Pierre kembali ke barak setelah malam begitu larut. Saat ini ia sudah bisa jauh lebih tenang. Berada terus dalam bahaya, membuat Pierre bisa menertralkan perasaan takutnya dan fokus pada tujuan utama. Hal yang mesti ia lakukan, yaitu cepat melaporkan hilangnya Fawaz. Jujur, dalam hatinya terselip harapan besar jika Fawaz masih bisa selamat. Menyakini keajaiban membawa temannya kembali ke hadapannya. Dan mereka bisa pulang bersama-sama.
Pierre mengangkat alat komunikasi itu. Digoyangkan sebentar. Setelah yakin tidak rusak, ia mulai memakainya dan berharap kali ini direspon."Halo.., halo. Dengan Letnan dua Pierre. Saya ingin melaporkan, bahwa Letnan satu Fawaz menghilang di titik kordinat 10.3 arah timur."Nafasnya masih tak beraturan. Malah ia juga merapatkan netranya karena rasanya hal itu masih menyesakkan rongga dada juga tidak bisa diterima oleh nalar."Halo, halo.., ada yang mendengar?" ulang Pierre. Suaranya mendapat tanggapan, sepertinya ada seseorang yang mencoba mengangkat panggilan."Halo dengan Sersan Mayor, Irsyal," jawab Irsyal. Ia adalah sahabat Fawaz sekaligus bawahan Pierre. Ialah yang seharusnya bertugas bersama Fawaz tetapi karena Irsyal sakit, ketika baru sampai di sini, sedang Fawaz membutuhkan rekan yang kuat, jadilah Pierre dan ia bertukar peran. Irsyal menjaga daerah yang lebih dekat dengan jalan bersama Bima, sesama Letnan Dua."Halo Mas Irsyal, ini aku Pierre. Mas Fawaz menghilang, Mas," ucapnya lagi sambil melap keringat yang menetes dari dahinya.Irsyal yang berada di seberang telepon jadi berdiri. "Apa kamu bilang?!" Ia membentak dengan amarah. Kenapa ini bisa terjadi dan kenapa harus Fawaz? Ia sadar, jika Fawaz sampai tidak bisa ditemukan. Semua orang akan tau, dirinya dan Pierre bertukar lokasi. Tentu itu bukan hal yang bagus untuk kariernya."Bagaimana bisa?!" Walau jabatan Pierre lebih tinggi tetapi secara usia, ia jauh lebih muda ketimbang Irsyal dan sejak dulu, Pierre tidak pernah menunjukkan kekuasaan. Maka dari itu Irsyal dengan mudah menekannya.Pierre tidak bisa lagi mengelak dari pertanyaan- pertanyaan menyudutkannya. Bahkan jika semua kesalahan berusaha ditimpakan kepadanya. Pierre merasa dirinya pantas mendapatkan itu semua. Kata cacian terlontar dari mulut Irsyal. Tapi anehnya Pierre tidak sakit hati. Ia malah memasukkan kata-kata itu ke palung sukmanya dan malah ikut menyalahkan diri sendiri.***Pencarian dimulai. Semua regu disatukan guna membantu pencarian Fawaz, rekan kerja yang sudah seperti keluarga sendiri. Sepanjang mencari, Pierre sama sekali tidak dilibatkan. Ia terus mendapat tatapan sinis dari yang lain."Kenapa kamu baru bilang sekarang?" Marah Irsyal lagi sembari mencengkram kerah baju Pierre.Dia marah bukan cuma untuk Fawaz. Tapi buat dirinya sendiri. Tapi apa Irsyal bisa mengatakan itu di sini dan dalam kondisi seperti ini? Tidak! Dan opsi menyalahkan Pierre nyatanya membuat ia merasa lebih baik.Pierre terdiam dengan tatapan nanar. Ia tidak ingin mengatakan bahwa sebelumnya ia juga sudah menelpon pusat. Hanya saja, tak ada yang menanggapi permohonannya.Dari jauh, Bima melirik Pierre dengan perasaan gelisah. Ia takut seandainya Pierre mengatakan yang sebenarnya kalau dirinya sempat menerima panggilan itu. Bima yakin, Pierre mengenali suaranya.Bisa di musuhi dengan yang lain seandainya saja Pierre berkata yang sejujurnya.'Tidak, orang londo itu tidak akan pernah berani buka suara. Aku yakin itu,' senandika Bima dalam hati."Sudah.., sudah." Yunus datang menengahi. Bukannya karena ia juga tidak marah pada