"Abang, bunda ke mana,ya?" Balqis terlihat gelisah. Matanya sudah berkabut kesedihan. Sebagai kakak, Yusuf mengelus surai Balqis sayang."Cup.., cup.., Dek. Kata Om Adnan, bunda lagi pergi sebentar sama ummi," ucapnya dengan nada menghibur tapi justru Balqis semakin nyaring tangisnya."Kok aku gak diajak!" Ia kecewa. Biasanya bunda mereka tidak pernah meninggalkan. Apalagi ketika ayahnya pergi tugas. "Duuh!" Yusuf menggaruk rambutnya yang tak gatal. Kenapa Balqis malah menangis? Demi menghibur Balqis, Yusuf mengajak adiknya ke luar pagar sambil menunggu bunda mereka pulang."Kita tunggu di luar yuk!" Kini kedua kakak-adik nan comel itu saling bergandengan dan membuka pintu pagar yang hanya diselotkan saja. Sementara Adnan tadi sedang ke kamar mandi. Ia celingukkan mencari dua anak yang dititipkan padanya."Balqis, Yusuf." Adnan menanggil resah. Ia takut terjadi sesuatu pada kedua anak itu, pasti semakin malanglah nasib Ayla. Tidak, ia gak mau membuat teman semasa kuliahnya itu makin
Ayla harus menderita sekali lagi. Karena saat sampai di kantor Fawaz, ia juga mendapatkan berita yang sama. Malah, rekan-rekan Fawaz lainnya mengatakan rasa belasungkawanya. Semakin menambah ciut hati Ayla.Ayla bukan mau seperti ini. Ia ingin mendapatkan kabar jika masih ada harapan untuk Fawaz ditemukan.Namun, yang ia dapat hanya selembar surat keterangan mengatakan suaminya gugur di sana, tanpa pernah melihat wujud sang suami.Jika benar ia sudah tiada, lalu mana jenazahnya. Kenapa mereka juga tidak bisa menemukan dan cuma beberapa bukti berupa sayatan baju Fawaz juga foto TKP yang sudah diblurkan.Atasan Fawaz malah terus menafsirkan akan memberikan uang belasungkawa yang nantinya akan membantu keuangan Ayla. Apa ia fikir, uang bisa menggantikan keberadaan Fawaz di sisi Ayla.Ayla jengah, akhirnya ia meradang. "Saya hanya butuh suami saya pulang. Saya tidak perlu uang itu. Suami saya tidak mungkin pergi begitu saja!" Kia yang di sampingnya berusaha mengelus punggung Ayla. Keter
Kia memperhatikan wajah Pierre intens. Lantas, "Oh ya. Ayok kita ke rumah sakit." Gugup membuat Kia tidak bisa merespon dengan cepat. Ia jadi memandangi punggung pria yang menggendong sahabatnya itu. Dalam hati, Kia sangat takut Ayla marah. 'Ini keadaan di luar kemauanku. Maafin aku, Mbak.' Rapalnya sambil mengcengkram tangan erat.Di sebelah kantor ada rumah istirahat atau home base. Dilengkapi dengan obat-obatan. Bisa dibilang itu tempat pemulihan jika ada yang terluka saat latihan. Tadinya, Pierre mau membawa Ayla ke rumah sakit. Tapi akhirnya ia memutuskan membawa ke tempat yang lebih dekat.Pierre merasa, bebannya begitu berat saat ia menggendong Ayla. Bukan karena Ayla wanita yang gemuk, tetapi ia merasa tak sanggup berdekatan dengan orang yang mengingatkannya pada Fawaz. Dibandingkan kesedihan mendalam karena ditinggal Fawaz, Pierre lebih takut dirinya sangat dibenci semua orang hingga ia tidak layak menampakkan wajahnya lagi.Ia sampai tidak bisa makan dan tidur. Namun, si
Balqis menoleh ke arah Pierre. Bibirnya tersenyum spontan. "Paman temennya ayah,ya?" Pierre mengangguk dan menghampiri Balqis. "Terus ayah ke mana?" tanya Balqis lagi disertai celingukkan."Ayah... ayah. Masih ada urusan dan belum bisa pulang," ujarnya jadi lancar berbohong. Bukan itu maksudnya, hanya ia gak bisa menyakiti gadis sekecil ini.Balqis makin kecewa tapi ia berusaha meredamnya. "Paman boleh bilangin ayah gak supaya cepet pulang. Aqis kan mau main sama ayah... ." "Iyah. Nanti Paman sampaikan." Satu kebohongan akan mendatangkan kebohongan lain. Tapi ia berjanji demi sebuah senyum manis Balqis. Demi dirinya agar semakin kuat mencari keberadaan Fawaz. Demi keluarga kecil ini jadi bahagia kembali. Pierre terjongkok. Matanya menatap Balqis penuh arti.Tanpa diminta, Balqis memeluk leher kokoh Pierre. Entah mengapa ia ingin melakukan itu. Seolah hati kecilnya mengetahui lelaki dewasa ini butuh pelukkan. Pierre tercengan. Dadanya terasa sakit tapi airmata enggan untuk ke l
