikmati setiap daging Fawaz yang tersayat karena gigitan mereka."Huhuhu.... Mas Fawaz!" Pierre menjatuhkan kening ke tanah dengan senapan di sampingnya. Belum pernah ia merasakan dirinya sebodoh ini sampai tega meninggalkan Fawaz seorang diri. Kenapa tidak mati bersama saja?Untuk apa dia berlari demi bertahan hidup? Bukankah dia berniat untuk mati cepat?Khayalan Fawaz tergeletak lemah dengan kawanan babi mengelilinginya semakin membuat batinnya pedih.Ahkk.., membayangkan saja membuat Pierre ingin bunuh diri. Sayang, ia baru tahu dari Fawaz. Jika kematian dengan cara seperti itu hanya akan mengenaskan di alam sana.***Langit semakin menyingsing cahaya mentarinya. Berganti pekat dengan cahaya bulan yang menerawang dari sela-sela dedaunan.Pierre menghembuskan nafasnya. Seolah baru saja tersadar dari keterkejutannya. Berkali-kali ia menimbang ingin menempelkan senapan ke pelipisnya dan memuntahkan dua atau tiga peluru.Tapi Pierre tahu, bunuh diri adalah hal yang dilarang agama. Lagipula Fawaz memberikannya mandat yang harus ia jalan,'kan.Menjaga dan merawat anak dan istrinya. Ia merasa harus kuat. Lagipula tak ada ujian yang didatangkan dengan persetujuan orang tersebut terlebih dulu. Ini Qonnah-Nya dan ia harus menerima dengan tangan terbuka.Pierre juga pernah dengar. Tuhan tidak mungkin memberikan beban di pundak yang salah dan itu artinya ia harus siap.Ia memutuskan bangkit sambil membawa potongan baju Fawaz sebagai bukti kalau Fawaz telah gugur. Tidak ada lagi yang Pierre pikiran kecuali senyum Ayla yang sempat ia lihat sebelum mereka pergi. Mungkin itu adalah saat terakhir wanita itu tersenyum. Karena setelah ini hanya ada airmata, menangisi belahan jiwanya.Pierre kembali ke barak setelah malam begitu larut. Saat ini ia sudah bisa jauh lebih tenang. Berada terus dalam bahaya, membuat Pierre bisa menertralkan perasaan takutnya dan fokus pada tujuan utama. Hal yang mesti ia lakukan, yaitu cepat melaporkan hilangnya Fawaz. Jujur, dalam hatinya terselip harapan besar jika Fawaz masih bisa selamat. Menyakini keajaiban membawa temannya kembali ke hadapannya. Dan mereka bisa pulang bersama-sama.Pierre mengangkat alat komunikasi itu. Digoyangkan sebentar. Setelah yakin tidak rusak, ia mulai memakainya dan berharap kali ini direspon."Halo.., halo. Dengan Letnan dua Pierre. Saya ingin melaporkan, bahwa Letnan satu Fawaz menghilang di titik kordinat 10.3 arah timur."Nafasnya masih tak beraturan. Malah ia juga merapatkan netranya karena rasanya hal itu masih menyesakkan rongga dada juga tidak bisa diterima oleh nalar."Halo, halo.., ada yang mendengar?" ulang Pierre. Suaranya mendapat tanggapan, sepertinya ada seseorang yang mencoba mengangkat pa
