Raihan menyisir rambuatnya, wajah cantiknya merenung ke depan cermin. Satu pertanyaan terus bergelayut di kepalanya, mau apa gadis bernama Olive itu ingin bertemu dengannya? Lalu Raihan mencoba mengenyahkan pertanyaan itu karena toh akhirnya ia akan tahu juga apa maksud Olive ingin bertemu dengannya.
Raihan beranjak dari kursi dan mengambil coat hitamnya yang tergeletak di ranjang, mengenakannya dan kembali bercermin sekali. Tidak begitu “wah” namun ia tampak sangat elegan dengan penampilan simple sekalipun.
***
Entah sudah berapa kali Olive mengintip jam yang bertengger di lengan kecilnya. Ia lalu melihat ke samping sembari mengulum bibirnya, jari-jarinya bergerak-gerak mengetuk-ngetuk permukaan meja, tampak agak gelisah. Sepertinya pemandangan taman bunga di café outdoor itu tidak bisa membuatnya lebih rileks.
Tiba-tiba handphone-nya berdering. Matanya membulat sempurna ketika melihat siapa gerangan yang mem
Mata Olive membulat, mulutnya sedikit terbuka kala mendengar ucapan Raihan. Olive sedikit menggeleng, ia sendiri tak yakin dengan apa yang barusan ia dengar. Wanita cantik yang kini duduk di hadapannya bersedia bercerai dengan Nico? Apakah ia tak salah dengar?“Kau … bersedia bercerai dengannya?” tanya Olive, memastikan apa yang ia dengar memang tak salah.Raihan malah melemparkan senyumnya yang lembut. “Iya, aku bersedia bercerai dengannya.”“Benarkah?” Bola mata Olive membulat sempurna, suaranya menyeru begitu Raihan mengulangi kembali ucapannya.“Iya …” jawab Raihan, “tapi …”Olive menatap tanya Raihan. Barusan ia diberi harapan besar, ternyata memang tak semudah itu membujuk istri dari kekasih hatinya.“Aku pasti bersedia bercerai dengan Nico, asalkan … Nico sendiri yang memintanya.”Wajah Olive seketika tampak kegirangan. “Ka
Bola mata coklat Nico menatap tajam pantulan dirinya di pintu lift yang berbahan logam keras, rahangnya yang tegas dan kokoh berkedut, wajah blasteran tampan itu kini tampak tak ramah namun ia hanya terdiam sepanjang lift bergerak ke atas.Setelah beranjak dari restoran, ucapan Olive terus menggema di pikirannya, memenuhi isi di kepalanya. Bukan lantaran senangnya ia mendapati kabar bahwa ia bisa bersama kembali dengan kekasih hatinya yang dahulu ia idam-idamkan namun ia begitu tak habis pikir akan istrinya. Karena itu, ia pun meninggalkan Olive dan segera pulang ke rumahnya tanpa memesan menu untuk bisa menikmati makan malamnya bersama gadis yang ia cintai itu. Pintu lift terbuka. Langkah kaki Nico langsung melangkah lebar menuju apartemen miliknya seakan ia tak sabar lagi untuk segera sampai dan menemui istrinya. Begitu ia masuk ke apartemennya, ia langsung mencari sosok Raihan namun wanita itu tak berada di ruang tamu maupun ruangan tengah.Nico segera
PukSebuah bola kertas yang diremas-remas mengenai wajah tampan Nico dan sukses membuyarkan lamunannya. Nico menoleh ke arah Jeremy yang terkikik geli karena berhasil melempari partner kerjanya itu dengan bola kertas yang ia buat dan membuat pria itu sadar dari lamunannya.Nico meraih bola kertas itu dan membukanya. Matanya mendelik melihat kertas yang sudah diremas bulat-bulat oleh Jeremy. “Astaga Jeremy … ini kan surat perjanjian yang tadi sudah kutandatangi!” seru Nico. Ia lalu menatap tak menyangka ke arah partnernya itu, pria brewok itu malah tertawa kegirangan, seolah puas telah ‘mengerjai’ partnernya.“Halah, kau malah tertawa … ini bagaimana?” omel Nico.Jeremy malah berdecak. “Itu gampang saja!” ucapnya enteng, “kau minta saja ke klien untuk mengirim surat perjanjian baru,” lalu pria itu tertawa lagi.Nico menatap aneh partner kerja sekaligus sabahatnya itu. Bisa-bis
