"Kamu siapa. Kenapa bisa terluka seperti ini?" desis Nimas. Ia melirik ke handuk kecil yang ada di tangannya. Mungkin ia bisa membasuh debu dan helaian daun yang masih menempel di wajah si pria.
Nimas melakukan niatan. Jujur perasaannya berdebar karena pertama kali menyentuh pria-walau sebetulnya handuk itulah yang mengenai kulit pria malang itu.Nimas terpaku dengan wajah pria itu. Sudah pasti ia pria tampan. Nimas mengakuinya. Bulu matanya lentik dengan hidung bangir. Aura maskulin juga terlihat meski kini ia masih terbaring lemah. Bibir pucat tidak mengurangi sisi kelakian Fawaz.Nimas bertanya dalam hati. Siapakah nama lelaki itu. Apa gerangan hajat si pria sampai ia berada di hutan ini.Tidak ada tanda-tanda yang bisa ia dapati di tubuh Fawaz. Karena, Fawaz kebetulan sedang tidak memakai seragamnya.Nimas menggeleng setelahnya. Ia tahu, bukanlah waktunya mengurusi semua itu. Tapi gadis itu tetap terpaku. Menyaksikan dalam diam semua kejadian di luar nalar meski kini ia menatap korban langsung."Eeuuhh..!" rintihan keluar dari sudut bibir si pria. Nimas gugup, ia mengambil handuk itu lagi dan menekan diluka pria itu."Sakit,ya. Tunggu sebentar. Abi sedang mencarikan obat buat kamu," tutur Nimas resah. Tak tahu harus melakukan apa. Nimas menggengam tangan si pria itu erat. Pun pria itu membalas pegangan Nimas. Ia mencengkram tangan Nimas seakan mencari pegangan dari rasa sakitnya."Sakit... Ahk, sakit!" Fawaz meraung dengan mata terpejam. Dalam tidur menyakitkan itu, ia melihat Ayla menangis di sudut ruang. Ingin sekali Fawaz memeluk sang istri tapi punggung pria lain seolah menghalangi."Sakit. Ahk!" jeritnya makin kencang dan serak. Bahkan kuku-kukunya menancap di tangan kecil Nimas. Nimas mengeratkan gigi merasa sakit, tapi anehnya ia tidak bisa menarik tangannya begitu saja.Nimas tahu, lelaki itu hanya mengekspresikan rasa sakit. Dan ia rela tangannya terluka demi mengurangi rasa sakit itu."Kamu kuat. Aku tahu, kamu bisa bertahan!" Semua kata semangat Nimas ucapkan kepada pria yang baru ia kenal.Tak lama suara langkah kaki menginjak rating kering terdengar. Nimas spontan menoleh. Ia sangat takut jika itu bukan langkah Pak Majid."Nimas. Abi sudah mendapatkannya."Nimas bisa bernafas lega karena ternyata benar abinya. Secepat kilat Nimas menarik tangan dan berdiri."Nimas. Tolong tumbuk dedauan ini semua,ya. Dicampurkan. Cepat, Nak."Nimas menjalani titah sang ayah tanpa banyak tanya. Ia pergi ke dapur dan sebentar saja dedauan herbal itu sudah remuk sehingga siap dipakai."Abi. Kok dia bisa kayak gini, sih?" Nimas sekalian menyerahkan ramuan tanaman itu ke tangan ayahnya.Sembari membalurkan ke luka Fawaz, Pak Majid menceritakan pengalamannya mengapa bisa bertemu pria malang itu."Gini, Ndok. Tadi Abi lagi mengitari hutan area timur. Lantas Abi mendengar suara bising. Untung saja Abi membawa senapan. Apa yang Abi takutkan terbukti. Ada seseorang yang sedang diterkam babi hutan. Langsung saja Abi menghunuskan senapan dan menembak mati babi itu. Dan pria malang ini, Abi bawa ke rumah kita.""Masya Allah, Bi. Jadi dia terluka karena serangan babi hutan?" ulang Nimas tidak percaya. Pantas saja, keadaannya sangat mengenaskan. Ya Nimas. Babi-babi itu sangat brutal sekali. Mungkin karena massa kawin atau karena pria ini mengganggu otoritas mereka. Tapi untungnya Abi belum terlambat. Kau tahu, Nimas. Satu menit saja Abi tidak sampai sana. Pria ini sudah dipastikan tinggal tulang saja."Nimas membulatkan netranya. Kepalanya menggeleng spontan. "Abi jangan bilang gitu. Aku yakin dia bisa selamat, Bi. Mungkin saat ini keluarganya sedang sibuk mencari dia. Dan tugas kita menjaga dia sampai ditemukan," tutur Nimas jadi dewasa. Pak Majid mengangguk maksum. Nimas benar, tak seharusnya dia berputus harapan sementara Yang Maha Penentu bukanlah dirinya.Namun, sekali lagi Nimas benar. Keluarga Fawaz memang sedang mencarinya. Tepatnya kini sedang terpukul atas berita menghilangnya Fawaz.******Meski regu, Pierre dan yang lain belum kembali ke Ibukota. Tetapi, kabar yang Ayla terima sudah sampai ke telinga orangtua Fawaz, Amena.
