Share

Ditolong Orang

"Maksudmu, dengan meninggalkan Mas Fawaz bersama hewan liar itu, apa Pier?!" kutip Ayla semakin histeris. Ia mencoba menahan isakkan tetapi derai air matanya terus turun deras. Wajahnya memang tidak ditatap Pierre secara langsung. Tapi kesedihan Ayla telah memutari palung hati pemuda tersebut.

"Maaf, Mbak." Pierre berucap lirih masih bisa mendengar suara sesenggukkan Ayla dan setelahnya ponsel itu luruh dari tangannya. Pierre tidak lagi kuat menahan rasa bersalah yang menusuk tepat di jantung.

Baik Irsyal, Yunus mau pun Bima melihat Pierre dengan pandangan kasihan. Tidak ada lagi mulut-mulut yang berusaha menyalahkannya. Karena mereka tahu, perasaan bersalah sudah terpatri di dalam dada Pierre.

***

"Ndok.., Ndok!"

Seorang pria tua berlari tergopoh. Ia terlihat keberatan sebab sedang menggendong lelaki bertubuh tinggi besar disertai banyaknya darah yang mengalir dari perutnya.

Wajahnya hampir tidak bisa lagi di kenali. Luka dan debu seakan menutupi jati dirinya.

"Ndok.., siap,'kan tempat tidur!" Suruh Pak Majid kepada anaknya Nimas, gadis 24 tahun yang tidak pernah pergi ke mana pun kecuali ke ladang. Bahkan Nimas tidak pernah bertemu lelaki lain selain ayahnya itu.

Pak Majid memang selalu melarangnya mengikuti kegiatan warga dengan alasan takut anaknya tersesat ataupun diculik. Kata lain, Nimas adalah harta berharga yang sangat dijaganya. Disimpan rapat sebab tidak ingin anak itu rapuh termakan perkembangan zaman.

Namun kali ini, pria tua itu malah membawa pulang seorang pria tampan meski pria itu berada diantara hidup dan matinya.

"Iyah, Bi!" Gegas Nimas merapikan dipan terbuat dari kayu mulai lapuk dimakan rayap sehingga ketika diduduki muncul suara seperti hendak patah.

Nimas membeberkan kain jarik motif kotak-kotak. Lantas mundur beberapa langkah demi memberi ruang ayahnya meletakkan beban yang sejak tadi menggelandoti pundaknya dengan hati-hati. Ketika pria itu telah terbaring di atas peraduan. Nimas segera menutup mulutnya.

"Astagfirullah!" pekik Nimas. Matanya melotot tidak percaya dengan pemandangan di depan matanya.

"Abi. Dia kenapa?"

Pak Masjid tidak menjawab. Bibirnya terus merancau kalimat istighfar dengan tangan sibuk merebahkan pria malang itu, agar tidurnya nyaman.

"Bawakan air hangat, Nimas. Cepat!" Kali ini hanya itu yang mereka punya. Mustahil membawa pria malang itu keluar hutan menuju rumah sakit terdekat dengan keadaan separah ini. Andai ia nekat, yang ada pria itu cuma akan menghembuskan nafas terakhirnya sebelum sampai rumah sakit. Rumah sakit terdekat yang mereka maksud terletak sekitar satu kilometer dari sini. Perlu berjalan kaki menyusuri hutan rimba dengan segala rintangannya. Maka dari itu para warga lebih memilih membawa sanak saudaranya yang sakit ke mantri atau dukun beranak sesuai kebutuhan. Tapi sore ini, Pak Majid juga tidak bisa membawa pria malang itu ke Mantri Yanto.

Karena beliau sedang pergi ke ibukota. Pun biasanya para warga sudah diberitahu jauh hari. Untuk mengantisipasi jikalau ada anggotanya yang perlu bantuan segera. Tapi kali ini keadaan di luar perkiraan. Ada seorang pria yang tidak mereka kenal terluka begitu parah. Ia luput dari pantauan sesepuh kampung untuk dilist. Karena memang pria itu bukan bagian dari kampung ini.

Sedang mengabaikannya di tengah hutan juga tidak dibenarkan. Maka, satu-satunya cara yaitu nekat memberi pertolongan sendiri.

Peluh membasahi dahi Pak Majid. Handuk kecil yang ia pakai untuk melap darah pria itu kini sepenuhnya telah bernoda darah. Berulang kali ia memasukkan handuk kecil ke dalam bak berisi air hangat dan mengulang basuhannya sampai terlihat luka mengangga di perut pria itu.

"Eeggh!" Nimas menyerit ngeri. Tubuhnya merinding seakan ada hantu lewat. Ia tidak kuasa waktu melihatnya. Meski tidak sampai ke rongga dalam tapi tetap luka itu begitu lebar dan panjang.

"Hah." Pak Majid menghembuskan nafas seraya menyesali kelengkapan kampung. Berhubung tempat ini hanya diisi beberapa kepala keluarga saja. Maka, para tetua menganggap tidak perlu sampai membangun sebuah klinik. Itu akan terlihat sia-sia, bukan?

"Seharusnya Pak Rudi mau membangun klinik terdekat. Lahan warga,'kan masih banyak." Pak Majid merancau. Pembangunan klinik adalah idenya. Tetapi langsung dipatahkan Pak Rudi, selaku tetua desa.

"Abi. Udah," rancau Nimas memegangi bahu ayahnya. Ia terjongkok di samping Pak Majid. Mengelus keringat yang muncul di dahi ayah yang merupakan segalanya untuknya.

"Nimas. Abi mau mencari tanaman herbal untuk menghentikan pendarahan. Kamu terus jaga dia. Jika darahnya keluar lagi langsung dibersihkan. Abi takut ada hewan liar lain yang merasa terpanggil dengan bau anyirnya."

Sebenarnya ia segan meninggalkan lelaki itu bersama Nimas. Ia takut ada hewan predator yang mendekat dan ingin melahap pria tak berdaya itu. Tentunya Nimas tidak bisa banyak menghalau. Tapi menyuruh Nimas mencari tanaman bandotan juga sangat berbahaya.

Akhirnya Pak Majid memutuskan biar ia melakukan pekerjaan itu secepat mungkin.

Pak Majid tahu apa yang ingin ia cari. Sebuah tanaman bandotan diketahui mengandung senyawa asam amino yang bisa mengobati luka berdarah. Tak hanya itu, ia juga mencari tanaman obat-obatan lain guna meredakan rasa sakit dari luka. Mungkin pria itu tidak bisa tidur tenang menahan perih. Tapi Pak Majid bisa pastikan ia akan mengurangi rasa nyerinya.

Sebagai orang asli sini, pak Majid tahu di mana tanaman itu banyak tumbuh. Dan setahunya, tidak ada pemiliknya.

Ia gegas ke sana. Senapan laras panjang masih ada di pundak. Jaga-jaga seandainya ada serangan hewan lain.

Sisi Nimas, setelah ditinggal ayahnya. Ia memandang pria asing itu dengan detail. Tangannya membelai wajah pria asing takut-takut.

Setiap kali ia mencoba menjulurkan tangan. Akan selalu timbul keraguan.

"Kamu siapa. Kenapa bisa terluka seperti ini?" desis Nimas. 

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status