Raihan begitu panik melihat Bily yang kini tampak begitu mengenaskan dan tak berdaya. Wajahnya penuh lebam dan luka serta ada banyak darah kering mengotori dagu dan pelipisnya hingga ada noda darah di kemeja putihnya. Dengan gemetaran Raihan mengangkat tangannya untuk meraih wajah Bily, ekspresinya begitu prihatin dan menatap tanya, ada apa gerangan yang menyebabkan Bily seperti ini?
“Siapa yang sudah melakukan ini?” suara Raihan terdengar parau.
“… Raihan ...” Suara Bily terdengar begitu lirih, “rasanya benar-benar sakit … tapi tidak apa-apa ….”
Raihan segera melepaskan kimononya, “biar aku obati kamu …” katanya sambil mengerudungkan wajah Bily dengan kimononya, membantu Bily turun dari mobil dan melingkarkan salah satu lengan Bily ke pundaknya lalu membopongnya menuju gedung apartemen.
Walau berat, Raihan membawa Bily menuju aparteman. Sambil terus membopong Bily, ia membawanya
Dengan langkah cepat, raihan berjalan ke arah ruang tamu namun baru saja ia di ruang tengah, suaminya sudah berada di sana mencarinya. Raihan menyambut suaminya dengan pelukan hangat dan memberi satu kecupan di pipi Nico.“Kau sudah makan?” tanya Raihan berbisik.“Iya tadi aku dinner bersama clien.”“Baiklah, aku siapkan air hangat, ya?”Nico tersenyum sembari mengangguk, ia semakin senang karena hubungan dia dan Raihan semakin harmonis. Nico lalu duduk menyandarkan punggung di sofa, memejamkan matanya sebentar sebelum air hangatnya siap namun tiba-tiba ia mendengar suara aneh, tidak begitu jelas namun ia bisa mendengar suara seperti suara gesekan sendok dan piring. Nico mengangkat sedikit kepalanya, berusaha mempertajam indera pendengarannya namun ia sudah tidak mendengar suara itu lagi.Tidak lama kemudian Raihan datang membawakan handuk untuk Nico. “Nico, cepatlah mandi! Air hangatmu su
Nico mau pun Raihan langsung menoleh ke arah pintu begitu mendengar suara gaduh tersebut. Cepat-cepat Nico beranjak dari ranjangnya lalu keluar dari kamarnya menuju dapur dengan langkah yang cepat.Sejak sebelum mandi, Nico sudah mendengar ada suara-suara aneh di apartemennya. Ia curiga bahwa penghuni apartemennya saat ini bukan hanya dia dan Raihan saja. Memang sebelum Nico mandi, ia mendengar ada suara-suara aneh seakan di apartemen itu bukan hanya dia dan Raihan yang menjadi menghuninya. Nico kini berada di dapur, di sana gelap karena semua penerangan, ia segera menekan tombol lampu.“Meong ….”Seekor kucing berhidung pesek dengan bulu putih yang lebat dan panjang tiba-tiba tampak duduk di meja dapur dan menoleh ke arah Nico.Nico mengernyit. “Kucing darimana ini?” ia lalu mengalihkan pandangannya ke samping bawah meja, ada pecahan gelas di sana.“Lily ….” Suara Raihan yang tiba-tiba muncul di sa
“Iya,” kata Nico serius, “darah haidmu terlalu banyak kalau seperti ini, kau perlu diperiksa ke dokter kandungan!”Seketika Raihan menghela napas lega. “Ku kira apa …” gumam Raihan.“Kau bilang apa?”“Tidak,” sahut Raihan buru-buru, “aku benar-benar baik-baik saja kok, Nic. Sungguh ….”“Tapi, kalau terjadi apa-apa dengan rahimmu ….”“Benaran, aku baik-baik saja kok,” potong Raihan berusaha meyakinkan suaminya yang tampak khawatir padanya, ia lalu memegang kedua tangan suaminya. “Baiklah, kalau kau mau aku periksa ke dokter, aku akan ke dokter nanti,” lanjutnya seraya tersenyum manis pada Nico.“Oke, lebih cepat lebih baik, aku tidak mau terjadi apa-apa dengan istriku tersayang,” kata Nico begitu serius.Mereka lalu berjalan sambil merangkul menuju pintu keluar. Nico memeluk Raihan begitu ha