Pierre. Tetapi, saat ini yang terpenting adalah terus melakukan observasi hutan demi menemukan Fawaz secepatnya sebelum hari berganti malam. Ia takut jika bintang-bintang itu sudah mencabik tubuh Fawaz tanpa tersisa.Yunus menatap Pierre penuh kebencian, dalam hati ia merasa apakah semua ini memang kesengajaan dari Pierre agar ia bisa naik jabatan dengan mudah? Entah, hanya Pierre yang mengetahui niatannya. Kebetulan posisinya sebagai bawahan Fawaz membuatnya dengan mudah dicurigai siapa pun.Pierre menarik bajunya dan membetul kan lencana miliknya. Melihat itu, Irsyal melerai pegangan dan terdiam. Dia tidak menyangka, satu gerakan Pierre sudah mampu menyadarkan posisinya.'Mas Bima sejak tadi memperhatikan aku.' Suara hati Pierre. Meski diam, tapi bukan berarti ia tidak sadar pandangan orang terhadapnya. Ia tahu kenapa Bima terus menatapnya, tak lain karena Bima takut Pierre bilang kepada semua orang tentang kejadian yang sebenarnya dan sayangnya ia bukan anak kecil yang suka mengadu. Apalagi sesuatu yang tidak mendasar dan minim barang bukti. Pierre bukan orang bodoh yang menjerumuskan dirinya makin dalam dikabut prasangka. Baginya diam adalah solusi.Bicara saat ini, cuma akan menimbulkan kesitegangan sesama regu. Sedang, pencarian Fawaz masih jadi yang utama.Dan di mata Pierre, Irsyal begitu karena dia sangat menghormati Fawaz. Pierre tidak mengambil tindakan tegas dan mencoba memaklumi sikap Irsyal itu.Tatapan kecewa begitu terasa, resah dan gelisah kehilangan sahabat terdekat yang membuatnya gelap mata. Bagi Pierre, Irsyal adalah orang yang tidak bisa menutupi suasana hatinya. Ia terlalu ekspresif dan sebenarnya itu tidak begitu baik. Ia bisa langsung marah hanya dengan melihat satu sisi tanpa mengonfirmasi keabsahannya.Sedang Yunus, orang yang paling ditua,'kan. Sifatnya tegas dan tidak mudah percaya pada orang lain. Lagipula Pierre tidak tertarik membuat ia percaya padanya.***Praangg!!Ayla terjongkok seraya membersihkan pecahan piring. Tapi tiba-tiba saja pecahan piring itu melukai tangannya"Auuww..," ringisnya seorang diri. Ia merasa ada sesuatu hal yang terjadi. Namun.., buru-buru Ayla tepis. Ia tidak mau berburuk sangka akan takdir. Lagipula mempercayai firasat seperti itu bukanlah gayanya. Ia hanya percaya pada takdir Allah yang maha kuasa."Ya Allah, lindungilah suami hamba," harapnya, bergumam penuh kesungguhan. Lantas ia memandangi foto suaminya yang masih memakai seragam. Dalam foto itu Fawaz terlihat sangat gagah juga berwibawa. Membuat sudut bibir Ayla terangkat sebab mengagumi suaminya."Bunda.., kenapa?!""Bunda... Bunda!" teriak Yusuf baru pulang sekolah TK. Karena TK-nya dekat, anak itu sudah bisa pulang-pergi sendiri tanpa dijemput. Ayla langsung menyerahkan tangannya untuk disalimi Yusuf.Bunda, Kenapa. Kok piringnya pecah?" tanya Yusuf. Ayla tersenyum."Tadi Bunda gak sengaja mecahin. Ya udah Abang sekarang ganti baju, kita sebentar lagi mau siap-siap makan," titahnya sambil terus mengelus surai Yusuf, anak pertamanya yang begitu mirip dengan Fawaz.Sebelum itu, Yusuf mencengkram baju Ayla."Bun, tadi di sekolah Bu Guru tanya apa cita-cita aku. Aku jawab, aku mau kayak ayah, Bun. Bisa melindungi negara ini dengan kekuatan dan keberanian."Yusuf berucap bangga seraya menaiki tangannya yang ceking. Tingkahnya membuat Ayla terkekeh dan menutup mulutnya dengan telapak."In syaa Allah, Nak. Abang Yusuf bakalan bisa menjadi seperti ayah," katanya meski sebenarnya dalam hati, Ayla kurang setuju. Ia sendiri tidak mampu membayangkan seandainya Yusuf pergi ke daerah rawan bahaya, bisa semen