"Ya Allah, Aa' Fawaz!" Zulaekah terus menangis seraya menyebut nama abang kandungnya.
Sedang ibu mereka-tak lain mertua Ayla pingsan setelah mendengar berita itu.Beliau dibawa ke kamar dan didatangkan dokter keluarga. Ingin Ayla menemani ibu mertuanya itu. Tetapi, kehadirannya saja di keluarga ini adalah satu kesalahan.Bertahun-tahun menikah dengan anak pertamanya tak membuat hati wanita itu terbuka untuk menyayangi Ayla. Terkadang, Ayla merasa kedatangannya tak pernah diharapkan. Bahkan kelahiran Yusuf dan Balqis tidak mampu meluruhkan dinding beton di hati wanita yang telah melahirkan suaminya. Amena tetap merasa bila Ayla membawa sial untuk hidup Fawaz dan kini, dugaan itu semakin terbukti.
Perih itu kini bertambah. Tanpa Fawaz di sisinya. Ayla merasa cacat! Kehampaan menggerogoti naluri. Meski kedua telapaknya memegang tangan Yusuf dan Balqis tapi rasanya masih kurang. Ayla tidak tahu kapan mereka akan menyudutkannya atas hilangnya Fawaz.
Dia seperti berjalan di dinding es yang tipis. Sewaktu-waktu bisa pecah kapan pun hingga menenggelamkannya ke dasar. Meski semua juga bukan salahnya. Apa pernah, Ayla berharap sang suami hilang ketika pergi bertugas. Malah, tiada malam yang dia lalui tanpa bermunajat meminta perlindungan Allah agar Fawaz selamat sampai tujuan. Cuma, karena Ayla terlalu hafal dengan tabiat Zulaekah. Dia yakin sebentar lagi gadis belia itu meronta dan melemparkan kesalahan di bahu Ayla.
Baru saja Ayla terpejam. Zulaekah sudah mendekatinya, menatap nanar ke arah Ayla. Tangannya terkepal siap merenggut hijab yang Ayla gunakan. "Lo tuh, ya! Dasar sialan---"
"Lo tuh, ya! Dasar sialan!" Kedua tangan Zulaekah sudah menjenggut hijab syar'i yang Ayla kenakan. Walau sudah memperkirakan di awal, tapi Ayla tetap kaget dengan reaksi Zulaekah. Sempat tatapan mereka beradu dan Ayla sadar jika Zulaekah telah terbakar api kebencian. Pijarnya berkobar. Tak peduli melukai keponakan-keponakan kecilnya yang menangis sambil menarik rok Zulaekah."Eama, Eama. Lepaskan Bunda kami!" pekik Yusuf. Tangannya terkepal dan memukul-mukul paha Zulaekah. Ayla semakin bimbang. Ia tak mau Yusuf bersikap tak baik seperti ini. Kadang-kadang orang dewasa bisa bertengkar. Tetapi anak kecil tak seharusnya terlibat. Ayla tak lagi mencoba melerai jambakkan Zulaekah. Dia malah memegang tangan mungil Yusuf. Meminta anak itu berhenti.Karena tarikkan kuat dari Zulaekah. Hijab syar'i itu terbuka semua. Tanpa sengaja aurat atas Ayla terlihat. Kebetulan di sana banyak sodara-sodara Fawaz yang berkumpul. Melihatnya, Samir--calon suami Zulaekah meneteskan air liur. Sungguh, Zulaeka
"Umi, Kak Ayla dan Aa' Fawaz harus kita pisahkan! Nanti, kalau Aa' Fawaz sampai ketemu, dia mesti menceraikan wanita itu!"Amena lantas mengamini ucapan Zulaekah. Anaknya benar. Sudah lama sekali Amena menyarankan Fawaz mentalak Ayla. Tetapi Fawaz tetap bersikukuh mempertahankan Ayla. Tidak puaskah Ayla, karenanya usaha Fawaz naik jabatan harus gagal. Sebab Ayla yang tak suka suaminya mendapat jabatan tinggi dengan cara instan.Padahal om Syarif--paman kandung Fawaz sudah mengusahakannya. Keluarga yang semestinya memberikan dukungan moral pada jiwa Ayla yang kini rapuh malah semakin menambah beban di pundaknya."Aah, gini. Menurut saya. Lebih baik pertunangan ini ditunda saja." Samir menyela pembicaraan. Dan itu membuat Zulaekah mendelik kaget."Apa-apaan sih, Mas?!" sahutnya tak suka. Dia susah mengatakan pada teman-temannya sebentar lagi akan menikah dengan pria lulusan S2 di salah satu universitas ternama. Lalu sekarang semudah itu Samir membatalkan pertunangan mereka. Zulaekah men