Raihan menyisir rambuatnya, wajah cantiknya merenung ke depan cermin. Satu pertanyaan terus bergelayut di kepalanya, mau apa gadis bernama Olive itu ingin bertemu dengannya? Lalu Raihan mencoba mengenyahkan pertanyaan itu karena toh akhirnya ia akan tahu juga apa maksud Olive ingin bertemu dengannya.Raihan beranjak dari kursi dan mengambil coat hitamnya yang tergeletak di ranjang, mengenakannya dan kembali bercermin sekali. Tidak begitu “wah” namun ia tampak sangat elegan dengan penampilan simple sekalipun.***Entah sudah berapa kali Olive mengintip jam yang bertengger di lengan kecilnya. Ia lalu melihat ke samping sembari mengulum bibirnya, jari-jarinya bergerak-gerak mengetuk-ngetuk permukaan meja, tampak agak gelisah. Sepertinya pemandangan taman bunga di café outdoor itu tidak bisa membuatnya lebih rileks.Tiba-tiba handphone-nya berdering. Matanya membulat sempurna ketika melihat siapa gerangan yang mem
Mata Olive membulat, mulutnya sedikit terbuka kala mendengar ucapan Raihan. Olive sedikit menggeleng, ia sendiri tak yakin dengan apa yang barusan ia dengar. Wanita cantik yang kini duduk di hadapannya bersedia bercerai dengan Nico? Apakah ia tak salah dengar?“Kau … bersedia bercerai dengannya?” tanya Olive, memastikan apa yang ia dengar memang tak salah.Raihan malah melemparkan senyumnya yang lembut. “Iya, aku bersedia bercerai dengannya.”“Benarkah?” Bola mata Olive membulat sempurna, suaranya menyeru begitu Raihan mengulangi kembali ucapannya.“Iya …” jawab Raihan, “tapi …”Olive menatap tanya Raihan. Barusan ia diberi harapan besar, ternyata memang tak semudah itu membujuk istri dari kekasih hatinya.“Aku pasti bersedia bercerai dengan Nico, asalkan … Nico sendiri yang memintanya.”Wajah Olive seketika tampak kegirangan. “Ka
Bola mata coklat Nico menatap tajam pantulan dirinya di pintu lift yang berbahan logam keras, rahangnya yang tegas dan kokoh berkedut, wajah blasteran tampan itu kini tampak tak ramah namun ia hanya terdiam sepanjang lift bergerak ke atas.Setelah beranjak dari restoran, ucapan Olive terus menggema di pikirannya, memenuhi isi di kepalanya. Bukan lantaran senangnya ia mendapati kabar bahwa ia bisa bersama kembali dengan kekasih hatinya yang dahulu ia idam-idamkan namun ia begitu tak habis pikir akan istrinya. Karena itu, ia pun meninggalkan Olive dan segera pulang ke rumahnya tanpa memesan menu untuk bisa menikmati makan malamnya bersama gadis yang ia cintai itu. Pintu lift terbuka. Langkah kaki Nico langsung melangkah lebar menuju apartemen miliknya seakan ia tak sabar lagi untuk segera sampai dan menemui istrinya. Begitu ia masuk ke apartemennya, ia langsung mencari sosok Raihan namun wanita itu tak berada di ruang tamu maupun ruangan tengah.Nico segera
PukSebuah bola kertas yang diremas-remas mengenai wajah tampan Nico dan sukses membuyarkan lamunannya. Nico menoleh ke arah Jeremy yang terkikik geli karena berhasil melempari partner kerjanya itu dengan bola kertas yang ia buat dan membuat pria itu sadar dari lamunannya.Nico meraih bola kertas itu dan membukanya. Matanya mendelik melihat kertas yang sudah diremas bulat-bulat oleh Jeremy. “Astaga Jeremy … ini kan surat perjanjian yang tadi sudah kutandatangi!” seru Nico. Ia lalu menatap tak menyangka ke arah partnernya itu, pria brewok itu malah tertawa kegirangan, seolah puas telah ‘mengerjai’ partnernya.“Halah, kau malah tertawa … ini bagaimana?” omel Nico.Jeremy malah berdecak. “Itu gampang saja!” ucapnya enteng, “kau minta saja ke klien untuk mengirim surat perjanjian baru,” lalu pria itu tertawa lagi.Nico menatap aneh partner kerja sekaligus sabahatnya itu. Bisa-bis
