"Bunda... Bunda!" teriak Yusuf baru pulang sekolah TK. Karena TK-nya dekat, anak itu sudah bisa pulang-pergi sendiri tanpa dijemput. Ayla langsung menyerahkan tangannya untuk disalimi Yusuf.
Bunda, Kenapa. Kok piringnya pecah?" tanya Yusuf. Ayla tersenyum."Tadi Bunda gak sengaja mecahin. Ya udah Abang sekarang ganti baju, kita sebentar lagi mau siap-siap makan," titahnya sambil terus mengelus surai Yusuf, anak pertamanya yang begitu mirip dengan Fawaz.Sebelum itu, Yusuf mencengkram baju Ayla."Bun, tadi di sekolah Bu Guru tanya apa cita-cita aku. Aku jawab, aku mau kayak ayah, Bun. Bisa melindungi negara ini dengan kekuatan dan keberanian."Yusuf berucap bangga seraya menaiki tangannya yang ceking. Tingkahnya membuat Ayla terkekeh dan menutup mulutnya dengan telapak."In syaa Allah, Nak. Abang Yusuf bakalan bisa menjadi seperti ayah," katanya meski sebenarnya dalam hati, Ayla kurang setuju. Ia sendiri tidak mampu membayangkan seandainya Yusuf pergi ke daerah rawan bahaya, bisa semenderita apa dirinya memikirkan keadaan Yusuf di sana. Seperti yang diketahui. Tidak ada satu pun ibu yang akan kuat melihat penderitaan anaknya. Walau belum tentu itu terjadi, tapi hati Ayla kini merasa sangat merana sampai ia gak mau membayangkannya."Ya sudah kalau gitu Abang mau ganti baju dulu,ya, Bun. Sekalian lihat kamar adek." Yusuf adalah anak yang penyayang. Meski baru berusia enam tahun. Tapi ia sudah menunjukkan gelagat tanggung jawabnya sebagai seorang kakak. Salah satunya dengan mengasihi Balqis tanpa diminta.Yusuf bahkan tak segan membantu Ayla menjaga adik perempuannya itu. Karena kata ayahnya, lelaki sejati adalah pria yang bisa diandalkan. Dan ia ingin menjadi anak lelaki yang bisa diandalkan ayahnya."Terima kasih,ya, Sayang!" tanggap Ayla bahagia. Cukup kehadiran Balqis dan Yusuf sebagai pelipur lara ketika kegundahan demi kegundahan menyapa jiwanya.Ayla sudah merapikan tatanan meja makan. Lantas ia berniat memanggil kedua buah hatinya untuk makan. Tapi tiba-tiba saja ponselnya berdering."Ahk, ada telepon." Ia menyeritkan alis ketika melihat ponsel Fawaz lah yang menghubunginya."Mas Fawaz sudah bisa telepon aku?" girangnya. Buru-buru Ayla mengangkat. Sebelum orang yang di seberang telepon bicara. Ia sudah mengungkapkan ke rinduannya."Assalamuaikum, Sayang. Aku kangen. Aqis dan Yusuf juga rindu kamu. Rindu ayahnya," cicitnya membuat Yunus, orang yang sebenarnya lagi menelpon jadi terdiam.Ia menelan ludah kasar sambil memberikan ponselnya pada Irsyal. Rasanya ia jadi tidak kuasa memberi tahu berita buruk ini pada Ayla.Setengah hari mencari tanpa ada satu pun jejak membuat mereka putus harapan. Apalagi daerah ini masih begitu banyak hewan liar.Kecil kemungkinan untuk Fawaz selamat. Irsyal menerima ponselnya dengan bergetar. Ia juga tidak mampu untuk berkata. Lidahnya keluh dan suaranya parau karena sesenggukkan. Ia jadi menatap Pierre yang saat itu cuma diam dan tatapannya kosong."Kau saja. Kau,'kan yang membuat semua ini terjadi," ucapnya mendendam. Pierre menerima dengan pasrah."Ha.., halo, Mbak." Suaranya kaku. Ia sendiri belum menyiapkan mental untuk berbicara pada Ayla."Eh," Ayla merasa malu. Ia menutup mulutnya spontan."Mas Fawaz ke mana, Pier?" tanyanya yang cukup mengenali suara barito milik Pierre.Ayla juga agak heran, untuk apa Pierre yang malah menelponnya dengan ponsel Fawaz?"Mbak.., aku ingin memberi kabar tentang Mas Fawaz."Saat itu ketakutan Ayla sudah mulai terasa, menjalar hingga jantunganya berdetak tak karuan. Tanpa sadar matanya jadi