Berkali-kali bibirnya mendesah resah. Jika ia mengirim chat agar Pierre kembali besok pagi. Berarti malam ini ia akan terus dihantui rasa penasaran.Akhirnya Ayla menutup mata. Seperti apa yang dikatakan, bahwa niat adalah level pertama dari perjalanan tujuan. Selama ia yakin niatnya baik. Maka, hasil yang ia dapat juga pasti akan baik.Sedang di luar Pierre berjalan ragu. Ia sudah sampai pekarangan rumah Ayla. Berdiri tepat di tempat Fawaz pamit pada Ayla waktu itu. Dalam beberapa hari semua jadi berubah, padahal Pierre sangat mengingat gimana tawa Fawaz. Semua kejailannya, sampai nasihat-nasihat seolah tersiar lagi di telinga. Andai saja waktu itu ia tahu akan seperti ini, mungkin Pierre bakalan menahan kepergiaan Fawaz. Tetapi manusia mana yang bisa mengetahui kejadian masa depan kecuali dengan kehendak Allah.Dipandangi rumah itu. Hampir separuh lampu sudah Ayla matikan karena memang Balqis dan Yusuf tidak suka tidur dalam terang. Pierre kembali mengambil ponsel Fawaz yang ia bawa
Malam ini demam Fawaz semakin menjadi. Dimulai dini hari hingga lembayung senja undur diri. Panasnya belum juga turun. Bila dipegang badannya sudah layak memasak telur saking panasnya.Nimas sendiri bertugas mengompres Fawaz. Gadis itu tidak meninggalkan Fawaz sedikit pun. Ia mengikuti semua apa kata abinya supaya lelaki yang mereka tolong merasa lebih baik. Di samping tempat Fawaz berbaring terdapat banyak olahan tanaman herbal sudah diambil sarinya. Sesekali Nimas memberikan obat-obatan itu ke bibir Fawaz.Nimas ingin memastikan kenyamanan Fawaz. Ia ingin memperlakukan tamunya sebaik mungkin."Hai, kamu harus kuat,ya. Kamu pasti bisa bertahan!" Hibur Nimas. Lelaki itu saja bisa bertahan dari serangan babi hutan pastinya ia juga bisa melewati malam kritisnya.Memang ini adalah rangkaian sakit yang akan diderita seseorang ketika mengalami musibah tanpa mendapat pertolongan secara tepat. Apa yang pak Majid lakukan terlalu cetek. Dengan luka menganga seperti ini semestinya Fawaz langsun
Pierre POVSatu-satunya orang yang menganggapku ada adalah mas Fawaz. Ia memperlakukanku seperti saudara kandung. Merangkul juga sangat percaya padaku.Dulu, sewaktu sekolah aku ingat. Teman-teman meneriakiku sebagai anak haram."Kalau gak punya bapak berarti anak apa?!""Yah, anak haram!" Lantas mereka tertawa riang. Mungkin kata-kata itu sudah mereka lupakan. Tapi masih membekas di hatiku sampai detik ini. Suara sumbang yang membuatku sengaja menutup diri. Aku pun tidak pernah tanya sama ibu di mana ayah. Sampai beliau juga pergi meninggalkanku selamanya.Tersisa hanya aku di sini. Kadang-kadang aku berpikir, apa benar aku anak di luar pernikahan sah. Tapi apa layak istilah itu disematkan padaku. Bahkan aku saja tidak pernah meminta dilahirkan.Kata orang, gak ada yang namanya kebetulan di dunia ini. Sebuah pertemuan dengan seseorang pasti memiliki tujuan. Entah kehadirannya mengubah hidup atau aku yang mengubah hidupnya. Dalam kasusku dengan mas Fawaz terjadi keduanya, mas Fawaz me
"Assalamuaikum." Ummi Kia yang tak lain tetangga Ayla bertandang ke rumah wanita itu. Mereka terbiasa saling berkunjung seperti sekarang ini. Kata Ummi sendiri merupakan sebuah panggilan akrab Balqis dan Yusuf, karena wanita dua puluh enam tahun yang Ayla sudah anggap seperti adik sendiri diketahui belum juga dikaruniai anak meski sudah lama menikah. Beruntung suaminya, Adnan tidak mempersoalkan. Baginya, mereka bisa mengasihi anak siapa pun meski bukan anak kandung mereka sendiri. Dari sanalah Kia begitu akrab dengan Ayla berikut anak-anaknya.Seraya membawa hasil masakannya, ia masuk ke rumah Ayla seperti biasa. Kia tertegun waktu melihat Ayla tersedu, terasa begitu rapuh padahal Ayla yang Kia kenal adalah wanita yang tangguh."Astagfirullah, kenapa, Mbak?!" Kepala Ayla ditumpuh oleh tangan dan suara sesenggukkannya terdengar sampai ruang tamu.Kia meletakkan piring ke meja, kemudian merangkul Balqis yang takut, sembari mengangkat wajah Ayla dengan tangan satunya lagi."Mbak kenapa