“Hasya, perkenalkan, beliau ini Pak Bily,” kata Hendra, asisten Bily, ke Hasya, “gadis ini bernama Nona Hasya Kuiper, dia adik dari Pak Nico. Atas permintaan Pak Nico, Nona Hasya akan magang di sini ….”Sejenak Hasya dan Bily hanya diam saling berpandangan, mereka belum saling melupakan pertemuan mereka di suatu club malam dan Hasya tidak menyangka bahwa atasan dia saat ini adalah pria yang ia temukan begitu mengenaskan di malam itu. Hasya mengamati wajah tampan pria yang kini menjadi atasannya itu, luka-luka di wajahnya masih terlihat nyata walau sudah mengering tapi entah mengapa luka-luka itu malah terkesan menambah nilai ketampanan pria itu.Bily lalu berdehem sungkan. “Silahkan duduk, Nona Hasya!” ucapnya.“Iya …”“Hendra, kau juga duduk di situ!”Hendra mengambil duduk di samping Hasya.“Sudah tiga hari aku tidak masuk kerja, dan hari ini aku akan
"Kakak!" seorang gadis cantik dengan rambut pendek model wolf cut-nya berlari-lari sambil menarik kopernya untuk menghampiri Barack, matanya bulat dengan softlens berwarna kelabu. Tubuh langsingnya yang tinggi langsung memeluk Barack dengan hebohnya. Barack pun tersenyum dan membalas pelukan gadis itu."Kangennya sama Kak Barack," kata gadis itu, "kenapa Kak Barack tidak mengabariku kalau Kakak sakit?" protesnya dengan bibir yang dimanyunin, "aku bahkan tahu dari salah satu asisten rumah tangga." "Siapa itu?" tanya Barack. "Secret," jawab sang gadis sambil menempelkan jari telunjuknya di bibirnya, "ia lalu mengedarkan pandangannya seperti mencari-cari seseorang. "Dimana ya dia?" "Kau mencari siapa, Shiena?" tanya Barack pada adiknya yang bernama Shiena."Raihan," sahut Shiena, "kudengar dia sempat pulang dan tidak lama itu dia menikah." Barack terdiam sejenak, agak kaget darimana Shiena tahu bahwa Raihan sudah menikah. "Siapa yang memberitahumu?" tanya Barack. "Kak Ginanjar," j
Nico berjalan mengitari ruang keluarga mansion keluarga Adhinata. Setapak demi setapak kakinya melangkah, pandangannya menatap tiap foto-foto yang menghiasi dinding ruangan itu. Pertama, ia melihat foto Barack remaja yang merangkul seorang gadis kecil yang Nico tahu persis bahwa gadis itu adalah adik Barack, dia cinta masa kecil Nico.Nico menatap raut wajah gadis itu, tak ada sedikit pun kesamaan dengan wajah Raihan. Tapi, bukankah banyak orang yang mengalami perubahan yang signifikan ketika ia beranjak dewasa? Nico terus mengamati foto-foto di dinding itu. Ada foto Barack semasa ia kuliah bersama gadis cantik yang juga beranjak remaja dan juga orang tua Barack Adhinata. Tapi, jika diperhatikan dengan seksama, gadis itu bukanlah Raihan. Nico mengalihkan pandangannya ke foto keluarga yang paling besar terpampang di sana, foto Barack Adinata bersama istrinya, Raihan dan ada gadis cantik yang Nico tak kenal siapa gadis itu. Tapi, gadis itu berdiri di samping Barack sementara Raihan dan
"Nic ... ada apa?" tanya Jeremy yang tampak begitu penasaran. "Aku ....." Nico masih tampak tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar dari Adrian. "Nic?" "Aku harus pergi dulu." Nico mematikan panggilan telepon Adrian lalu bergegas cepat keluar dari ruangannya, meninggalkan Jeremy yang tampak terheran-heran melihat tingkah sahabatnya yang tak biasa itu. "Kau mau kemana?" seru Jeremy"Memastikan sesuatu yang penting!" balas Nico.*** Nico berlari menuju mobilnya dan segera meluncur ke arah apartemennya dengan kecepatan tinggi. Ia bahkan tak peduli lagi dengan keselamatannya hingga ia mengabaikan untung memasang sabuk pengamannya, mobil yang melaju di depannya ia klakson tanpa ampun. Ia bahkan hampir dua kali menambrak mobil yang melaju di depannya hingga ia akhirnya menepi dan berusaha menenangkan pikirannya terlebih dahulu namun ucapan dari Adrian tidak dapat lenyap di otaknya bahwa adik ipar Barack Adhinata ternyata adalah istrinya. Nico merasa ditipu oleh keluarga Adhinata.