"Assalamuaikum!" Pak Majid mengucap salam ke pria kurus itu. Mantri Yanto segera menyambutnya. "Walaikumsalam." Ia mempersilahkan pak Majid duduk. "Begini. Saya datang karena perlu bantuan. Apa bisa pak Mantri ke rumah saya?" Mantri Yanto memasang wajah bingung. Pak Majid hampir tidak pernah memanggilnya. Lantas, ada apa gerangan. Apa Nimas sakit?"Ada apa dengan Nimas?" "Oh. Nimas baik-baik saja," jawab pak Majid. Tetapi makin membingungkan mantri Yanto. "Terus?!" Pak Majid mendekatkan dirinya. "Ada seseorang yang perlu bantuan!" Bahkan jika dia pencuri yang lari dari kejaran polisi, dia harus tetap dibantu. Lebih gila lagi, andai lelaki itu teroris yang sedang menjalankan misinya di hutan, dia masih layak ditolong. Sebab, setiap detik mungkin bisa saja mengantarkan seseorang pada hidayah Allah. "Siapa dia?!" ***"Letda Pierre. Kamu sudah menyadari kesalahan?!" "Siap Kapten. Saya sudah menyalahi amanat negara. Menukar posisi saya dengan sersan mayor, Irsyal!" "Dan sekarang
"Juragan. Gakpapa?!" "Apa kamu!" Emosi membuat pak Rudi membentak bawahannya. Ia sejak tadi terlihat gelisah, jadi salah satu ajudan memberanikan diri bertanya. Tapi malah omelan yang didapati. "Kamu tadi juga lihat sendiri,'kan. Pak Majid itu sedang cari gara-gara sama saya. Mana mungkin saya membiarkannya. Dia fikir, sehebat apa dia!" Dengan tangan di letakkan di pinggul pak Rudi semakin meradang. Sang ajudan mengangguk-angguk maksum. "Terus kita mau ngapain Juragan?" Kini tidak ada suara yang ke luar dari bibir, hanya senyum smirk seakan puas dengan misi yang tersusun di otak liciknya. "Sudahlah. Kamu cuma perlu ikuti perintahku!" Pak Rudi mengabaikan sang ajudan.*"Siapa dia?" Mantri Yanto sangat ingin tau siapa orang mesti ditolong sampai pak Majid terlihat begitu gelisah. Pak Majid beralasan lelaki itu warga desa sebelah dan saat ini butuh bantuan karena jatuh di jurang kecil."Kalau gitu kasihkan ini dulu. Ini ada beberapa obat yang bisa bapak kasih ke orang itu. Nanti se
"Itu obat untuk siapa?!" Pak Majid menarik bungkusan obat. Cukup diakui kejelian mata pak Rudi mengenali beberapa bungkus obat. Dengan senyum smirknya ia bertanya lagi."Pak Majid sakit? Atau anak bapak?!" Mendengar itu, Nimas segera ke luar. Entah mengapa ia merasa ia harus ikut campur. Di sini, siapapun yang sakit seakan dijauhkan dan diperlakukan seakan hama."Enggak. Abi sama aku sehat." Pak Majid menoleh ke anaknya. Bukannya malah aneh punya obat --kebetulan bisa dikatakan cukup langka di desa ini--disaat mereka sedang tidak sakit. Pak Majid mendesah kecewa di dalam hati. Nimas memperhatikan reaksi abinya jadi tertunduk. Nimas tau dirinya salah mengatakan hal itu."Oh, jadi pak Majid meminta obat begitu saja?" Bagai memakan buah simalakama. Jika ia mengaku sakit, bisa saja dipelintir sebagai biang wabah. Tapi tidak jujur pun pasti salah. Sementara, pak Majid belum mau mengatakan keberadaan Fawaz di rumahnya.Ia hanya berharap mantri Yanto tidak datang cepat. Pasti kehadiran
Pierre melanjutkan langkah. Memeluk tubuhnya yang merasa hampa, sepi dan sendiri. Di rongga dadanya terasa masih ada yang kurang. Lantas, Pierre pergi ke tempat kenalannya, Harvey. Dia seorang psikolog yang selama ini menangani kasus Pierre. Harvey cukup memahami kondisi Pierre. Mungkin itu juga yang membuat keduanya bisa berteman. Lebih tepatnya, Harvey yang menganggap begitu. Sementara Pierre, begitu sulit mengatakan seseorang adalah temannya. Kelainannya disebut, mutuisme selektif. Atau yang lebih dikenal bisu selektif. Sebuah ketidak mampuan seseorang berbicara secara cermat dalam situasi tertentu, padahal ia tidak memiliki keterbatasan dalam berkomunikasi. Bisu selektif, bisa karena tekanan, gangguan kecemasan, bahkan trauma. Pierre memahami dirinya berbeda adalah saat pemakaman ibunya. Ternyata ia punya kesulitan bicara dengan orang lain. Barulah setelah ia terapi rutin. Pierre mulai mendapat kemampuannya lagi untuk menyusun kata menjadi kalimat."Bagaimana Kabarmu, Pierre