"Maksudmu, dengan meninggalkan Mas Fawaz bersama hewan liar itu, apa Pier?!" kutip Ayla semakin histeris. Ia mencoba menahan isakkan tetapi derai air matanya terus turun deras. Wajahnya memang tidak ditatap Pierre secara langsung. Tapi kesedihan Ayla telah memutari palung hati pemuda tersebut."Maaf, Mbak." Pierre berucap lirih masih bisa mendengar suara sesenggukkan Ayla dan setelahnya ponsel itu luruh dari tangannya. Pierre tidak lagi kuat menahan rasa bersalah yang menusuk tepat di jantung.Baik Irsyal, Yunus mau pun Bima melihat Pierre dengan pandangan kasihan. Tidak ada lagi mulut-mulut yang berusaha menyalahkannya. Karena mereka tahu, perasaan bersalah sudah terpatri di dalam dada Pierre.***"Ndok.., Ndok!"Seorang pria tua berlari tergopoh. Ia terlihat keberatan sebab sedang menggendong lelaki bertubuh tinggi besar disertai banyaknya darah yang mengalir dari perutnya.Wajahnya hampir tidak bisa lagi di kenali. Luka dan debu seakan menutupi jati dirinya."Ndok.., siap,'kan temp
"Kamu siapa. Kenapa bisa terluka seperti ini?" desis Nimas. Ia melirik ke handuk kecil yang ada di tangannya. Mungkin ia bisa membasuh debu dan helaian daun yang masih menempel di wajah si pria.Nimas melakukan niatan. Jujur perasaannya berdebar karena pertama kali menyentuh pria-walau sebetulnya handuk itulah yang mengenai kulit pria malang itu.Nimas terpaku dengan wajah pria itu. Sudah pasti ia pria tampan. Nimas mengakuinya. Bulu matanya lentik dengan hidung bangir. Aura maskulin juga terlihat meski kini ia masih terbaring lemah. Bibir pucat tidak mengurangi sisi kelakian Fawaz.Nimas bertanya dalam hati. Siapakah nama lelaki itu. Apa gerangan hajat si pria sampai ia berada di hutan ini. Tidak ada tanda-tanda yang bisa ia dapati di tubuh Fawaz. Karena, Fawaz kebetulan sedang tidak memakai seragamnya.Nimas menggeleng setelahnya. Ia tahu, bukanlah waktunya mengurusi semua itu. Tapi gadis itu tetap terpaku. Menyaksikan dalam diam semua kejadian di luar nalar meski kini ia menatap k
"Lo tuh, ya! Dasar sialan!" Kedua tangan Zulaekah sudah menjenggut hijab syar'i yang Ayla kenakan. Walau sudah memperkirakan di awal, tapi Ayla tetap kaget dengan reaksi Zulaekah. Sempat tatapan mereka beradu dan Ayla sadar jika Zulaekah telah terbakar api kebencian. Pijarnya berkobar. Tak peduli melukai keponakan-keponakan kecilnya yang menangis sambil menarik rok Zulaekah."Eama, Eama. Lepaskan Bunda kami!" pekik Yusuf. Tangannya terkepal dan memukul-mukul paha Zulaekah. Ayla semakin bimbang. Ia tak mau Yusuf bersikap tak baik seperti ini. Kadang-kadang orang dewasa bisa bertengkar. Tetapi anak kecil tak seharusnya terlibat. Ayla tak lagi mencoba melerai jambakkan Zulaekah. Dia malah memegang tangan mungil Yusuf. Meminta anak itu berhenti.Karena tarikkan kuat dari Zulaekah. Hijab syar'i itu terbuka semua. Tanpa sengaja aurat atas Ayla terlihat. Kebetulan di sana banyak sodara-sodara Fawaz yang berkumpul. Melihatnya, Samir--calon suami Zulaekah meneteskan air liur. Sungguh, Zulaeka
