Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga.
"Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina.
"Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya.
"Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum.
"Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya.
"Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."
Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir, jika ada masalah, pasti Dina akan cerita. Saat ini memang tidak ada yang perlu dikhawatirkan."
"Apakah kamu setuju dengan wasiat yang diberikan nenek untukmu?" tanya Ulum.
"Hm, mengenai itu, aku belum memikirkannya. Saat ini, aku ingin fokus untuk kerja dan perjalanan pendidikanku masih panjang."
"Baiklah, kalau begitu, jika ada yang mengganggu, jangan ragu untuk bercerita. Jika membutuhkan bantuan, langsung saja katakan pada kakak," ujar Ulum sambil mengelus lembut kepala adiknya dari samping.
***
Sesampainya di kampus Dina langsung menuju ruangan kelasnya. Sebenarnya Dina sudah lulus tinggal menunggu jadwal sidang. Selesai kuliah Dina tidak langsung pulang ke rumah, ia sudah memiliki janji dengan sahabat-sahabatnya di taman kampus.
"Assalamu'alaikum," ucap Dina saat mendekati sahabat-sahabatnya.
"Wa'alaikumussalam, sini duduk," jawab Dinda dan Rotus.
"Sorry ya lama tadi masih ada urusan."
"Santai Din, kita juga baru sampe kok," sahut Dinda.
"Gimana Din jadi kamu jadi kerja apa?" tanya Rotus.
"Aku kemarin udah melamar pekerjaan di sebuah perusahaan, dan alhamdulillah aku udah acc di Perusahaan Buku As Syifa."
"Waw hebat banget bisa di sana kamu Din. Itu kan perusahaan yang terkenal Din, denger-denger susah lo masuk sana," ucap Rotus.
"Alhamdulillah berarti rezeki ku disana, kalian sendiri bagaimana?" tanya Dina.
"Aku sama Dinda di Perusahaan Kosmetik An Nur ," jawab Dinda.
"Itu juga perusahaan terkenal kok."
"Iya sih, cuma kalau dibandingkan sama kamu kalah jauh Din."
"Ya udah disyukuri aja, siapa tau disana kalian bisa mendirikan perusahaan sendiri," celetuk Dina
"Aamiin aja dulu, siapa tau dapet jodoh anak pemilik perusahaan," sambung Tasya.
"Enggak usah ngehalu deh Rotus, kita masih baru lulus perjalanan juga masih panjang. Fokus kejar cita-cita dulu baru deh nikah, bener enggak Din?" tanya Nina pada Dina.
Dina yang mendapat pertanyaan dari Nina hanya diam saja sambil termenung.
"Dina!" teriak Tasya.
"Astagfirullah bikin kaget aja," respon Dina sambil mengelus dadanya karena terkejut mendengar teriakan Tasya.
"Sorry, kamu sih dipanggil enggak jawab. Lagian masih siang udah benggong aja."
"Siapa yang bengong. Udah yuk pergi, masih ada waktu 2 minggu buat happy-happy."
"Gimana kalo kita healing ke luar kota, bisa ke Bali atau puncak atau mana aja deh pokok liburan," ujar Nina memberi saran.
"Aku setuju sih, sepertinya otak kita perlu liburan sebelum berperang nantinya." Tasya menyetujui saran Nina.
"Lebay deh perang apaan, kalau urusan itu aku belum bisa janji soalnya harus izin Umi sama Abi dulu," ujar Dina.
"Oke kamu coba izin dulu aja, kalau sekarang ke mall gimana. Sepertinya minggu ini banyak film bagus."
"Boleh sih, aku juga mau beli sesuatu di sana," ucap Dina.
Akhirnya mereka bertiga meninggalkan taman menuju parkiran fakultas ekonomi dan bisnis, namun sebelum ke mall Dina mampir ke toilet terlebih dahulu. Selesai dengan urusannya Dina jalan menuju parkiran lagi.
Bugh!
"Maaf," ucap Dina setelah tanpa sengaja menabrak seseorang. Saat itu, Dina sedang fokus pada ponselnya karena hendak mengirim pesan kepada ibunya tentang rencana pergi ke mal bersama sahabat-sahabatnya, sehingga Dina tidak melihat ke depan saat berjalan.
"Bisakah kamu berjalan dengan memperhatikan sekitarmu daripada asyik dengan ponsel?" ucap pria tersebut dengan tegas. Ia terlihat kesal karena ditabrak oleh seorang perempuan yang tidak dikenalinya, karena ia juga sedang membawa berkas berkas yang akan digunakan untuk meeting.
"Soory," ucap Dina. Dina melihat pria tersebut mengenakan jas, membuatnya mengira bahwa orang yang ditabraknya adalah seorang CEO. Meskipun pria tersebut menegur Dina, Dina tidak tersinggung karena menyadari bahwa kesalahan ada pada dirinya.