“Hasya, perkenalkan, beliau ini Pak Bily,” kata Hendra, asisten Bily, ke Hasya, “gadis ini bernama Nona Hasya Kuiper, dia adik dari Pak Nico. Atas permintaan Pak Nico, Nona Hasya akan magang di sini ….”Sejenak Hasya dan Bily hanya diam saling berpandangan, mereka belum saling melupakan pertemuan mereka di suatu club malam dan Hasya tidak menyangka bahwa atasan dia saat ini adalah pria yang ia temukan begitu mengenaskan di malam itu. Hasya mengamati wajah tampan pria yang kini menjadi atasannya itu, luka-luka di wajahnya masih terlihat nyata walau sudah mengering tapi entah mengapa luka-luka itu malah terkesan menambah nilai ketampanan pria itu.Bily lalu berdehem sungkan. “Silahkan duduk, Nona Hasya!” ucapnya.“Iya …”“Hendra, kau juga duduk di situ!”Hendra mengambil duduk di samping Hasya.“Sudah tiga hari aku tidak masuk kerja, dan hari ini aku akan
“Nico, anakku!” seru David sambil melompat memeluk Nico ketika ia membuka pintu rumahnya untuk putra dan menantunya. Setelah memeluk Nico, David memandang Raihan yang berdiri di samping belakang Nico. “Menantuku yang cantik …” kata David seraya hendak memeluk Raihan namun Nico dengan cepat menarik ayahnya. “Heh, jangan asal main peluk saja, itu istriku!” hardik Nico. “Kenapa sih kamu ini, tidak bisa lihat ayahmu bahagia barang sebentar saja!” balas David. “Kalau mau peluk cewek muda Ayah bisa cari istri lagi, kan? Ayah kan mampu ….” “Dasar anak kurang ajar kau ini!” tukas David. “Kak Raihan …” tiba-tiba Raisya muncul dan memeluk Raihan. “Ini lagi satu, bukannya memeluk kakak kandungnya dulu malah memeluk iparnya!” protes Nico pada Raisya. “Raihan ini kakakku juga~” “Dasar semuanya … sama saja….” umpat Nico dengan ekspresi jengkelnya pada keluarga. Raihan yang menatap pemandangan hubungan keluarga “harmoni
Tiba-tiba tangan besar merebut foto itu. “Kau bisa mandi sekarang!” kata Nico sembari menyimpan foto itu kembali ke dalam laci.“Oh … kau masih mau menyimpannya?”Nico kembali mengambil foto itu dan membuangnya ke tempat sampah. Tiba-tiba Nico mendengar ada suara bisik-bisik dari luar pintu kamarnya. Dengan cepat Nico melangkah ke arah pintu dan membuka pintu kamarnya. Dan benar saja di sana ia menemukan ayah dan Raisya yang sedang menguping di sana.“Apa-apaan sih kalian ini?” bentak Nico langsung ke arah David dan Raisya.“Ti-tidak kok, Kak …” sahut Raisya gelagapan, “aku hanya lewat saja tadi ….”“I-iya … a-aku juga,” kata David.“Dasar kalian ini!” murka Nico hingga membuat ayah dan adiknya itu kabur dari sana.Nico kembali masuk ke kamar dan menutup pintunya rapat-rapat. “Bisa-bisanya mereka itu …” om
Nico dan Raihan kini sedang duduk santai di ruang keluarga sembari mendengar celotehan David yang tiada hentinya hingga membuat menantu kesayangannya tak bisa menahan tawanya. Sedangkan Nico, ia hanya duduk cuek menikmati minuman kaleng sembari mendengarkan ayahnya yang terus menceritakan hal konyol yang pernah dilakukan oleh putranya sendiri. Tiba-tiba Raisya turun dari tangga dan menghampiri mereka. “Girl’s only!” serunya, ia lalu menarik Raihan. “Aku pinjam kak Raihan dulu, ya?”“Sesukamu sajalah!” kata Nico.Raisya lalu menarik Raihan untuk naik tangga dan berjalan menuju kamar gadis cantik berwajah blasteran itu. Raihan begitu takjub begitu Raisya membuka pintu kamarnya sehingga tampak betapa girly-nya kamar Raisya dengan nuansa warna pastel. Dan di sana ada Hasya sedang duduk di ranjang.“Kak Raihan, ayo masuk!” kata Raisya sambil menarik Raihan masuk ke dalam dan mengaja