"Bunda... Bunda!" teriak Yusuf baru pulang sekolah TK. Karena TK-nya dekat, anak itu sudah bisa pulang-pergi sendiri tanpa dijemput. Ayla langsung menyerahkan tangannya untuk disalimi Yusuf.Bunda, Kenapa. Kok piringnya pecah?" tanya Yusuf. Ayla tersenyum."Tadi Bunda gak sengaja mecahin. Ya udah Abang sekarang ganti baju, kita sebentar lagi mau siap-siap makan," titahnya sambil terus mengelus surai Yusuf, anak pertamanya yang begitu mirip dengan Fawaz.Sebelum itu, Yusuf mencengkram baju Ayla."Bun, tadi di sekolah Bu Guru tanya apa cita-cita aku. Aku jawab, aku mau kayak ayah, Bun. Bisa melindungi negara ini dengan kekuatan dan keberanian."Yusuf berucap bangga seraya menaiki tangannya yang ceking. Tingkahnya membuat Ayla terkekeh dan menutup mulutnya dengan telapak."In syaa Allah, Nak. Abang Yusuf bakalan bisa menjadi seperti ayah," katanya meski sebenarnya dalam hati, Ayla kurang setuju. Ia sendiri tidak mampu membayangkan seandainya Yusuf pergi ke daerah rawan bahaya, bisa semen
"Maksudmu, dengan meninggalkan Mas Fawaz bersama hewan liar itu, apa Pier?!" kutip Ayla semakin histeris. Ia mencoba menahan isakkan tetapi derai air matanya terus turun deras. Wajahnya memang tidak ditatap Pierre secara langsung. Tapi kesedihan Ayla telah memutari palung hati pemuda tersebut."Maaf, Mbak." Pierre berucap lirih masih bisa mendengar suara sesenggukkan Ayla dan setelahnya ponsel itu luruh dari tangannya. Pierre tidak lagi kuat menahan rasa bersalah yang menusuk tepat di jantung.Baik Irsyal, Yunus mau pun Bima melihat Pierre dengan pandangan kasihan. Tidak ada lagi mulut-mulut yang berusaha menyalahkannya. Karena mereka tahu, perasaan bersalah sudah terpatri di dalam dada Pierre.***"Ndok.., Ndok!"Seorang pria tua berlari tergopoh. Ia terlihat keberatan sebab sedang menggendong lelaki bertubuh tinggi besar disertai banyaknya darah yang mengalir dari perutnya.Wajahnya hampir tidak bisa lagi di kenali. Luka dan debu seakan menutupi jati dirinya."Ndok.., siap,'kan temp
"Kamu siapa. Kenapa bisa terluka seperti ini?" desis Nimas. Ia melirik ke handuk kecil yang ada di tangannya. Mungkin ia bisa membasuh debu dan helaian daun yang masih menempel di wajah si pria.Nimas melakukan niatan. Jujur perasaannya berdebar karena pertama kali menyentuh pria-walau sebetulnya handuk itulah yang mengenai kulit pria malang itu.Nimas terpaku dengan wajah pria itu. Sudah pasti ia pria tampan. Nimas mengakuinya. Bulu matanya lentik dengan hidung bangir. Aura maskulin juga terlihat meski kini ia masih terbaring lemah. Bibir pucat tidak mengurangi sisi kelakian Fawaz.Nimas bertanya dalam hati. Siapakah nama lelaki itu. Apa gerangan hajat si pria sampai ia berada di hutan ini. Tidak ada tanda-tanda yang bisa ia dapati di tubuh Fawaz. Karena, Fawaz kebetulan sedang tidak memakai seragamnya.Nimas menggeleng setelahnya. Ia tahu, bukanlah waktunya mengurusi semua itu. Tapi gadis itu tetap terpaku. Menyaksikan dalam diam semua kejadian di luar nalar meski kini ia menatap k
"Lo tuh, ya! Dasar sialan!" Kedua tangan Zulaekah sudah menjenggut hijab syar'i yang Ayla kenakan. Walau sudah memperkirakan di awal, tapi Ayla tetap kaget dengan reaksi Zulaekah. Sempat tatapan mereka beradu dan Ayla sadar jika Zulaekah telah terbakar api kebencian. Pijarnya berkobar. Tak peduli melukai keponakan-keponakan kecilnya yang menangis sambil menarik rok Zulaekah."Eama, Eama. Lepaskan Bunda kami!" pekik Yusuf. Tangannya terkepal dan memukul-mukul paha Zulaekah. Ayla semakin bimbang. Ia tak mau Yusuf bersikap tak