Hasya merenung, ia mengingat kembali kejadian semalam dimana ia menemukan seorang pria dalam keadaan babak belur di parkiran club malam. Ia penasaran bagaimana keadaan pria itu sekarang, sayang sekali ia lupa menanyakan siapa nama pria itu. tapi hasya yakin pria itu bekerja di kantor yang sama dengannya.
Ah, tidak mungkin dia masuk ke kantor dalam keadaan penuh luka-luka di wajahnya, batin Hasya.
“Whoi!”
Hasya tersentak dari lamunannya, ia menoleh ke depan dan mata coklat Nico kini sedang menatapnya aneh. “Apa?” tanya Hasya dengan polosnya.
“Apanya yang apa?” sewot Nico, “tadi kubilang sebaiknya kau di sini saja, tidak usah ikut-ikutan proyek!”
Hasya mendengus, “Kak Nico bagaimana, sih? Kakak kan tahu aku tidak suka lama di dalam ruangan!” timpalnya lebih jutek.
“Proyek itu tidak cocok buat perempuan ….” lanjut Nico.
“Ah, aku tetap mau meliha
Raihan begitu panik melihat Bily yang kini tampak begitu mengenaskan dan tak berdaya. Wajahnya penuh lebam dan luka serta ada banyak darah kering mengotori dagu dan pelipisnya hingga ada noda darah di kemeja putihnya. Dengan gemetaran Raihan mengangkat tangannya untuk meraih wajah Bily, ekspresinya begitu prihatin dan menatap tanya, ada apa gerangan yang menyebabkan Bily seperti ini?“Siapa yang sudah melakukan ini?” suara Raihan terdengar parau.“… Raihan ...” Suara Bily terdengar begitu lirih, “rasanya benar-benar sakit … tapi tidak apa-apa ….”Raihan segera melepaskan kimononya, “biar aku obati kamu …” katanya sambil mengerudungkan wajah Bily dengan kimononya, membantu Bily turun dari mobil dan melingkarkan salah satu lengan Bily ke pundaknya lalu membopongnya menuju gedung apartemen.Walau berat, Raihan membawa Bily menuju aparteman. Sambil terus membopong Bily, ia membawanya
Dengan langkah cepat, raihan berjalan ke arah ruang tamu namun baru saja ia di ruang tengah, suaminya sudah berada di sana mencarinya. Raihan menyambut suaminya dengan pelukan hangat dan memberi satu kecupan di pipi Nico.“Kau sudah makan?” tanya Raihan berbisik.“Iya tadi aku dinner bersama clien.”“Baiklah, aku siapkan air hangat, ya?”Nico tersenyum sembari mengangguk, ia semakin senang karena hubungan dia dan Raihan semakin harmonis. Nico lalu duduk menyandarkan punggung di sofa, memejamkan matanya sebentar sebelum air hangatnya siap namun tiba-tiba ia mendengar suara aneh, tidak begitu jelas namun ia bisa mendengar suara seperti suara gesekan sendok dan piring. Nico mengangkat sedikit kepalanya, berusaha mempertajam indera pendengarannya namun ia sudah tidak mendengar suara itu lagi.Tidak lama kemudian Raihan datang membawakan handuk untuk Nico. “Nico, cepatlah mandi! Air hangatmu su
Nico mau pun Raihan langsung menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara gaduh tersebut. Cepat-cepat Nico beranjak dari ranjangnya lalu keluar dari kamarnya menuju dapur dengan langkah yang cepat.Sejak sebelum mandi, Nico sudah mendengar ada suara-suara aneh di apartemennya. Ia curiga bahwa penghuni apartemennya saat ini bukan hanya dia dan Raihan saja. Memang sebelum Nico mandi, ia mendengar ada suara-suara aneh seakan di apartemen itu bukan hanya dia dan Raihan yang menjadi menghuninya. Nico kini berada di dapur, di sana gelap karena semua penerangan, ia segera menekan tombol lampu.“Meong ….”Seekor kucing berhidung pesek dengan bulu putih yang lebat dan panjang tiba-tiba tampak duduk di meja dapur dan menoleh ke arah Nico.Nico mengernyit. “Kucing darimana ini?” ia lalu mengalihkan pandangannya ke samping bawah meja, ada pecahan gelas di sana.“Lily ….” Suara Raihan yang tiba-tiba muncul di sa
“Iya,” kata Nico serius, “darah haidmu terlalu banyak kalau seperti ini, kau perlu diperiksa ke dokter kandungan!”Seketika Raihan menghela napas lega. “Ku kira apa …” gumam Raihan.“Kau bilang apa?”“Tidak,” sahut Raihan buru-buru, “aku benar-benar baik-baik saja kok, Nic. Sungguh ….”“Tapi, kalau terjadi apa-apa dengan rahimmu ….”“Benaran, aku baik-baik saja kok,” potong Raihan berusaha meyakinkan suaminya yang tampak khawatir padanya, ia lalu memegang kedua tangan suaminya. “Baiklah, kalau kau mau aku periksa ke dokter, aku akan ke dokter nanti,” lanjutnya seraya tersenyum manis pada Nico.“Oke, lebih cepat lebih baik, aku tidak mau terjadi apa-apa dengan istriku tersayang,” kata Nico begitu serius.Mereka lalu berjalan sambil merangkul menuju pintu keluar. Nico memeluk Raihan begitu ha