Mata Raihan mengerjap-ngerjap, ia serasa tak percaya kini ia berada di taman bermain. Entah sudah berapa lama ia tak main ke sana, terakhir kali ia ke sana bersama sahabatnya , Wulan, saat mereka masih dekat. Terdengar suara riuh, gelak tawa dan teriakan orang-orang karena wahana bermain tertentu, cukup ramai padahal hari itu bukanlah hari libur.“Kenapa, kau baru saja ke sini?” sindir Nico.“Enak saja!” cibir Raihan, “sudah lama sekali aku tidak bermain ke tempat hiburan.”“Sejak kapan?”“Aku lupa,” kata Raihan, “tapi dulu aku cukup sering bermain di tempat seperti ini.”“Oh, ya?” Nico malah menekan gemas puncak kepala istrinya namun segera ditepis kesal oleh Raihan. “Kalau begitu buktikan!”“Oh, okay …” kata Raihan menerima tantangan dari suaminya.Mereka pun mulai mencoba wahana bermain dan Raihan sengaja memilih
"Kakak!" seorang gadis cantik dengan rambut pendek model wolf cut-nya berlari-lari sambil menarik kopernya untuk menghampiri Barack, matanya bulat dengan softlens berwarna kelabu. Tubuh langsingnya yang tinggi langsung memeluk Barack dengan hebohnya. Barack pun tersenyum dan membalas pelukan gadis itu."Kangennya sama Kak Barack," kata gadis itu, "kenapa Kak Barack tidak mengabariku kalau Kakak sakit?" protesnya dengan bibir yang dimanyunin, "aku bahkan tahu dari salah satu asisten rumah tangga." "Siapa itu?" tanya Barack. "Secret," jawab sang gadis sambil menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, "ia lalu mengedarkan pandangannya seperti mencari-cari seseorang. "Dimana ya dia?" "Kau mencari siapa, Shiena?" tanya Barack pada adiknya yang bernama Shiena."Raihan," sahut Shiena, "kudengar dia sempat pulang dan tidak lama itu dia menikah." Barack terdiam sejenak, agak kaget darimana Shiena tahu bahwa Raihan sudah menikah. "Siapa yang memberitahumu?" tanya Barack. "Kak Ginanjar," j
Nico berjalan mengitari ruang keluarga mansion keluarga Adhinata. Setapak demi setapak kakinya melangkah, pandangannya menatap tiap foto-foto yang menghiasi dinding ruangan itu. Pertama, ia melihat foto Barack remaja yang merangkul seorang gadis kecil yang Nico tahu persis bahwa gadis itu adalah adik Barack, dia cinta masa kecil Nico.Nico menatap raut wajah gadis itu, tak ada sedikit pun kesamaan dengan wajah Raihan. Tapi, bukankah banyak orang yang mengalami perubahan yang signifikan ketika ia beranjak dewasa? Nico terus mengamati foto-foto di dinding itu. Ada foto Barack semasa ia kuliah bersama gadis cantik yang juga beranjak remaja dan juga orang tua Barack Adhinata. Tapi, jika diperhatikan dengan seksama, gadis itu bukanlah Raihan. Nico mengalihkan pandangannya ke foto keluarga yang paling besar terpampang di sana, foto Barack Adinata bersama istrinya, Raihan dan ada gadis cantik yang Nico tak kenal siapa gadis itu. Tapi, gadis itu berdiri di samping Barack sementara Raihan dan
"Nic ... ada apa?" tanya Jeremy yang tampak begitu penasaran. "Aku ....." Nico masih tampak tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari Adrian. "Nic?" "Aku harus pergi dulu." Nico mematikan panggilan telepon Adrian lalu bergegas cepat keluar dari ruangannya, meninggalkan Jeremy yang tampak terheran-heran melihat tingkah sahabatnya yang tak biasa itu. "Kau mau kemana?" seru Jeremy"Memastikan sesuatu yang penting!" balas Nico.*** Nico berlari menuju mobilnya dan segera meluncur ke arah apartemennya dengan kecepatan tinggi. Ia bahkan tak peduli lagi dengan keselamatannya hingga ia mengabaikan untung memasang sabuk pengamannya, mobil yang melaju di depannya ia klakson tanpa ampun. Ia bahkan hampir dua kali menambrak mobil yang melaju di depannya hingga ia akhirnya menepi dan berusaha menenangkan pikirannya terlebih dahulu namun ucapan dari Adrian tidak dapat lenyap di otaknya bahwa adik ipar Barack Adhinata ternyata adalah istrinya. Nico merasa ditipu oleh keluarga Adhinata.