Nico menatap tajam ke arah Bily saat pria itu menghampirinya bersama Raihan. Nico lalu berdiri, menyambut istrinya. Raihan lalu melangkah ke samping Nico. "Kau sudah lama menunggu?" tanya Raihan pada suaminya. "Tidak, kok," jawab Nico, "aku langsung meneleponmu saat sampai di sini. Raihan mengangguk paham. "Bily, kami pulang dulu, ya," ucap Raihan pada pria itu, "tolong jaga Wulan, besok aku ke sini lagi, pungkasnya." Bily hanya mengangguk sekali. Nico lalu menggenggam erat tangan Raihan lalu pergi meninggalkan Bily sendirian di sana. *** "Kau tidak bilang kalau Bily ada di sana juga," kata Nico saat mereka berada di dalam mobil. Pria itu tampak serius, ia menatap ke arah Raihan dengan kening mengerut."Ya, kau tidak tanya, kan?" balas Raihan, "lagi pula kau pasti bisa menebaknya kalau dia pasti ada untuk menjaga Wulan. Bagaimana pun mereka sudah seperti saudara," terang Raihan. "Aku hanya ingin kau memberitahuku biar aku tidak salah paham ...," ujar Nico. "Kau cemburu?" tuduh
Nico duduk terdiam di ranjang sambil memandang istrinya yang kini memejamkan matanya di sampingnya. Ia terus memikirkan pertemuan terakhir ia dan Olive, ada rasa kecewa karena Raihan mengijinkan Olive untuk membujuknya bercerai dengannya. "Apa segitu tak inginnya kau membuka hatimu padaku, Raihan?" ucap Nico dalam hati. Tiba-tiba Raihan membuka matanya, ia mengernyit karena mendapati suaminya tengah memandangnya dalam hening. "Kau belum tidur?" tanya Raihan sambil membangunkan tubuhnya. "Um ... iya," jawab Nico. "Kau lagi banyak pikiran?" tanya Raihan, wajahnya agak khawatir memandang Nico. Nico terdiam sejenak sebelum ia bersuara. "Raihan, apa kau ingin meninggalkanku?" tanya Nico tiba-tiba. Raihan terhenyak mendengar pertanyaan Nico. "Kenapa kau bisa bilang seperti itu?" "Aku takut kehilanganmu," ucap Nico jujur. Raihan terdiam sejenak lalu ia berusaha tersenyum. "Jangan berpikir terlalu banyak, aku akan selalu bersamamu selama kau menginginkannya," kata Raihan. "Raihan ap
Nico terdiam membaca begitu banyak berkas di mejanya hingga keningnya mengerut tajam. Agak lama ia berkutat dengan berkas-berkas itu, ia lantas mengambil pena dan mulai menandatangi berkas di hadapannya. "Wah, kau rajin sekali," ujar Jeremi. Nico menoleh ke arah sahabatnya itu, ia bahkan tak menyadari ketika pria itu masuk ke ruangannya. Jeremi berjalan menuju sofa dan duduk santai di sana. Bagaimana sekarang hubungan kau dan istrimu itu?" tanya Jeremi. "Sangat baik," jawab Nico santai, "kami bahkan makin mesra." "Syukurlah kalau begitu," gumam Jeremi. Tiba-tiba handphone Nico berdering, tanda ada panggilan masuk. Mata Nico mendelik saat melihat nama Olive terpampang di layar handphone-nya. Nico terdiam sejenak, ia ragu antara ingin menerima panggilan itu atau membiarkannya. Tapi Nico tak tega pada gadis itu, ia pun memutuskan untuk menerima panggilan telepon itu. "Ya, halo?" sapa Nico. "Nico," suara lembut Olive di seberang, "bisakah kita bertemu hari ini?" Nico terdiam, ia