baik seperti ini. Kadang-kadang orang dewasa bisa bertengkar. Tetapi anak kecil tak seharusnya terlibat. Ayla tak lagi mencoba melerai jambakkan Zulaekah. Dia malah memegang tangan mungil Yusuf. Meminta anak itu berhenti.Karena tarikkan kuat dari Zulaekah. Hijab syar'i itu terbuka semua. Tanpa sengaja aurat atas Ayla terlihat. Kebetulan di sana banyak sodara-sodara Fawaz yang berkumpul. Melihatnya, Samir--calon suami Zulaekah meneteskan air liur. Sungguh, Zulaeka
"Umi, Kak Ayla dan Aa' Fawaz harus kita pisahkan! Nanti, kalau Aa' Fawaz sampai ketemu, dia mesti menceraikan wanita itu!"Amena lantas mengamini ucapan Zulaekah. Anaknya benar. Sudah lama sekali Amena menyarankan Fawaz mentalak Ayla. Tetapi Fawaz tetap bersikukuh mempertahankan Ayla. Tidak puaskah Ayla, karenanya usaha Fawaz naik jabatan harus gagal. Sebab Ayla yang tak suka suaminya mendapat jabatan tinggi dengan cara instan.Padahal om Syarif--paman kandung Fawaz sudah mengusahakannya. Keluarga yang semestinya memberikan dukungan moral pada jiwa Ayla yang kini rapuh malah semakin menambah beban di pundaknya."Aah, gini. Menurut saya. Lebih baik pertunangan ini ditunda saja." Samir menyela pembicaraan. Dan itu membuat Zulaekah mendelik kaget."Apa-apaan sih, Mas?!" sahutnya tak suka. Dia susah mengatakan pada teman-temannya sebentar lagi akan menikah dengan pria lulusan S2 di salah satu universitas ternama. Lalu sekarang semudah itu Samir membatalkan pertunangan mereka. Zulaekah men
Berkali-kali bibirnya mendesah resah. Jika ia mengirim chat agar Pierre kembali besok pagi. Berarti malam ini ia akan terus dihantui rasa penasaran.Akhirnya Ayla menutup mata. Seperti apa yang dikatakan, bahwa niat adalah level pertama dari perjalanan tujuan. Selama ia yakin niatnya baik. Maka, hasil yang ia dapat juga pasti akan baik.Sedang di luar Pierre berjalan ragu. Ia sudah sampai pekarangan rumah Ayla. Berdiri tepat di tempat Fawaz pamit pada Ayla waktu itu. Dalam beberapa hari semua jadi berubah, padahal Pierre sangat mengingat gimana tawa Fawaz. Semua kejailannya, sampai nasihat-nasihat seolah tersiar lagi di telinga. Andai saja waktu itu ia tahu akan seperti ini, mungkin Pierre bakalan menahan kepergiaan Fawaz. Tetapi manusia mana yang bisa mengetahui kejadian masa depan kecuali dengan kehendak Allah.Dipandangi rumah itu. Hampir separuh lampu sudah Ayla matikan karena memang Balqis dan Yusuf tidak suka tidur dalam terang. Pierre kembali mengambil ponsel Fawaz yang ia bawa
Malam ini demam Fawaz semakin menjadi. Dimulai dini hari hingga lembayung senja undur diri. Panasnya belum juga turun. Bila dipegang badannya sudah layak memasak telur saking panasnya.Nimas sendiri bertugas mengompres Fawaz. Gadis itu tidak meninggalkan Fawaz sedikit pun. Ia mengikuti semua apa kata abinya supaya lelaki yang mereka tolong merasa lebih baik. Di samping tempat Fawaz berbaring terdapat banyak olahan tanaman herbal sudah diambil sarinya. Sesekali Nimas memberikan obat-obatan itu ke bibir Fawaz.Nimas ingin memastikan kenyamanan Fawaz. Ia ingin memperlakukan tamunya sebaik mungkin."Hai, kamu harus kuat,ya. Kamu pasti bisa bertahan!" Hibur Nimas. Lelaki itu saja bisa bertahan dari serangan babi hutan pastinya ia juga bisa melewati malam kritisnya.Memang ini adalah rangkaian sakit yang akan diderita seseorang ketika mengalami musibah tanpa mendapat pertolongan secara tepat. Apa yang pak Majid lakukan terlalu cetek. Dengan luka menganga seperti ini semestinya Fawaz langsun