"Umi, Kak Ayla dan Aa' Fawaz harus kita pisahkan! Nanti, kalau Aa' Fawaz sampai ketemu, dia mesti menceraikan wanita itu!"Amena lantas mengamini ucapan Zulaekah. Anaknya benar. Sudah lama sekali Amena menyarankan Fawaz mentalak Ayla. Tetapi Fawaz tetap bersikukuh mempertahankan Ayla. Tidak puaskah Ayla, karenanya usaha Fawaz naik jabatan harus gagal. Sebab Ayla yang tak suka suaminya mendapat jabatan tinggi dengan cara instan.Padahal om Syarif--paman kandung Fawaz sudah mengusahakannya. Keluarga yang semestinya memberikan dukungan moral pada jiwa Ayla yang kini rapuh malah semakin menambah beban di pundaknya."Aah, gini. Menurut saya. Lebih baik pertunangan ini ditunda saja." Samir menyela pembicaraan. Dan itu membuat Zulaekah mendelik kaget."Apa-apaan sih, Mas?!" sahutnya tak suka. Dia susah mengatakan pada teman-temannya sebentar lagi akan menikah dengan pria lulusan S2 di salah satu universitas ternama. Lalu sekarang semudah itu Samir membatalkan pertunangan mereka. Zulaekah men
Berkali-kali bibirnya mendesah resah. Jika ia mengirim chat agar Pierre kembali besok pagi. Berarti malam ini ia akan terus dihantui rasa penasaran.Akhirnya Ayla menutup mata. Seperti apa yang dikatakan, bahwa niat adalah level pertama dari perjalanan tujuan. Selama ia yakin niatnya baik. Maka, hasil yang ia dapat juga pasti akan baik.Sedang di luar Pierre berjalan ragu. Ia sudah sampai pekarangan rumah Ayla. Berdiri tepat di tempat Fawaz pamit pada Ayla waktu itu. Dalam beberapa hari semua jadi berubah, padahal Pierre sangat mengingat gimana tawa Fawaz. Semua kejailannya, sampai nasihat-nasihat seolah tersiar lagi di telinga. Andai saja waktu itu ia tahu akan seperti ini, mungkin Pierre bakalan menahan kepergiaan Fawaz. Tetapi manusia mana yang bisa mengetahui kejadian masa depan kecuali dengan kehendak Allah.Dipandangi rumah itu. Hampir separuh lampu sudah Ayla matikan karena memang Balqis dan Yusuf tidak suka tidur dalam terang. Pierre kembali mengambil ponsel Fawaz yang ia bawa
Malam ini demam Fawaz semakin menjadi. Dimulai dini hari hingga lembayung senja undur diri. Panasnya belum juga turun. Bila dipegang badannya sudah layak memasak telur saking panasnya.Nimas sendiri bertugas mengompres Fawaz. Gadis itu tidak meninggalkan Fawaz sedikit pun. Ia mengikuti semua apa kata abinya supaya lelaki yang mereka tolong merasa lebih baik. Di samping tempat Fawaz berbaring terdapat banyak olahan tanaman herbal sudah diambil sarinya. Sesekali Nimas memberikan obat-obatan itu ke bibir Fawaz.Nimas ingin memastikan kenyamanan Fawaz. Ia ingin memperlakukan tamunya sebaik mungkin."Hai, kamu harus kuat,ya. Kamu pasti bisa bertahan!" Hibur Nimas. Lelaki itu saja bisa bertahan dari serangan babi hutan pastinya ia juga bisa melewati malam kritisnya.Memang ini adalah rangkaian sakit yang akan diderita seseorang ketika mengalami musibah tanpa mendapat pertolongan secara tepat. Apa yang pak Majid lakukan terlalu cetek. Dengan luka menganga seperti ini semestinya Fawaz langsun
Pierre POVSatu-satunya orang yang menganggapku ada adalah mas Fawaz. Ia memperlakukanku seperti saudara kandung. Merangkul juga sangat percaya padaku.Dulu, sewaktu sekolah aku ingat. Teman-teman meneriakiku sebagai anak haram."Kalau gak punya bapak berarti anak apa?!""Yah, anak haram!" Lantas mereka tertawa riang. Mungkin kata-kata itu sudah mereka lupakan. Tapi masih membekas di hatiku sampai detik ini. Suara sumbang yang membuatku sengaja menutup diri. Aku pun tidak pernah tanya sama ibu di mana ayah. Sampai beliau juga pergi meninggalkanku selamanya.Tersisa hanya aku di sini. Kadang-kadang aku berpikir, apa benar aku anak di luar pernikahan sah. Tapi apa layak istilah itu disematkan padaku. Bahkan aku saja tidak pernah meminta dilahirkan.Kata orang, gak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Sebuah pertemuan dengan seseorang pasti memiliki tujuan. Entah kehadirannya mengubah hidup atau aku yang mengubah hidupnya. Dalam kasusku dengan mas Fawaz terjadi keduanya, mas Fawaz me