"Ngg ... Nico ... Ahh!" desah Raihan saat lidah Nico menyapu milik Raihan yang mulai basah. Tangan wanita itu mencengkran bantal, sesekali ia menengok untuk memandang suaminya yang tengah menyantap nikmat miliknya. "Ahh! Nic ..." desahnya saat Nico mengisap miliknya, seakan menyesap nektar madu di sana. Kini tangan Nico tak tinggal diam, ia memasukkan jari tengah dan manisnya ke dalam rongga nikmat itu. "Nico! Ngg ... ahh ... sshhh ...." Raihan mulai meracau saat gerakan kedua jari semakin cepat, belum lagi permainan lidah dan isapannya di bawah sana. "Nico ... aku ... aku tidak ta ... ahh!" Akhirnya Raihan mengalami klimaksnya, tubuhnya mengejang dan napasnya terdengar memburu. Nico tersenyum puas saat menyaksikan istrinya mengalami orgasme. Ia lalu memeluk tubuh Raihan dan mengajaknya berciuman. "Bisakah kau memegangnya?" bisik Nico penuh gairah. Raihan lalu memegang milik Nico dan memerasnya dengan lembut. "Ah ... nikmat sekali," desah Nico. Ia lalu mengajak Raihan berciuma
"Nyonya, sudah sampai ...." Raihan tersadar dari lamungannya begitu mendengar suara supir. Ia langsung melemparkan pandangannya ke jendela, ternyata ia susah berada di depan restoran mewah. Ia lalu mengambil tas kecil dengan hiasan manik permata yang indah lalu segera membuka pintu mobil dan turun dari mobil. Semua orang terpana begitu memandang Raihan yang begitu cantik dan anggunnya masuk ke dalam gedung restoran. Ia pun acuh tak acuh dengan pandangan pria-pria yang terpesona pada dirinya, melenggang begitu anggun tanpa menoleh. "Aku sudah ada janji dengan Pak Nicolas Kuiper," ucap Raihan pada seorang resepsionis wanita. "Sebentar, saya cek dulu." Resepsionis itu pun membuka mengecek di monitor. "Baik, Nyonya. Pak Nicalas sedang menunggu anda di ruang VIP, sebentar saya panggilkan pelayan untuk mengantar anda ke sana." Resepsionis itu pun menelepon seseorang dan tidak lama kemudian seorang pria menghampiri Raihan. "Mari, saya antar, Nyonya!" kata pria itu. Raihan mengangguk se
Raihan terdiam saat mendengar suara lembut gadis itu. Tiba-tiba kekhawatiran melandanya. Ia belum lupa bahwa Nico pernah begitu mencintainya hingga berebut gadis itu dengan pria lain di apartemen mereka. Raihan khawatir, apakah cinta yang diucapkan Nico akan sirna oleh kehadiran Olive? "Ya, Olive?" tanya Raihan. "Raihan, bisakah kita bertemu hari ini?" Raihan diam, menimbang-nimbang permintaan bertemu dengannya. Apalagi kalau bukan menyangkut Nico? "Baiklah. Kau mau bertemu di mana?" *** Brak! Nico tersentak dan langsung memandang ke arah pintu. Tampak Hasya berdiri dan memandangnya dengan tatapan geram. Sambil mendengus, gadis itu melangkah mendatangi Nico yang masih terkejut memandangnya. Hasya langsung memukul meja di hadapan Nico. "Kau kenapa, sih?" sergah Nico. "Kakak yang kenapa?" balas Hasya tak kalah sengitnya, "kenapa Kakak memecat Bily?" Nico memutar kesal bola matanya. "Oh, pria itu ... ku kira apa sampai kau terlihat marah begitu tapi baguslah dia sudah tidak ke