Nimas sudah keluar hutan. Beruntung ia tidak mengalami banyak hambatan kecuali wajahnya lesu terlalu kelelahan. Karena dirinya mengitari jalan berbeda dari biasanya, ia tidak langsung bertemu jalan raya tetapi sungai kecil dengan air yang cukup deras itu menantinya dan mesti ia seberangi. Nimas berpegangan pada setiap batu besar, jemari kaki mencengkram kerikil sampai rasanya telapak kakinya linu.Semua itu tidak Nimas pedulikan. Ia sudah sampai di sini. Pantang untuknya kembali. Setelah melalui sungai, Nimas memanjat ke atas tepi jalan dan menunggu mobil yang lewat. "Sebentar lagi subuh." Ia merasa ada kemungkinan bertemu dengan mobil pengangkut hewan ternak yang biasa akan ke pasar dan bisa ia mintai tolong. Nimas menunggu tanpa memperdulikan penampilannya yang kucal. Tapi itu bagus, orang-orang tidak akan bisa mengenalinya apa lagi ini masih sangat gelap. Nimas hanya berharap bukan para penjahat yang ditemuinya.Setengah jam menunggu, terlihat lampu mobil dari ujung berlawanan
Nimas menutup mata lekat. Tangannya ia letakkan di dada seraya merapal doa. Nimas tau, saat dirinya kabur. Artinya ia tidak bisa lagi bebas kembali ke makam ayahnya. Hal itu membuat air matanya jatuh tapi ia berusaha menahan sesenggukkan sampai rasanya dadanya sangat sesak. Sangat sakit bukan, tidak bisa mengunjungi makam orangtua saat rindu melanda. Tapi Nimas juga gak ingin menjadi istri kedua lelaki tua bangka. Tepat seperti dugaannya, beberapa orang terlihat mencarinya dengan tampang panik. Nimas yakin, mereka semua dimarahi oleh pak Rudi. Cepat ia memepet batang pohon. Berharap rindangnya dedauan dapat menutupi bayangannya. 'Apa aku naik saja ke atas?' Nimas ingin nekat panjat pohon. Tapi ia juga tidak begitu lihai, yang ada malah memancing keributan. Nimas mulai merapal doa. Ia sangat percaya, hanya doa yang bisa menyelamatkannya saat ini. Hasbunallah wa ni'mal wakiil(Cukuplah Allah menjadi penolong kami. Dan Allah adalah sebaik-baiknya pelindung)Doa yang terus ia lantun
Kesedihan masih membayanginya, dan kini Nimas kembali ditimpa masalah.Ditinggal sebatang kara di dunia yang belum puas ia kenali. Kekejaman ditunjukkan para warga, yang selama ini Nimas anggap sebagai saudara membuat ia putus asa. Namun, di tengah kegamangan yang Nimas rasakan. Pak Rudi memawarkan secercah sinar. Kabarnya lelaki itu punya sebidang tanah khusus makam keluarga. Di sana, Nimas diperbolehkan mensemayamkan jasad ayahnya."Alhamdulilah Ya Allah. Terima kasih, Pak." "Saya hanya membantu sebagai keluarga." Tanpa bertanya lebih lanjut, Nimas mengikuti setiap prosesi. Butuh satu jam untuk menyelesaikannya. Kini, ia terjongkok di samping papan nisan yang berdiri tegak seraya mengelusnya. "Abi gak perlu khawatirin aku. Aku pasti bisa mengurus diri aku sendiri." Gadis itu tersenyum, mencoba untuk kuat. Setelahnya, Nimas menghampiri pak Rudi demi menyampaikan rasa terima kasihnya sekali lagi. Habis itu Nimas berencana pulang lalu esoknya kembali menemani Ikhsan di rumah sakit