Berkali-kali bibirnya mendesah resah. Jika ia mengirim chat agar Pierre kembali besok pagi. Berarti malam ini ia akan terus dihantui rasa penasaran.Akhirnya Ayla menutup mata. Seperti apa yang dikatakan, bahwa niat adalah level pertama dari perjalanan tujuan. Selama ia yakin niatnya baik. Maka, hasil yang ia dapat juga pasti akan baik.Sedang di luar Pierre berjalan ragu. Ia sudah sampai pekarangan rumah Ayla. Berdiri tepat di tempat Fawaz pamit pada Ayla waktu itu. Dalam beberapa hari semua jadi berubah, padahal Pierre sangat mengingat gimana tawa Fawaz. Semua kejailannya, sampai nasihat-nasihat seolah tersiar lagi di telinga. Andai saja waktu itu ia tahu akan seperti ini, mungkin Pierre bakalan menahan kepergiaan Fawaz. Tetapi manusia mana yang bisa mengetahui kejadian masa depan kecuali dengan kehendak Allah.Dipandangi rumah itu. Hampir separuh lampu sudah Ayla matikan karena memang Balqis dan Yusuf tidak suka tidur dalam terang. Pierre kembali mengambil ponsel Fawaz yang ia bawa
Malam ini demam Fawaz semakin menjadi. Dimulai dini hari hingga lembayung senja undur diri. Panasnya belum juga turun. Bila dipegang badannya sudah layak memasak telur saking panasnya.Nimas sendiri bertugas mengompres Fawaz. Gadis itu tidak meninggalkan Fawaz sedikit pun. Ia mengikuti semua apa kata abinya supaya lelaki yang mereka tolong merasa lebih baik. Di samping tempat Fawaz berbaring terdapat banyak olahan tanaman herbal sudah diambil sarinya. Sesekali Nimas memberikan obat-obatan itu ke bibir Fawaz.Nimas ingin memastikan kenyamanan Fawaz. Ia ingin memperlakukan tamunya sebaik mungkin."Hai, kamu harus kuat,ya. Kamu pasti bisa bertahan!" Hibur Nimas. Lelaki itu saja bisa bertahan dari serangan babi hutan pastinya ia juga bisa melewati malam kritisnya.Memang ini adalah rangkaian sakit yang akan diderita seseorang ketika mengalami musibah tanpa mendapat pertolongan secara tepat. Apa yang pak Majid lakukan terlalu cetek. Dengan luka menganga seperti ini semestinya Fawaz langsun
Pierre POVSatu-satunya orang yang menganggapku ada adalah mas Fawaz. Ia memperlakukanku seperti saudara kandung. Merangkul juga sangat percaya padaku.Dulu, sewaktu sekolah aku ingat. Teman-teman meneriakiku sebagai anak haram."Kalau gak punya bapak berarti anak apa?!""Yah, anak haram!" Lantas mereka tertawa riang. Mungkin kata-kata itu sudah mereka lupakan. Tapi masih membekas di hatiku sampai detik ini. Suara sumbang yang membuatku sengaja menutup diri. Aku pun tidak pernah tanya sama ibu di mana ayah. Sampai beliau juga pergi meninggalkanku selamanya.Tersisa hanya aku di sini. Kadang-kadang aku berpikir, apa benar aku anak di luar pernikahan sah. Tapi apa layak istilah itu disematkan padaku. Bahkan aku saja tidak pernah meminta dilahirkan.Kata orang, gak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Sebuah pertemuan dengan seseorang pasti memiliki tujuan. Entah kehadirannya mengubah hidup atau aku yang mengubah hidupnya. Dalam kasusku dengan mas Fawaz terjadi keduanya, mas Fawaz me