berkabut. Tapi ia mencoba tegar supaya bisa mendengar penjelasan Pierre."Ada apa dengan Mas Fawaz, Pierre?" desaknya karena Pierre justru terdiam."Mas Fawaz.., Mas Fawaz."Pierre menatap lainnya. Mereka terlihat sudah putus asa. Tapi tidak dengannya. Ia yakin, ini bukanlah saatnya untuk Fawaz pergi ke alam baka.Selama ia tidak melihat mayat Fawaz, Pierre menolak untuk mengatakan abang angkatnya itu gugur di medan perbatasan. Tapi Ayla juga harus tahu keadaan ini. Maka, ia berkata."Mas Fawaz saat ini tidak bisa kami temukan. Tapi aku berjanji akan mencarinya untukmu," ucapnya tanpa sadar ia merasa begitu peduli dengan Ayla dan tidak ingin wanita itu sampai cemas.Ayla tergugu dengan pernyataan Pierre. Apa maksudnya, mengatakan kekasih hatinya tidak bisa ditemukan. Ia jadi mencengkram ponsel begitu geram."Maksud kamu apa Mas Fawaz tidak bisa ditemukan?"Tanpa sadar suaranya meninggi. Ia tidak melihat jika di sampingnya ada Yusuf dan Balqis yang sedang bergandengan dan menatap sang ibu keheranan. Sungguh, Ayla bukan orang yang bisa berteriak sekeras ini. Suaranya selalu melembut. Tetapi Yusuf cukup mengerti, ia mendengar nama ayahnya disebutkan. Mungkin karena ia yang terbiasa mandiri. Jadinya Yusuf lebih dewasa dari usianya. Setidaknya reaksi bundanya mengatakan ada yang tidak baik terjadi pada ayahnya. Sang abang jadi menangis seraya sesenggukkan, sedang Balqis hanya menatap kakaknya dan ibunya bergantian."Abang kenapa, sih?" celotehnya. Ketika itu, Ayla menengok ke anak-anaknya. Ia menyeka air mata kasar dan berusaha tersenyum ke arah Balqis meski bibirnya gemetar."Pierre, apa yang terjadi sama Mas Fawaz?" Ia melunakkan ucapan tapi juga sangat berharap Pierre mengatakan sejujurnya. Sungguh, tidak mengetahui kabar tentang suaminya jauh lebih buruk ketimbang ia tahu yang sebenarnya. Minimal dengan tahu apa yang terjadi. Ayla bisa berdoa tepat sasaran. Bukan seperti ini, menerka-nerka hingga rasanya jantungnya mau meledak."Mas Fawaz.., Mas Fawaz!" Pierre terisak. Ia ingat kembali kejadian kemarin. Ia bisa katakan kalau Fawaz adalah sosok laki-laki sejati. Dalam kesulitan dirinya tidak sedikit pun gentar. Berbeda dengan dirinya yang justru kabur begitu saja."Waktu itu Mas Fawaz dikepung oleh babi hutan. Aku berusaha menyelamatkannya. Tapi Mas Fawaz meminta aku untuk pergi."Kini, pria gagah itu luruh. Keningnya mencium tanah dengan tangisnya pecah. Ia sadar betapa piciknya dirinya yang mau saja diselamatkan Fawaz tanpa memikirkan keselamatan sahabatnya itu."Bagaimana aku harus menebus rasa bersalah ini?""Maksudmu, dengan meninggalkan Mas Fawaz bersama hewan liar itu, apa Pier?!" kutip Ayla semakin histeris. Ia mencoba menahan isakkan tetapi derai air matanya terus turun deras. Wajahnya memang tidak ditatap Pierre secara langsung. Tapi kesedihan Ayla telah memutari palung hati pemuda tersebut."Maaf, Mbak." Pierre berucap lirih masih bisa mendengar suara sesenggukkan Ayla dan setelahnya ponsel itu luruh dari tangannya. Pierre tidak lagi kuat menahan rasa bersalah yang menusuk tepat di jantung.Baik Irsyal, Yunus mau pun Bima melihat Pierre dengan pandangan kasihan. Tidak ada lagi mulut-mulut yang berusaha menyalahkannya. Karena mereka tahu, perasaan bersalah sudah terpatri di dalam dada Pierre.***"Ndok.., Ndok!"Seorang pria tua berlari tergopoh. Ia terlihat keberatan sebab sedang menggendong lelaki bertubuh tinggi besar disertai banyaknya darah yang mengalir dari perutnya.Wajahnya hampir tidak bisa lagi di kenali. Luka dan debu seakan menutupi jati dirinya."Ndok.., siap,'kan temp
