Suara ketukan halus menggema di kamar Dina.
"Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinya
Dina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.
Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria.
"Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran.
"Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.
Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.
Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu menyelesaikan tugasnya tepat waktu dan dengan hasil yang memuaskan. Bagi Dina, fokus adalah kunci utama untuk mencapai kesuksesan dalam belajar.
"Pesan kakek kali ini sangatlah penting, Dina. Kamu harus hadir di sana. Turunlah dulu ya, nanti bisa dilanjutkan belajarnya," tutur Ummi Aida dengan penuh kelembutan kepada putrinya.
"Baiklah, Ummi. Dina akan ambil hijab dan merapikan kamar sebentar dulu. Setelah itu, Dina akan turun," jawab Dina dengan penuh kepatuhan.
"Baiklah, Nak. Umi akan menunggu di bawah," balas Ummi Aida.
"Terima kasih, Ummi Sayang," ucap Dina penuh rasa kasih sayang.
Dina segera melangkah kembali ke kamarnya untuk mengambil hijab. Ia selalu rapi dan teratur, dan tidak ingin meninggalkan kamarnya dalam keadaan berantakan. Sebelumnya, ia menyempatkan diri untuk merapikan kasurnya yang berantakan dan menyingkirkan buku-buku kuliahnya yang berserakan.
Meskipun di rumah, Dina sudah terbiasa menggunakan hijab sejak kecil. Ia hanya melepasnya saat berada di dalam kamar. Hal ini menunjukkan bahwa Dina adalah seorang gadis yang taat beribadah dan memiliki rasa hormat yang tinggi terhadap agama.
Setelah selesai berbenah, Dina pun turun ke ruang keluarga. Di sana, ia mendapati seluruh anggota keluarganya sudah berkumpul. Ada abi, ummi, kakek, dan ketiga kakak laki-lakinya. Dina adalah anak bungsu dari empat bersaudara, dan satu-satunya anak perempuan dalam keluarga Farid.
Kakek tersenyum lebar saat melihat Dina datang. Ia sudah lama menanti untuk bertemu dengan cucunya tersayang ini. Dina pun menyambut kakek dengan pelukan hangat dan penuh kasih sayang.
"Assalamu'alaikum." Dina menyapa dengan suara merdu saat memasuki ruang keluarga.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," sahut seluruh anggota keluarga serempak, menyambut kedatangan Dina dengan hangat.
"Maaf ya, Kakek, Dina terlambat turunnya," ujar Dina sambil duduk di samping Kakek dengan penuh rasa hormat.
"Tidak apa-apa, Nak," jawab Kakek Dina dengan kelembutan di suaranya. Dina memang selalu memiliki hubungan yang erat dengan kakek dan neneknya. Sejak kecil, ia lebih banyak menghabiskan waktu bersama mereka karena kesibukan orang tuanya bekerja. Hal ini membuatnya lebih akrab dan dekat dengan kakek dan neneknya dibandingkan dengan orang tuanya sendiri.
"Ayah mau membahas apa ya?" tanya Afif ayah kandung Dina, penasaran dengan topik penting yang ingin dibicarakan oleh sang ayah.
"Ayah ingin membicarakan sebuah wasiat yang ditinggalkan oleh ibumu kalian sebelum meninggal," ungkap kakek dengan lirih. Kematian sang istri tercinta seminggu yang lalu masih meninggalkan luka mendalam di hatinya. Kakek merasa kehilangan semangat hidupnya tanpa kehadiran sang istri yang selalu menjadi pendamping setia.
"Khusus untuk Dina, namun kakek ingin kalian semua tahu."
Deg.
Jantung Dina berdegup kencang saat namanya disebut, entah mengapa ia memiliki firasat yang tidak nyaman saat ini. 'Semoga isi wasiatnya tidak aneh-aneh,' batin Dina.
"Wasiat yang seperti apa, Ayah?" tanya Afif.
Kakek mengambil napas panjang terlebih dahulu sebelum menceritakan isi wasiat istrinya. Ia juga menatap lekat wajah cucu perempuan kesayangannya itu.
"Wasiatnya adalah perjodohan Dina dengan cucu temannya nenek," ucap kakek dengan penuh kelembutan.
Dina terkejut mendengar berita tersebut. Ia tidak pernah membayangkan akan mendapatkan tanggung jawab sebesar ini. Pikirannya dipenuhi kebingungan dan ketidakpastian tentang kemampuannya untuk mengelola perusahaan tersebut.