"Assalamuaikum." Ummi Kia yang tak lain tetangga Ayla bertandang ke rumah wanita itu. Mereka terbiasa saling berkunjung seperti sekarang ini. Kata Ummi sendiri merupakan sebuah panggilan akrab Balqis dan Yusuf, karena wanita dua puluh enam tahun yang Ayla sudah anggap seperti adik sendiri diketahui belum juga dikaruniai anak meski sudah lama menikah. Beruntung suaminya, Adnan tidak mempersoalkan. Baginya, mereka bisa mengasihi anak siapa pun meski bukan anak kandung mereka sendiri. Dari sanalah Kia begitu akrab dengan Ayla berikut anak-anaknya.Seraya membawa hasil masakannya, ia masuk ke rumah Ayla seperti biasa. Kia tertegun waktu melihat Ayla tersedu, terasa begitu rapuh padahal Ayla yang Kia kenal adalah wanita yang tangguh."Astagfirullah, kenapa, Mbak?!" Kepala Ayla ditumpuh oleh tangan dan suara sesenggukkannya terdengar sampai ruang tamu.Kia meletakkan piring ke meja, kemudian merangkul Balqis yang takut, sembari mengangkat wajah Ayla dengan tangan satunya lagi."Mbak kenapa
"Abang, bunda ke mana,ya?" Balqis terlihat gelisah. Matanya sudah berkabut kesedihan. Sebagai kakak, Yusuf mengelus surai Balqis sayang."Cup.., cup.., Dek. Kata Om Adnan, bunda lagi pergi sebentar sama ummi," ucapnya dengan nada menghibur tapi justru Balqis semakin nyaring tangisnya."Kok aku gak diajak!" Ia kecewa. Biasanya bunda mereka tidak pernah meninggalkan. Apalagi ketika ayahnya pergi tugas. "Duuh!" Yusuf menggaruk rambutnya yang tak gatal. Kenapa Balqis malah menangis? Demi menghibur Balqis, Yusuf mengajak adiknya ke luar pagar sambil menunggu bunda mereka pulang."Kita tunggu di luar yuk!" Kini kedua kakak-adik nan comel itu saling bergandengan dan membuka pintu pagar yang hanya diselotkan saja. Sementara Adnan tadi sedang ke kamar mandi. Ia celingukkan mencari dua anak yang dititipkan padanya."Balqis, Yusuf." Adnan menanggil resah. Ia takut terjadi sesuatu pada kedua anak itu, pasti semakin malanglah nasib Ayla. Tidak, ia gak mau membuat teman semasa kuliahnya itu makin
Ayla harus menderita sekali lagi. Karena saat sampai di kantor Fawaz, ia juga mendapatkan berita yang sama. Malah, rekan-rekan Fawaz lainnya mengatakan rasa belasungkawanya. Semakin menambah ciut hati Ayla.Ayla bukan mau seperti ini. Ia ingin mendapatkan kabar jika masih ada harapan untuk Fawaz ditemukan.Namun, yang ia dapat hanya selembar surat keterangan mengatakan suaminya gugur di sana, tanpa pernah melihat wujud sang suami.Jika benar ia sudah tiada, lalu mana jenazahnya. Kenapa mereka juga tidak bisa menemukan dan cuma beberapa bukti berupa sayatan baju Fawaz juga foto TKP yang sudah diblurkan.Atasan Fawaz malah terus menafsirkan akan memberikan uang belasungkawa yang nantinya akan membantu keuangan Ayla. Apa ia fikir, uang bisa menggantikan keberadaan Fawaz di sisi Ayla.Ayla jengah, akhirnya ia meradang. "Saya hanya butuh suami saya pulang. Saya tidak perlu uang itu. Suami saya tidak mungkin pergi begitu saja!" Kia yang di sampingnya berusaha mengelus punggung Ayla. Keter