Raihan menyisir rambuatnya, wajah cantiknya merenung ke depan cermin. Satu pertanyaan terus bergelayut di kepalanya, mau apa gadis bernama Olive itu ingin bertemu dengannya? Lalu Raihan mencoba mengenyahkan pertanyaan itu karena toh akhirnya ia akan tahu juga apa maksud Olive ingin bertemu dengannya.Raihan beranjak dari kursi dan mengambil coat hitamnya yang tergeletak di ranjang, mengenakannya dan kembali bercermin sekali. Tidak begitu “wah” namun ia tampak sangat elegan dengan penampilan simple sekalipun.***Entah sudah berapa kali Olive mengintip jam yang bertengger di lengan kecilnya. Ia lalu melihat ke samping sembari mengulum bibirnya, jari-jarinya bergerak-gerak mengetuk-ngetuk permukaan meja, tampak agak gelisah. Sepertinya pemandangan taman bunga di café outdoor itu tidak bisa membuatnya lebih rileks.Tiba-tiba handphone-nya berdering. Matanya membulat sempurna ketika melihat siapa gerangan yang mem
Mata Olive membulat, mulutnya sedikit terbuka kala mendengar ucapan Raihan. Olive sedikit menggeleng, ia sendiri tak yakin dengan apa yang barusan ia dengar. Wanita cantik yang kini duduk di hadapannya bersedia bercerai dengan Nico? Apakah ia tak salah dengar?“Kau … bersedia bercerai dengannya?” tanya Olive, memastikan apa yang ia dengar memang tak salah.Raihan malah melemparkan senyumnya yang lembut. “Iya, aku bersedia bercerai dengannya.”“Benarkah?” Bola mata Olive membulat sempurna, suaranya menyeru begitu Raihan mengulangi kembali ucapannya.“Iya …” jawab Raihan, “tapi …”Olive menatap tanya Raihan. Barusan ia diberi harapan besar, ternyata memang tak semudah itu membujuk istri dari kekasih hatinya.“Aku pasti bersedia bercerai dengan Nico, asalkan … Nico sendiri yang memintanya.”Wajah Olive seketika tampak kegirangan. “Ka
Bola mata coklat Nico menatap tajam pantulan dirinya di pintu lift yang berbahan logam keras, rahangnya yang tegas dan kokoh berkedut, wajah blasteran tampan itu kini tampak tak ramah namun ia hanya terdiam sepanjang lift bergerak ke atas.Setelah beranjak dari restoran, ucapan Olive terus menggema di pikirannya, memenuhi isi di kepalanya. Bukan lantaran senangnya ia mendapati kabar bahwa ia bisa bersama kembali dengan kekasih hatinya yang dahulu ia idam-idamkan namun ia begitu tak habis pikir akan istrinya. Karena itu, ia pun meninggalkan Olive dan segera pulang ke rumahnya tanpa memesan menu untuk bisa menikmati makan malamnya bersama gadis yang ia cintai itu. Pintu lift terbuka. Langkah kaki Nico langsung melangkah lebar menuju apartemen miliknya seakan ia tak sabar lagi untuk segera sampai dan menemui istrinya. Begitu ia masuk ke apartemennya, ia langsung mencari sosok Raihan namun wanita itu tak berada di ruang tamu maupun ruangan tengah.Nico segera
PukSebuah bola kertas yang diremas-remas mengenai wajah tampan Nico dan sukses membuyarkan lamunannya. Nico menoleh ke arah Jeremy yang terkikik geli karena berhasil melempari partner kerjanya itu dengan bola kertas yang ia buat dan membuat pria itu sadar dari lamunannya.Nico meraih bola kertas itu dan membukanya. Matanya mendelik melihat kertas yang sudah diremas bulat-bulat oleh Jeremy. “Astaga Jeremy … ini kan surat perjanjian yang tadi sudah kutandatangi!” seru Nico. Ia lalu menatap tak menyangka ke arah partnernya itu, pria brewok itu malah tertawa kegirangan, seolah puas telah ‘mengerjai’ partnernya.“Halah, kau malah tertawa … ini bagaimana?” omel Nico.Jeremy malah berdecak. “Itu gampang saja!” ucapnya enteng, “kau minta saja ke klien untuk mengirim surat perjanjian baru,” lalu pria itu tertawa lagi.Nico menatap aneh partner kerja sekaligus sabahatnya itu. Bisa-bis