"Saya tidak butuh permintaan maafmu, saya ingin kamu bertanggung jawab," tegas pria tersebut.
"Apa yang harus saya tanggung jawab?" tanya Dina, menyadari bahwa dia memang melakukan kesalahan dan perlu bertanggung jawab.
"Saya sedang terburu-buru untuk rapat, tolong ketik ulang semua berkas yang kamu jatuhkan, kemudian antar ke perusahaan penerbitan Syifa," ujar pria tersebut.
"Semuanya? Wah serius, gue ini manusia bukan robot!" tanya Dina.
"Terserah kamu bagaimana, saya harus buru-buru. Jangan sampai lupa untuk mengantarnya," ucap pria tersebut sebelum bergegas menuju mobilnya. Ia harus segera tiba di perusahaan karena meetingnya akan segera dimulai.
"Huft." Dina menghela napas berat melihat banyak berkas yang berserakan di lantai, bahkan ada juga yang jatuh ke air.
****
"Lama banget sih, Din, panas nih. Ayo cepat naik," ucap Rotus memanggil Dina yang mendekati mobil.
"Sabarlah," ucap Dina dengan wajah kesal.
"Itu apa, Din? Kenapa tiba-tiba kamu membawa begitu banyak berkas seperti itu?" tanya Dinda sambil menjalankan mobilnya meninggalkan parkiran fakultas ekonomi dan bisnis. Rotus yang penasaran melihat ke kursi belakang tempat Dina duduk.
"Tadi aku tidak sengaja menabrak seseorang, dan berkas yang dia bawa jatuh. Aku harus mengetikkannya ulang nanti," sahut Dina.
"Loh, kenapa tidak dicetak ulang saja? File-nya juga masih ada kan! Bahkan kamu tidak perlu menulis ulang?" cecar Tasya yang merasa penasaran.
"Katanya dia terburu-buru ada rapat, jadi aku yang harus mengetik kembali. File yang ada di flashdisk dan laptopnya ikut jatuh ke air, jadi butuh waktu lama. Hasil pemindaian juga mungkin tidak jelas, kamu tahu sendiri," jelas Dina dengan lembut.
"Cowok atau cewek?" tanya Tasya antusias. Rotus yang suka bertanya karena di antara mereka bertiga, hanya Tasya yang suka tahu dan ekstrovert.
"Cowok."
"Ganteng nggak, Din?"
"Biasa saja," jawab Dina cuek. Dina yang tidak dekat dengan laki-laki membuatnya tidak bisa membedakan antara cowok ganteng dan tidak. Bagi Dina, semua laki-laki sama saja.
"Ish, kebiasaan kamu selalu menjawab begitu, sekali-kali bilang kalau ganteng banget, Tasya dong," goda Rotus.
"Ya emang biasa saja, Rotus, tidak ada yang istimewa," balas Dina.
"Ya sudahlah terserah kamu aja! Hati-hati kamu suka sama dia," peringat Rotus.
Dina tidak menjawab lagi perkataan Rotus, melainkan memilih membuka ponselnya karena belum sempat mengirim pesan kepada umminya. Sesampainya di mall, mereka bertiga langsung ke bioskop untuk menonton. Setelah menonton, mereka memilih untuk makan terlebih dahulu sebelum pulang. Sebelum pulang, Dina singgah ke sebuah toko kue terkenal di mall tersebut. Dina ingin membelikan kue untuk keluarganya dan untuk pria yang sudah ia tabrak tadi atas permintaan maaf.
Drrt-drrt.
Saat asik berjalan menuju parkiran mal, tiba-tiba ponsel Dina bergetar. Dina mengambil ponselnya dari dalam tas untuk melihat siapa yang menelpon. Bang Yazid menelepon ....
"Tumben Bang Yazid menelepon," gumam Dina saat melihat bahwa abangnya yang pertama meneleponnya.
"Assalamu'alaikum, Bang," sapa Dina.
"Wa'alaikumussalam warahmatullah," jawab Yazid.
"Ada apa Bang? Tumben?” tanya Dina.
"Kamu lagi di mana, dek?" Alih-alih menjawab, Dina malah bertanya balik kepada Yazid.
"Dina sedang di mal bersama Dinda dan Rotus, Bang. Ada apa?" tanya Dina.
"Kalau sudah selesai, cepat ke Rumah Sakit Ibnu Sina ya, Dek," pinta Yazid.
"Siapa yang sakit, Bang?" tanya Dina, jantungnya berdegup kencang khawatir telah terjadi sesuatu pada keluarganya.
"Kakek tadi pingsan, jadi abi dan ummi langsung membawanya ke rumah sakit. Apakah perlu abang menjemputmu ke mall?"
"Innalillah, Dina akan segera ke rumah sakit, Bang. Tidak usah menjemput karena Dina juga akan segera pulang."