Nico menatap tajam ke arah Bily saat pria itu menghampirinya bersama Raihan. Nico lalu berdiri, menyambut istrinya. Raihan lalu melangkah ke samping Nico. "Kau sudah lama menunggu?" tanya Raihan pada suaminya. "Tidak, kok," jawab Nico, "aku langsung meneleponmu saat sampai di sini. Raihan mengangguk paham. "Bily, kami pulang dulu, ya," ucap Raihan pada pria itu, "tolong jaga Wulan, besok aku ke sini lagi, pungkasnya." Bily hanya mengangguk sekali. Nico lalu menggenggam erat tangan Raihan lalu pergi meninggalkan Bily sendirian di sana. *** "Kau tidak bilang kalau Bily ada di sana juga," kata Nico saat mereka berada di dalam mobil. Pria itu tampak serius, ia menatap ke arah Raihan dengan kening mengerut."Ya, kau tidak tanya, kan?" balas Raihan, "lagi pula kau pasti bisa menebaknya kalau dia pasti ada untuk menjaga Wulan. Bagaimana pun mereka sudah seperti saudara," terang Raihan. "Aku hanya ingin kau memberitahuku biar aku tidak salah paham ...," ujar Nico. "Kau cemburu?" tuduh
Nico duduk terdiam di ranjang sambil memandang istrinya yang kini memejamkan matanya di sampingnya. Ia terus memikirkan pertemuan terakhir ia dan Olive, ada rasa kecewa karena Raihan mengijinkan Olive untuk membujuknya bercerai dengannya. "Apa segitu tak inginnya kau membuka hatimu padaku, Raihan?" ucap Nico dalam hati. Tiba-tiba Raihan membuka matanya, ia mengernyit karena mendapati suaminya tengah memandangnya dalam hening. "Kau belum tidur?" tanya Raihan sambil membangunkan tubuhnya. "Um ... iya," jawab Nico. "Kau lagi banyak pikiran?" tanya Raihan, wajahnya agak khawatir memandang Nico. Nico terdiam sejenak sebelum ia bersuara. "Raihan, apa kau ingin meninggalkanku?" tanya Nico tiba-tiba. Raihan terhenyak mendengar pertanyaan Nico. "Kenapa kau bisa bilang seperti itu?" "Aku takut kehilanganmu," ucap Nico jujur. Raihan terdiam sejenak lalu ia berusaha tersenyum. "Jangan berpikir terlalu banyak, aku akan selalu bersamamu selama kau menginginkannya," kata Raihan. "Raihan ap
Nico terdiam membaca begitu banyak berkas di mejanya hingga keningnya mengerut tajam. Agak lama ia berkutat dengan berkas-berkas itu, ia lantas mengambil pena dan mulai menandatangi berkas di hadapannya. "Wah, kau rajin sekali," ujar Jeremi. Nico menoleh ke arah sahabatnya itu, ia bahkan tak menyadari ketika pria itu masuk ke ruangannya. Jeremi berjalan menuju sofa dan duduk santai di sana. Bagaimana sekarang hubungan kau dan istrimu itu?" tanya Jeremi. "Sangat baik," jawab Nico santai, "kami bahkan makin mesra." "Syukurlah kalau begitu," gumam Jeremi. Tiba-tiba handphone Nico berdering, tanda ada panggilan masuk. Mata Nico mendelik saat melihat nama Olive terpampang di layar handphone-nya. Nico terdiam sejenak, ia ragu antara ingin menerima panggilan itu atau membiarkannya. Tapi Nico tak tega pada gadis itu, ia pun memutuskan untuk menerima panggilan telepon itu. "Ya, halo?" sapa Nico. "Nico," suara lembut Olive di seberang, "bisakah kita bertemu hari ini?" Nico terdiam, ia