"Kamu siapa. Kenapa bisa terluka seperti ini?" desis Nimas. Ia melirik ke handuk kecil yang ada di tangannya. Mungkin ia bisa membasuh debu dan helaian daun yang masih menempel di wajah si pria.Nimas melakukan niatan. Jujur perasaannya berdebar karena pertama kali menyentuh pria-walau sebetulnya handuk itulah yang mengenai kulit pria malang itu.Nimas terpaku dengan wajah pria itu. Sudah pasti ia pria tampan. Nimas mengakuinya. Bulu matanya lentik dengan hidung bangir. Aura maskulin juga terlihat meski kini ia masih terbaring lemah. Bibir pucat tidak mengurangi sisi kelakian Fawaz.Nimas bertanya dalam hati. Siapakah nama lelaki itu. Apa gerangan hajat si pria sampai ia berada di hutan ini. Tidak ada tanda-tanda yang bisa ia dapati di tubuh Fawaz. Karena, Fawaz kebetulan sedang tidak memakai seragamnya.Nimas menggeleng setelahnya. Ia tahu, bukanlah waktunya mengurusi semua itu. Tapi gadis itu tetap terpaku. Menyaksikan dalam diam semua kejadian di luar nalar meski kini ia menatap k
"Lo tuh, ya! Dasar sialan!" Kedua tangan Zulaekah sudah menjenggut hijab syar'i yang Ayla kenakan. Walau sudah memperkirakan di awal, tapi Ayla tetap kaget dengan reaksi Zulaekah. Sempat tatapan mereka beradu dan Ayla sadar jika Zulaekah telah terbakar api kebencian. Pijarnya berkobar. Tak peduli melukai keponakan-keponakan kecilnya yang menangis sambil menarik rok Zulaekah."Eama, Eama. Lepaskan Bunda kami!" pekik Yusuf. Tangannya terkepal dan memukul-mukul paha Zulaekah. Ayla semakin bimbang. Ia tak mau Yusuf bersikap tak baik seperti ini. Kadang-kadang orang dewasa bisa bertengkar. Tetapi anak kecil tak seharusnya terlibat. Ayla tak lagi mencoba melerai jambakkan Zulaekah. Dia malah memegang tangan mungil Yusuf. Meminta anak itu berhenti.Karena tarikkan kuat dari Zulaekah. Hijab syar'i itu terbuka semua. Tanpa sengaja aurat atas Ayla terlihat. Kebetulan di sana banyak sodara-sodara Fawaz yang berkumpul. Melihatnya, Samir--calon suami Zulaekah meneteskan air liur. Sungguh, Zulaeka
"Umi, Kak Ayla dan Aa' Fawaz harus kita pisahkan! Nanti, kalau Aa' Fawaz sampai ketemu, dia mesti menceraikan wanita itu!"Amena lantas mengamini ucapan Zulaekah. Anaknya benar. Sudah lama sekali Amena menyarankan Fawaz mentalak Ayla. Tetapi Fawaz tetap bersikukuh mempertahankan Ayla. Tidak puaskah Ayla, karenanya usaha Fawaz naik jabatan harus gagal. Sebab Ayla yang tak suka suaminya mendapat jabatan tinggi dengan cara instan.Padahal om Syarif--paman kandung Fawaz sudah mengusahakannya. Keluarga yang semestinya memberikan dukungan moral pada jiwa Ayla yang kini rapuh malah semakin menambah beban di pundaknya."Aah, gini. Menurut saya. Lebih baik pertunangan ini ditunda saja." Samir menyela pembicaraan. Dan itu membuat Zulaekah mendelik kaget."Apa-apaan sih, Mas?!" sahutnya tak suka. Dia susah mengatakan pada teman-temannya sebentar lagi akan menikah dengan pria lulusan S2 di salah satu universitas ternama. Lalu sekarang semudah itu Samir membatalkan pertunangan mereka. Zulaekah men