Dengan berat hati Nimas memberi kabar ke para pemangku wilayah di daerah kampungnya tentang kepergiaan abi Majid.Sementara di rumah sakit, ia telah mengurus ijin kepulangan jenazah. "Terima kasih pak Said. Mohon dibantu mencarikan tanah kuburan buat abi." Nimas menelpon dari telepon rumah sakit. Menurut pak Said, ia akan menyiarkan berita duka ini ke semua warga dan mungkin tidak lama akan ada mobil yang menjemput mereka. "Kamu yang sabar, Nimas." Nimas tersenyum tipis. Kata-kata pak Said cukup menghiburnya, tapi ada yang ia pikirkan. Yaitu nasib pria yang ia tolong, salah satu kenangan perbuatan baik abinya semasa hidup.Bila Nimas kembali ke desa untuk waktu lama, lalu pria itu dengan siapa?!Akhirnya Nimas menitipkan Fawaz pada seorang suster tua. "... saya minta tolong Suster. Saya harus kembali secepatnya. Tapi saya juga kesulitan meninggalkannya." Nimas melirik ke arah Fawaz. Suster bernama Jihan itu ikut merasakan kegelisahan yang Nimas rasakan. Bisa dilihat, Nimas sangat
"Hah! Mbak, benaran deh. Mbak gak bisa kayak gini. Mbak tau kan, seorang ayah bertanggung jawab menafkahi anak-anaknya. Meski mas Fawaz sudah gak ada, tapi dia punya harta peninggalan yang bisa diberikan ke Yusuf juga Balqis." Ayla yang menjalani musibah, Kia yang merasa tidak tahan. Melihat anak-anak Fawaz hidup hemat. Pun, Ayla yang mulai mencari pekerjaan sebagai penjaga toko.Katanya, selama menjaga toko roti itu Ayla boleh membawa Balqis. Gaji yang ditawarkan tidak besar. Tetapi Ayla begitu bersyukur masih bisa kerja.Kia menyentuh punggung tangan Ayla. "Mbak gak mau kan mas Fawaz gak tenang di sana karena mengabaikan anak dan istrinya." "Ki!" Ayla jadi tegas. Baginya, Fawaz tidak begitu. Ia tidak pernah mengabaikan keluarga. Malah, Fawaz selalu mengutamakan keluarga di atas segalanya. Tapi saat ini lelaki itu sudah habis kewajibannya. Giliran Ayla merawat kedua hatinya agar menjadi anak yang soleh dan soleha.Baru berharap demikian, ia mendengar keributan di luar."Mbak. Itu
Hari ini giliran Pierre mengajar di taman bersama anak-anak, ia sama sekali tidak terlihat risih. Pierre sampai berpikir apa 'kelainan' yang ia idap perlahan menghilang? Atau hanya faktor cuaca cerah dan berkumpul di taman yang lega membuat perasaannya lebih tentram.Semua pertanyaan anak-anak itu Pierre jawab dengan suka cita."Om udah punya anak belom?" "Belum, Shafea," jawab Pierre tersenyum pada anak usia enam tahun itu. "Kok belom sih?" Shafea tidak sepenuhnya percaya. Gaya anak itu untuk mengintrograsi dirinya membuat Pierre terkekeh geli."Yah Om nikah aja belum... ." Sedetik ia bilang begitu, beberapa gadis remaja melirik ke Pierre. Spontan Wishaka tertawa keras.Apa yang Pierre katakan ibaratnya seperti memberi umpan untuk ikan kelaparan. Sebab kini mereka belajar di tengah kerumunan banyak orang. 'Aduh gawat nih!' Pierre menutup muka cepat. Rasa groginya timbul lagi.Ide belajar di luar kelas darurat sepertinya tidak berjalan dengan baik.Malam harinya, setelah ia seles