Setelah menerima panggilan dari abangnya, Dina segera menyadari bahwa keadaan mendesak. Dengan suara yang gemetar dan khawatir, Dina memberitahu Dinda tentang keadaan darurat yang menimpa keluarganya. Tanpa ragu, Dinda dan Rotus bersedia membantu Dina dalam situasi tersebut.
"Tolong, antar aku ke Ibnu Sina Hospital sekarang," pintanya dengan nada penuh kecemasan.
Tanpa menunggu lama, Dinda dan Rotus dengan sigap membantu Dina. Mereka segera meninggalkan mall dan bergegas menuju rumah sakit. Sesampainya di sana, abang Dina sudah menunggu dengan penuh kekhawatiran. Dina segera memohon pamit pada kedua sahabatnya sebelum keluar dari mobil dan menuju rumah sakit untuk bergabung dengan keluarganya dalam situasi yang mendesak.
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama."Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian."Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan
Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnyaTepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya
Suara ketukan halus menggema di kamar Dina."Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinyaDina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria."Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran."Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur."Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga."Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina."Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain."Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga men
Dua minggu telah berlalu, kondisi kakek Dina sudah membaik sehingga sudah diperbolehkan untuk pulang kerumah. Namun, sayangnya, Dina harus membatalkan liburan dengan sahabatnya karena selama Dina sendiri lebih memilih untuk merawat kakeknya selama dua minggu, dan bahkan Dina selalu menemani kakeknya untuk cuci darah Tepat hari ini adalah hari pertama Dina untuk menjalani magang di perusahaan As syifa, Sejak semalam Dina sudah mempersiapkan semuanya termasuk mentalnya karena banyak rumor yang dia dengar dari seniornya jika di perusahaan as Syifa CEOnya itu banyak yang killer. dan di sana juga sangat ketat sehingga Dina mempersiapkan fisik maupun mentalnyaTepat pukul 06.00 Dina sudah siap untuk pergi ke perusahaan as Syifa, karena ini memang hari pertamanya makanya dia harus datang lebih awal sebelum dia terlambat. Namun, sebelum itu Dina turun ke bawah untuk sarapan terlebih dahulu sebelum berangkat ke perusahaan as Syifa. Saat turun ke bawah Dina melihat keponakan dan kakak iparnya
Malam itu, suasana di rumah sakit terasa hangat dengan kehadiran Dina yang setia menemani kakeknya. Meskipun kakeknya masih lemah, namun cahaya kebahagiaan terpancar dari wajahnya saat mulai pulih. Dina tak sendirian, dia ditemani oleh kedua abangnya, Yazid dan Ulum, yang setia berada di sampingnya. Sementara itu, Hamka dengan penuh tanggung jawab memilih kembali ke rumah untuk merawat anak balitanya yang membutuhkan perhatian ekstra. Meskipun Abi Yusuf dan Umi Aida awalnya berniat menginap di rumah sakit, namun keputusan bijak anak-anak mereka untuk kembali ke rumah agar tidak kelelahan, menunjukkan kepedulian mereka yang mendalam. Mereka barzanj akan kembali keesokan pagi dengan semangat dan kehangatan yang sama."Dek, kalau kamu merasa lelah, lebih baik istirahat saja," kata Ulum dengan penuh perhatian, menyarankan Dina untuk lebih memperhatikan kesehatannya di tengah situasi yang menuntut perhatian."Bang, masih jam 9, Dina belum merasa ngantuk. Lebih baik bang yang istirahat, kan
Feri Ardiansyah, seorang pengusaha muda yang baru saja bertemu dengan Dina di depan toilet. Di usianya yang masih muda, Feri telah menyelesaikan kuliahnya dan saat ini menjabat sebagai CEO di perusahaan As Syifa. Meskipun Feri adalah anak dari seorang pemilik usaha, orangtuanya tidak pernah memanjakannya, sehingga Feri dituntut untuk mandiri dan tidak bergantung pada mereka.Jika Feri melakukan kesalahan, ayahnya akan memberikan teguran dan bahkan memberikan hukuman seperti karyawan lainnya. Hal ini terjadi hari ini. Feri seharusnya menghadiri meeting satu jam yang lalu, namun karena ia terlambat lima menit, ayahnya yang menghadiri pertemuan tersebut dan memerintahkan Feri untuk menunggu di depan ruangan sampai pertemuan selesai."Ini semua karena wanita yang tidak jelas tadi. Andai aku tidak bertemu dengannya, pasti aku tidak akan berada dalam situasi seperti ini," gerutu Feri merutuki dirinya sendiri. Sejak satu jam yang lalu, ia masih menyalahkan perempuan yang tidak sengaja menabr