"Abang, bunda ke mana,ya?" Balqis terlihat gelisah. Matanya sudah berkabut kesedihan. Sebagai kakak, Yusuf mengelus surai Balqis sayang."Cup.., cup.., Dek. Kata Om Adnan, bunda lagi pergi sebentar sama ummi," ucapnya dengan nada menghibur tapi justru Balqis semakin nyaring tangisnya."Kok aku gak diajak!" Ia kecewa. Biasanya bunda mereka tidak pernah meninggalkan. Apalagi ketika ayahnya pergi tugas. "Duuh!" Yusuf menggaruk rambutnya yang tak gatal. Kenapa Balqis malah menangis? Demi menghibur Balqis, Yusuf mengajak adiknya ke luar pagar sambil menunggu bunda mereka pulang."Kita tunggu di luar yuk!" Kini kedua kakak-adik nan comel itu saling bergandengan dan membuka pintu pagar yang hanya diselotkan saja. Sementara Adnan tadi sedang ke kamar mandi. Ia celingukkan mencari dua anak yang dititipkan padanya."Balqis, Yusuf." Adnan menanggil resah. Ia takut terjadi sesuatu pada kedua anak itu, pasti semakin malanglah nasib Ayla. Tidak, ia gak mau membuat teman semasa kuliahnya itu makin
Ayla harus menderita sekali lagi. Karena saat sampai di kantor Fawaz, ia juga mendapatkan berita yang sama. Malah, rekan-rekan Fawaz lainnya mengatakan rasa belasungkawanya. Semakin menambah ciut hati Ayla.Ayla bukan mau seperti ini. Ia ingin mendapatkan kabar jika masih ada harapan untuk Fawaz ditemukan.Namun, yang ia dapat hanya selembar surat keterangan mengatakan suaminya gugur di sana, tanpa pernah melihat wujud sang suami.Jika benar ia sudah tiada, lalu mana jenazahnya. Kenapa mereka juga tidak bisa menemukan dan cuma beberapa bukti berupa sayatan baju Fawaz juga foto TKP yang sudah diblurkan.Atasan Fawaz malah terus menafsirkan akan memberikan uang belasungkawa yang nantinya akan membantu keuangan Ayla. Apa ia fikir, uang bisa menggantikan keberadaan Fawaz di sisi Ayla.Ayla jengah, akhirnya ia meradang. "Saya hanya butuh suami saya pulang. Saya tidak perlu uang itu. Suami saya tidak mungkin pergi begitu saja!" Kia yang di sampingnya berusaha mengelus punggung Ayla. Keter
Kia memperhatikan wajah Pierre intens. Lantas, "Oh ya. Ayok kita ke rumah sakit." Gugup membuat Kia tidak bisa merespon dengan cepat. Ia jadi memandangi punggung pria yang menggendong sahabatnya itu. Dalam hati, Kia sangat takut Ayla marah. 'Ini keadaan di luar kemauanku. Maafin aku, Mbak.' Rapalnya sambil mengcengkram tangan erat.Di sebelah kantor ada rumah istirahat atau home base. Dilengkapi dengan obat-obatan. Bisa dibilang itu tempat pemulihan jika ada yang terluka saat latihan. Tadinya, Pierre mau membawa Ayla ke rumah sakit. Tapi akhirnya ia memutuskan membawa ke tempat yang lebih dekat.Pierre merasa, bebannya begitu berat saat ia menggendong Ayla. Bukan karena Ayla wanita yang gemuk, tetapi ia merasa tak sanggup berdekatan dengan orang yang mengingatkannya pada Fawaz. Dibandingkan kesedihan mendalam karena ditinggal Fawaz, Pierre lebih takut dirinya sangat dibenci semua orang hingga ia tidak layak menampakkan wajahnya lagi.Ia sampai tidak bisa makan dan tidur. Namun, si
Balqis menoleh ke arah Pierre. Bibirnya tersenyum spontan. "Paman temennya ayah,ya?" Pierre mengangguk dan menghampiri Balqis. "Terus ayah ke mana?" tanya Balqis lagi disertai celingukkan."Ayah... ayah. Masih ada urusan dan belum bisa pulang," ujarnya jadi lancar berbohong. Bukan itu maksudnya, hanya ia gak bisa menyakiti gadis sekecil ini.Balqis makin kecewa tapi ia berusaha meredamnya. "Paman boleh bilangin ayah gak supaya cepet pulang. Aqis kan mau main sama ayah... ." "Iyah. Nanti Paman sampaikan." Satu kebohongan akan mendatangkan kebohongan lain. Tapi ia berjanji demi sebuah senyum manis Balqis. Demi dirinya agar semakin kuat mencari keberadaan Fawaz. Demi keluarga kecil ini jadi bahagia kembali. Pierre terjongkok. Matanya menatap Balqis penuh arti.Tanpa diminta, Balqis memeluk leher kokoh Pierre. Entah mengapa ia ingin melakukan itu. Seolah hati kecilnya mengetahui lelaki dewasa ini butuh pelukkan. Pierre tercengan. Dadanya terasa sakit tapi airmata enggan untuk ke l