Hari berganti hari, keadaan abi Majid masuk ke tahap kritis. Bukannya membaik, pak Majid malah semakin memprihatinkan. Sisi lain, Fawaz juga tidak lagi membuka mata semenjak hari itu. Dokter bilang, itu karena pasien masuk ke fase penyembuhan secara emosional setelah mengalami kecelakaan mendadak. "... sebaiknya kita tunggu pasien kembali siuman. Saat itu, barulah pemeriksaan selanjutnya bisa dilakukan," ucap dokter.Padahal mimpi Nimas sangat sederhana. Melihat kedua pria itu sadar, tapi jika sudah begini, rasanya sangat jauh dari khayalan. Hatinya bernas seiring dengan semangat yang semakin pupus. 'Bi. Tolong jangan tinggalkan aku sendiri.' Ia memohon, merengek agar abinya bisa membuka mata.Posisi yang tidak pernah Nimas harapkan terjadi. Namun mengapa ia malah terjebak di dalamnya. Ia merenung di depan kamar ICU. Seandainya ia tidak memaksa sang ayah membawa lelaki itu ke sini, kira-kira apa yang terjadi. Apa mungkin kejadian ini tidak pernah ada."Astagfirullah!" Nimas tidak
Ayla hanya ingin berpikir logis, alih-alih tidak terima Ayla menguatkan hati."Kita beresin aja dulu,ya. Yusuf sudah siapin apa saja yang mesti dibawa kan?" Yusuf mengangguk. Ia pergi ke kamarnya, sementara Ayla membantu Balqis membereskan barang-barang. Ayla membuka lemari pink dan menarik koper milik Balqis yang sudah disiapkannya."Kita bakal jauh,ya pindahnya, Bun. Ayah udah dikasih tau belum?" tanya Balqis sambil memakai tas ranselnya. Ayla berpura tidak dengar. Orang yang mengusir mereka berteriak dari luar. "Cepat. Kalian gak punya waktu buat berlama-lama.""Tuh Balqis. Kita diminta cepat. Ayok!" Ayla menuntun tangan Balqis. Diikuti Yusuf menarik koper kecil susah payah. Baru saja Kia berniat main ke rumah Ayla. Tapi ia melihat beberapa orang ramai di depan."Lho ada apa ini?" Kia memperhatikan pria-pria berotot itu secara intens."Ada apa,ya, Pak?" "Rumah ini harus segera dikosongkan!" Dengan angkuh salah satunya mengatakan hal tersebut. Ayla ke luar, "Mbak?!" Kia merasa
Zulaekah bersikukuh, mencoba mengeyampingkan logika.Soal itu, biar ia pikirkan nanti. Baginya menikah dengan Samir bertujuan menaiki nilai diri. Bukan cuma membina keluarga yang harmonis seperti harapan orang saat menikah.Samir menatap Zulaekah yang sibuk dengan pikirannya. "Kamu... tapi kamu mau ngbebasin aku kan?!" "Ya, Mas akan aku bebaskan kamu dengan jaminan." Bagi Zulaekah tidak perlu berunding dengan pelapor yang tak lain Adnan. Ia punya pengacara yang bisa mengurus hal ini.Zulaekah memaksakan senyum sembari menggenggam tangan Samir. "Mas tenang aja,ya!" Ia meyakini diri jika Samir adalah korban dan pastinya lelaki itu bisa berubah setelah mereka menikah.Pada kenyataannya, pernikahan bukan tempat seseorang untuk berubah. Sifat dan prilaku tidak semudah itu berganti kecuali ada niatan dalam diri. Melanjutkan pernikahan saat tau orang tersebut tidak layak lalu berharap pasangan bisa menjadi sosok yang diinginkan sama saja membohongi diri sendiri. ***Zulaekah mengetuk pin