"Ngg ... Nico ... Ahh!" desah Raihan saat lidah Nico menyapu milik Raihan yang mulai basah. Tangan wanita itu mencengkran bantal, sesekali ia menengok untuk memandang suaminya yang tengah menyantap nikmat miliknya. "Ahh! Nic ..." desahnya saat Nico mengisap miliknya, seakan menyesap nektar madu di sana. Kini tangan Nico tak tinggal diam, ia memasukkan jari tengah dan manisnya ke dalam rongga nikmat itu. "Nico! Ngg ... ahh ... sshhh ...." Raihan mulai meracau saat gerakan kedua jari semakin cepat, belum lagi permainan lidah dan isapannya di bawah sana. "Nico ... aku ... aku tidak ta ... ahh!" Akhirnya Raihan mengalami klimaksnya, tubuhnya mengejang dan napasnya terdengar memburu. Nico tersenyum puas saat menyaksikan istrinya mengalami orgasme. Ia lalu memeluk tubuh Raihan dan mengajaknya berciuman. "Bisakah kau memegangnya?" bisik Nico penuh gairah. Raihan lalu memegang milik Nico dan memerasnya dengan lembut. "Ah ... nikmat sekali," desah Nico. Ia lalu mengajak Raihan berciuma
"Nyonya, sudah sampai ...." Raihan tersadar dari lamungannya begitu mendengar suara supir. Ia langsung melemparkan pandangannya ke jendela, ternyata ia susah berada di depan restoran mewah. Ia lalu mengambil tas kecil dengan hiasan manik permata yang indah lalu segera membuka pintu mobil dan turun dari mobil. Semua orang terpana begitu memandang Raihan yang begitu cantik dan anggunnya masuk ke dalam gedung restoran. Ia pun acuh tak acuh dengan pandangan pria-pria yang terpesona pada dirinya, melenggang begitu anggun tanpa menoleh. "Aku sudah ada janji dengan Pak Nicolas Kuiper," ucap Raihan pada seorang resepsionis wanita. "Sebentar, saya cek dulu." Resepsionis itu pun membuka mengecek di monitor. "Baik, Nyonya. Pak Nicalas sedang menunggu anda di ruang VIP, sebentar saya panggilkan pelayan untuk mengantar anda ke sana." Resepsionis itu pun menelepon seseorang dan tidak lama kemudian seorang pria menghampiri Raihan. "Mari, saya antar, Nyonya!" kata pria itu. Raihan mengangguk se
Raihan terdiam saat mendengar suara lembut gadis itu. Tiba-tiba kekhawatiran melandanya. Ia belum lupa bahwa Nico pernah begitu mencintainya hingga berebut gadis itu dengan pria lain di apartemen mereka. Raihan khawatir, apakah cinta yang diucapkan Nico akan sirna oleh kehadiran Olive? "Ya, Olive?" tanya Raihan. "Raihan, bisakah kita bertemu hari ini?" Raihan diam, menimbang-nimbang permintaan bertemu dengannya. Apalagi kalau bukan menyangkut Nico? "Baiklah. Kau mau bertemu di mana?" *** Brak! Nico tersentak dan langsung memandang ke arah pintu. Tampak Hasya berdiri dan memandangnya dengan tatapan geram. Sambil mendengus, gadis itu melangkah mendatangi Nico yang masih terkejut memandangnya. Hasya langsung memukul meja di hadapan Nico. "Kau kenapa, sih?" sergah Nico. "Kakak yang kenapa?" balas Hasya tak kalah sengitnya, "kenapa Kakak memecat Bily?" Nico memutar kesal bola matanya. "Oh, pria itu ... ku kira apa sampai kau terlihat marah begitu tapi baguslah dia sudah tidak ke