Tepat pukul 07.00 Dina berangkat ke kampus, seperti biasa diantar oleh abangnya kebetulan yang kebagian mengantar hari ini adalah abang keduanya. Ulum abang keduanya itu memiliki karakter laki-laki lemah lembut dan sabar berbeda dengan abang pertamanya yang tegas dan berwibawa sedangkan abang ketiganya lebih ke pecicilan sering jahil juga."Hey," panggil Ulum saat mereka sudah berada dalam mobil sedang menuju kampus Dina."Iya, kenapa Bang?" balas Dina sambil menoleh ke arah kakaknya."Bagaimana keadaanmu sekarang? Apakah baik-baik saja?" tanya Ulum."Alhamdulillah, seperti apa yang terlihat kok," jawab Dina dengan senyum manisnya."Dina, kalau kamu ada masalah jangan ditahan sendiri ya. Kamu memiliki abi, umi, kakak, abang, dan Yazid yang selalu siap mendukung dan menyayangimu. Kakak siap mendengarkan dengan baik jika kamu ingin bercerita."Dina yang mendengar itu tersenyum manis pada Abangnya merasa bersyukur memiliki keluarga yang sangat peduli padanya. "Abang tidak perlu khawatir,
Pagi harinya Dina melakukan aktivitas seperti biasa, Dina saat ini lebih memilih untuk mengabaikan perkataan kakeknya karena menurut Dina masih ada waktu 2 bulan untuk ia mengambil keputusan. Setelah selesai salat dan membaca Al Qur an Dina langsung berganti pakaian dengan baju olahraga, dan ia juga segera menghampiri Umminya yang saat ini berada di dapur."Dek kamu ke mana? Kok pakai baju olahraga! Katanya nanti ada ujian kenapa masih mau lari?" tanya Umi Aida saat melihat putrinya turun dengan pakaian olahraga."Hehehe iya Ummi, Dina cuma mau olahraga sebentar, sudah satu minggu Dina tidak olahraga jadi Dina mau lari sebentar untuk melemaskan badan," sahut Dina."Ya sudah jangan jauh-jauh, kamu mau minta ditemani oleh abang nggak?" Entah mengapa meski Dina sudah berusia 21 tahun Umi Aida lebih tenang jika Dina keluar bersama anak laki-lakinya yang lain."Tidak usah Umi, Dina lari sendiri saja. Abang pasti capek karena semalam kan ada meeting juga, apalagi pekerjaan haru ini juga men
Dina, yang duduk di antara mereka, merasa perasaannya berkecamuk. Hatinya terasa terhimpit di tengah sejuta pertanyaan dan kekhawatiran. Ia ingin menyelesaikan pendidikannya dan mengejar impian-impian lainnya sebelum memasuki dunia pernikahan. Ia merasa terjebak dalam keadaan yang sulit, antara membahagiakan keluarga dan menjalankan keinginannya sendiri.Kakek, melihat kegelisahan dan keberatan para cucunya, menghela napas berat. "Aku memahami perasaan kalian. Wasiat ini mungkin terasa sulit untuk diterima. Namun,nenekmu memiliki alasan dan harapan tersendiri dalam menentukan hal ini."Ummi dan Ayah Dina mencoba menenangkan suasana. "Mari kita pikirkan dengan kepala dingin dan hati terbuka. Keputusan ini bukanlah hal yang mudah, namun penting untuk mempertimbangkan semua faktor dan berdiskusi dengan baik."Mereka semua setuju untuk memberikan waktu dan ruang bagi Dina untuk berpikir lebih lanjut. Tidak ada keputusan yang harus dibuat dengan terburu-buru. Semua pemikiran dan perasaanny
Suara ketukan halus menggema di kamar Dina."Dina, Nak, boleh umi masuk sebentar? Umi Aida ingin berbincang sejenak," tutur Umi Aida dengan nada lembut, suaranya menembus celah pintu kamar putrinyaDina yang tengah berkutat dengan tugas kuliahnya, sejenak menghentikan aktivitasnya saat mendengar suara Umi. Tanpa keraguan, ia bangkit dari kursinya dan melangkah menuju pintu untuk membukanya.Ceklek! Pintu kamar Dina terbuka, menampakkan wajahnya yang ceria."Iya Ummi, ada apa?" tanya Dina dengan nada penasaran."Ayo ikut ummi ke ruang tengah, kakek ingin bicara sesuatu," jawab Ummi Aida dengan senyum.Dina mengerutkan keningnya sedikit. "Penting sekali ya Ummi? Dina lagi mengerjakan tugas nih, sebentar lagi hampir selesai. Apa bisa Dina menyusul saja nanti?" tanyanya dengan ragu.Dina terbiasa dengan kedisiplinan dalam mengerjakan tugas. Ia selalu mematuhi prinsipnya untuk fokus dan menyelesaikan satu tugas hingga tuntas sebelum beralih ke tugas lainnya. Kebiasaan ini membuatnya selalu