Berkali-kali bibirnya mendesah resah. Jika ia mengirim chat agar Pierre kembali besok pagi. Berarti malam ini ia akan terus dihantui rasa penasaran.Akhirnya Ayla menutup mata. Seperti apa yang dikatakan, bahwa niat adalah level pertama dari perjalanan tujuan. Selama ia yakin niatnya baik. Maka, hasil yang ia dapat juga pasti akan baik.Sedang di luar Pierre berjalan ragu. Ia sudah sampai pekarangan rumah Ayla. Berdiri tepat di tempat Fawaz pamit pada Ayla waktu itu. Dalam beberapa hari semua jadi berubah, padahal Pierre sangat mengingat gimana tawa Fawaz. Semua kejailannya, sampai nasihat-nasihat seolah tersiar lagi di telinga. Andai saja waktu itu ia tahu akan seperti ini, mungkin Pierre bakalan menahan kepergiaan Fawaz. Tetapi manusia mana yang bisa mengetahui kejadian masa depan kecuali dengan kehendak Allah.Dipandangi rumah itu. Hampir separuh lampu sudah Ayla matikan karena memang Balqis dan Yusuf tidak suka tidur dalam terang. Pierre kembali mengambil ponsel Fawaz yang ia bawa
Malam ini demam Fawaz semakin menjadi. Dimulai dini hari hingga lembayung senja undur diri. Panasnya belum juga turun. Bila dipegang badannya sudah layak memasak telur saking panasnya.Nimas sendiri bertugas mengompres Fawaz. Gadis itu tidak meninggalkan Fawaz sedikit pun. Ia mengikuti semua apa kata abinya supaya lelaki yang mereka tolong merasa lebih baik. Di samping tempat Fawaz berbaring terdapat banyak olahan tanaman herbal sudah diambil sarinya. Sesekali Nimas memberikan obat-obatan itu ke bibir Fawaz.Nimas ingin memastikan kenyamanan Fawaz. Ia ingin memperlakukan tamunya sebaik mungkin."Hai, kamu harus kuat,ya. Kamu pasti bisa bertahan!" Hibur Nimas. Lelaki itu saja bisa bertahan dari serangan babi hutan pastinya ia juga bisa melewati malam kritisnya.Memang ini adalah rangkaian sakit yang akan diderita seseorang ketika mengalami musibah tanpa mendapat pertolongan secara tepat. Apa yang pak Majid lakukan terlalu cetek. Dengan luka menganga seperti ini semestinya Fawaz langsun
Pierre POVSatu-satunya orang yang menganggapku ada adalah mas Fawaz. Ia memperlakukanku seperti saudara kandung. Merangkul juga sangat percaya padaku.Dulu, sewaktu sekolah aku ingat. Teman-teman meneriakiku sebagai anak haram."Kalau gak punya bapak berarti anak apa?!""Yah, anak haram!" Lantas mereka tertawa riang. Mungkin kata-kata itu sudah mereka lupakan. Tapi masih membekas di hatiku sampai detik ini. Suara sumbang yang membuatku sengaja menutup diri. Aku pun tidak pernah tanya sama ibu di mana ayah. Sampai beliau juga pergi meninggalkanku selamanya.Tersisa hanya aku di sini. Kadang-kadang aku berpikir, apa benar aku anak di luar pernikahan sah. Tapi apa layak istilah itu disematkan padaku. Bahkan aku saja tidak pernah meminta dilahirkan.Kata orang, gak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Sebuah pertemuan dengan seseorang pasti memiliki tujuan. Entah kehadirannya mengubah hidup atau aku yang mengubah hidupnya. Dalam kasusku dengan mas Fawaz terjadi keduanya, mas Fawaz me
"Assalamuaikum." Ummi Kia yang tak lain tetangga Ayla bertandang ke rumah wanita itu. Mereka terbiasa saling berkunjung seperti sekarang ini. Kata Ummi sendiri merupakan sebuah panggilan akrab Balqis dan Yusuf, karena wanita dua puluh enam tahun yang Ayla sudah anggap seperti adik sendiri diketahui belum juga dikaruniai anak meski sudah lama menikah. Beruntung suaminya, Adnan tidak mempersoalkan. Baginya, mereka bisa mengasihi anak siapa pun meski bukan anak kandung mereka sendiri. Dari sanalah Kia begitu akrab dengan Ayla berikut anak-anaknya.Seraya membawa hasil masakannya, ia masuk ke rumah Ayla seperti biasa. Kia tertegun waktu melihat Ayla tersedu, terasa begitu rapuh padahal Ayla yang Kia kenal adalah wanita yang tangguh."Astagfirullah, kenapa, Mbak?!" Kepala Ayla ditumpuh oleh tangan dan suara sesenggukkannya terdengar sampai ruang tamu.Kia meletakkan piring ke meja, kemudian merangkul Balqis yang takut, sembari mengangkat wajah Ayla dengan tangan satunya lagi."Mbak kenapa