"Ayah sebelumnya tidak setuju dengan rencana nenek kalian, tetapi demi nenek kalian, agar tenang di sana maka wasiat yang diberikan nenek untuk Dina, harus kakek sampaikan," lanjut kakek dengan meyakinkan.
Dina merasa terkejut. Apa yang diucapkan oleh kakeknya, begitu juga dengan ayah, ummi, dan kakak ketiga lainnya.
"Dina, nenekmu berpesan sebelum meninggal ia ingin menjodohkanmu dengan cucu sahabatnya. Sebenarnya nenekmu berharap dapat melihatmu menikah sebelum dipanggil oleh Tuhan, namun takdir berkata lain. Nenekmu meninggal sebelum keinginannya terwujud," ucap kakek dengan sedih sambil menatap wajah Dina dengan penuh kelembutan.
Dina merasakan detak jantungnya berdegup kencang. Pikirannya berkecamuk dengan campuran kebingungan, keberatan, dan ketidakpastian. Dina tidak pernah menyangka akan jika ia mendapatkan wasiat dari neneknya semacam ini dari neneknya yang dicintainya.
"Walaupun kita tak dapat mengubah takdir, nenekmu berharap kamu akan memberikan kesempatan ini sebuah pertimbangan yang serius," lanjut Kakek dengan suara menggumam, "Kamu adalah putri yang tangguh dan bijaksana, Dina. Saya yakin bahwa kamu akan mengambil keputusan yang tepat untuk dirimu sendiri."
Dina duduk dengan tatapan kosong, membiarkan kata-kata kakek menyusup ke dalam hatinya. Kesedihan dan kehilangan neneknya masih begitu terasa, namun pada saat yang sama, Dina merasakan panggilan tanggung jawab yang muncul di hatinya.
"Ayah ... aku harus memikirkan semua ini dengan sungguh-sungguh," kata Dina dengan suara pelan. "Saya berterima kasih kepada nenek yang begitu peduli dengan kebahagiaan saya. Tapi tolong beri waktu padaku untuk mempertimbangkan semuanya dengan matang."
Keluarga dengan penuh pengertian mengangguk, memberikan waktu yang diperlukan bagi Dina untuk memikirkan wasiat neneknya. Dalam keheningan yang terisi dengan campuran kecemasan dan harapan, Dina berjanji pada dirinya sendiri bahwa ia akan menjalani proses ini dengan kejujuran dan pikiran yang jernih, demi kebahagiaan dirinya dan menghormati keinginan terakhir nenek tercintanya.
Benar saja firasat Dina yang sudah tidak enak dari awal ternyata wasiat itu sesuatu yang tidak Dina sukai.
"Kakek, Dina masih terlalu muda. Aku tidak setuju jika Dina harus menikah dalam waktu dekat, apalagi saat ini dia masih kuliah Kek, biarkan dia fokus kuliah dulu," sanggah Yazid abang kedua Dina yang sangat protektif terhadapnya.
"Ulum juga tidak setuju! Mengapa nenek tidak menyuruh Kak Yazid untuk menikah terlebih dahulu? Mengapa kami harus menikahkan Dina terlebih dahulu?" sela Ulum, kakak ketiga Dina yang juga mengungkapkan ketidaksetujuannya.
"Awalnya kakek juga tidak setuju. Sekali lagi kakek minta maaf, karena ini wasiat yang harus kakek sampaikan."
"Tapi .... Kek .... Dina masih muda, Dina biarkan fokus kuliah dulu, dia ingin jadi pengusaha yang sukses,oleh sebab itu jangan halangi dengan mimpinya karena ingin menikahkan Dina dengan cucunya sahabat nenek," sanggah Ulum dengan sangat tegas.
Mereka tidak setuju dengan wasiat yang diberikan oleh neneknya karena mereka tahu bahwa Dina ingin fokus pada kuliahnya dan memiliki perusahaan yang terkenal dan sukses di masa depan. Oleh karena itu, mereka tidak setuju dengan perjodohan yang dilakukan oleh neneknya.
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur."Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga."Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina."Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain."Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga men
Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga."Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina."Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum."Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya."Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir,
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama."Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian."Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan
Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnyaTepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya
Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnyaTepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama."Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian."Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga."Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina."Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum."Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya."Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir,
Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur."Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga."Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina."Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain."Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga men
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Suara ketukan halus menggema di kamar Dina."Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinyaDina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria."Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran."Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu